Saturday, February 2, 2013

teori pascakolonialisme Homi K. Bhabha: ontologi dan epistemologinya

:sebuah penjelajahan awal

Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jacques Lacan juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh seperti Franz Fanon dan Edward W. Said [1]. Beberapa konsep teori pascakolonialisme Bhabha, antara lain: stereotipe, mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.

Dalam kajiannya, Bhabha mengkritisi model oposisi biner tentang hubungan-hubungan kolonial seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dan Franz Fanon. Said berfokus pada wacana penjajah, sedangkan Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara konsep-konsep Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi [2].

Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah dalam konsep time-lag-nya (yang pertama kali muncul pada tahun 1990), yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.

Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga” [3].

Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas [4]. Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.

Hibriditas di lingkungan kolonial dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas drai ortodoksi rezim kolonial maupun identitas-identitas nasionalis bayagan yang harus menggantikannya. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial [5].

Strategi hibriditas ini dapat ditempuh dengan cara mimikri [6]. Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas penjajah di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Tindakan mimikri ini kemudian dapat dipahami sebagai akibat dari retakan-retakan dalam wacana kolonial. Baik bagi penjajah maupun terjajah, tindakan mimikri ini menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif.

Oleh karena itu, identitas hibrida dari tindak mimikri ini tidak pernah benar-benar terkendali atau dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial karena terdapat ambivalensi dalam wacana kolonial. Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus pascakolonial, ambivalensi berkembang menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan-pilihan yang ditawarkan pada subjek-subjek kolonial bagi pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.

Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat keambiguan wacana kolonial. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai subjek terjajahnya dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam, bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah kepada penjajahnya.

Pada level tertentu, tindakan mimikri tersebut dapat pula menjadi suatu olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen ketika di satu pihak membangun persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura (bahkan sambil berbohong) diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan almost the same, but not quite.

Selanjutnya, dalam upaya untuk mengalihkan fokus dari analisis wacana kolonial ke dalam formasi identitas, efek psikis yang mempengaruhi dan beroperasi dari bawah sadar, Bhabha menggunakan konsep Lacan. Bagi Bhabha, identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude melalui prinsip displacement dan diferensiasi.

Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi kolonial salah satunya dapat dilihat dari kerja stereotipe kolonial. Stereotipe adalah representasi dan penilaian yang pasti dan tanpa kompromi terhadap orang lain. Ia adalah bentuk representasi kultural yang kaku dan menciptakan jarak di antara manusia. Stereotipe ini mencakup idealisasi yang selektif terhadap liyan. Stereotipe dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki sedikit kekuasaan dan status dalam masyarakat. Pihak yang menjadi objek penstereotipan kemudian berfungsi sebagai kambing hitam bagi perasaan frustasi, tidak senang, dan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Lebih lanjut, stereotipe adalah dasar legitimasi penguasa kolonial. Penstereotipan adalah muara dari struktur tata kelola yang penuh prasangka dan diskriminatif.

Bhabha berfokus pada upaya menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe. Bhabha menafsir rezim stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respons-respons psikis yang kontadiktif terhadap liyan yang terjajah.

“The Other Question” bermula dari pengamatan terhadap ketergantungan wacana kolonial pada konsep fiksitas dalam representasi atas identitas yang tidak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya. Misalnya, stereotipe mengenai lustful Turk atau noble savage. Akan tetapi, bagi Bhabha, terdapat efek bertentangan dalam ekonomi stereotipe sejauh apa yang seharusnya sudah diketahui ternyata harus secara terus-menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini menegaskan adanya kekuarangan (lack) dalam jiwa penjajah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar ontologis konsep-konsep pascakolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement dan kondisi rupture. “Keterpecahan-keterpecahan” wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.

Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar epistemologis konsep-konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha. Metode ini beroperasi setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya yang mungkin bertentangan dan dapat menunda dan membuat asumsi-asumsi dasar itu ruptured (terpecah). Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.


[1] Berdasarkan tulisan-tulisan Bhabha yang terkumpul dalam The Location of Culture (1994), Bart Moore-Gilbert dalam Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics (1997) membagi dua fase besar dalam karier Bhabha. Pertama, sekitar tahun 1980—1988 Bhabha berfokus pada analisis wacana kolonial. Berbeda dengan Said yang berfokus pada Timur Tengah, Bhabha –seperti Spivak- berfokus pada pertukaran budaya dalam sejarah pemerintahan Inggris di India. Kedua, sejak tahun 1988 Bhabha lebih memberikan perhatian pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antara wacana pascakolonialis dan postmodernisme.

[2] Akan tetapi, resistensi tidak lantas berarti tindak oposisional atau negasi yang murni. Pada dasarnya, resistensi tidak pernah dengan mudah dapat dijelaskan karena ia bersifat khusus, tidak lengkap, dan ambigu. Hal inilah yang kemudian menjadikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah.

[3] Ruang ketiga ini dianalogikan oleh Bhabha (2007: 5) seperti karakter arsitektur tangga-hubung karya Reene Green yang memiliki roda yang mengalir antara ruang atas dan ruang bawah.

[4] Bhabha kembali pada Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminalitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Bagi Fanon, trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.

[5] Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh Robert J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional. Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam “Postcolonial Theory: Possibilities and Limitation” (1998) membagi hibriditas menjadi tiga, yaitu: hibriditas terkooptasi, hibriditas tersembunyi, dan hibriditas intensional.

[6] Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask (1952) yang mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.


Bahan Bacaan:
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Moore-Gilbert, Bart. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics. London, New York: Verso.
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indoensia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

No comments:

Post a Comment

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...