Thursday, August 29, 2013

serangkaian perpindahan

sekali lagi saya harus mengamini apa yang pernah dikatakan oleh Raditya Dika bahwa hidup adalah serangkaian perpindahan. Seperti bulan-bulan sebelumnya, bulan ini pun banyak yang pindah dari Jogja menuju kota berikutnya.

Demi mengejar artis cilik yang sekarang telah tumbuh menjadi gadis cantik, Tasya, seorang laki-laki telah memutuskan untuk menjadi homo-jakartensis. Alasan lain yang menguatkan dirinya untuk berpindah ke kota itu adalah agar lebih dekat dengan kiprah sang gubernur idola. Saya hampir yakin bahwa alasan studi hanyalah untuk menutupi tujuan sebenarnya itu. Hahaha. Apapun itu, semoga dia menikmati prosesnya di kota yang nyaman itu. Semoga dia punya cerita yang manis, bukan cerita ruwet dan sumpek seperti yang didengungkan orang-orang. Dia akan menimba ilmu dari orang-orang keren yang hanya bisa saya baca tulisan-tulisannya. Gimana ya rasanya diajar Seno Gumira? baru ngebayangin aja saya udah ndredeg :p

Ada seorang lagi yang meninggalkan Jogja, dia kembali ke kampung halamannya di Cirebon. Pilihan untuk kembali ke kampung halaman setelah bergulat cukup lama di kota ini saya rasa bukan pilihan yang gampang. Dia tidak bercerita banyak apa yang akan dilakukannya di kampungnya itu. Yang jelas, tugas utamanya di rumah adalah membantu dan menjaga orang tuanya yang sudah sepuh. Semoga orang tuanya bahagia memiliki anak seperti dia.

Hmm..semakin banyak yang meninggalkan Jogja. Mungkin suatu saat saya juga akan meninggalkan kota ini, berpindah ke tempat dan ruang berikutnya. Entah menuju kemana saya pun tak tahu. Segalanya hanya menunggu giliran. Tapi bagaimanapun, setiap kali ada yang pergi, entah sementara entah selamanya, tetap saja meninggalkan gerowong.

Meminjam kata-kata Ipang, ada yang hilang dari perasaanku... duh!

Tuesday, August 27, 2013

catatan kecil dari balkon kost 857 Sagan

Selama enam tahun di Jogja, saya bertempat tinggal di daerah Sagan. Yang pertama di Asrama Putri Ratnaningsih UGM, Jl. Kartini No 2. Enam tahun yang lalu, tepatnya awal-awal saya di Jogja, di depan asrama itu banyak warung makan, mulai dari penyetan sampai burjo. Dari salah satu warung itu ada yang es tehnya sangat enak. Dua tahun kemudian, warung-warung itu lenyap dan bergantilah bangunan mewah yang kemudian di beri nama Bumbu Desa. Beberapa warung kecil itu masih ada yang meninggalkan jejaknya di daerah Sagan, tapi yang lainnya entah pergi kemana.

Di depan pagar asrama sebelah timur ada warung soto yang menjadi langganan anak-anak asrama. Saya adalah pelanggan yang setia mulai dari 3000 rupiah/porsi sampai 8000 rupiah. Penjualnya bernama Pak Toni. Ada sebuah bangunan tidak permanen di sebelahnya. Disitu tinggal seorang perempuan dari Bojonegoro yang biasanya menjual minuman dan gorengan untuk melengkapi soto pak Toni. Orangnya sangat supel, untuk tidak mengatakannya berisik. Tapi sudah setahunan ini saya tidak melihat perempuan itu. Kini, bangunan non permanen itu telah berubah menjadi semi permanen, dengan penghuni yang berbeda. Mereka adalah yang dulu berjualan esteh enak yang tadi saya bilang.

Tiga tahun saya tinggal di asrama nyaman itu, hingga akhirnya saya harus pindah. Kepindahan saya ternyata tidak jauh-jauh dari asrama, hanya di belakangnya saja. Haha. Sebuah kos-kosan berbentuk leter U yang dihuni oleh 30 orang. Kenyamanannya memang jauh berbeda jika dibandingkan dengan asrama. Tapi kos ini cukup istimewa kok. Meskipun tak senyaman balkon asrama, balkon di kos saya juga cukup menyenangkan. Saya bisa membunuh sepi di sana dengan membaca buku sambil minum teh atau kopi.

Banyak hal kecil yang menjadi kegembiraan saya di salah satu sudut Sagan ini. Dari balkon kost, saya bisa melihat sepasang orang tua, suami istri, yang selalu berjalan beriringan untuk sholat jamaah ke masjid. Anak-anak kecil di sini setiap malam selalu berkumpul dan bermain. Saya suka sekali dengan logat Jogja mereka jika sedang bertengkar. Setiap Selasa sore, ada puji-pujian (doa) kepada Tuhan dari orang-orang yang selalu berkumpul di rumah tetangga depan. Syahdu sekali.

Banyak hal-hal remeh yang diam-diam saya nikmati: sapaan riang si ibu yang jualan penyetan sewaktu saya pulang kampus. Mbak-mbak bercelana pendek yang mencari sedikit ruang di jalan raya agar bisa main badminton. Lampu kuning di salah satu gang tempat mangkal bapak penjual bakmi jawa. Suara adzan dari masjid sagan yang fals. Lorong-lorong kecil menuju kos sahabat-sahabat saya di 809. Suara Mbak Teni menawarkan jajanan pasarnya, dia hafal makanan favorit saya. sebuah jalan di samping SMA 9 juga sangat menyenangkan. Sepi dan banyak pohon besar. Juga anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar lapangan yang kini sedang direncanakan untuk pembangunan SD.

Apalah artinya saya tanpa keberadaan warung-warung di sekitar kost ini. Semenjak di asrama, saya menjadi pelanggan penyetan Pak Djum, mulai dari yang bikin sambel mas-mas tinggi yang pendiam, mas-mas imut yang supel, sampai mas-mas yang gak imut tapi juga supel. Dalam hitungan saya, setidaknya sudah lima kali warung penyetan itu ganti karyawan. Meskipun tidak yakin, mungkin suatu saat saya akan merindukan makanan yang gak jelas rasanya di warung Srikandi, atau makanan yang kurang bumbu di warung Bagus.

Kini sudah 3 tahun saya tinggal di kos ini. Beberapa bulan yang lalu saya merencanakan untuk pindah, saya sudah mencari kos-kosan di daerah yang lain. Tapi saya tidak pernah benar-benar “niat” mencari kost. Akhirnya keinginan untuk pindah itu pun menguap begitu saja. Sampai kapan saya akan bertahan di kost ini saya pun tak tahu.

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...