Saturday, December 26, 2015

catatan di tepi buku #2

Suatu hari, di kamar saya, saya memberi tebakan pada seorang teman, “di antara semua buku-buku saya, mana yang paling sering saya baca?”. Si teman mengamati buku-buku yang terpajang di rak. Agak bingung menentukan dan akhirnya menyerah karena banyak buku berpotensi untuk dibaca berkali-kali. Lalu saya memberi tahu, buku itu adalah Kisah Lainnya yang ditulis oleh Ariel, Uki, Lukman, Reza, dan David. Para personel band Noah. Tak terhitung berapa kali saya membacanya. Dalam buku ini, meskipun masing-masing personel diberikan ruang, porsi Ariel lebih banyak dibanding yang lain. Saya banyak sekali belajar dari dan berdialog dengan buku ini, terutama dari tulisan-tulisan Ariel. Dalam buku ini, apa yang dikatakan oleh Sherina tentang “lihatlah lebih dekat maka kau akan mengerti” terejawantah. Tidak hanya itu, apa yang dituturkan oleh guru-guru saya, entah mengapa, banyak saya temukan contohnya di buku ini. Saya mengidolakan Ariel sebagaimana saya mengidolakan Ahmad Dhani. Tak peduli apa yang disangkakan orang terhadap keduanya. Buku ini, membuat saya jauh lebih mengidolakan Ariel.

Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, Identitas dan Kenikmatan, dan Politik Kelas Menengah di Indonesia saya baca untuk keperluan penelitian. Aksara Amananunna menemani perjalanan saya dari Jogja-Malang-Jogja beberapa waktu lalu. Rio Johan tidak hanya unggul dalam cara bercerita, tapi tema ceritanya juga segar. Saya sependapat jika ada yang mengatakan bahwa Agustinus Wibowo begitu piawai meramu perjalanannya ke berbagai belahan dunia menjadi sebuah cerita menarik. Itu saya temukan di Titik Nol. Agustinus, seperti yang dikatakan oleh V.S Naipaul, sepenuhnya paham apa yang paling penting dari sebuah cerita perjalanan, yaitu cerita tentang manusia. Ia tidak terjebak pada pemujaan berlebihan atau sinisme yang tidak perlu pada tempat-tempat yang dikunjungi.

Dilan 1&2, adalah jenis buku untuk bersenang-senang. Membaca buku ini saya seolah terlepas dari beban teori. Ya, sejak kuliah di jurusan sastra, setiap kali membaca novel saya selalu dibayang-bayangi teori (sastra). Sangat menyebalkan. Buku ini, dalam ke-ringan-annya, ia kontemplatif. Yang lebih kontemplatif lagi, dan memang tujuannya agar pembaca bisa berkontemplasi, adalah buku Tiada Sufi Tanpa Humor. Buku ini menuturkan kebijaksanaan dalam kejenakaan.

***

Menurut saya, lebih menyenangkan menyelami pemikiran Seno Gumira Ajidarma dari tulisan-tulisannya daripada dari omongannya. Saya memang terlalu cepat mengambil kesimpulan karena hal ini saya dasarkan hanya pada salah satu pertemuan dengannya dalam sebuah diskusi di kampus. Tapi, entahlah saya lebih suka berdialog dengan tulisannya. Tiada Ojek di Paris adalah jenis tulisan non-fiksi Seno yang saya suka. Tulisan-tulisan semacam itu juga ada di buku Seno yang lain, Affair. Seperti bermain-main, tapi nyentil. Yang semacam itu juga saya temukan dalam Out of the Truck Box. Gaya tulisan Iqbal Aji Daryono jelas beda dengan Seno. Kekuatan buku ini ada dalam perspektif yang digunakan Iqbal dalam memandang suatu perkara. Perspektif seorang sopir truk yang cerdas.

Selama bertahun-tahun, saya mengenal Reda Gaudiamo hanya dari suaranya ketika ia melantunkan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Saya baru tahu kalau dia juga menulis fiksi di beberapa majalah. Na Willa adalah jenis cerita anak yang dapat dinikmati oleh anak-anak sekaligus orang dewasa. Saking asyiknya, saya sering membatin, “kok bisa gitu, ya”. Saya pribadi menganggap bahwa buku ini adalah buku fiksi terbaik yang saya baca tahun ini. Tentang Kita juga kumpulan cerpen yang menarik. Reda mencoba berbagai sudut pandang yang tak terduga dalam menuturkan cerita. Animal Farm yang saya baca versi terjemahan Prof. Soebakdi Soemanto. Tidak usah diragukan lagi bagaimana Prof. Bakdi menerjemahkan. Meskipun hasil terjemahan, rasanya seperti tidak membaca teks terjemahan. Mungkin inilah jenis terjemahan yang bagus: tidak terasa terjemahannya.

Kereta Tidur adalah cerita yang didominasi suasana mendung. Buku ini sudah lama saya cari karena penasaran bagaimana Avianti menulis cerita fiksi. Saya terlebih dahulu mengenal Avianti sebagai arsitek daripada sebagai seorang cerpenis dan penyair. Mendung sekaligus pahit saya rasakan ketika membaca Bukan Pasar Malam. Perasaan itu selalu berulang ketika saya membaca novel Pram yang satu itu. Novel itu saya baca lagi lantaran kangen pada Pram. Sementara Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo adalah buku tipis hasil tanggapan Bung Hatta atas tanggapan seseorang mengenai tulisannya. Kritik atas kritik. Bung Hatta begitu tajam dalam menulis kritik-kritiknya. Saya sampe mak wow!

***

Saya pertama kali mengenal James Redfield lewat bukunya The Celestine Prophecy. Saya membaca The Celestine Vision karena tak ingin ketinggalan dengan pemikiran dan “wawasan” yang disuguhkan Redfield. Bagi yang suka psikologi dan spiritual, buku-buku Redfield menarik. Tanah Tabu adalah buku yang direkomendasikan seorang teman waktu buku ini pertama kali terbit, kira-kira tahun 2009. Saya baru membacanya tahun ini karena dihadiahi teman. Meskipun kalimat-kalimat yang dibangun masih banyak yang kedodoran, saya menganggap persoalan yang disampaikan penulis amat penting. Iksaka Banu juga menyampaikan hal yang tak kalah penting dan menarik dalam Semua untuk Hindia. Kumpulan cerita ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi mahasiswa yang mencari teks-teks poskolonial. Jarang sekali ada kumpulan cerpen yang begitu suntuk mengulik persoalan kolonialisme Belanda di Indonesia seperti yang ada dalam buku itu.

Saat hendak membaca Mengantar dari Luar, saya dibayangi perasaan enggan. Enggan karena ketebalan bukunya. Apalagi ini kumpulan tulisan non-fiksi. Tapi untungnya keengganan itu dikalahkan oleh rasa penasaran saya pada tulisan-tulisan Puthut EA terdahulu. Seperti biasa, saya begitu menikmati tulisan-tulisan Puthut. Sayangnya, kenikmatan itu sedikit terganggu karena banyaknya salah ketik yang luput dari pengamatan penyunting, mengingat tidak adanya pemeriksa aksara.

Saya mengakhiri tahun ini dengan menyelesaikan membaca Muhammad karya Martin Lings, seorang cendekiawan-sejarawan Inggris. Buku ini sudah saya beli beberapa bulan lalu tapi baru bisa saya selesaikan belakangan. Membaca buku ini, saya hanyut dan tak jarang menangis. Narasi Lings begitu mengagumkan dan detail. Banyak hal yang awalnya bagi saya masih kabur, terjelaskan dalam buku ini. Ketika membacanya, ada semacam perasaan tak ingin buru-buru menyelesaikan.

Ehm, kenapa buku How the World Works belum selesai dibaca? Karena saya butuh waktu lebih untuk mencerna tulisan Chomsky. Hehe.

***

Mendaftar buku-buku yang saya baca, bagi saya sangat penting. Tentu ini untuk kepentingan pribadi. Apa yang penting bagi saya, belum tentu penting buat Anda. Begitu juga sebaliknya. Dengan mendaftar bacaan, setidaknya saya jadi tahu, tahun ini saya mengalami kemerosotan luar biasa dalam aktivitas membaca. Apalagi menulis. Buku-buku yang masih menumpuk, yang belum sempat dibaca, juga menegaskan bahwa uang bisa membeli buku-buku, tapi uang tak bisa membeli waktu untuk membaca dan merenungkannya. Semoga tahun-tahun berikutnya bisa lebih banyak membaca dan merenung. Amiin.

Friday, December 25, 2015

catatan di tepi buku #1

Tidak semua buku yang saya baca adalah buku bagus. Ada buku-buku yang ditulis dengan serampangan dan tidak dibangun dengan argumen yang meyakinkan. Namun, bagaimanapun, saya selalu mencoba untuk berdialog dengan buku yang saya baca. Dan, menurut saya, inilah yang penting dari sebuah aktivitas membaca: berdialog. Sebuah buku dapat diperlakukan sebagai teman bersenang-senang, teman berdiskusi, teman berpikir, bahkan juga dapat diperlakukan sebagai sabda yang tak dapat dibantah, dan lain-lain terserah pada si pembaca. Saya, tentu saja, lebih memilih tiga yang pertama. Dengan pilihan sikap seperti itu, harusnya saya sering-sering bikin review buku. Tapi itu tidak pernah saya lakukan. Karena apa? Yap! karena malas :p

Tulisan ini jelas bukan review. Ini hanya catatan di tepi buku, semacam coretan-coretan di pinggir pada buku-buku yang saya baca tahun ini, yang ada di postingan sebelumnya.

Saya memulai awal tahun 2015 dengan membaca A Simple Life karya Desi Anwar. Seperti judulnya, isinya membahas hal-hal sederhana yang seringkali luput dari perhatian orang, karena kesibukan, karena keriuhan pikiran. Hal-hal sederhana itu, bagi Desi Anwar sangat penting dan dapat menjadikan hidup lebih bermakna. Buku ini, menurut saya lebih pas dibaca oleh kaum urban yang sibuk dengan pekerjaan kantoran, sering lembur, banyak pikiran, kesepian, berkutat dengan rutinitas sehingga mudah stress. Anggaplah itu kondisi sebagian besar kaum kelas menengah perkotaan. Hal-hal yang ditawarkan oleh Desi itu tidak untuk, katakanlah, “kelas bawah”. Selain tidak mampu, juga tidak perlu.

99 Cahaya di Langit Eropa saya baca karena sebuah keharusan. Saya seperti dikutuk membaca buku ini. Bahasa jawanya: kualat. Jujur, saya tidak menyukai buku ini, tapi penelitian tesis mengharuskan saya membaca buku ini puluhan kali hingga saya hafal letak titik komanya. Persoalan-persoalan dalam novel inilah yang justru saya butuhkan untuk dikaji dalam penelitian. Sampai penelitian saya selesai, saya masih belum menyukai buku ini. Setidaknya buku ini mengingatkan saya bahwa hidup tak sekadar soal suka atau tidak suka.

Ulid Tak Ingin ke Malaysia adalah buku bagus, tapi bukan judul buku yang bagus. Menurut saya Ulid saja sudah cukup untuk dijadikan judul buku, tak perlu embel-embel “tak ingin ke Malaysia” yang justru menjadikannya terkesan murahan. Mungkin judul dan covernya itulah yang membuat buku sebagus ini tidak banyak dibicarakan. Dilahirkan oleh penulis yang sama, menurut saya, Ulid ini jauh lebih bagus dibanding Kambing dan Hujan yang riuh dipuji-puji itu. Saya tidak akan menceritakan isinya. Baca saja sendiri kalau ingin tahu. Ulid seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh Sean O’Connell dalam film The Secret Life of Walter Mitty, bahwa beautiful things don’t ask for attention.

Psikologi Kematian saya baca karena ingin mbaca aja. Penasaran apa isinya. Begitu juga dengan Islam di Mata Orang Jepang. Ini adalah buku kedua Hisanori Kato setelah buku Kangen Indonesia. Saya penasaran bagaimana Kato—sebagai orang Jepang, intelektual—memandang Islam. Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu dibaca karena bertugas sebagai moderator pada peluncuran dan diskusinya. Aruna dan Lidahnya dibaca karena penasaran dengan topik yang ditulis Laksmi Pamuntjak: makanan. Menarik dan asyik sih. Mbacanya sambil nelan ludah berkali-kali.

3 Cinta 1 Pria, Dua Ibu, dan Dewi Kawi adalah buku-buku yang dibaca karena rekomendasi seorang teman. Saya pun akan merekomendasikan dua buku yang pertama bagi yang mau membaca karya-karya Arswendo. Saya menyesal mengapa tidak membaca buku itu sejak dulu. Sesal saya juga untuk buku Negara Kelima. Saya jatuh cinta pada E.S Ito sejak membaca Rahasia Meede—yang merupakan karya keduanya. Saya pun mencari buku karangan Ito yang pertama ini. Tapi, apa boleh buat, saya baru berjodoh dengan buku ini tahun ini. Seperti buku pertamanya, E.S Ito selalu berhasil membuat saya jatuh cinta berkali-kali.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Awal-awal buku ini terbit, saya berkomentar “ah menye-menye gitu judulnya”. Dan saya tak kunjung membacanya. Lalu ada teman saya membawa buku itu, saya buka-buka bentar, lalu memutuskan untuk membacanya. Saya senang bahwa anggapan awal saya tentang buku ini salah. Buku ini jauh dari predikat “menye-menye”. Saja juga menilai bahwa Eka Kurniawan, semakin kesini semakin menunjukkan kematangannya dalam membuat cerita. Salah sangka itu kemudian tidak ingin saya teruskan pada buku Eka selanjutnya, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Saya langsung membelinya saat buku ini muncul di toko buku. Ini kumpulan cerpen. Beberapa sudah banyak yang saya baca sebelumnya.

bersambung. capek ngetiknya

buku yang kubaca 2015

1.A Simple Life -Desi Anwar
2.99 Cahaya di Langit Eropa -Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra
3.Ulid Tak Ingin ke Malaysia -Mahfud Ikhwan
4.Psikologi Kematian -Komaruddin Hidayat
5.Islam di Mata Orang Jepang -Hisanori Kato
6.Aruna dan Lidahnya -Laksmi Pamuntjak
7.Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu -Ramayda Akmal, dkk
8.Negara Kelima -E.S Ito
9.3 Cinta 1 Pria -Arswendo Atmowiloto
10.Dewi Kawi -Arswendo Atmowiloto
11.Seperi Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas -Eka Kurniawan
12.Dua Ibu -Arswendo Atmowiloto
13.Tiada Sufi Tanpa Humor -Imam Jamal Rahman
14.Kisah Lainnya -Ariel, Uki, Reza, Lukman (baca ulang)
15.Kelas Menengah Bukan Ratu Adil
16.Identitas dan Kenikmatan -Ariel Heryanto
17.Politik Kelas Menengah Indonesia -Ariel Heryanto [ed.]
18.Aksara Amananunna -Rio Johan
19.Titik Nol -Agustinus Wibowo
20.Dilan 1 -Pidi Baiq
21.Dilan 2 -Pidi Baiq
22.Kambing dan Hujan -Mahfud Ikhwan
23.Tiada Ojek di Paris -Seno Gumira Ajidarma
24.Animal Farm -George Orwell
25.Out of the Truck Box -Iqbal Aji Daryono
26.Na Willa -Reda Gaudiamo
27.Tentang Kita -Reda Gaudiamo
28.Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo-Mohammad Hatta
29.Kereta Tidur -Avianti Armand
30.Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi -Eka Kurniawan
31.Bukan Pasar Malam -Pramoedya Ananta Toer (baca ulang)
32.The Celestine Vision –James Redfield (baca ulang)
33.Tanah Tabu –Anindita S Thayf
34.Mengantar dari Luar- Puthut EA
35.Semua untuk Hindia –Iksaka Banu
36.Muhammad –Martin Lings

Yang belum selesai dibaca
1.How the World Works –Noam Chomsky

Monday, November 9, 2015

lambung dan antasida

Aku memandangi keringatnya yang menetes-netes. Bersinergi dengan mulutnya yang tak henti mengunyah. Diselingi huh hah huh hah kepedasan. Nasi di piringnya masih cukup banyak. Itu berarti aku masih bisa memandanginya cukup lama. Makananku? Sudah kuhabiskan. Aku sengaja menghabiskannya cepat-cepat. Lagian, separuh porsi nasiku kualihkan ke piringnya. Tentu saja agar aku bisa melakukan ini: memandanginya selagi makan. Kesempatan ini, sedetik pun, tak boleh kusia-siakan.

Perlu kau tahu, kami menjalani hari-hari dengan serangkaian perdebatan.

Aku bilang dia terlalu serius menghadapi hidup. Dia bilang aku harus sesekali baca buku filsafat. Biar gak baca komik terus. Buang-buang waktu, katanya. Aku hendak membantahnya. Dia bilang tak ada gunanya. Dia bilang aku tak peduli derita orang lain. Aku bilang dia menteri urusan orang lain. Dia memaki. Aku ngakak.

Dia bilang sastra Indonesia harus berterima kasih pada Pramoedya Ananta Toer. Aku bilang dunia sastra Indonesia harus berterima kasih berjuta-juta pada Raditya Dika. Dia ngotot itu bukan karya sastra. Aku tidak peduli. Aku tak suka Pram, tulisan-tulisannya terlalu pahit. Dia bilang Pram menulis kehidupan. Kemudian dia menyarankanku membacai novel-novel para pemenang nobel. Penulis-penulis hebat, katanya. Aku malas membacanya. Dia bilang aku pemalas seperti babi. Babik!

Dia suka musik-musik indie macam Sisir Tanah dan Efek Rumah Kaca. Aku suka Peterpan-Noah. Dia mencibir habis-habisan. Dia bilang aku hanya suka tampang vokalisnya. Aku tak membantah. Percuma.

Dia merokok. Aku ingin merokok tapi tak berani. Dia bilang aku pengecut. Sialan. Maka aku hanya memandanginya menghembuskan asap dari mulutnya. Semacam ‘huh’ yang sangat pelan. Kemudian tercipta bulatan-bulan asap itu. Bagus sekali. Aku suka sekaligus iri.

Maka, tempat ini adalah satu-satu yang mampu membuat kami bersepakat: sambalnya mantap. Kami tak menemukan kata-kata untuk mendeskripsikannya. Dia bilang tak usah dideskripsikan, kata-kata tak mampu menampung kenikmatannya. Aku setuju. Dalam hal persambalan, aku dan dia tak pernah beradu pendapat. Kami juga sama-sama menyukai sambal kemasan yang terkenal dari Surabaya itu. Meskipun agak kebanyakan minyak, komposisi sambal itu pas.

Tentu tidak semua urusan lidah kami bersepakat. Dia suka makanan bersantan. Aku ogah. Dia suka gudeg. Aku menolak mentah-mentah. Delapan tahun di kota ini tak membuat lidahku jadi multikultural. Sejak awal lidahku menolak makanan satu itu. Dia bilang lidahku Jawa Timur sentris. Hahaha. Dia suka makan mie, aku juga sangat suka. Tapi dia aktivis anti-mie instan. Aku koki jagoan urusan mie instan. Dia lalu bicara ngalor ngidul tentang hegemoni dan kapitalisme. Aku muak sekali.

Dan ketika aku tahu tempat ini akan tutup buat selamanya, aku sedih luar biasa. Aku tanya kenapa? Si penjual yang tampangnya mirip Aqi Alexa ini bilang ia bosan. Bosan? Aku tak percaya sambal selezat itu dibuat oleh orang yang sedang bosan. Ia akan kembali ke kampung asalnya, sebuah desa di Lamongan (oya, aku sering ngobrol dengan si dia tentang diaspora Lamongan di seantero jagad), ia tak mau bilang apa alasannya. Aku bilang sayang kalau dilepas, toh warung makan ini tak pernah sepi pembeli. Si penjual hanya senyum tak mau menanggapi lagi.

Sebentar, bagaimana bisa orang menutup warung yang laris hanya karena soal bosan? Apa dia tidak memikirkan pelanggan yang akan merindukan masakannya? Lebih jauh, apa dia tidak tahu, di luar sana banyak orang yang usahanya gulung tikar? Sementara ia hanya menutup warung hanya gara-gara bosan? Cih!

Dari bangunannya, warung ini biasa saja. Sedikit kumuh malah. Bungkus krupuk bertebaran di lantainya. Letaknya di pertigaan. Dekat pos ronda. Pos ronda itulah yang seringkali digunakan orang-orang untuk makan kalau kursi panjang yang disediakan telah penuh. Dan kami sedang duduk di pos ronda itu.

Jadi, ini adalah makan terakhir kami di warung yang besok akan tutup selamanya.

“Bukankah si penjual itu sangat egois?” dia melontarkan pertanyaan tiba-tiba, sambil menyedot es tehnya. Nasi di piringnya sudah tandas. Yang tersisa hanya potongan timun di pinggir piring. Seketika aku mengalihkan pandangan ke jalanan. Tak mau kedapatan memandanginya.
“Egois, kan?” dia agak sebal karena aku tak kunjung mengiyakan. Sedikit merengut. Betapa rupawannya. Ah!
“Aku tidak percaya alasannya karena bosan. Pasti ada alasan lain. Pasti!” Dia masih tidak terima warung ini akan tutup.

Keringatnya masih menetes satu dua. Aku tak hendak memberikan tisu. Biar. Begitu lebih enak dipandang.

Lalu, yang terjadi adalah adegan yang kutunggu-tunggu: dia menaruh rokok di bibirnya. Satu tangannya menyalakan korek api. Tangannya yang lain melindungi api dari angin. Satu dua tiga. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Dan…keluarlah asap rokok yang kusukai itu.

“Iya. Sangat egois. Persis seperti aku, kan?” akhirnya aku bersuara. “Dan sebagai sesama orang egois dan mudah bosan, aku memahami pilihannya.”

Dia menungguku melanjutkan kata-kata.

Orang kan berhak menentukan pilihannya masing-masing, kataku. Jawaban khas orang egois, dia bilang. Lalu kami bersikukuh pada pendapat masing-masing.

Sudah kubilang, hanya sambal lezat itu yang mampu membungkam mulutku dan dia. Bagaimana kalau warung pemilik sambal lezat ini tutup?

“Jadi kamu rela warung ini tutup selamanya? Kamu rela kehilangan sambal terlezat di dunia?” dia menggugat. Aku diam saja.

Lebih dari dia, lebih dari dari siapapun, aku adalah orang yang paling sedih mengetahui warung ini akan tutup selamanya. Ini bukan perkara sambal terlezat sedunia. Bukan. Kau jelas tahu ini perkara apa.

Ah!

Saturday, October 17, 2015

pohon-pohon talok

Awalnya adalah rekomendasi dari seseorang yang sangat mengagumi Arswendo Atmowiloto. Saya menanyakan buku apa yang kira-kira bisa dibaca sambil santai-santai. Dia bilang, 3 Cinta 1 Pria. Tanpa pikir panjang, saya langsung memburu buku itu. Dan, di sana saya menemukan pohon ini disebut. Tak hanya sekali. Berkali-kali. Berulang-ulang. Hingga sangat intens.

Dalam buku 3 Cinta 1 Pria itu, sang tokoh utama adalah seorang yang tergila-gila dengan pohon talok. Ia pun membudidayakan. Memeliharanya. Mencintainya.

Saya sendiri menyebutnya ‘pohon keres’. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut ‘kersen’, sedangkan nama latinnya adalah Muntingia calabura. Saya rasa, pohon ini tumbuh dengan sendirinya, di sembarang tempat. Mungkin 'bibit'nya disemai burung-burung. Jika muncul ke permukaan tanah, ia tak dimusnahkan, tapi juga tak dirawat. Hingga tau-tau tumbuh menjulang dengan daun hijau lebat. Tidak ada orang yang dengan sengaja menanamnya. Setidaknya, sampai sejauh ini saya belum berjumpa atau mendengar cerita ada orang yang dengan sengaja membudidayakan pohon ini. Ya, terkecuali Bong tentu saja, tokoh dalam 3 Cinta 1 Pria.

Bagi saya pohon ini adalah pohon yang istimewa. Ia tak butuh perawatan khusus untuk bisa menghasilkan buah yang menggiurkan itu: hijau kala masih mentah, hijau kekuningan kala beranjak matang, merah kalau matang, dan merah gelap kalau terlalu matang. Dulu, buahnya yang masih mentah biasa saya gunakan untuk pasaran, masak-masakan.

Tak hanya memakan buahnya, bagi saya, memainkan daunnya adalah kegembiraan tersendiri. Dulu, waktu masih di sekolah dasar, daun-daun keres yang muda biasa saya letakkan di sela-sela buku tulis putih bergaris-garis itu. Lalu ditekan kuat-kuat. Dalam beberapa hari akan membentuk pola daun yang indah. Daun yang masih muda akan memberi warna terang, hijau kekuningan. Kalau mau bermain gradasi bisa ambil yang agak tua, tapi biasanya sulit meninggalkan jejak di kertas.

Di Jogja, saya heran mengapa banyak buah keres/talok yang dibiarkan jatuh berserakan. Apalagi kalau musim hujan. Buahnya yang matang begitu gemuk-gemuk. Saya tidak pernah mendapati anak-anak yang antusias bermain atau memanjat pohon ini. Saya curiga, jangan-jangan orang Jogja tidak tahu kalau buah ini bisa dimakan dan rasanya manis. Atau, mereka tahu kalau buah ini bisa dimakan, tetapi sengaja membiarkannya untuk makanan burung. Ah, sial. Boleh saja sih buat makanan burung, tapi, sebagai penggemar buah talok, saya begitu sakit hati melihat buah-buah ini bertebaran tanpa ada yang memungutnya :(

Di sekolah vokasi UGM, ada setidaknya tiga pohon talok yang—subhanallah—buahnya banyak banget! Tapi, saya bersedih untuk ketiga pohon itu. Buahnya yang merah gemuk itu merana. Bertebaran di tanah, tak ada yang berhasrat mencaploknya. Saya juga bersedih untuk diri saya sendiri, yang hanya bisa memandang dengan gemetar. Ingin memanjatnya tapi dihadang rasa malu dilihatin mahasiswa saya. :(

Pohon ini begitu kuat menyimpan memori masa kecil saya. Tapi ia tak sendiri. Ia punya teman yang lain, pohon murbei, pohon juet, cerme, kecacil, ciplukan (kalau bisa dikatakan pohon).

Mungkin saya tak seperti Bong yang memperlakukan pohon talok bagai seorang kekasih. Menghayatinya sampai ke kedalaman. Tapi, saya cukup senang, momen-momen berharga dalam hidup saya pernah hinggap di pohon ini. :)

sepuluh bulan merindu

Halo,
Sudah sepuluh bulan aku mengabaikanmu. Sebenarnya gak mengabaikan banget sih. Kamu sesekali kukunjungi. Jelas aku gak kuat menahan rindu. Tapi ya itu, aku gak pernah ngirim tulisan di sini. Hehe. Maap.

Seumpama bayi dalam kandungan, dalam tempo sepuluh bulan itu kamu sekarang sudah mbrojol. Tapi kamu kan bukan bayi. Kalaupun bayi, kamu adalah bayi yang kurang nutrisi. Maap sekali lagi, ada bayi lain yang sedang menguras perhatianku. Kamu tau lah itu. Dan alhamdulillah, sudah mbrojol dengan sehat dan bahagia.

Oke, banyak hal yang terjadi selama sepuluh bulan aku merinduimu. Perjalanan, pelajaran, peristiwa-peristiwa yang rasanya tak masuk akal, berbagai kejutan, gelombang-gelombang perasaan, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Semuanya kucecap, kuserap. Dan aku, tentu saja, akan membaginya denganmu. Nanti, pelan-pelan.

:)

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...