Perempuan berbaju merah itu, agaknya sudah terlalu lama duduk di sebuah kursi panjang yang berwarna merah pula. Wajahnya sedikit tegang sambil sesekali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sesekali pula, ia melihat ke seberang jalan sana, berharap ada sosok yang akan membuat matanya berbinar. Angin berhembus lirih memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
Agaknya, senja kali ini tak banyak orang datang ke taman, entah terlalu sibuk dengan pekerjaan atau hanya malas saja. Barangkali juga tempat lain lebih menggoda. Seorang laki-laki yang sudah tua datang dengan anjingnya yang berwarna coklat dengan bulunya yang panjang dan halus, bercakap dengan gembira seolah anjingnya itu mengerti apa yang lelaki tua itu bicarakan. Lucu. Barangkali lelaki tua itu sudah terlalu bosan dengan istrinya di rumah yang semakin cerewet dan keriput. Dan ia beralih pada anjingnya, dan dibayangkannya anjingnya itu kekasihnya sewaktu muda dahulu, manis dan manja. Perempuan itu tertawa-tawa kecil dengan apa yang berkelebat di kepalanya tentang lelaki tua itu.
Dan lagi, sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya. Seorang perempuan berambut pendek dan lelaki kurus berambut panjang berkacamata, tampak berbinar-binar mata keduanya. Cekikikan entah menertawakan apa. Barangkali menertawakan hidup. Namun, mereka tampak begitu bahagia. Mengingatkannya pada suatu ketika, suatu masa, entah kapan. Perempuan berbaju merah dan duduk di kursi merah itu berair matanya.
Senja kali ini berwarna merah keemasan, berkilauan. Sebuah kombinasi yang memukau. Dan mengingatkannya pada senja milik Seno Gumira Ajidarma pada Sepotong Senja Untuk Pacarku. Senja yang dikirim oleh seorang lelaki pada kekasihnya sebagai ungkapan rindunya. Senja yang manis. Dan sekarang ia tak mau berhenti memandangnya. Sebab senja hanya sekejap saja, pikirnya. Ia pun heran, kenapa senja yang begitu indah itu hanya sekejap, selanjutnya digantikan malam yang pekat. Seperti nyala kembang api yang juga sekejap.
Tak lama kemudian, ia kembali melihat arlojinya. Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dan ia belum juga melihat sosok yang diidam-idamkannya. Ia curiga jangan-jangan arlojinya sudah mulai snewen. Matanya mulai liar mencari-cari sosok yang sekian lama dirindukannya itu. Tubuh tinggi dan kurus. Mata yang dingin dan dalam. Ah, sudah berapa lama ia tak melihatnya ia pun tak tahu. Kini kakinya mulai tak bisa diam. Bintik-bintik keringat di dahinya juga sudah mulai tampak. Ia pun sudah mulai menggigit bibirnya yang merah. Dan ia mulai tak percaya lagi dengan arlojinya. Tapi ia belum juga beranjak dari kursinya dan mulai mencari ketenangan dengan menghisap sebatang rokok. Asap mengepul dari mulutnya.
***
Rumah yang mungil. Halaman yang kecil tapi dipenuhi bunga-bunga aneka warna. Ada kolam dengan sepasang kura-kura yang juga kecil. Angin semilir bercakap dengan daun-daun yang beranjak tidur. Menambah sejuk teras dengan dua kursi santai itu.
“Sayang, mau kubikinkan teh?”
“Bolehlah, tapi jangan terlalu manis”.
Sejenak kemudian seorang perempuan datang dengan membawa dua cangkir teh dan sepiring kue bolu. Perempuan dan lelaki itu kemudian meminum teh masing-masing dengan diam-diam, belum berkata-kata. Si perempuan mulai menjamah kue yang ada di piring dan menawarkannya pula pada si lelaki.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya perempuan itu dengan kue bolu yang memenuhi mulutnya. “kau tampak gelisah, sayang.”
“Tidak ada apa-apa.”
“Kau jangan bohong. Matamu tak bisa menyembunyikan kegelisahanmu itu.”
“Benar kok, tidak ada apa-apa. Sungguh.”
Si perempuan tak bertanya lagi pada si lelaki, tapi sungguh tak dapat dipungkiri, hatinya tak mau berhenti bertanya-tanya.
Lelaki itu kemudian beranjak dari kursinya. Berjalan-berjalan di halamannya yang tidak luas itu. Dan kini ada sebatang rokok di mulutnya. Asap mengepul. Ia masih berjalan mondar-mandir sambil sambil berulang kali memberi makan kura-kura yang sudah tak berselera makan itu.
Perempuan yang masih duduk di kursinya itu semakin bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada lelaki yang telah menikahinya dua tahun yang lalu itu. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus. Matanya yang dingin dan dalam. Memang, suaminya itu tak banyak bicara. Tapi tak pernah bersikap dingin seperti ini kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa suaminya itu sangat mencintainya, menyayanginya. Belum ada suatu masalah yang serius dalam rumah tangga yang telah dikaruniai seorang bayi laki-laki yang kini sedang tidur pulas. Cukup memenuhi untuk kriteria keluarga bahagia.
Setiap pagi, selain Sabtu dan Minggu, dirinya menyiapkan sarapan sebelum suaminya pergi ke kantor. Tak lupa sebelum pergi, suaminya mencium dirinya dan juga bayinya. Sore ketika suaminya pulang, mereka biasa bercakap-cakap tentang apa saja yang mereka kerjakan seharian. Perempuan itu cukup berbahagia. Tapi, tiga hari ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada suaminya. Entah apa ia pun tak tahu.
Diperhatikannya suaminya yang masih mondar-mandir di halaman itu sedikitnya sudah menghabiskan dua batang rokok, padahal sebelumnya sudah ditekannya di asbak, meski belum habis sebatang. Ia ingin bertanya lagi apa yang terjadi pada suaminya, Barangkali ada masalah dengan pekerjaannya atau dengan teman sekantornya, tapi ia enggan. Takut jika suaminya marah.
Dan lelaki yang sedari tadi mondar-mandir itu kini kembali mendekat pada tempat dimana istrinya duduk. Ia pun menghabiskan tehnya tanpa menyentuh kue yang ditawarkan istrinya tadi.
“Sayang, aku mau mandi dulu. Gerah sekali rasanya.” ujar lelaki itu pada istrinya. Dan perempuan yang dipanggil sayang itu hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
***
Lelaki itu belum juga beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih melayang-layang pada sesosok wanita berambut panjang yang sudah entah berapa lama tak dilihatnya itu. Tapi sangat dirindukannya. Sangat.
Ia membanyangkan perempuannya yang menunggu di taman. Tempat mereka biasa bertemu pada suatu ketika, suatu masa. Sendirian menunggunya. Dibayangkannya pula bagaimana kebiasaan perempuan itu, yang suka menggigit bibirnya sendiri jika tak sabar menunggu sesuatu. Lelaki itu tersenyum-senyum pada ingatannya. Ah, Maya, masihkah sekarang kau menungguku? Kenapa masih menungguku? gumamnya.
Dan ia pun masih belum juga beranjak ke kamar mandi, malahan berjalan-jalan ke ruang tengah. Mungkin selera mandinya sudah hilang. Tak lagi gerah. Dan ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Berlari ke taman? Mungkinkah? Bertemu lagi dengan perempuan yang sangat dirindukannya sekaligus ingin dilupakannya itu? Ataukah tidak pergi kemana-mana dan melanjutkan hidupnya seperti biasa? Seperti sebelum datang sebuah pesan di ponselnya dari perempuan itu. Yang ingin bertemu di taman, di tempat mereka biasa bertemu, dulu.
Sejenak ia melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Bingkai-bingkai foto itu agaknya berusaha mengabadikan sebuah peristiwa. Ada foto dirinya sewaktu diwisuda. Ada foto kedua orang tuanya. Ada juga foto pernikahannya dua tahun yang lalu. Dirinya tampak berseri-seri, begitu juga istrinya. Foto lain memperlihatkan anak lelakinya yang baru berusia satu tahun. Bukankah dirinya berbahagia? Ia merasa sangat beruntung dengan keluarga yang dimilikinya sekarang. Pekerjaan yang mapan. Sahabat-sahabat. Istri yang cantik, baik, dan perhatian. Juga anak yang lucu. Bukankah dirinya berbahagia?
***
Perempuan itu masih di sana. Matanya semakin jalang mencari-cari. Rasanya rokok yang dihisapnya itu pun begitu cepat habis. Lelaki tua dengan anjingnya pun sudah berlalu pergi. Sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya itu juga sudah berlalu entah kemana. Tiba-tiba taman terasa begitu asing. Dan hening menyelinap dalam hatinya.
Kini ia pun berjalan mondar-mandir di taman itu. Mencari ketenangan diantara rumput-rumput hijau yang mulai memerah sebab senja. Sepatunya yang tinggi kini bercakap dengan rumput-rumput itu. Kenapa ia masih juga menunggu laki-laki itu? Berkali-kali ia bertanya pada dirinya sendiri, tapi tak juga menemukan jawaban. Ataukah memang tak ada jawaban, bahkan di majalah-majalah wanita sekalipun.
Hatinya terasa kosong dan pikirannya melayang kemana-mana. Terpikir olehnya jangan-jangan tindakannya ini sudah mendekati kebodohan. Kegilaan. Jangan-jangan ia yang dirindukannya tak datang. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya ketika dalam perjalanan kemari. Jangan-jangan ia lupa. Jangan-jangan…
Perempuan itu berjuang keras untuk tetap tenang.
Jari dengan kuku-kuku yang bercat merah itu sedari tadi memencet sejumlah angka yang ada di ponselnya, tapi ia tak pernah menyelesaikannya. Ia tak punya cukup keberanian untuk menelpon laki-laki di seberang sana. Ada sesak. Ada gelisah. Dan senja tak lagi mampu menarik perhatiannya. Pikirannya pun dijejali kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya takut. Bagaimana kalau ia tak mau mengangkat telponnya. Bagaimana kalau yang mengangkat adalah seorang perempuan. Bagaimana kalau ia, lelaki itu, sudah melupakannya. Bagaimana kalau…Ahh..
Perempuan itu tak pernah tahu mengapa ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Sungguh tak pernah tahu.
Perempuan itu pun tak pernah tahu, lima menit yang lalu ketika lampu-lampu taman menyala serentak, tepat ketika ia meninggalkan taman itu, sesosok laki-laki datang dengan nafas terengah-engah. Lelaki berbadan tinggi dan kurus. Matanya dingin dan dalam.
Agaknya, senja kali ini tak banyak orang datang ke taman, entah terlalu sibuk dengan pekerjaan atau hanya malas saja. Barangkali juga tempat lain lebih menggoda. Seorang laki-laki yang sudah tua datang dengan anjingnya yang berwarna coklat dengan bulunya yang panjang dan halus, bercakap dengan gembira seolah anjingnya itu mengerti apa yang lelaki tua itu bicarakan. Lucu. Barangkali lelaki tua itu sudah terlalu bosan dengan istrinya di rumah yang semakin cerewet dan keriput. Dan ia beralih pada anjingnya, dan dibayangkannya anjingnya itu kekasihnya sewaktu muda dahulu, manis dan manja. Perempuan itu tertawa-tawa kecil dengan apa yang berkelebat di kepalanya tentang lelaki tua itu.
Dan lagi, sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya. Seorang perempuan berambut pendek dan lelaki kurus berambut panjang berkacamata, tampak berbinar-binar mata keduanya. Cekikikan entah menertawakan apa. Barangkali menertawakan hidup. Namun, mereka tampak begitu bahagia. Mengingatkannya pada suatu ketika, suatu masa, entah kapan. Perempuan berbaju merah dan duduk di kursi merah itu berair matanya.
Senja kali ini berwarna merah keemasan, berkilauan. Sebuah kombinasi yang memukau. Dan mengingatkannya pada senja milik Seno Gumira Ajidarma pada Sepotong Senja Untuk Pacarku. Senja yang dikirim oleh seorang lelaki pada kekasihnya sebagai ungkapan rindunya. Senja yang manis. Dan sekarang ia tak mau berhenti memandangnya. Sebab senja hanya sekejap saja, pikirnya. Ia pun heran, kenapa senja yang begitu indah itu hanya sekejap, selanjutnya digantikan malam yang pekat. Seperti nyala kembang api yang juga sekejap.
Tak lama kemudian, ia kembali melihat arlojinya. Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dan ia belum juga melihat sosok yang diidam-idamkannya. Ia curiga jangan-jangan arlojinya sudah mulai snewen. Matanya mulai liar mencari-cari sosok yang sekian lama dirindukannya itu. Tubuh tinggi dan kurus. Mata yang dingin dan dalam. Ah, sudah berapa lama ia tak melihatnya ia pun tak tahu. Kini kakinya mulai tak bisa diam. Bintik-bintik keringat di dahinya juga sudah mulai tampak. Ia pun sudah mulai menggigit bibirnya yang merah. Dan ia mulai tak percaya lagi dengan arlojinya. Tapi ia belum juga beranjak dari kursinya dan mulai mencari ketenangan dengan menghisap sebatang rokok. Asap mengepul dari mulutnya.
***
Rumah yang mungil. Halaman yang kecil tapi dipenuhi bunga-bunga aneka warna. Ada kolam dengan sepasang kura-kura yang juga kecil. Angin semilir bercakap dengan daun-daun yang beranjak tidur. Menambah sejuk teras dengan dua kursi santai itu.
“Sayang, mau kubikinkan teh?”
“Bolehlah, tapi jangan terlalu manis”.
Sejenak kemudian seorang perempuan datang dengan membawa dua cangkir teh dan sepiring kue bolu. Perempuan dan lelaki itu kemudian meminum teh masing-masing dengan diam-diam, belum berkata-kata. Si perempuan mulai menjamah kue yang ada di piring dan menawarkannya pula pada si lelaki.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya perempuan itu dengan kue bolu yang memenuhi mulutnya. “kau tampak gelisah, sayang.”
“Tidak ada apa-apa.”
“Kau jangan bohong. Matamu tak bisa menyembunyikan kegelisahanmu itu.”
“Benar kok, tidak ada apa-apa. Sungguh.”
Si perempuan tak bertanya lagi pada si lelaki, tapi sungguh tak dapat dipungkiri, hatinya tak mau berhenti bertanya-tanya.
Lelaki itu kemudian beranjak dari kursinya. Berjalan-berjalan di halamannya yang tidak luas itu. Dan kini ada sebatang rokok di mulutnya. Asap mengepul. Ia masih berjalan mondar-mandir sambil sambil berulang kali memberi makan kura-kura yang sudah tak berselera makan itu.
Perempuan yang masih duduk di kursinya itu semakin bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada lelaki yang telah menikahinya dua tahun yang lalu itu. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus. Matanya yang dingin dan dalam. Memang, suaminya itu tak banyak bicara. Tapi tak pernah bersikap dingin seperti ini kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa suaminya itu sangat mencintainya, menyayanginya. Belum ada suatu masalah yang serius dalam rumah tangga yang telah dikaruniai seorang bayi laki-laki yang kini sedang tidur pulas. Cukup memenuhi untuk kriteria keluarga bahagia.
Setiap pagi, selain Sabtu dan Minggu, dirinya menyiapkan sarapan sebelum suaminya pergi ke kantor. Tak lupa sebelum pergi, suaminya mencium dirinya dan juga bayinya. Sore ketika suaminya pulang, mereka biasa bercakap-cakap tentang apa saja yang mereka kerjakan seharian. Perempuan itu cukup berbahagia. Tapi, tiga hari ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada suaminya. Entah apa ia pun tak tahu.
Diperhatikannya suaminya yang masih mondar-mandir di halaman itu sedikitnya sudah menghabiskan dua batang rokok, padahal sebelumnya sudah ditekannya di asbak, meski belum habis sebatang. Ia ingin bertanya lagi apa yang terjadi pada suaminya, Barangkali ada masalah dengan pekerjaannya atau dengan teman sekantornya, tapi ia enggan. Takut jika suaminya marah.
Dan lelaki yang sedari tadi mondar-mandir itu kini kembali mendekat pada tempat dimana istrinya duduk. Ia pun menghabiskan tehnya tanpa menyentuh kue yang ditawarkan istrinya tadi.
“Sayang, aku mau mandi dulu. Gerah sekali rasanya.” ujar lelaki itu pada istrinya. Dan perempuan yang dipanggil sayang itu hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
***
Lelaki itu belum juga beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih melayang-layang pada sesosok wanita berambut panjang yang sudah entah berapa lama tak dilihatnya itu. Tapi sangat dirindukannya. Sangat.
Ia membanyangkan perempuannya yang menunggu di taman. Tempat mereka biasa bertemu pada suatu ketika, suatu masa. Sendirian menunggunya. Dibayangkannya pula bagaimana kebiasaan perempuan itu, yang suka menggigit bibirnya sendiri jika tak sabar menunggu sesuatu. Lelaki itu tersenyum-senyum pada ingatannya. Ah, Maya, masihkah sekarang kau menungguku? Kenapa masih menungguku? gumamnya.
Dan ia pun masih belum juga beranjak ke kamar mandi, malahan berjalan-jalan ke ruang tengah. Mungkin selera mandinya sudah hilang. Tak lagi gerah. Dan ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Berlari ke taman? Mungkinkah? Bertemu lagi dengan perempuan yang sangat dirindukannya sekaligus ingin dilupakannya itu? Ataukah tidak pergi kemana-mana dan melanjutkan hidupnya seperti biasa? Seperti sebelum datang sebuah pesan di ponselnya dari perempuan itu. Yang ingin bertemu di taman, di tempat mereka biasa bertemu, dulu.
Sejenak ia melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Bingkai-bingkai foto itu agaknya berusaha mengabadikan sebuah peristiwa. Ada foto dirinya sewaktu diwisuda. Ada foto kedua orang tuanya. Ada juga foto pernikahannya dua tahun yang lalu. Dirinya tampak berseri-seri, begitu juga istrinya. Foto lain memperlihatkan anak lelakinya yang baru berusia satu tahun. Bukankah dirinya berbahagia? Ia merasa sangat beruntung dengan keluarga yang dimilikinya sekarang. Pekerjaan yang mapan. Sahabat-sahabat. Istri yang cantik, baik, dan perhatian. Juga anak yang lucu. Bukankah dirinya berbahagia?
***
Perempuan itu masih di sana. Matanya semakin jalang mencari-cari. Rasanya rokok yang dihisapnya itu pun begitu cepat habis. Lelaki tua dengan anjingnya pun sudah berlalu pergi. Sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya itu juga sudah berlalu entah kemana. Tiba-tiba taman terasa begitu asing. Dan hening menyelinap dalam hatinya.
Kini ia pun berjalan mondar-mandir di taman itu. Mencari ketenangan diantara rumput-rumput hijau yang mulai memerah sebab senja. Sepatunya yang tinggi kini bercakap dengan rumput-rumput itu. Kenapa ia masih juga menunggu laki-laki itu? Berkali-kali ia bertanya pada dirinya sendiri, tapi tak juga menemukan jawaban. Ataukah memang tak ada jawaban, bahkan di majalah-majalah wanita sekalipun.
Hatinya terasa kosong dan pikirannya melayang kemana-mana. Terpikir olehnya jangan-jangan tindakannya ini sudah mendekati kebodohan. Kegilaan. Jangan-jangan ia yang dirindukannya tak datang. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya ketika dalam perjalanan kemari. Jangan-jangan ia lupa. Jangan-jangan…
Perempuan itu berjuang keras untuk tetap tenang.
Jari dengan kuku-kuku yang bercat merah itu sedari tadi memencet sejumlah angka yang ada di ponselnya, tapi ia tak pernah menyelesaikannya. Ia tak punya cukup keberanian untuk menelpon laki-laki di seberang sana. Ada sesak. Ada gelisah. Dan senja tak lagi mampu menarik perhatiannya. Pikirannya pun dijejali kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya takut. Bagaimana kalau ia tak mau mengangkat telponnya. Bagaimana kalau yang mengangkat adalah seorang perempuan. Bagaimana kalau ia, lelaki itu, sudah melupakannya. Bagaimana kalau…Ahh..
Perempuan itu tak pernah tahu mengapa ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Sungguh tak pernah tahu.
Perempuan itu pun tak pernah tahu, lima menit yang lalu ketika lampu-lampu taman menyala serentak, tepat ketika ia meninggalkan taman itu, sesosok laki-laki datang dengan nafas terengah-engah. Lelaki berbadan tinggi dan kurus. Matanya dingin dan dalam.