Aku tidak tahu apa nasib waktu. Begitulah kata Chairil Anwar. Entahlah, waktu dan masa depan seperti terra incognita. Daerah tak bertuan. Tapi kita mencoba mencacah-cacahnya dalam sebuah kalender, hari, dan jam-jam yang diperhitungkan dengan detail. Dan kita pun seringkali tertipu olehnya. Tak jarang, semua rencana lenyap begitu saja. Kita menyusunnya kembali. Runtuh lagi. Begitu seterusnya. Tiba-tiba kita pun menyadari betapa mudahnya manusia diombang-ambingkan oleh gelombang waktu.
Waktu pun telah menjumlahkan dirinya menjadi bertumpuk-tumpuk. Menjadi gelombang yang besar. Menjadi hari, bulan, dan tahun yang kita rekam dalam ingatan. Dan bagi saya, tahun ini benar-benar menggelora. Sedikit gila. Kadang sentimentil. Dan penuh gejolak personal: dari peristiwa ke peristiwa, dari keputusan-keputusan, tindakan-tindakan.
Tahun ini saya merampungkan studi. 4,6 tahun vs 1,5 jam di ruangan itu. Kemudian beberapa hari tenggelam dalam euforia. Sampai-sampai revisi saya selesaikan dalam dua bulan. Waktu yang selo pun saya gunakan untuk menerima beberapa tawaran mengedit naskah dan menemani beberapa teman yang juga sedang berjuang untuk rampung. Hamdallah, beberapa sudah rampung dan beberapa lagi masih dalam taraf niat.
Sejumlah keputusan saya ambil. Mencoba mengambil risiko, belajar bertanggung jawab. Hingga kini mengapa saya masih ada di kota ini pun adalah hasil negosiasi yang panjang dengan diri saya sendiri. Berjudi dengan terra incognita itu.
Ya, di tahun ini saya bisa bertemu orang tua saya. Meski hanya beberapa hari karena keperluan wisuda. Di tahun ini pula kakek saya meninggalkan dunia sumpek ini. Darinyalah saya mewarisi sifat keras kepala itu, kebekuan itu. Dan di ruang yang baru, beberapa teman datang dari dunia yang jauh dan asing. Beberapa teman pergi. Ah, pertemuan dan perpisahan, meninggalkan dan ditinggalkan, kita pun terpaksa harus mengakrabinya.
Saya pun sempat terlunta dalam sebuah hubungan yang mengambang. Seseorang yang begitu intim tiba-tiba menjauh, menjelma jadi sosok yang begitu berjarak. Tapi darinya saya banyak belajar bahwa melepas itu sulit, tapi mungkin. Meredam, menerima, menjadikannya pelajaran berharga. Menyimpan setiap jejaknya pada tempat yang semestinya, dengan cara yang paling sunyi.
Saya telah sampai pada persetujuan dengan Chairil, bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Tujuan dari nasib hanyalah ‘kesunyian’ itu sendiri. Dan pada akhirnya kita harus kembali pada sunyi.
Di tahun ini beberapa kali saya tersungkur. Tersudut di pojok dan menangis sendirian. Tapi, saya tidak ingin dan tak sudi jadi pecundang yang terpuruk terlalu lama. “Aku tidak akan menyerah!”, begitu kata Monkey D. Luffy.
Saya pun masih terus menerus belajar untuk lebih tenang. Mengendap. Menjauhkan mulut dari kutukan dan keluhan. Tiba-tiba saya pun ingat, beberapa hari lalu saya berkata begitu keras dan tajam pada dua orang teman. Saya begitu jengkel dengan sikapnya. Tapi kemudian saya meminta maaf. Saya menyadari bahwa sikap saya itu semakin memperjelas ketidaktenangan saya dalam merespons keadaan.
Saya tidak tahu akan seperti apa saya tahun depan. Apa nasib waktu? Tubuh saya semakin mengurus akibat terlalu sering begadang. Maag sering mengganggu karena telat makan. Sepertinya saya pun tidak bisa lagi menghindar dari dokter mata. Duh gusti uripku..
Wahai diri, selamat bertumbuh di Desember yang ke-23. Semoga tahun berikutnya, blog ini tidak dipenuhi curhatan pribadi :p
Sunday, December 23, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...