Jumat, 16 September 2011. Pukul 19.00 WIB Taman Budaya Yogyakarta sudah dipenuhi ratusan orang. Beberapa orang masih duduk-duduk. Tapi kebanyakan langsung menaiki tangga dan menuju gedung pertunjukan Concert Hall setelah terlebih dahulu mengisi daftar hadir. Saya bertemu beberapa teman sekampus, dan kebanyakan adalah adik angkatan ^______^
Kira-kira setengah jam kemudian, gedung pertunjukan telah dibuka. Dan pengunjung pun berduyun-duyun mencari tempat duduk yang paling nyaman. Akhirnya saya dan seorang kawan memilih duduk di bagian tengah. Berhubung pementasan ini gratis, jadi banyaaak banget yang datang. Dan saya rasa sebagian besar adalah mahasiswa FIB UGM, lebih khususnya sastra Indonesia!
Beberapa menit kemudian muncul suara tanpa raga berbahasa jawa dan inggris yang intinya ucapan selamat datang dan larangan merokok, makan, minum, dan memotret dengan menggunakan blitz. Sementara orang di samping saya sedang asyik bermain hp. Oke, dari pada kebanyakan cincong langsung saja saya ceritakan sebenarnya pementasan apa yang bakal digelar malam ini.
Pementasan malam ini sebenarnya adalah serangkaian acara “gelar karya maestro tahun 2011” yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Sang maestro yang dipilih pada tahun ini adalah Kusbini (yang acaranya sudah digelar pada malam sebelumnya dan saya nggak nonton), KPH Wasito Dipuro, C Hardjasoebrata, W.S Rendra, dan Sri Murtono.
Nah, untuk malam ini, W.S Rendra dan Sri Murtono yang mendapat giliran.
Tidak lama setelah suara tanpa raga tadi, lampu kemudian dipadamkan. Sebelum pementasan dimulai, para penonton diperkenalkan terlebih dahulu siapa itu W.S Rendra dan Sri Murtono. Sebuah video muncul dan terdengar suara Rendra membaca salah satu sajaknya, yang kalau nggak salah judulnya “Hai, Ma!”. Dan kalau gak salah lagi, beginilah sepenggal sajak itu: Ma/Bukan maut yang menggetarkan hatiku/Tetapi hidup yang tidak hidup/Karena kehilangan daya dan fitrahnya/. Kemudian yang diwawancarai sebagai orang terdekat Rendra adalah mantan istrinya, Sitoresmi Prabuningrat, dan sahabatnya, Prof. Bakdi Soemanto.
Pementasan untuk mengenang W.S Rendra ini berjudul “Mencari Bapa” yang diambil dari salah satu sajak panjang Rendra dengan judul yang sama. Sajak ini berisikan pencarian seorang lelaki bernama Suto yang tak beribu dan dibuang oleh ayahnya. Dalam perjalanan hidupnya, Suto mencari seorang Bapa yang sesungguhnya. Begitulah kira-kira.
Pementasan yang dibawakan oleh Seni Teku ini disutradai oleh Ibed Surgana Yuga. Pemain-pemainnya antara lain: Andika Ananda, Riski P. Sari, Tita Dian Wulansari, A. Satrio Pringgodani, Dinu Imansyah, Isa Al-Awwam, Silvano Rodrigues, Kurtubi Rush, Kuncoro Sejati, Eni Wahyuni (yang ini kakak angkatan lho, dan baru saya sadari ketika mendengar suaranya).
Tidak banyak property di atas panggung. Hanya ada beberapa lampu yang entah terbuat dari apa dan digantung di langit-langit. Kemudian muncul dua orang penari dengan kostum berwarna merah dan seorang lagi berdiri pas di tengah dengan rambut yang terurai kedepan. Mereka kemudian menampilkan beberapa gerakan yang super oke, lincah, dan energik.
Suto kecil muncul, berperilaku seperti anak kecil yang bermain-main. Kemudian digantikan oleh Suto dewasa yang berdiri di atas punggung dua orang penari/pemain. Secara keseluruhan, yang membuat saya takjub dari pementasan ini adalah pemain-pemainnya yang begitu menguasai tubuh. Salto jungkir balik yang rawan keseleo itu dilakukan dengan cihuy. Apalagi adegan Suto dewasa dengan seorang wanita (yang dalam sajak adalah seorang lonte), itu sungguh adegan dengan gerakan yang sangat ciamik. Selain itu, kualitas vokalnya juga nggak kalah keren. Sajak Rendra yang panjang itu disuarakan dengan lantang. Dalam beberapa dialog, penonton berhasil dibuat hening.
Kira-kira pukul 20.40 WIB pementasan untuk mengenang Rendra tersebut usai sudah, dan diakhiri dengan tepuk tangan penonton. Lampu menyala. Tapi penonton belum ada yang beranjak. Yup! masih ada satu lagi.
Pementasan kedua adalah Genderang Baratayudha yang berasal dari naskah karya Sri Murtono dengan judul yang sama. Pementasan oleh Teater Beta ini disutradarai oleh Rano Sumarno. Sayangnya, saya nggak tahu siapa saja nama pemain-pemainnya. Sama seperti W.S Rendra, penonton juga terlebih dahulu diperkenalkan siapa itu Sri Murtono. Sri Murtono adalah dramawan Jogja sekaligus pendiri ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film).
Sebelum pementasan dimulai, ada MC yang membacakan semacam ringkasan cerita. Kemudian setelah layar dibuka, penonton disuguhi lima orang pemain super ganteng (sebenarnya yang bikin ganteng adalah kostumnya. hehe). Lima orang pemain itu tidak lain adalah pihak pandawa lengkap dengan senjatanya masing-masing. Sumpah..kostumnya sangat keren sekali. Penonton pun sontak bertepuk tangan ketika ada pemain yang salto jungkir balik dengan indahnya.
Tokoh wanita dalam pementasan ini ada dua, yaitu Kirana dan Sinta. Gila! vocal kedua wanita ini sungguh sangat mantap. Keduanya adalah kekasih dari pihak pandawa. Singkat cerita, drama yang ditulis oleh Sri Murtono pada tahun 1956 ini mengisahkan perang baratayudha. Penonton di samping saya sepertinya tidak begitu mudeng dengan jalan ceritanya. Ia beberapa kali bertanya ini itu (padahal sebenarnya saya juga nggak begitu mudeng). Nah, saya yang sukanya sok tahu akhirnya mendobos ria. Hehe.
Tentu saja dalam pementasan ini ada adegan-adegan romantisnya, atau lebih tepatnya galau. Yaitu ketika Sinta berbincang dengan Yudistira (kalau nggak salah). Apalagi ketika Yudistira membunuh Sinta lantaran Sinta telah membunuh salah satu personil pandawa. Jeritan Yudistira dan Kirana yang juga ditinggal oleh kekasihnya sungguh menyayat. Nggrantes banget. Intinya, Genderang Baratayudha telah membuat banyak orang kehilangan orang yang dicintainya.
Beberapa detik kemudian, kira-kira pukul 22.00 WIB tepuk tangan membahana, tanda pementasan telah usai. Ratusan penonton pun beranjak dari kursinya masing-masing. Kalau boleh jujur, saya sangat puas dengan kedua pementasan ini. Dengan durasi waktu yang tidak begitu lama, pementasan ini berhasil memberikan sajian yang menakjubkan. Tak sekadar hiburan. Enjoy!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
Setelah ku membacanya, berat rasanya mata ini. Lelah ku putar putar scrol yang bersinar kelap kelip. Apa fungsi dunia nyata? jika dengan cerita sudah ku dapat semua.
ReplyDelete>kabur<
apa aja boyeeeeh..
ReplyDelete