tag:blogger.com,1999:blog-67486048752659060302024-03-18T10:03:34.757+07:00aku tidak tahu apa nasib waktuAnis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.comBlogger189125tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-61854407708182800432023-12-03T11:46:00.001+07:002023-12-03T11:46:29.130+07:00Jatuh Cinta Seperti di Film-Film <p> Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya. </p><p>Kamu sudah nonton <i>Jatuh Cinta Seperti di Film-Film</i>?</p><p>Aku sudah. Dua kali di bioskop. </p><p>Setelah nonton film ini, aku ngebayangin bisa ngobrol-ngobrol sama kamu. Ngobrolin film ini. </p><p>Kalau kamu belum nonton, gih nonton dulu. Keburu hilang dari bioskop. </p><p>Kalau udah nonton tapi nggak mau ngobrol juga nggak papa kok. </p><p>Aku masih mau nonton film ini lagi kalau nanti udah muncul di platform streaming. </p><p>:') </p>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-54371031187259344352021-01-18T10:51:00.004+07:002021-01-18T10:51:33.766+07:00Senin, Kunyit Asem, dan Ubi Cilembu<p> Saya sedang di meja kerja saya, ditemani secangkir kunyit asem hangat dan ubi cilembu kukus. Awal-awal pandemi saya rajin minum jamu, bikin sendiri. Belakangan agak jarang karena malas bikinnya. Mau beli online malas sampah-sampah botolnya. </p><p>Biasanya, pagi-pagi saya minum kopi bikinan suami, tapi karena kopi lagi habis dan saya butuh asupan minuman hangat, jadilah bikin kunyit asem saja. Kunyit, asem, sereh, dan gula jawa saya rebus sampai mendidih. Lalu disaring. Saya bikin agak banyak sekalian nyetok, diminum dingin enak juga soalnya. </p><p>Ubi cilembu kukus tadinya sebagian mau saya bikin bola-bola kopong yang enak itu, tapi ini sudah tinggal beberapa potong. Haha. Saya dan suami doyan banget si ubi ini. </p><p>Oke, semoga kerjaan hari ini beres! </p><p>Oya, saya sudah mandi setelah kemarin nggak mandi. Hehe. </p>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-49644357151267737882021-01-14T10:42:00.001+07:002021-01-14T10:53:53.353+07:00Dimsum Ala-ala <p> </p><p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Ceritanya kemarin saya agak sukses bikin dimsum. Ini
percobaan kedua. Beberapa bulan lalu saya sempat bikin, tapi rasanya gak sip.
Kulitnya agak keras dan entah mengapa rasanya agak pahit. Mungkin karena kulitnya bukan
khusus untuk yang dikukus atau direbus, tapi buat yang digoreng. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Beberapa minggu lalu, saya nemu tuh kulit yang
khusus buat direbus. Langsung masuk keranjang deh. Tapi saya tak kunjung bikin
dimsum juga. Masih agak kebayang kegagalan dimsum pertama. Tapi sayang juga kalau si kulit tak segera diberdayakan, khawatir kadaluarsa juga sih. Nah, kebetulan kemarin agak malas masak, tapi kelaparan. Yasudah, bikin dimsum aja,
mumpung ada stok ayam di kulkas. Btw, saya jarang banget nyetok ayam, lebih
sering ikan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Ayam saya potong-potong (dagingnya saja, hilangkan kulit) lalu
saya blend bareng dua siung bawang putih. (Hasilnya lebih bagus giling sendiri
gini ternyata dari pada beli yang udah gilingan). Masih di blendernya (pakai blender
daging, bukan blender bumbu atau buah), saya masukin tapioka, telur ayam
kampung (karena saya alergi telur yang biasa), saus tiram, minyak wijen, sejumput
garam, sedikit lada bubuk, daun bawang cincang, dan seperdelapan labu siam yang
sudah diparut halus. Labu siam ini berfungsi mengempukkan adonan, tapi jangan
kebanyakan biar rasanya gak dominan. Aduk sampai rata. Untuk bahan-bahannya, saya
gak pakai takaran, cukup pakai perasaan aja. Udah terlatih. Hehe. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">(Oya, ini blender yang versi pisau mengulirnya bisa
dicopot. Saya ngaduk adonan di situ biar gak banyak tempat kotor aja)<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Nah, setelah adonan tercampur dengan baik, baru saya
taruh di kulit si dimsum. Ini bagian yang paling nyebelin. Saya gak bisa rapi.
Hasilnya meleot-meleot gak jelas. Agar terlihat agak indah, atasnya saya beri
parutan wortel dikit. Setelah selesai, kukus. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Kira-kira tiga puluh menit kemudian, dimsum sudah siap
disantap.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhktGGzx2SqNHsqgSq5JOhLytFg1y9vSNG49aKuQSKERgz4il28RrbWyQBHK7FJqTdAQzsm9HqQsMvd1W4ueF4eWns9QLMgsUaGeiJSCcJY-w5H_Y8oM8_pCZ2KGxqymxak84bqYETANqc/s1600/1610596426034968-0.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhktGGzx2SqNHsqgSq5JOhLytFg1y9vSNG49aKuQSKERgz4il28RrbWyQBHK7FJqTdAQzsm9HqQsMvd1W4ueF4eWns9QLMgsUaGeiJSCcJY-w5H_Y8oM8_pCZ2KGxqymxak84bqYETANqc/s1600/1610596426034968-0.png" width="400">
</a>
</div><br></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Dan gak ada sepuluh menit, sudah tandas tak bersisa hahaha. Komentar
suami: enak banget! <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Berhubung adonannya masih agak banyak dan kulitnya
habis (saya nyesel kenapa cuma beli sebungkus), saya tambahin tapioka, sedikit
terigu, dan garam. Saya bentuk bulet-bulet, lalu direbus. Jadilah bakso ayam
ala-ala. Ludes juga dalam sekejap. Enak dan lapar 😁<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></p>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-2149755256758137332021-01-07T11:48:00.001+07:002021-01-07T11:48:59.795+07:00Ruang yang Lain <p> </p><p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Sejak tadi pikiran saya berkelana ke perpustakaan UGM. Saat ini
saya ingin sekali berada di sana. Seharian di sana. Pulang malam saat sudah
mulai sepi dan lampu-lapu taman menyala kuning. Saya sedang banyak pekerjaan
dan bosan dengan meja kerja saya </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Segoe UI Emoji",sans-serif; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-font-family: Cambria; mso-char-type: symbol-ext; mso-hansi-font-family: Cambria; mso-symbol-font-family: "Segoe UI Emoji";">☹</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;"> <o:p></o:p></span></p>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-25443823765319983362021-01-05T13:24:00.004+07:002021-01-05T13:24:46.652+07:00Seperti Julie dan Julia <p><span style="font-family: Cambria, serif;">Semalam saya menonton ulang </span><i style="font-family: Cambria, serif;">Julie & Julia </i><span style="font-family: Cambria, serif;">yang
dibintangi Meryl Streep dan Amy Adams</span><i style="font-family: Cambria, serif;">, </i><span style="font-family: Cambria, serif;">sebuah film tentang dua perempuan
beda zaman yang gemar memasak. Julia, pada beberapa dekade yang telah lalu,
membuat buku resep masakan Prancis untuk orang Amerika yang kemudian diaplikasikan
oleh Julie. Julie membuat menargetkan dirinya memasak semua resep yang ada di
buku itu selama satu tahun sambil menuliskan prosesnya di blog pribadi. Oya, film
ini didasarkan pada kisah nyata.</span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Saya tidak berambisi untuk melakukan apa yang telah dikerjakan
dengan begitu antusias oleh Julie. Saya cukup bahagia melihat orang-orang yang
melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan antusias. Apa pun jenis kegiatan
atau pekerjaannya. Sesepele apa pun orang lain menilainya, ia tak peduli.
Hal-hal semacam itulah yang sering membuat hati saya hangat. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Julie dan Julia beruntung sekali punya pasangan hidup
yang mendukung kegemarannya memasak. Para suami itu menganggap masakan istrinya
adalah sebuh karya dan apa yang istrinya perbuat sangatlah berarti. Mereka
sangat bangga. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Di Youtube, saya menemui yang seperti itu juga. Cek saja
akun Dapur Dina. Ini adalah akun yang saya andalkan saat saya bingung mau masak
apa. Resep Ibu Dina rata-rata mudah dibuat. Saya belum pernah gagal saat
mencoba resepnya. Ketika Ibu Dina memasak, suaminya merekam. Mereka sering
mengobrol tentang masakan itu. Setelahnya, mereka makan bareng. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria",serif; mso-ansi-language: EN-US;">Saya tadi mencoba satu resep Bu Dina, soto sayuran. Ya
ampun bumbunya sederhana banget dan rasanya enaaaaaaak. Saya biasanya gak suka buncis, tapi dimasak seperti itu jadi doyan banget. Itu membuat saya
bahagia dan memberi energi untuk mengerjakan koreksian yang oh wow banyak
sekali!<o:p></o:p></span></p>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-44597672918236872902021-01-01T22:23:00.001+07:002021-01-01T22:23:41.060+07:00Mengawali 2021 dengan Sayur Asem dan Cumi Asin2021 pagi agak mendung. Saya bangun kesiangan. Cepat-cepat saya menjemur pakaian yang semalaman sudah saya rendam dengan softener soklin. Musim hujan begini mencuci pakaian tak cukup dengan deterjen. Softener soklin akan mengamankannya dari bau apek karena pakaian tak cepat kering. <div><br></div><div>Hari ini rencananya saya mau bersih-bersih rumah dan menyingkirkan barang-barang tak terpakai. Untuk itu, saya harus memasak dulu agar nanti bisa langsung makan kalau lapar sehabis capek beres-beres. </div><div><br></div><div>Saya mau masak sayur asem dan cumi asin. Mantap. </div><div><br></div><div>Saya beli sepaket sayur asem di warung. Sayur asem di Jogja beda dengan sayur asem jawa timuran. Perbedaannya pada bahan paling dasar, asam jawa. Jatim pakai asam jawa mentah, jogja pakai asam matang. Di jogja gak ada yang jualan asam mentah. Hiks. Sebenarnya bisa juga diganti belimbing wuluh, tapi di tempat saya tinggal jarang sekali ketemu si belimbing kecut itu. Huh. </div><div><br></div><div>Tapi gak papa, saya suka juga dengan sayur asem ini. Oya, satu lagi, sayur asem jogja juga isian sayurnya lebih beragam, ada daun dan kulit mlinjo, kacang tanah, terong, labu siam, kacang panjang, dan jagung. Kalau ibu saya tahu bisa diketawain karena itu aneh banget (awal-awal ke jogja saya juga ketawa kok jagung dibikin sayur asem). Sayur asem jatim biasanya hanya satu atau dua jenis sayuran. Kalau saya pulang kampung, saya pasti minta dimasakin sayur asem. Kesukaan saya sayur asem daun ubi. Surgawi betul. </div><div><br></div><div>Nah, sekarang saya akan membuat sayur asem versi lain ini. Bumbunya sederhana saja. Duo bawang, lengkuas, cabe, kunyit, daun salam, asam, garam. Udah gitu aja. Bisa ditambahi penyedap rasa kalau suka. Saya gak pakai. </div><div><br></div><div>Lalu saya bikin cumi asin. Bumbunya gak jauh beda dengan sayur asem, minus kunyit tapi ditambahin jahe. Plus irisan tomat hijau dan cabai hijau keriting yang banyak. </div><div><br></div><div>(Harusnya di sini disisipi foto, ya. Tapi saya lupa motret tadi 😁)</div><div><br></div><div>Dan ternyata saya makan dulu sebelum bersih-bersih rumah. Hehe. Udah gak kuat mau nyendok cumi asinnya barengan nasi anget. </div><div><br></div><div>Aduhai rasanya mantap coy. Pedes asin asem seger! Lidah dan perut saya bahagia 😋</div><div><br></div><div>Sementara itu, suami saya masih tidur nyenyak dan saya nggak mau mengganggu ketenteramannya 😊</div><div><br></div><div>Hai, halo 2021! </div><div><br></div>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-35440968881129870802020-12-30T13:33:00.004+07:002020-12-30T13:56:29.221+07:00Memasak untuk Berdua Semenjak pandemi, kemampuan saya dalam memasak meningkat tajam. Awalnya memang dipaksa keadaan yang tidak memungkinkan atau was-was keluar rumah demi sebungkus makanan. Gofood sesekali sih gak papa. Tapi kalau tiga kali sehari kan ya boros. Apalagi sampah bungkus makanannya. Hadeeeh. <div><br /></div><div>Daripada repot, lebih mudah kalau memasak sendiri. Belanja bumbu, lauk, dan sayuran seminggu sekali. Taruh lauk dan sayuran itu di food container, lalu masukkan kulkas. Bahan makanan akan tahan lebih dari seminggu. Aman. </div><div><br /></div><div style="text-align: left;">Dua minggu pertama memasak, saya sering sekali mantengin resep masakan di youtube. Kebanyakan masakan rumahan dan gak ribet. Selebihnya, saya eksplorasi sendiri, baik bahan maupun bumbu. Sering berhasil. Pernah gagal meski gak gagal banget. Hehe. </div><div><br /></div><div style="text-align: left;">Lama-lama, saya menikmati kegiatan memasak ini. Rasanya sangat ajaib mengolah bahan yang mentah menjadi matang. Apalagi kalau masakan kita dimakan dengan lahap oleh orang yang kita sayangi. Sampai sekarang jawara masakan saya masih dipegang oleh mie ayam. Bayangin, saya bisa bikin mie ayam enak (versi lidah saya)ala abang-abang gerobakan. Mantaplah pokoknya. </div><div><br /></div><div>Sekarang, setelah berumah tangga, saya jadi juru masak. Karena suami tidak bisa memasak, dia memilih mencuci piring dan peralatan dapur yang kotor. Sip. Adil. </div><div><br /></div><div>Kok saya merasa memasak untuk diri sendiri agak berbeda dengan memasak untuk orang lain, ya. Ada perasaan khawatir kalau-kalau masakan saya tak cocok untuk lidahnya. Lidah saya Jawa Timur sentris, sedangkan suami sih lebih adaptif. Seharusnya, tidak ada masalah. Awal-awal, saya agak nggak pede. Untungnya, suami selalu makan dengan lahap apa pun yang saya sajikan. Entah beneran enak, entah sekadar melapangkan hati saya. </div><div><br /></div><div>Tentu, ada makanan kesukaan saya yang ia tak suka. Begitu juga sebaliknya. Sayur asem dan asem-asem bandeng, misalnya. Saya sukaaaaaaa bangeet sayur asem jenis apa pun. Sedang suami kurang suka makanan yang rasanya asem. Padahal kan seger banget! Biasanya, kalau gak banyak kerjaan, saya akan masak dua menu. Sayur asem untuk saya dan cah kangkung untuknya. Dia suka sekali cah kangkung.
Ada juga makanan yang awalnya saya gak suka, tapi karena suami ingin dan saya memasaknya, saya jadi ikutan suka. Jangan Lombok Ijo, misalnya. </div><div><blockquote style="border: none; margin: 0 0 0 40px; padding: 0px;"><div style="text-align: left;"><br /></div></blockquote></div><div>Selesai memasak, begitu saya bilang makanan siap, suami langsung menyiapkan nasi di piring dan menatanya di meja makan. Itu kebiasaannya. Terlebih dulu ia akan bertanya, “sedikit, lumayan, banyak?” Saya hampir selalu menjawab, “Lumayan banyak.”
Saya senang melihatnya makan. Sambil makan, kami biasa mengobrol ringan. Tentang apa saja. Kadang saya juga minta komentar dan penilaian untuk masakan saya. </div><div><br /></div><div>“Besok mau dimasakin apa, Sayang?”</div>Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-69050549787975383272020-12-27T10:45:00.001+07:002020-12-27T10:45:26.781+07:00Halo!Lama sekali gak nulis di sini. Saya mengelola blog baru sih, jadinya jarang main ke sini. Hehe. Mau nulis di sini lagi ah! Yang ringan-ringan aja, seputar keseharian dan rumah tangga yang ada bahagianya, ada juga sedih-sedihnya. Seimbang.
Well, semoga bisa nulis minimal sebulan sekali. Sampai jumpa lagi, ya 😊
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-54264801947393700072020-07-03T09:51:00.000+07:002020-07-03T10:43:09.275+07:00Setelah Makan Malam dan Membaca Blog Teman<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOFMACk-9k7xhC2Iy99kTFzqhLe7El8t9u8g5aXj6-VUIi1CSyBotP775DVH2MZTYODGYvqXmtcqHWOVvkyLdI3mngREFLfyP_KBhoJg3aOpVSX4VnA793f-GKyO97BLmZzT7gyuLErvw/s1600/_DSF6508.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOFMACk-9k7xhC2Iy99kTFzqhLe7El8t9u8g5aXj6-VUIi1CSyBotP775DVH2MZTYODGYvqXmtcqHWOVvkyLdI3mngREFLfyP_KBhoJg3aOpVSX4VnA793f-GKyO97BLmZzT7gyuLErvw/s400/_DSF6508.JPG" width="400" height="267" data-original-width="1600" data-original-height="1067" /></a></div><br />
Saya baru saja makan malam dengan sambal terasi, lalapan kemangi, ikan tengiri goreng, kerupuk, dan sepiring nasi (tapi nambah lagi agak banyak). Sambil makan, saya nyambi membaca (oh kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan) blog teman lama. Saya senang membaca blog orang lain. Beberapa minggu lalu saya membaca hampir semua postingan di blog seorang pelukis hebat Indonesia. Lukisannya keren, tulisannya juga mengalir lancar. Bikin iri saja.<br />
<br />
Saya tak sengaja mencari blog si teman lama. Awalnya dari caption instagramnya yang menautkan blognya. Iseng, saya mengklik. Jadilah saya membaca beberapa tulisan di sana. Sambil melalap sambal terasi kemangi. Nikmat di lidah bertambah-tambah ketika tulisan-tulisan yang saya baca cukup menghanyutkan. Dan karena tulisan-tulisannya itulah saya jadi ingin menulis di sini (setelah sekian lama tidak). <br />
<br />
Blog itu ringan saja isinya: kisah hidup sehari-hari, sambatan, dan mimpi-mimpi yang berlalu. saya paling suka saat dia bercerita tentang pergulatannya sebagai single mom dengan tiga anak. Yang saya sukai, ia tidak menampilkan diri sebagai sosok yang harus selalu bersemangat dan bersyukur. Nein. Ia menulis apa adanya, ia sambat, ia merenung. Ia menceritakan kehidupannya sebagai ibu yang tidak sempurna, sebagai manusia yang selalu bertumbuh. Kadang bijak, kadang liar. Hehe.<br />
<br />
Sebenarnya saya baru sekali bertemu dengannya. Kalau tidak salah, itu Sabtu sore di bonbin karena dulu saya punya rutinitas menghabiskan Sabtu di bonbin. Saya sudah agak lupa kami ngobrol apa saja. Yang masih saya ingat, waktu itu bercerita akan kembali ke Malang. Berat tapi harus. Apa sebabnya, saya tak tahu. <br />
<br />
Setelah obrolan sore di bonbin itu, kami tak pernah bertemu lagi. Selanjutnya kami sesekali saling menyapa melalui media sosial. Saya tahu dia punya tiga anak pun dari akun media sosialnya. <br />
<br />
Beberapa tulisannya sering membuat saya melongok relasi saya dengan ibu. Saya sering berbeda pendapat dengan ibu saya. Tapi sekuat tenaga saya tidak mendebat dengan sengak. Lebih sering saya mendebat dalam batin atau menjalankan aksi diam karena beliau penganut paham “membantah orang tua adalah durhaka dan durhaka jelas dosa besar”. Itu membuat saya berkukuh: kelak, jika punya anak, saya tidak ingin menjadi ibu seperti itu. <br />
<br />
Dalam kebodohan dan pikiran gelap saya, saya sering menyalahkan ibu saya atas sifat-sifat yang berdiam dalam diri saya sampai saat ini. Sejak kecil saya pasti melihat, menyerap, dan mencontoh sikapnya dalam menghadapi berbagai hal. Apa yang terekam oleh indera saya itu pada akhirnya sedikit banyak membentuk karakter saya. Iya, setelah saya amat-amati, saya merasa beberapa karakter saya (yang saya benci) diturunkan oleh ibu saya. Atau, didikan beliaulah yang membuat luka masa kecil saya sulit hilang dan ketakutan-ketakutan masa lalu masih sering menghantui.<br />
Membaca tulisan teman saya itu, saya jadi berpikir bolak-balik. <br />
<br />
Saya paham bahwa menjadi ibu itu berat. Di luar percekcokan saya dengan ibu saya, saya bersyukur sekali punya ibu seperti ibu saya. Saya tahu, beliau sangat menyayangi saya. Beliau memperjuangkan dengan sungguh-sungguh pendidikan saya. Saya tidak menuntutnya menjadi ibu yang sempurna versi saya. Tidak. Apa-apa yang menjadi keputusannya pasti dilatarbelakangi juga oleh sejarah hidupnya. Beliau berhak mengambil sikap sesuai prinsip hidupnya.<br />
<br />
Saya jarang sekali menceritakan keluarga dan relasi saya dengan mereka. Entah mengapa saya ingin menulis ini. Mungkin saya sekarang sedang merindukan ibu saya. Yang pasti, saya merindukan masakannya. Hehehe. Saya kerap membuat masakan yang beliau masak, tapi sial sekali rasanya tak pernah bisa sama. Mendekati pun tidak.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-76540786009317166052020-04-08T10:22:00.000+07:002020-07-03T10:53:32.422+07:00E.S. Ito<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgb-cs3uQ-0HP-jITiskJrY_gLSZMotBbBXIzKzkR2UI6YJHSxnEqDyYhVRflHUCOLSXQvq7BSCof6Pvtigqr3xps1ZZkvROOf4J2mpAvlioLA5jsLzmESKtOSMNShIQwWKQKuGBn8huxE/s1600/_DSF6376.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgb-cs3uQ-0HP-jITiskJrY_gLSZMotBbBXIzKzkR2UI6YJHSxnEqDyYhVRflHUCOLSXQvq7BSCof6Pvtigqr3xps1ZZkvROOf4J2mpAvlioLA5jsLzmESKtOSMNShIQwWKQKuGBn8huxE/s400/_DSF6376.JPG" width="400" height="267" data-original-width="1600" data-original-height="1067" /></a></div><br />
Sudah lama saya menunggu karya terbarunya. Dulu saya mendengar kabar kalau dia akan menulis novel tentang Nusantara awal abad 19 (?). Pasti menarik dan mendebarkan jika ia yang menuliskannya. Biasanya, saya tertarik pada sebuah cerita karena gaya bercerita si penulis, cara ia menuturkan kisah. Namun tak demikian pada E.S Ito. Jika dilihat dari gayanya bercerita, masih banyak penulis lain yang lebih bagus, meski Ito juga sering menyisipkan dialog-dialog cerdas. <br />
<br />
Saya suka cerita-cerita E.S Ito karena tokoh-tokoh yang dihadirkan. Sejak buku pertama, <i>Negara Kelima</i>, dilanjut buku kedua, <i>Rahasia Meede</i>, selalu ada tokoh ideal yang saya rasa mewakili suara-suara dan idealisme Ito. Bukan tokoh tampan nan baik hati, tentu saja. Tapi rebel, jenius, dan prinsipil idealis. Dari dua novelnya itu, ia selalu terkonsentrasi pada persoalan militer, kebobrokan dan keruwetannya. Mungkin ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Kalau tidak salah, Ito lulusan Taruna Nusantara. <br />
<br />
Maka, saya berbahagia sekali karena beberapa hari lalu tahu dari cuitan seseorang kalau Ito membuat sebuah film seri! Sebagai penggemar yang menunggu-nunggu karya terbarunya, saya menyesal karena baru tahu. Padahal film seri itu sudah sejak tahun lalu. Sebelumnya Ito juga pernah menulis skenario untuk film Republik Twitter. Dialog-dialognya asyik sekali. <br />
<br />
Di filmnya kali ini, <i>Brata</i>, Ito kembali mengulik dunia yang tak jauh-jauh dari militer: kepolisian Republik Indonesia. Tentu saja ia memunculkan tokoh ideal seperti yang saya singgung. Rebel, jenius, prinsipil idealis. Bayangkan, polisi rebel sedikit arogan, nggak kenal kompromi. Apalagi diperankan Oka Antara. Sumpah bikin meleleh wkwkwkwkwkwk. Saya nggak suka polisi sih, tapi saya suka polisi yang diperankan Oka Antara itu. Kalau penonton film ini adalah juga pembaca novel-novel Ito, mereka tidak akan asing dengan sosok Brata. Ia mirip sekali dengan tokoh Timur Mangkuto dalam novel <i>Negara Kelima</i>. <br />
<br />
Film ini punya bangunan cerita yang kukuh dan matang. Didukung juga oleh pemain-pemain yang mumpuni. Saya senang ada serial dengan mutu yang bagus seperti ini. Cukup mengurangi tekanan mental pada saat-saat seperti ini. Kalau lagi badmood tinggal mantengin sosok Brata. Dijamin senyum-senyum aja bawaannya hahahahaha.Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-29779515485600376192020-04-07T09:41:00.000+07:002020-07-03T11:02:25.688+07:00Waras<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtqSEWKXT4GVm4IkSPve7DVkzMiSCfYQurdNc9vJXUkRPDdS1vSbWf50xzqiROYSS7Qo_L_mmzR5cWPtds9_Abgz8gLHNa5zOR6TXCr64SwR8QTX8BMvE84Vm8L_nyjHFYkzEASvlOciw/s1600/_DSF6494.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtqSEWKXT4GVm4IkSPve7DVkzMiSCfYQurdNc9vJXUkRPDdS1vSbWf50xzqiROYSS7Qo_L_mmzR5cWPtds9_Abgz8gLHNa5zOR6TXCr64SwR8QTX8BMvE84Vm8L_nyjHFYkzEASvlOciw/s400/_DSF6494.JPG" width="400" height="267" data-original-width="1600" data-original-height="1067" /></a></div><br />
Saat menulis ini, saya sedang duduk di belakang meja kerja saya yang nyaman. Petikan piano Yiruma menjadi latar belakang yang merdu. Seharusnya ini menjadi pagi yang sempurna. Pikiran masih fresh untuk diajak bekerja. Kebetulan banyak tugas mahasiswa yang belum saya periksa. Tapi, beberapa hari ini rasanya otak saya tidak mau diajak berpikir. Bahkan untuk menuliskan hal-hal sederhana pun rasanya malas sekali. <br />
<br />
Hampir empat minggu sejak pihak kampus memberi kebijakan bekerja dari rumah, praktis saya nggak ke mana-mana dan memang tidak boleh ke mana-mana. Sebagai orang rumahan yang betah ngendon di kamar berhari-hari, bahkan sering malas bertemu manusia, saya menyambut kebijakan itu sebagai anugerah. Saya merasa lebih fokus dan produktif bekerja dari rumah. Tidak banyak distraksi seperti di kantor. Kuliah pun lancar. Saya menggunakan video conference zoom, webex, dan aplikasi google classroom. Nggak ada masalah. Saya juga jadi punya lebih banyak waktu untuk melamun dan merawat tanaman-tanaman saya. <br />
<br />
Namun, musuh besar umat manusia adalah kebosanan. <br />
<br />
Saya tidak tahu persis, mungkin karena disuruh, ada tekanan, atau entah apa, berdiam di rumah (lama-lama) tidak seindah yang saya bayangkan. Atau saya hanya butuh variasi? Sesekali pergi ke warung kopi? Mungkin tidak juga. Ini adalah hari-hari ketika pertanyaan "apa kabar" bukan sekadar basa-basi. Rasanya setiap hari adalah pms. Saya mudah murung dan pikiran-pikiran buruk mudah sekali menerobos. Saya mengkhawatirkan kondisi keluarga saya. Saya mencemaskan banyak hal. <br />
<br />
Seharusnya sejak kemarin saya sudah memanggil tukang kunci. Saya lupa membawa kunci kamar kos yang saya taruh di saku jaket yang saya tinggal di rumah kekasih. Untuk bilang padanya kalau saya lupa membawa kunci dan memintanya mengantarkan pun rasanya malas. Saya lebih memilih keluar masuk kamar lewat jendela yang tidak saya kunci. Apakah saya hanya butuh variasi? <br />
<br />
Semoga kita semua masih waras. Inhale-exhale~Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-67712365978512961542020-01-13T18:17:00.001+07:002020-01-13T18:23:05.455+07:00Nenek Honiden Saya sedang duduk-duduk di bonbin menghabiskan sore sambil nyedot es coffeemix. Di depan saya duduk seorang mahasiswi yang kalau dilihat dari tampangnya, ia seperti sedang bertarung dengan hormon menstruasi. Daripada mengajaknya ngobrol, saya rasa lebih aman kalau mendiamkannya saja. <br />
<br />
Di belakang gadis itu, duduk seorang nenek. Sebotol minuman dan sebuah tas kecil merah jambu di mejanya. Pandangan matanya menyuntuki sebuah lagu india dari layar ponselnya. Mulutnya menggumam mengikuti lirik lagu yang diputar cukup keras itu.<br />
<br />
Si nenek ini, jika kamu pernah menjadi mahasiswa FIB UGM tahun-tahun 2000-an awal, kamu pasti mengenalnya. Sejak awal saya memperhatikannya, rambutnya sudah putih semua. Dulu ia membawa serta cucunya. Ngapain? Ngambilin sampah di sekitar kampus. <br />
<br />
Sampai 2020 ini, ia masih melakukan hal yang sama. Bedanya, ia tak lagi mengajak serta cucunya. Bedanya lagi, sekarang ia sudah memegang ponsel yang jauh lebih bagus dari ponsel saya. Bedanya lagi dan lagi, dia bisa mengendarai motor dengan seabrek sampah di depan belakang samping kiri kanannya. Saya? Boro-boro! <br />
<br />
Saya sering mengimajinasikan ia sebagai jelmaan nenek Honiden, ibunya Matahachi, salah satu tokoh paling ngeyelan di novel Musashi karya Eiji Yoshikawa. Nenek yang satu ini memang ngeyelan sih. Tapi sudahlah..saya malas menceritakan apa sebabnya ia saya lekati label itu. <br />
<br />
Awalnya saya juga tidak ingin menulis tentangnya. Tapi karena terpampang nyata di depan mata saya, ya mau gimana lagi. <br />
<br />
Sampai sekarang ia masih asyik sekali menyimak tontonan di layar ponselnya. Masih lagu-lagu india. Ia sama sekali tak terganggu keadaan sekelilingnya. Orang-orang di sekitarnya juga sepertinya (pura-pura) tak begitu peduli apa yang dilakukannya. Kecuali saya, tentu saja. <br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-43883229769316015232020-01-12T20:00:00.000+07:002020-01-12T20:00:41.647+07:00Membaca dan Mengulas LagiSesibuk apa pun, selama ini saya selalu bisa membaca setidaknya lima puluh buku setiap tahunnya. Tidak ada keterpaksaan atau alasan demi konten. Saya cukup berbangga dengan habit itu. Saya membaca apa saja, buku yang super tebal atau yang tipis, buku yang memang saya ingin membacanya atau karena berhubungan dengan pekerjaan. <br />
<br />
Namun, yang saya sayangkan, saya tidak bisa mengulas semua buku yang saya baca itu. maksud saya, ulasan yang serius dan mendalam. Padahal, menurut saya, itu adalah cara yang cukup ampuh untuk mengingat isi buku. Alhasil, saya memang membaca banyak buku, tapi hanya sebagian yang betul-betul saya ingat dan kuasai. <br />
<br />
Nah, tahun ini, saya ingin membaca dengan pelan. Kalau bisa, satu bulan satu buku saja. Tapi saya ingin membacanya dengan serius dan teliti, juga mengulasnya dengan kritis. Saya juga tidak ingin banyak membeli buku. Tahun lalu, di Jogja, banyak sekali pameran buku, diskonnya lumayan. Buku-buku yang saya beli dari pameran itu belum semua saya baca. Membuat saya merasa bersalah. <br />
<br />
Tahun ini saya ingin membaca buku-buku itu saja. Juga buku-buku di rak buku si pacar, sebagian besar hasil terjemahannya. Terjemahannya enak. Dia punya kepekaan bahasa di atas rata-rata. Dulu, sebelum pacaran dan sebelum kenal, saya pernah menyunting terjemahannya. Waktu itu, rasanya saya rela tidak digaji lantaran sudah bergembira membaca terjemahan yang bagus. Hehe hehe. Menurut saya, di Indonesia, dia nomor dua setelah Ronny Agustinus.<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-59431503009203779322020-01-03T15:10:00.001+07:002020-01-03T15:10:36.983+07:00Buku yang Kubaca 20191. Kura-Kura Berjanggut (Azhari Aiyub)<br />
2. Manjali dan Cakrabirawa (Ayu Utami) <br />
3. A Guide To Health (Mahatma Gandhi)<br />
4. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson)<br />
5. Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (Raudal Tanung Banua)<br />
6. Museum Masa Kecil (Avianti Armand)<br />
7. Tempat paling Liar di Muka Bumi (Theresia Rumthe dan Willy Johannes)<br />
8. Sapiens (Yuval Noah Harari)<br />
9. Kenang-Kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub (Claudio Orrego Vicana)<br />
10. Bagaimana Aku Menulis (Gabriel Garcia Marquez)<br />
11. Tango dan Sadimin (Ramayda Akmal)<br />
12. Estetika Banal- Spiritualisme Kritis (Ayu Utami-Eric Prasetya)<br />
13. Dalam Kobaran Api (Tahar Ben Jelloun)<br />
14. 9 dari 10 Kata dalam Bahasa Indonesia Adalah Asing (Alif Danya Munsyi)<br />
15. Kata-Kata Arab dalam Bahasa Indonesia (Syamsul Hadi)<br />
16. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia (J.S. Badudu)<br />
17. Anatomi Rasa (Ayu Utami)<br />
18. Xenoglosofilia (Ivan Lanin)<br />
19. Bidadari yang Mengembara (A.S. Laksana)<br />
20. Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya (Dea Anugrah)<br />
21. Masa Lampau Bahasa Indonesia (Harimurti Kridalaksana)<br />
22. The Silk Worm (Robert Galbraith)<br />
23. Career of Evil (Robert Galbraith)<br />
24. O (Eka Kurniawan)<br />
25. Senyap yang Lebih Nyaring (Eka Kurniawan)<br />
26. Mata Angin dan Seekor Anjing (Faruk)<br />
27. Lelaki dan Ilusi (Mohammad Qadafi)<br />
28. 1Q84 Jilid I (Haruki Murakami)<br />
29. 1Q84 Jilid II (Haruki Murakami)<br />
30. 1Q84 Jilid III (Haruki Murakami)<br />
31. Kisah-Kisah Kebebasan (Ben Okri)<br />
32. Matinya Burung-Burung (Ronny Agustinus [Penerjemah])<br />
33. Berguru pada Pesohor (Muhidin M. Dahlan dan Diana A.V Sasa)<br />
34. Srimenanti (Joko Pinurbo)<br />
35. Hikayat Kebo (Linda Christanty)<br />
36. Seekor Burung Kecil Biru di Naha (Linda Christanty)<br />
37. Bakat Menggonggong (Dea Anugrah)<br />
38. Para Raja dan Revolusi (Linda Christanty)<br />
39. Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (Marvin Harris)<br />
40. Lethal White (Robert Galbraith)<br />
41. Percakapan dengan Kafka (Gustav Janouch)<br />
42. Vegetarian (Han Kang)<br />
43. Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip [Ed.])<br />
44. Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira (Iqbal Aji Daryono)<br />
45. Aku Ini Binatang Jalang (Chairil Anwar)<br />
46. Duka-Mu Abadi (Sapardi Djoko Damono)<br />
47. Lelucon-Lelucon Ganjil Kiamat Kesusastraan (Roberto Bolano)<br />
48. Orang-Orang Oetimu (Felix K. Nessi)<br />
49. Tigris, Kumpulan Sajak (Goenawan Mohamad)<br />
50. Kawan Lama Ayahmu (Henry Lawson)<br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-90805609739594037162019-12-31T11:05:00.000+07:002019-12-31T11:12:05.961+07:00Tiga Puluh <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLmZ90DVmSCy5egeES9qWcGLk1VQU9b4IIctOdFz3uDcwXAAgfYaukzmLZTyyZ18_l_TwAtjYCU39BnYkObn6z9sHr9-Ud028hIz9NcN15ER4Fu2VWnlfh_bqrLcZ5jJ3ixkXNKsL3VBs/s1600/_DSF1029.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLmZ90DVmSCy5egeES9qWcGLk1VQU9b4IIctOdFz3uDcwXAAgfYaukzmLZTyyZ18_l_TwAtjYCU39BnYkObn6z9sHr9-Ud028hIz9NcN15ER4Fu2VWnlfh_bqrLcZ5jJ3ixkXNKsL3VBs/s400/_DSF1029.JPG" width="400" height="267" data-original-width="1600" data-original-height="1067" /></a></div><br />
Seharusnya tulisan ini saya posting tepat pada hari saya berulang tahun yang ketiga puluh, tahun ini. Entah mengapa saya merasa berkeharusan untuk menulis “sesuatu”. Sialnya, apa yang sebaiknya ditulis itu tak kunjung muncul di benak. <br />
<br />
Saya, sejujurnya, gamang menyandang usia kepala tiga. <br />
<br />
Pramoedya pernah bilang, usia adalah aniaya bagi perempuan. Biasanya, semakin tua fisik perempuan, ia tidak lagi menarik. Keriput dan kendor di sana-sini. Sungguh bukan persoalan itu yang membuat saya risau. Saya akan membantah apa yang dibilang Pram itu dengan ucapan Nawal el Saadawi: aku bangga dengan keriput-keriputku, setiap kerutan di wajahku mengisahkan cerita hidupku. Buat saya, itu sikap diri perempuan yang keren sekali!<br />
<br />
Tiga puluh tahun. Lama juga saya hidup. Dulu saya menganggap orang berusia tiga puluh itu sudah matang, untuk tidak menyebutnya tua. Ternyata, setelah saya menjalaninya sendiri, nggak juga. Sikap saya masih sering kekanak-kanakan. Masih labil dan jauh dari bijaksana. <br />
<br />
Selama tiga puluh tahun menghirup oksigen, apa yang sudah saya lakukan? Rasanya saya belum melakukan sesuatu yang besar. Masih berapa lama lagi saya diberi kesempatan hidup? Saya tidak tahu. <br />
<br />
Dalam rentang tiga dekade ini, banyak hal terjadi. Sebagian berlalu begitu saja, sebagian bertahan lama dalam ingatan. Ingatan-ingatan itu kadang menghangatkan, menyelamatkan pada saat-saat berada di titik rendah, tapi tak jarang juga membikin ngilu.<br />
<br />
Saya lupa saat-saat saya masih balita, sepertinya itu kenangan yang khusus hanya bisa dimiliki orang tua saya. Keluarga kami tidak begitu sadar dokumentasi. Saya hanya ingat pernah melihat foto saya saat masih bayi: tengkurap, memakai celana pendek bermotif bintang. Entah kemana perginya foto itu sekarang. Saya tak pernah melihatnya lagi. <br />
<br />
Ingatan saya saat TK hanya lamat-lamat. Saya ingat jawaban saya atas pertanyaan guru TK, ikan makan apa? Saya jawab duri ikan. Saya tumbuh dengan pengetahuan itu sebab jika ada kucing di rumah, kakek atau ibu saya memberi bagian duri, tak pernah dagingnya. Daging ikan terlalu berharga untuk dibagi dengan kucing. <br />
<br />
Saat sekolah dasar, saya sering digendong bapak ke sekolah kalau hari hujan lantaran saya (dan bapak) tak mau sepatu saya kotor. Saat-saat sekolah menengah pertama saya lalui dengan kerja keras tapi rasanya waktu itu asyik-asyik saja. Musim hujan masih menjadi kekhawatiran tersendiri karena itu tandanya saya harus mendorong sepeda di jalanan yang berlumpur. <br />
<br />
Banyak orang bilang SMA adalah masa-masa paling indah. Rasanya itu tak berlaku bagi saya. Saya merasa SMA adalah masa yang sedikit suram. Yang tergambar di ingatan saya adalah suasana sore hari yang mendung di depan ruang teater, daun-daun pohon angsana kering dan rontok. Rasa-rasanya saya pernah jatuh cinta pada orang yang jauh lebih tua dari saya, tapi saya lupa bagaimana persisnya. Itu adalah tahun-tahun ketika saya sering tidur di kelas dan malas sekali belajar. Tapi juga tahun ketika saya mulai menulis puisi, dan pernah juara. <br />
<br />
Sebentar, kok saya jadi bikin rangkuman perjalanan hidup gini, sih? Hmmm. <br />
<br />
Baiklah. Masa-masa itu rasanya sudah lama berlalu. Kenangan-kenangan yang semoga tetap bertahan dan menghangatkan. <br />
<br />
Biasanya, di hari ulang tahunnya, orang akan mengucapkan terima kasih. Seberantakan apa pun hidupnya. Saya pun akan melakukan hal itu. <br />
<br />
Saya berterima kasih sudah diberi kehidupan. Tidak mudah bertahan hidup selama tiga puluh tahun ini. Hahaha. Harus mengalami banyak luka dan cinta, menanggung berbagai risiko, juga mengambil keputusan-keputusan sulit dengan sok berani. Alhamdulillah, sejauh ini saya masih diberi keselamatan. <br />
<br />
Saya juga berterima kasih karena dilimpahi kasih sayang dari orang-orang yang juga sangat saya sayangi. Tanpa kasih sayang mereka, entah apa jadinya saya. Agak terkesan menye-menye sih, tapi saya termasuk manusia yang percaya pada kekuatan cinta dan kasih sayang. Saya selalu takjub pada kekuatan hati manusia. Saya pernah menyangka hati saya sudah sekeras batu, mati rasa. Tapi nyatanya, hati saya masih bisa meleleh lagi (oleh hati manusia lain). Memang ada hal-hal yang menyedihkan, yang hanya dengan mengingatnya rasanya seperti mengulanginya lagi, tapi banyak juga hal yang membahagiakan. <br />
<br />
Kendati begitu, bohong besar kalau ada hal-hal yang tidak saya sesali dalam tiga puluh tahun saya hidup. Saya merasa melakukan banyak kekeliruan. Keputusan-keputusan yang saya ambil dengan gegabah, sering tidak memperhitungkan perasaan orang lain lebih dalam. Saya juga kadang punya pikiran-pikiran buruk pada orang lain. Saya pernah berkeinginan agar orang yang menyakiti saya mengalami hal yang lebih menyakitkan daripada yang pernah saya rasakan, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Saya merasa egois dan jahat. Berlarut-larut menyalahkan diri sendiri. Tapi, bagaimanapun, saya harus menerimanya sebagai sesuatu yang sudah berlalu. Sebagai bagian dari perjalanan hidup saya. <br />
<br />
Saya harus bisa memaafkan diri saya sendiri. Ada satu kalimat yang terasa begitu hangat dari Ajahn Brahm: apa pun yang kamu lakukan, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu. Saya pernah mengucapkan kalimat itu untuk orang lain. Meski tak saya ucapkan secara langsung, hanya tekad kuat dalam hati. Kalau dipikir-pikir, rasanya saya keliru. Harusnya saya mengucapkan itu untuk diri saya sendiri, sebelum melakukannya untuk orang lain. <br />
Sekarang, saya ingin bilang pada diri saya sendiri: tidak apa-apa berbuat kesalahan, tidak apa-apa mengulang kebodohan, tidak apa-apa bersedih, tidak apa-apa patah hati berkali-kali pada orang yang sama. Tidak perlu menendang kesedihan. Tidak semestinya menggenggam kebahagiaan. Wahai diri, apa pun yang kamu lakukan, seburuk apa pun kesalahan yang pernah kamu perbuat, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu. <br />
<br />
Kepada orang-orang yang pernah berpapasan dalam hidup saya dan tersakiti oleh sikap saya, semoga semua dalam lindungan dan kasih sayang Tuhan, penuh ketenangan batin dan pikiran. Meski tak lagi saling menyapa, semoga semuanya baik-baik saja. Amin. <br />
<br />
Selamat menyongsong tiga puluh tahun, Anis Mashlihatin :)<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-35477432584055436322019-12-10T22:49:00.000+07:002019-12-10T22:49:00.608+07:00Antasida, Ia, dan KekasihnyaIa masih sangat kesal pada kekasihnya. Ia pun ngopi sendirian di kedai kopi langganannya. Sewaktu hendak pulang, ia melihat plang K24. Barangkali karena kesal itulah, ia justru selalu teringat kekasihnya. Kakinya mengarahkannya masuk ke apotek itu, membuka pintunya yang selalu berdenting jika dibuka. Lalu ia membeli sebotol antasida. Ia ingat, terakhir bertemu, kekasihnya mengeluhkan lambungnya yang perih. Dulu ia sering membeli antasida itu untuk meredakan asam lambungnya yang parah.<br />
<br />
Ia kesal, tapi ia masih mengkhawatirkan kekasihnya. <br />
<br />
Ketika menyadari itu, ia menangis lama sekali. <br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-7264585689045618472019-12-03T09:10:00.000+07:002019-12-03T10:20:19.262+07:00Riuh <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxFAsY92djSdKLaDFtsdSn5iAEYBSFf8gbSoLQZ-RImlTviX0tPmiDRjH3xDAUR7u0mTmTXxNuywfgY5Lif6QLakmVbOiKrhyphenhyphenAOK_1pSoK_jRNE_IABG5ycpDYkw3Irlfu0UOqMrdm63A/s1600/_DSF6370.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxFAsY92djSdKLaDFtsdSn5iAEYBSFf8gbSoLQZ-RImlTviX0tPmiDRjH3xDAUR7u0mTmTXxNuywfgY5Lif6QLakmVbOiKrhyphenhyphenAOK_1pSoK_jRNE_IABG5ycpDYkw3Irlfu0UOqMrdm63A/s400/_DSF6370.JPG" width="400" height="267" data-original-width="1600" data-original-height="1067" /></a></div><br />
Jika sedang diliputi amarah, lelah pikiran dan badan, saya kerap membayangkan padang rumput luas yang teduh zonder suara mesin dan manusia. Sinar matahari tidak terik, bahkan cenderung mendung dan saya bisa berbaring di rerumputan itu dengan nyaman. Saya terbaring di sana dengan kedua tangan menyangga kepala. Saya mengenakan pakaian yang longgar dan nyaman sehingga udara sejuk leluasa masuk ke pori-pori saya. Tidak ada orang lain selain saya, juga tak ada binatang yang dikategorikan buas. Saya akan berlama-lama menatap langit. Menggambar gumpalan awan sebentuk hewan-hewan lucu atau wajah-wajah orang yang saya sayangi. <br />
<br />
Kenyataannya, suasana menenangkan semacam itu jauh sekali dari jangkauan saya. Saya harus menerima bahwa saya sedang berada di ruangan sempit nan panas dan suara mesin dan manusia bergemuruh, membuat saya ingin menangis. <br />
<br />
Ruangan dengan udara yang panas itu masih bisa saya toleransi, tapi tidak dengan keriuhan, keberisikan. Jika sedang lelah, rasa-rasanya indra pendengar saya lebih peka berkali-kali lipat. Rasanya semua gemuruh menyerbu telinga saya.<br />
<br />
Saya paling sebal dengan orang-orang yang memutar video dari ponselnya keras-keras ketika berada di warung makan. Saya benci setengah mati dengan sekumpulan cewek (iya, spesifik cewek!) yang nyerocos dengan suara cempreng dan sama sekali tak peduli kalau kecemprengannya mengganggu indra pendengar orang lain. Jika menemui yang seperti itu, saya pasti buru-buru pergi. <br />
<br />
Suatu kali, ketika saya dan pacar sedang nongkrong di warkop, kursi di sebelah kami diduduki seorang perempuan yang menelpon dengan suara keras sekali. Pacar saya paham betul, mood saya akan ambyar jika terus-terusan terpapar suara itu. Dengan sigap ia pun mengeluarkan ponsel, memutar musik, dan menyematkan earphone, lalu menyodorkannya kepada saya. Hati saya lumer. Bukan karena earphone yang nyantol di telinga saya, tapi karena tingkahnya yang uwuwu itu. Hehehe. <br />
<br />
Saya tidak terlalu suka menyumpal telinga dengan earphone, sebenarnya. Tapi belakangan earphone sering nyantol di telinga saya. Saya memutar lagu-lagu yang slow. Lalu, tanpa sengaja telinga saya tertambat pada sebuah lagu yang tidak hanya nyaman di telinga, tapi juga liriknya sungguh aduhai. Rasanya saya tersedot ke suatu momen sunyi dan lagu itu dinyanyikan hanya untuk saya seorang. <br />
<br />
The Sound of Silence, judul lagu itu. Musiknya sederhana. Diciptakan dan dinyanyikan Simon and Garfunkel. Sudah ditulis sekira 50-an (atau 60-an) tahun yang lalu, tapi rasanya masih sangat relevan untuk kondisi saat ini. Saya pertama kali mendengar nama Simon and Garfunkel dari pacar saya sewaktu saya memberitahunya tentang Kings of Convenience. Tapi waktu itu saya tak langsung mencari lagu-lagu mereka. <br />
<br />
Lagu itu berputar-putar sepanjang hari di telinga saya. Mendengarkan lagu itu, rasanya saya dibawa pada suasana di padang rumput yang saya gambarkan di awal tulisan ini. Sebuah protes, tapi elegan dan teduh. <br />
<br />
<i>Hello darkness, my old friend.<br />
I’ve come to talk with you again.<br />
~</i><br />
<br />
Saya tahu, saya tidak boleh bergantung pada earphone atau pada lagu-lagu. Saya harus berdamai dengan segala keriuhan. Karena ketenangan letaknya bukan di suatu tempat di luar diri, tapi dalam diri. Kejengkelan dan mood saya yang anjlok ketika mendengar suara-suara keras (dan cempreng) itu bukti bahwa saya belum bisa berdamai. Batin saya masih kemrungsung. Saya tahu. Saya akan berlatih pelan-pelan. Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-70670131809355608712019-11-28T15:53:00.002+07:002019-11-28T15:53:09.432+07:00Cormoran StrikeSaya sudah membaca keempat seri buku-buku tebal karangan Robert Galbraith alis J.K Rowling. Keempat buku itu saya pinjam dari teman saya. Buku pertama saya pinjam dari Nilam sewaktu saya masih di Surabaya, ketiga buku yang lain saya pinjam dari Mas Napek yang saya tidak menyangka ternyata dia punya lengkap. <br />
<br />
Gabraith mencipta cerita detektif yang digerakkan oleh satu sosok sentral, Cormoran Strike. Sejak buku pertama, sosok ini sudah menarik perhatian saya. <br />
<br />
Strike pincang. Kakinya diamputasi karena ledakan bom sewaktu dia masih bergabung dengan militer. Ia mengakhiri kisah cintanya yang sengit setelah menjalin hubungan asmara selama 16 tahun dengan kekasihnya yang aristokrat: Charlotte. Belakangan, mantan tunangannya itu menikah dengan sesama aristrokat dan tengah hamil anak kembar. Setelahnya, ia menjalin hubungan dengan beberapa perempuan, meski tak lama. Belum ada yang sanggup mengaduk-aduk perasaannya seperti yang pernah dilakukan Charlotte. <br />
<br />
Strike ditawari berbagai pekerjaan kantoran oleh teman-temannya. Sejenis pekerjaan kantoran yang masih berkaitan dengan dunia militer. Ia menolak. Ia memilih mendirikan biro detektifnya sendiri dari nol. Benar-benar dari nol. <br />
<br />
Seperti diakui Robin, partnernya di bironya, Strike mandiri dan tabah, sanggup menyerap trauma dan maju terus meski timpang, siap menghadapi apa pun yang dilontarkan kehidupan ke arahnya tanpa berjengit, tanpa membuang muka. Menolak menyerah pada kesulitan apa pun yang menghadangnya dan siap menanggung risiko. <br />
<br />
Strike tak bisa mengabaikan dorongan dirinya untuk memecahkan kasus-kasus di lapangan. Ambisinya sangat besar. Perfeksionis. Tak bisa dibikin penasaran. Tak bisa tenang jika ada kasus yang belum sanggup dituntaskan, meski itu tak begitu penting. Dan memang ia sangat jenius.<br />
<br />
Sosok Strikelah yang membuat saya bertahan merampungkan cerita itu sampai halaman terakhir. Belakangan saya menyadari, yang membikin saya tertarik bukan teka-teki kriminalnya, melainkan bagaimana proses Strike memecahkan masalah itu. <br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-29493970422360903152019-11-21T11:52:00.005+07:002019-11-21T11:52:52.137+07:00Musikalisasi Puisi, Ia, dan KekasihnyaIa menyukai musikalisasi puisi, kekasihnya tidak. Kekasihnya sering menggerutu karena menurutnya, musikalisasi puisi “merusak” puisi. Ia tentu saja membantah. Toh musikalisasi puisi lebih mudah disebarluaskan, diingat, dan disukai. Di mana letak perusakannya? <br />
<br />
Hari-hari berlalu. Perdebatan itu tak pernah sengit. Ia, seperti biasanya, masih mendengarkan dan menikmati musikalisasi puisi. <br />
<br />
Suatu malam setelah melakukan perjalanan dan masih enggan kembali ke kos, ia dan kekasihnya memutuskan mampir ke toko buku. Kekasihnya ingin membeli buku puisi pertama Sapardi Djoko Damono, “Duka-Mu Abadi”, yang dicetak ulang. <br />
<br />
Kebetulan di depan toko buku itu ada bangku di pingir jalan. Mereka membacanya di sana. Kekasihnya mengecek ingatannya pada puisi-puisi di buku itu. Hanya beberapa yang masih lekat. Membuka-buka buku puisi itu. Ia menggerutu pada desain isinya yang dianggapnya tak bersimpati pada pohon-pohon. <br />
<br />
Selanjutnya, ia tercenung sebelum akhirnya mengumpat-ngumpat sialan. Ia menghafal beberapa puisi Sapardi itu dari musikalisasi puisi Ari-Reda. Dan malam itu ia baru menyadari, banyak hal yang diabaikannya. Ia pun mengerti mengapa kekasihnya sering menganggap musikalisasi merusak puisi. <br />
<br />
Ia memang hafal puisi-puisi, tetapi lebih sebagai lirik. Sama seperti lagu-lagu lainnya. Akan sangat kecil kemungkinan orang yang sudah nyaman mendengarkan musikalisasi puisi untuk mencari tahu bentuk puisi aslinya. Akibatnya, aspek-aspek topografi, penggunaan huruf kapital, pembubuhan tanda baca, pemenggalan baris, mutlak diabaikan. Padahal, semua itu adalah aspek signifikan dalam puisi. Penyair membikinnya bukan tanpa perhitungan. <br />
<br />
Semua pemahamannya malam itu ia sampaikan pada kekasihnya. Kekasihnya tersenyum, sedikit mengejek dan seolah berkata “Kok bisa kamu nggak menyadari itu dari dulu?”<br />
<br />
Mau tak mau pandangannya pada musikalisasi puisi pun berubah. Namun, ia tak lantas membenci musikalisasi. Tidak. Ia masih menikmatinya sampai sekarang. <br />
<br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-31632292308055684702019-10-19T10:13:00.002+07:002019-10-24T16:18:29.042+07:00Puisi-Puisi, Ia, dan KekasihnyaHari ketika ia dilanda murung lantaran datang bulan, kekasihnya mencoba menghibur dengan mengajaknya bermain tebak-tebakan puisi. Kekasihnya mengucapkan satu baris puisi, ia melanjutkan. Begitu seterusnya. Bergantian sampai baris terakhir. <br />
<br />
Kekasihnya memulainya dengan “Cemara menderai sampai jauh”. <br />
<br />
Tebak-tebakan itu romantis sekaligus menantang. Ia—dan kadang kekasihnya—membutuhkan beberapa detik untuk mengingat baris selanjutnya. Yang melakukan kesalahan dihukum. Meski itu hukuman yang menyenangkan, ia dan kekasihnya tak mau sengaja menyalah-nyalahkan. <br />
<br />
Ia dan kekasihnya agak menyesal mendapati diri mereka melupakan beberapa baris puisi yang dulu mereka hafal di luar kepala. “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Kepada Kawan”, dan yang lainnya. Bagaimana bisa mereka lupa? Tidak sebenar-benarnya lupa memang, tetapi kenyataan bahwa mereka tersendat-sendat mengucapkannya itu sudah kemunduran luar biasa.<br />
<br />
Ia dan kekasihnya mencoba puisi-puisi yang lain, puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo, misalnya. Sama saja. “Di Beranda ini Angin Tak Kedengaran Lagi”, “Asmaradana”, “Dingin tak Tercatat”. Mereka terbata-bata.<br />
<br />
Lalu mereka merenung-renung. Sejak kapan itu terjadi? Barangkali sejak mereka digerus rutinitas. Tenggelam dalam kerja. Ditambah lagi seringnya mengandalkan mesin pencari di internet. Ingatan pun semakin melemah. <br />
<br />
Itu tak bisa dibiarkan. Mereka bertekad belajar lagi dan tak memanjakan diri pada mesin pencari. Mereka paham betul, puisi memang tak untuk dihapalkan, tapi dirasakan. Dan mungkin masih bisa dirasakan kendati baris-barisnya banyak yang terlupakan. Namun, keduanya sudah bertekad. Jika sudah demikian, tak ada yang mampu menghalangi. <br />
<br />
Dan suatu hari ia dan kekasihnya akan memainkan tebak-tebakan itu lagi.<br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-77060487702333514962019-08-24T09:12:00.000+07:002019-08-24T09:12:10.492+07:001Q84, Ia, dan Kekasihnya1Q84 adalah tiga jilid novel karya Haruki Murakami yang dibacanya bersama kekasihnya. Sepertinya baru pertama kali ini ia punya partner membaca yang sungguh-sungguh. Ia senang dan tertantang. Novel jilid pertama didapatnya dari penerbit, bingkisan suatu perlombaan. Didorong rasa penasaran akan kelanjutan ceritanya, jilid kedua dibelinya di toko buku di Kota Baru. Lalu kekasihnya membeli jilid yang ketiga, di toko buku yang sama. <br />
<br />
Ia dan kekasihnya membaca secara bergantian. Kadang ia duluan, kadang kekasihnya duluan. Peraturan yang mereka sepakati adalah tak boleh menyinggung isi buku ketika salah satu di antara mereka belum selesai membaca. Meski kadang kesepakatan itu sering dilanggar. Dalam hal kecepatan membaca, ia kalah telak dari kekasihnya. Kekasihnya punya daya baca yang melebihi dirinya. Jika ia mudah sekali teralihkan fokusnya, kekasihnya tidak demikian. Tapi bukan itu yang membuatnya jengkel. <br />
<br />
Dalam proses pembacaan ketiga jilid novel itu, ia dan kekasihnya sering berdiskusi atau berdebat: mengapa satu tokoh melakukan ini dan bukan itu, mengapa sudut pandangnya sering tidak konsisten, dan lain-lain. Kekasihnya adalah lawan debat yang mumpuni. Itu membuatnya bergairah. Tak hanya itu, kekasihnya punya daya jangkau yang jauh pada logika cerita. Kekasihnya, misalnya, bisa menebak suatu peristiwa kunci yang ada dalam jilid tiga padahal mereka baru membaca jilid pertama. Hampir semua tebakan kekasihnya pada tokoh dan alur, tak meleset. <br />
<br />
Itulah yang membuatnya jengkel. Ia belum punya jangkauan sejauh itu. Selama ini ia baru menyadari, ia hanya sebagai penikmat cerita dan sedikit mengkritik jika diperlukan. Ia memang pengingat yang baik pada detail dan punya kecermatan pada logika cerita, tapi ia harus mengakui, jangkauannya masih belum jauh. Sepertinya, dalam hal membaca, ia memang harus belajar banyak dari kekasihnya. Ia harus naik level, kuantitas dan kualitas.<br />
<br />
Novel itu memang bukan novel Murakami pertama yang ia dan kekasihnya baca. Namun, Ia dan kekasihnya terkesan pada beberapa tokoh dalam novel itu. Juga terkesan pada cara bercerita Murakami yang sederhana tapi memikat. Ada kalimat-kalimat dalam novel yang sampai sekarang masih mendengung di benak keduanya. <br />
<br />
Karena itu, ia dan kekasihnya akan melanjutkan membaca novel-novel Haruki Murakami yang lain. Sip.<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-72608561296930522022019-05-19T13:32:00.003+07:002019-05-19T13:32:20.236+07:00Momen PuitikKejadian ini sudah bertahun-tahun lalu, sebenarnya. Tapi beberapa peristiwa atau kejadian sepertinya punya cara sendiri untuk bertahan lama di ingatan. Mungkin karena kejadian ini tak hanya berkesan buat saya, tapi juga bermakna dalam. <br />
<br />
Hari itu jelas weekend. Karena hanya pada weekendlah kami bisa pergi bersama-sama. Kami pergi ke Magelang untuk silaturahmi ke rumah teman yang habis lahiran. Kami naik motor rame-rame. Perjalanan lancar jaya. Tapi tak disangka-sangka hujan pun turun. Cukup deras. Padahal gak mendung sama sekali. Kami pun memutuskan untuk berteduh. Kalau gak salah itu di bangunan kosong dan terbengkalai. Jumlah kami waktu itu cukup banyak sehingga kami pun rada berisik.<br />
<br />
Nah, di sana ternyata sudah ada seorang penjual eskrim keliling yang juga berteduh. Sambil nunggu hujan reda, kami pun beramai-ramai beli eskrim itu. Hujan dan nyemil eskrim bukanlah kombinasi yang buruk. Saya masih ingat, kami menghabiskan eskrim itu sambil foto-foto. Tak berapa lama, hujan pun reda. Kami melanjutkan perjalanan.<br />
<br />
Namun, tak ada seratus meter hari tempat kami berteduh tadi, tak ada bekas-bekas turunnya hujan. Jalanan kering kerontang. Padahal hujan di sana tadi cukup deras. Oke, hujan lokal memang biasa saja. Saya sering mengalaminya. Tapi hari itu saya tersenyum dan ada yang menghangat di hati saya.<br />
<br />
Kenapa? Tentu saya jadi teringat penjual eskrim yang berteduh tadi. Hujan yang buat kami—katakanlah—halangan, buat penjual eskrim adalah berkah. <br />
Kami berteduh dan membeli dagangannya. Rasa-rasanya hujan itu sengaja diturunkan hanya agar kami membeli dagangannya. Puitik sekali.<br />
<br />
Sejak saat itu, saya meminimalisasi prasangka buruk terhadap segala yang mungkin saya pikir sebagai halangan. Orang-orang bijak sering bilang, segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan. Itu klise memang. Tapi, seberapa sering hal-hal klise justru menampar kita?<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-60662529695661387562019-05-05T14:49:00.000+07:002019-05-19T13:36:07.193+07:00MelelehBeberapa teman dekat sering bilang kalau saya itu orangnya tatag menghadapi banyak hal, tangguh menghadapi berbagai persoalan <strike>dan patah hati</strike>. Jarang sekali menangis di depan orang. Mungkin itu tidak salah, tapi tidak utuh. Yang tidak mereka tahu (dan gak harus tahu juga sih) adalah sebenarnya saya mudah sekali mewek kalau….melihat hewan-hewan. Iya, hewan-hewan yang lucu maupun yang buluk. Melihat dengan mata kepala sendiri maupun dari video-video di media sosial. Entah ya, pada hewan-hewan itu seperti ada jiwa yang begitu murni, mata yang meminta dielus-elus. <br />
<br />
Mungkin terdengar naif, tapi saya tidak percaya ada hewan yang jahat, meskipun saya pasti akan lari ketakutan kalau melihat ular tak berbisa sekalipun (kata Yuval Noah Harari sih itu karena dari nenek moyang kita pun udah takut kalau ngelihat ular. Genetis gitu jadinya). Seringnya, manusia yang jahat pada hewan-hewan. Itulah sebabnya, jika saya melihat kebaikan manusia pada hewan, mata saya langsung meleleh. Apalagi manusia-manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk melindungi hewan-hewan langka. Bersahabat dan berbagi hidup dengan mereka. Pernah gak sih merasakan kebaikan orang lain sampai membuatmu begitu terharu? Nah, kurang lebih begitulah rasanya. Hangat di hati juga di mata. <br />
<br />
Hmm..tapi saya bukan vegetarian juga. Artinya, saya masih makan daging hewan. Dalam kepercayaan agama saya, hewan-hewan yang disembelih atas nama Allah akan masuk surga. Mereka senang hidupnya berguna untuk manusia. Semoga itu benar. Sebab saya belum bisa meninggalkan sate klathak atau rawon atau ayam geprek dan makanan enak lainnya. Parang Jati, tokoh yang saya kagumi, tidak memakan daging hewan yang disembelih. Ia hanya makan daging hewan yang diburu. Tapi saya agak lupa apa alasannya. <br />
<br />
Fyi, film yang membuat saya nangis kejer adalah Hachiko. Tentang persahabatan manusia dan seekor anjing. Lalu si manusia itu meninggal, si anjing dengan setia menunggu kedatangan sahabatnya. Meskipun tak pernah datang lagi. Saya masih mengingat rasa sedih ketika saya menangisi si hachiko. Tatapan matanya. Gerak tubuhnya. Kalau gak salah, saya nonton film itu dua kali. Sama-sama nangis kejer. Saya belum punya keberanian lagi untuk menonton ketiga kalinya. <br />
<br />
Semoga semua hewan-hewan di dunia ini berbahagia :’) <br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-54573226242246444482019-05-03T16:06:00.004+07:002019-05-04T12:35:38.997+07:00Ayam GeprekIni sumpah gak penting. Tapi gak papa lah. <br />
<br />
Jadi gini, tadi saya pengen makan siang ayam geprek di kantin kampus (bonbin). Nah, saya gak langsung menuruti keinginan saya karena saya harus ke kantor pos dulu buat ngirim-ngirim buku. <br />
<br />
Lalu, selepas dari kantor pos, saya mampir ke ruang mahasiswa. Mau nyelesein beberapa pekerjaan. Baru setelah itu makan ayam geprek. Bertemulah saya dengan teman lama. <strike>Karena kebaikan hati dan ketampanannya dan kecerdasannya, dia jadi idola cewek-cewek seangkatan, termasuk saya dong. </strike>Yaudahlah kami basa-basi tanya kabar dan kegiatan masing-masing. Trus dia bilang mau beranjak duluan dari ruang mahasiswa itu.<br />
<br />
Beberapa menit kemudian dia datang lagi dong. Naruh ayam geprek kemasan di meja saya sambil bilang, “ini buat makan sore”. Saya berterima kasih sambil terbengong-bengong. Kok bisa ya? Kan tadi saya gak mbahas sedikit pun tentang makanan, apalagi ayam geprek. <strike>Emang rezeki penggemar sholihah </strike>wkwkwkwkwk :p<br />
<br />
Gak penting ya? Iya. Tapi bodo ah. Saya sudah terlalu banyak kehilangan momen-momen sederhana nan bermakna yang nggak saya tulis. Minimal, saya menuliskan kebaikan orang lain. Dia memang baik ke semua orang. Dan semoga akan selalu baik selama-lamanyaaaaaaa <br />
<br />
<br />
Dan semoga dia gak baca ini Ya Allaah~<br />
<br />
<br />
<br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6748604875265906030.post-10280438739668809962019-04-30T08:29:00.002+07:002019-04-30T08:29:47.252+07:0027 Steps of May: Berjihad Melawan Trauma*May, aku menyapamu kemarin sore. Ngelangut dan sakitnya masih kurasakan sampai hari ini. Kemarin itu, di deretan kursi paling belakang, aku sesenggukan. Orang-orang di sebelahku rasanya tidak seketerlaluan aku. <br />
<br />
Aku mungkin tidak mengalami apa yang menimpamu, May. Tapi tak sulit bagiku untuk turut merasakan hal-hal traumatik itu. Sakit itu. Kau akan menolak apa pun, warna juga nuansa, yang mengingatkanmu pada kejadiaan itu. Kau akan menolak manusia untuk terlibat dalam zona nyaman yang semakin kau persempit. Kau akan berlindung dalam diam. Memutus komunikasi sama sekali. Karena bercerita adalah siksaan sekali lagi. Kau, mungkin, akan menyalahkan dirimu sendiri dan rasanya ingin mati saja. Orang-orang yang menyayangimu akan menyalahkan dirinya sendiri juga, karena tak mampu melindungimu. <br />
<br />
May, konon katanya, melawan rasa sakit hanya akan menyakiti batin. Yang bisa kita lakukan adalah menerima rasa sakit itu. Aku bukan ingin sok menasihati, May. Tentang rasa sakit itu kaulah yang paling tahu. Aku mungkin tak bisa setabah dan sekuat kau. Aku ingin mendekapmu. Mendekap rasa sakit yang kau simpan sendiri bertahun-tahun. <br />
<br />
May, yang sedang berjihad melawan trauma, seluka dan sesakit apa pun, jangan berhenti percaya pada kebaikan hati manusia. Maafkan dirimu. Beri ampun pada masa lalu. <br />
<br />
<br />
*Frasa “berjihad melawan trauma” diambil dari baris puisi Joko Pinurbo, “Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma”. <br />
Anis Mashlihatinhttp://www.blogger.com/profile/17399223495545081370noreply@blogger.com0