Wednesday, December 14, 2011

wonderland itu bernama Tutup Ngisor


Lilin-lilin berjajar, wangi dupa, dan bertaburan mawar merah adalah semacam ucapan selamat datang di padepokan Tjipta Boedaja. Malam itu. Padepokan/pendopo ini bukanlah gedung yang berdiri sendirian, mewah megah, tetapi menyatu dengan sawah, ladang, serta rumah warga. Gamelan ditabuh. Orang-orang berjubel di luar maupun di dalam pendopo. Orang-orang ini akan menjalankan malam tirakatan dalam rangkaian acara suran, atau memperingati bulan sura. Tepat pada tanggal 15. Saat bulan sepenuh lingkaran.

Saya beruntung dan bersyukur ketika seorang kawan menculik saya ke tempat yang kemudian saya juluki sebagai wonderland ini. Adalah Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Sebuah dusun yang terletak di lereng gunung Merapi Merbabu. Sebuah dusun dengan kesenian sebagai nafas hidup. Bukan sekadar pertunjukan. Kesenian tidak dijadikan sebagai lahan untuk mencari penghasilan, cukup sebagai hiburan dan sikap. Sikap terhadap Tuhan, sesama manusia, alam, dan kehidupan. Dilakukan dengan biasa saja namun penuh penghayatan, menyatu dengan kehidupan itu sendiri. Sehingga antara kehidupan dan kesenian berjalan beriringan. Seimbang.

***
Kira-kira pukul 20.00 acara dibuka oleh seorang mc yang memakai pakaian ala Jawa. Bahasa yang digunakan pun bahasa jawa, inggil banget. Dan saya nggak begitu mudeng apa yang dibicarakan. Ada juga puji-pujian yang ditembangkan dengan bahasa jawa kuno. Saya pun mengikuti meskipun tak mengerti.

Setelah itu, ada sembilan perempuan luwes berbaju dan berselendang hijau menarikan “kembar mayang”. Gamelan kembali ditabuh. Suara sinden melengking merdu. Saya takjub. Keren banget. Salah satu penari yang bernama Sinta adalah anak smp, masih kecil, tapi saat dipanggung terlihat seperti gadis yang sedang mekar-mekarnya. Kok bisa? Saya setengah nggak percaya. Betapa ini sangat menakjubkan.

Kemudian panggung kembali hidup dengan pagelaran wayang orang lakon “lumbung tugu mas” dengan dalang Bapak Sitras Anjilin. Lakon ini menceritakan perjuangan pandawa dalam membangun lumbung dan peranan dewi sri sebagai dewi kesuburan. Ini merupakan salah satu wujud syukur warga akan kelimpahan hasil pertanian. Sebagian besar warga Tutup Ngisor adalah petani. Sayang, saya nontonnya agak ketinggalan. Ternyata lumayan banyak yang nonton. Nggak cuma bapak-bapak atau mbah-mbah, tapi anak-anak sampai bayi pun ada. Melek. Meski sesekali menguap menahan kantuk.

Saya yang pertama kali menyaksikan wayang orang ini jelas gumun. Gerak tubuh yang luar biasa indah dipadu dengan kostum yang wah, serta dialog-dialog yang saya nggak ngerti. Tapi saya suka. Saya juga sempat melihat salah satu pemain merias dirinya sendiri. Mulai dari alis sampai kumis. Dan pertunjukan pun mengalir. Saya hanyut.

Kira-kira pukul 02.00 sang dalang mengakhiri pertunjukan. Dan mata saya sudah kriyep-kriyep. Saya harus menyimpan energi untuk acara besok pagi yang masih sangat panjang.

***
Saat membuka mata dan telinga yang terdengar pertama kali adalah bunyi gamelan. Pagi ini, akan dilaksanakan kirab. Saya pun menyempatkan diri untuk jalan-jalan sebentar menikmati keindahan Merapi dan Merbabu. Tapi ternyata juga bisa melihat Sindoro Sumbing. Indah.

Kira-kira pulul 05.45 kirab dimulai. Para pemain/penari (mata mereka merah karena kurang tidur) berkumpul di depan pendopo. Setelah itu “sowan” ke makam Romo Yoso Sudarmo, pendiri padepokan Tjipta Boedaja. Iring-iringan pun beberapa kali berjalan mengitari pendopo sebelum jathilan dilaksanakan. Bertabur bunga. Semerbak dupa.

Saya tidak tahu apa yang terjadi, salah satu penari ada yang kesurupan (maaf saya tidak tahu istilah lainnya). Tapi iring-iringan tetap dilanjutkan. Dan berkumpul lagi di pendopo. Setelah itu jatilan pun dimulai. Gendang ditabuh. Musik menghentak. Gemerincing kaki para penari berpadu gerakan yang rancak. Penonton berjubel. Beberapa kamera siap mengabadikan segala gerak. Kira-kira jatilan ini berlangsung selama satu jam. Lagi-lagi saya dibuat takjub. Jatilan yang saya lihat kali ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Lebih bernyawa.

Acara tidak berhenti sampai di sini. Tepat pukul sepuluh kembali terdengar musik menghentak dari lapangan. Kali ini ada berbagai tarian. Penyumbang acara datang dari berbagai daerah. Lagi-lagi penonton berjubel. Ada jatilan, ada juga tari topeng ireng. Semuanya indah. Semuanya mengagumkan. Walaupun hujan deras, acara tetap berlangsung lancar. Tak ada penonton yang beranjak. Para penjual jajanan dan mainan pun semakin banyak.

Di sela-sela riuh pertunjukan saya sempat ngobrol dengan seorang pemuda, alias Mas Genter. Dalam satu tahun, penduduk Tutup Ngisor setidaknya membuat empat acara, yaitu maulid nabi, idul fitri, tujuh belas agustus, dan suran. Tapi yang paling meriah adalah acara suran yang kali ini bertema "dharmaning urip ngudi pepadhang" dan dilaksanakan tiga hari. Dan makanan tak henti-hentinya mengalir. Tak ada piring dan gelas yang kosong. Hebatnya, dalam menyelenggarakan acara-acara tersebut mereka tak pernah mencari sponsor.

(oh ya, saya menyempatkan diri bermain di kali dekat sawah. Tapi cuma sebentar karena hujan)

Setelah maghrib, di pendopo, gamelan kembali ditabuh. Kali ini adalah acara kesenian dari berbagai kota. Ada dari berbagai SMA dan universitas. Ramai dan meriah. Ada teater, ada tari banyuwangi, ada tari topeng dari abbal (atas bumi bawah langit), dan lainlain. Sungguh menakjubkan melihat berbagai tubuh gemulai itu meliuk-meliuk. Magis.

Sementara itu, acara penutupan adalah wayang orang kolaborasi dari berbagai kota. Saya pun nggak mau melewatkan pertunjukan ini. Pertunjukan wayang orang kali ini nggak pake latihan. Jadinya lucu karena mengarah pada dagelan. Tawa serentak. Saya bertahan meski kantuk menyerang.

Kira-kira pukul setengah dua pagi sang dalang pun mengucap: cekap semanten..

***
Dan selesai menulis ini, kangenku padamu sungguh menggebu, wonderland. Kapan bertemu lagi? Segeralah.



fotografer: Yasinta Dewi

Thursday, December 8, 2011

hallo, John

ini adalah 8 desember yang ke-31.
***

“pernahkah ketika mendengarkan lagu, kamu merasa hanya ada lagu itu, kamu, dan kehadiran tuhan?”

aku pernah

adalah ketika mendengar imagine-mu. serasa ada suasana magis yang tiba-tiba datang dan tidak bisa dijelaskan. dan ini sama sekali tidak ada maksud hiperbolis atau mengada-ada, john.

aku pun merasakan sedih yang menyayat ketika mendengar oh my love dan mother. perasaan menyayat yang tidak pernah kurasakan saat mendengar lagu-lagu lain. i don’t know why.

haha, ini sebenarnya hanya curhatan gak penting, John. 31 tahun di surga gimana rasanya? sudahkah bertemu ibumu?

apa pun itu, selamat menikmati hari-harimu di sana. kubayangkan kau sedang makan apel sambil bergitar, genjrang-genjreng. sudah berapa lagu yang tercipta? segera turunkan ke bumi. biar gak ada polusi boyband ^o^

oya, kamu menempati urutan tertinggi playlistku. dan semoga anak-anakku nanti masih bisa menikmati dan mengagumimu. kamu bukan hanya seniman. kamu legenda.

salam rindu dari semua makhluk di bumi, John Winston Lennon.

Tuesday, December 6, 2011

tentang labeling

percakapan dengan beberapa kawan akhir-akhir ini, entah mengapa, selalu berujung pada persoalan-persoalan labeling. nah, untuk itu, saya pun nggak tahan pengen ngoceh.

sebenarnya, yang membuat saya udah jengkel di ubun-ubun adalah talkshow tadi pagi yang kebetulan saya ikuti, yaitu berbagi cerita dengan pengajar muda. ini adalah acara yang diselenggarakan oleh bentang pustaka yang bekerja sama dengan program indonesia mengajar pimpinan Anis Baswedan.

singkat cerita, moderator yang dalam acara tersebut, menurut saya, amat sangat tidak bijak ketika menggunakan label-label tertentu untuk menyebut orang dan lokasi penempatan para pengajar muda. dibilang terbelakanglah, tempat antah berantahlah, seramlah. gak cuma itu, acara bincang-bincang itu dibuka dengan si moderator yang lebih mengedepankan bagaimana keadaan lokasi dan orang-orangnya, yang ternyata oleh pengajar muda (tadi yang datang Agus dan Aline) dijawab juga dengan label-label yang mengesankan bahwa lokasi yang mereka tuju itu emang "buruk" dengan mendeskripsikan keadaan jalan, listrik, wc, dan lain sebagainya. njut ngopo nek wes ngono?

inilah mengapa saya gak suka banget pada salah satu acara di stasiun tv swasta yang judulnya "andai aku menjadi". menurut saya, acara tersebut tidak jauh beda dengan kampanye untuk menganggap bahwa orang-orang desa yang menjadi target acar tersebut adalah orang-orang yang menderita. nah, acara tersebut mendorong penonton untuk menganggap bahwa hidup "yang seperti itu" adalah sebuah penderitaan. eksploitasi gak sih? ini ditambah lagi dengan si mahasiswa yang seringkali menye-menye kalau ngikutin keseharian orang-orang desa tersebut.

harusnya nih, gak usah ditonjolkan hal yang dianggap sebagai "penderitaan". harus ada sisi lain yang diungkapkan, seperti kesetiaannya pada hidup, keikhlasannya, keuletannya. sehingga penonton bisa mengambil pelajaran atau falsafah dari orang-orang tersebut. bukan sebaliknya. bukan anggapan bahwa hidupnya lebih beruntung dibandingkan dengan si A atau si B. juga bukan semakin menganggap diri lebih mulia.

labeling ini dipicu oleh (semacam) prasangka sehingga tercipta sebuah jarak tertentu. justifikasi pada pertemuan awal atau homogenisasi terhadap suatu hal juga bisa menimbulkan labeling. dan akhirnya stereotipe. misalnya, orang sana pasti kasar, orang sana pasti pelit dan mata duitan, orang sana lagi licik. dan lain sebagainya.

sebenarnya, yang menjadi masalah adalah: parameter yang digunakan itu apa?

barangkali, yang juga memicu timbulnya labeling terhadap suatu hal atau subjek tertentu adalah ketika seseorang itu terlalu lama berada dalam zona nyamannya. entah zona nyaman itu berwujud fisik yg oke, lingkungan, atau yg lainnya. yang tentunya dianggap sebagai paling oke. dan masalahnya lagi, labeling ini lebih condong pada hal-hal yang sifatnya kurang baik. meskipun ada juga yang membaikkan.

nah, salah satu manfaat belajar poskolonialisme adalah mengurangi dan menghindarkan diri dari bahaya labeling dan stereotipe ^^

#eh, tapi di akhir2 talkshow si Agus bilang sih kalo dirinya berusaha menolak anggapan bahwa masyarakat dimana dia ditempatkan itu pencuri :)

Saturday, December 3, 2011

doa yang nggak tuntas

saya inget beberapa bulan lalu, duluuuu banget, saya berdoa ama tuhan. intinya, saya pengen tahun ini saya lulus. tapi ini udah penghujung tahun dan bab 3 skripsi saya baru 70%. apalagi bab 2 yang udah sebulan diluncurkan tapi gak dibaca2 juga (murka tingkat dewa!). ini berarti saya NGGAK BISA lulus tahun ini! selidik punya selidik, tibatiba sanya inget tentang doa saya itu. saya minta lulus, tapi lupa bilang kalo LULUS KULIAH. jadinya tuhan gak ngasih saya lulus kuliah tahun ini >__<

tapiiiiiii, tuhanku yang super asyik, thanks ya, meskipun saya gak lulus kuliah tahun ini, semoga saya lulus dalam hal-hal yang lain. lulus kesabaran, lulus berdamai dengan diri sendiri, dan lulus2 yang lain.

semoga saya termasuk orang-orang yang belajar dan terus berproses.

karena, berproses adalah salah satu cara membiarkan diri kita menjadi manusia.

*dan proses saya sungguh gila-gilaan.

Friday, December 2, 2011

anonymous

sepertinya saya perlu berterima kasih pada seorang satu ini. seorang yang sebulan terakhir ini mampu membuat saya tersihir dan terkagum-kagum akan keajaiban yang ada di otak dan hatinya. dia membeberkan pendapatnya tentang tuhan, agama, budaya, politik, sastra, musik, bahkan kata. gagasan-gagasannya mampu membelokkan logika yang sempit. kemudian digiring menuju semesta kemungkinan. menghitamkan yang putih. memutihkan yang hitam. ia akhirnya mampu mengajak (saya) untuk belajar menyingkir dari kehidupan mapan, tapi mencari sejatinya hidup. tidak terjebak pada persoalan-persoalan lahiriah. terima kasih ya..


*sebaiknya pembaca tak perlu (mencari) tahu siapa seseorang itu ^0^

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...