Monday, April 25, 2016

di kedai yang lampunya terang, pada malam yang tak panjang

untuk Jogja yang kusayangi

Sepanjang ingatanku, tak pernah aku mendapati pandangan mata seperti malam ini. Pandangan mata yang aku sendiri tak sanggup menantangnya.
Beberapa saat lamanya kami hanya saling diam. Aku membolak-balik daftar menu. Dia bertanya, minuman apa yang sering kupesan di kedai ini. Aku menunjuk salah satu jenis minuman. Dia pun memesan itu. Aku memilih minuman dan makanan yang belum pernah kupesan.

Kemudian kesenyapan yang panjang. Lagi. Aku memalingkan muka. Masih belum sanggup menantang pandangan matanya. Di sebelah kami, ada seorang anak muda, sendirian, sedang sibuk dengan laptop dan tumpukan kertas. Headset terpasang di telinganya. Segelas jus dan sepiring kentang goreng juga ada di mejanya. Barangkali ia sedang mengerjakan tugas kuliah.

Dia yang di sampingku masih terus menatap. Hingga akhirnya…

Kenapa begitu mendadak? dengan nada yang terlalu rumit untuk dideskripsikan.

Maaf, ya. Jawabku kemudian.

Aku tahu aku harus mengakhiri suasana yang mendadak sentimentil ini. Aku lalu mengingatkannya kembali pada hal-hal gila yang pernah kami lakukan. Dulu sekali. Dia tersenyum. Aku sedikit lega.

Kamu memang gila!
Hahaha..

Minuman dan makanan yang kami pesan datang. Anak muda tadi beranjak dari duduknya. Mengemasi barang-barangnya. Pergi. Aku yakin sekali dia tadi mendengarkan obrolan kami.

Yang kemudian keluar dari mulutnya adalah hal-hal yang selama ini tak pernah kusangka. Beberapa hal yang diungkapkannya membuatku tercekat. Dia tahu riwayatku. Tanpa aku harus memberitahunya. Tanpa ada celah untukku membantahnya.

Aku paham kenapa dia memilih malam ini untuk mengungkap itu semua. Tak akan ada kesempatan lagi seperti malam ini. Kupertegas: tak akan ada lagi. Malam-malam panjang sepekan sekali selama lebih dari delapan tahun harus berakhir malam ini.

Aku masih beruntung bisa bertemu dengannya. Sejak sore hujan turun deras sekali dan baru reda beberapa saat yang lalu. Tapi, jikapun hujan tak reda, malam ini aku harus bertemu dengannya. Jadi, kesempatan ini harus kugunakan sebaik-baiknya. Akan kukatakan apa yang selama ini hanya tersimpan di benak.

Terima kasih, ya.

Akhirnya aku mengucapkannya. Aku tidak tahu kata lain selain terima kasih. Aku tidak tahu apa jadinya aku jika tak dipertemukan dengannya. Aku juga ragu perjalananku ada maknanya jika tak bertemu dengannya. Maka, terima kasih adalah satu-satunya kata yang sanggup kuberikan padanya. Aku jelas tak sanggup memberikan seperti apa yang sudah diberikannya padaku.

Dia tersenyum. Aku pun.

Beberapa saat lamanya kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dalam pikiranku berkecamuk serangkaian kemungkinan, harapan, juga kecemasan. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya.

Lalu dia menanyakan sesuatu yang kujawab hanya dengan helaan nafas panjang. Dan pandangan mata itu terbit lagi. Deg!

Waktu berlari begitu cepat. Secepat detak jantungku. Tiba-tiba saja sudah lewat tengah malam. Satu-satunya mukjizat yang kuinginkan saat ini adalah kemampuan menghentikan waktu. Malam ini saja. Tolong!

Dia memberi isyarat agar kami segera beranjak. Aku bilang, sebentar. Aku ingin memenuhi ingatanku dengan warna bola matanya (ya, akhirnya aku berani menatapnya), alisnya yang bagus, tulisan-tulisan di kaosnya, potongan rambutnya, jumlah puntung rokok di asbak, makanan dan minuman yang belum tandas, meja berkaki pendek, juga lampu-lampu. Aku ingin menghirup dalam-dalam campuran parfum, asap rokok, dan bau tanah sisa hujan ini hingga paru-paruku penuh. Lalu membungkus dan menaruhnya di 2046 ciptaan sutradara genius Wong Kar Wai.

Dia masih di sampingku, tapi rasanya aku sudah sangat merindukannya. Sialan! Aku dikepung perasaan-perasaan sentimentil semacam ini.
Di luar, aku bisa melihat angin menggoyangkan daun-daun mangga. Kami pun beranjak meninggalkan kedai yang lampunya terang ini.



Tuban-Surabaya, Februari-April 2016

Wednesday, April 20, 2016

senin sore di kepalamu yang ditopang tangan kanan

pada satu Senin di meja kerjamu yang penuh
tumpukan kertas, beberapa alat tulis, kalender duduk, foto, dan setangkai bunga plastik,
tak ada yang lebih kau damba tinimbang tubuhmu
tenggelam dalam busa sabun yang melimpah dan beraroma jeruk juga
aroma shampo yang mengingatkanmu pada kekasih
yang jauh
kalut dan amarah berterbangan dan menclok
di langit-langit kamar mandimu
menempel tak terlalu kuat dan dalam hitungan menit bermetamorfosis
jadi kupu-kupu yang tampak lucu

setelahnya, perlahan kau rebahkan
kantuk pada kasur dengan seprai bermotif daun teh
membawamu melayang-layang sebentar di sebuah perkebunan yang berkabut

hmmm,
di meja kecil itu, lagulagu sendu—yang menyala 24 jam—membantumu mengatupkan pelupuk.


Surabaya, April 2016

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...