Saturday, February 9, 2013
sekali lagi, Pramoedya
: selamat berulang tahun, Pram. sayang sekali, kita gagal makan siang bersama.
Tidak terasa hampir delapan tahun negeri ini ditinggalkan oleh penulis besar Pramoedya Ananta Toer (Pram). Namun, Pram seperti tak lelah-lelahnya dibicarakan. Ia terus-menerus ditulis, diteliti, didiskusikan, serta diapresiasi dalam berbagai sisi dan bentuk. Berbagai penghargaan dari luar negeri, bahkan kandidat nobel pun disandangnya.
Ratusan buku yang telah terbit banyak membahas karya, proses kreatif, bahkan hal-hal yang paling pribadi dari seorang Pramoedya. Buku-buku tersebut kebanyakan justru ditulis oleh peneliti-peneliti berkebangsaan asing. Memang, Pram dicintai di negeri lain, tetapi disingkirkan dari negeri sendiri. Berita baiknya, tiga tahun terakhir buku-buku tentang Pram sudah banyak ditulis oleh orang-orang dalam negeri. Meskipun belum ada penelitian serius mengenai karya-karyanya dan keterlibatannya dengan berbagai rezim. Buku-buku tersebut seringkali hanya berupa hasil wawancara atau semacam testimoni dari keluarga dekatnya. Jarangnya penelitian (apalagi di tingkat akademis) tersebut dapat dipicu oleh kondisi politik di Indonesia yang tidak memungkinkan seorang peneliti untuk bersentuhan lebih akrab dengan karya-karya Pram, yang hingga kini izin pelarangannya belum dicabut.
Dari sekian banyak hal, keterlibatan Pram dengan Lekra dan tuduhan sebagai komunislah yang mendapat banyak sambutan. Ada yang membela, tak sedikit yang menghujat. Perkara tuduhan komunis itu pula, ia dibuang bersama puluhan ribu tahanan politik ke Pulau Buru. Karya-karyanya pun sering dianggap “berbahaya”. Tapi di mata saya Pram dalah penulis “yang suka cari perkara, tetapi berani mengambil risiko”. Bagi saya pula, inilah yang kemudian menjadikannya sebagai pribadi yang begitu menarik. Asyik.
Segala milik Pram telah dirampas: naskah, hidup, dan masa muda. Sebagian besar naskahnya hilang dan dibakar. Namun, Pram tak pernah menyerah. Untuk sebagian naskah-naskahnya, Pram membuat salinan dan bahkan diceritakan secara lisan agar naskahnya ada yang bisa diselamatkan. Bahkan sebagian besar karyanya disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Delapan belas tahun hidupnya dihabiskan dan menjalani sebagian besar masa kreatifnya di penjara. Tiga tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru tanpa proses pengadilan. Walaupun pada 21 Desember 1979 Pram mendapat surat pembebasan tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S/PKI, tetapi ia tetap dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, hingga 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama dua tahun.
Tak perlu diragukan, Pram adalah seorang penulis yang memiliki wawasan luas mengenai sejarah Indonesia. Bahkan melalui kebiasaan mengklipingnya, Pram berencana membuat ensiklopedi sejarah Indonesia. Sayangnya keinginan tersebut belum terealisasi. Ia pun melahirkan novel sejarah. Dalam novel-novelnya, sejarah mendapatkan alur dan bentuk. Di tangannya, sejarah dikaji ulang sehingga menjadi sejarah yang “baru”. Ia seolah membuat sejarah tandingan. Sebut saja roman Arus Balik dan Arok Dedes.
Apa yang dilakukannya tersebut dianggap tugas nasional. Baginya, menulis tidak hanya sebagai usaha untuk menolak lupa, tetapi juga melawan. Ia melawan dengan menulis karena ia sadar betul bahwa “jika tak menulis, kamu akan disingkirkan dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dan yang membuat karya-karyanya selalu fenomenal adalah adanya unsur nation dan pembangunan karakter bangsa, yang gamblang terlihat dalam Tetralogi Bumi Manusia.
Pram menyeru dengan lantang: kebenaran tidak datang dari langit, ia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar. Dan setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. Pram menulis untuk melawan. Ia berani mengambil segala risiko atas tindakan yang dilakukannya itu. Keberaniannya tersebut jelas terlihat dalam sikap-sikapnya ketika menulis karya. Sehingga dalam pahitnya kekalahan, Pram masih bisa berkata, “kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik baiknya, sehormat-hormatnya.”
Keberaniannya tersebut sebenarnya bermula dari kehidupan keluarganya. Ia terlahir dari orang-orang hebat yang berperan kuat dalam pribadinya dan dididik dalam keluarga nasionalis. Ibunya adalah seorang wanita yang lembut dan tegas, yang diceritakan Pram dalam Cerita dari Blora. Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, adalah seorang pendiri sekolah Boedi Oetomo. Seorang pendidik yang keras, meski Pram kecil terkadang membenci ayahnya. Pram kecil selalu merasa rendah diri karena selalu dianggap bodoh. Pram yang telah dewasa kemudian mengambil keputusan-keputusan yang bisa membahayakan kehidupan dirinya dan keluarganya. Adik-adiknya banyak yang dipenjara hanya karena menyandang nama “Toer”.
Barangkali, yang bisa membuat Pram tetap gigih adalah harapan terhadap angkatan muda. Ia percaya bahwa angkatan muda mampu melahirkan sejarah. Barangkali pula, angkatan muda sekarang tidak banyak yang mengenal Pram secara langsung, tetapi melalui karya-karyanya dapatlah diketahui bagaimana essensi jiwa Pram terwujud. Dalam karya-karyanya, Pram selalu menampilkan tokoh muda yang revolusioner. Sebut saja Minke, Larasati, Wiranggaleng, dan Hardo yang begitu gigihnya memperjuangkan keadilan. Kepada angkatan muda pun ia berseru “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin dan jangan jadi ternak saja yang sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi.”
Dengan karya-karyanya --yang sudah diterjemahkan dalam lebih dari 40 bahasa asing, termasuk bahasa etnis di India-- Pram tak lagi menjadi miliknya pribadi, ia telah menjadi warga dunia. Karya-karyanya merupakan pembelaan terhadap orang-orang kecil, orang-orang yang tidak didengarkan. Sejarah orang kecil tersebut diabadikan dalam cerpen-cerpennya, misalnya dalam antologi Cerita dari Jakarta, Percikan Revolusi, dan Subuh. Ia selalu berguru pada kehidupan, karenanya ia tak pernah percaya pada penguasa yang berjarak jauh dengan keadilan. Baginya, keindahan adalah perjuangan untuk kemanusiaan.
Terakhir, semoga karya-karya Pram tak hanya berakhir pada bacaan, tetapi menjadi percikan revolusi subuh. Wahai anak-anak dan cucu-cucuku, kalian boleh tidak tahu The Beatles. Tapi ketahui dan kenalilah Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah manusia besar dari bangsamu sendiri.
Saturday, February 2, 2013
teori pascakolonialisme Homi K. Bhabha: ontologi dan epistemologinya
:sebuah penjelajahan awal
Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jacques Lacan juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh seperti Franz Fanon dan Edward W. Said [1]. Beberapa konsep teori pascakolonialisme Bhabha, antara lain: stereotipe, mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.
Dalam kajiannya, Bhabha mengkritisi model oposisi biner tentang hubungan-hubungan kolonial seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dan Franz Fanon. Said berfokus pada wacana penjajah, sedangkan Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara konsep-konsep Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi [2].
Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah dalam konsep time-lag-nya (yang pertama kali muncul pada tahun 1990), yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.
Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga” [3].
Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas [4]. Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.
Hibriditas di lingkungan kolonial dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas drai ortodoksi rezim kolonial maupun identitas-identitas nasionalis bayagan yang harus menggantikannya. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial [5].
Strategi hibriditas ini dapat ditempuh dengan cara mimikri [6]. Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas penjajah di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Tindakan mimikri ini kemudian dapat dipahami sebagai akibat dari retakan-retakan dalam wacana kolonial. Baik bagi penjajah maupun terjajah, tindakan mimikri ini menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif.
Oleh karena itu, identitas hibrida dari tindak mimikri ini tidak pernah benar-benar terkendali atau dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial karena terdapat ambivalensi dalam wacana kolonial. Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus pascakolonial, ambivalensi berkembang menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan-pilihan yang ditawarkan pada subjek-subjek kolonial bagi pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.
Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat keambiguan wacana kolonial. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai subjek terjajahnya dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam, bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah kepada penjajahnya.
Pada level tertentu, tindakan mimikri tersebut dapat pula menjadi suatu olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen ketika di satu pihak membangun persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura (bahkan sambil berbohong) diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan almost the same, but not quite.
Selanjutnya, dalam upaya untuk mengalihkan fokus dari analisis wacana kolonial ke dalam formasi identitas, efek psikis yang mempengaruhi dan beroperasi dari bawah sadar, Bhabha menggunakan konsep Lacan. Bagi Bhabha, identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude melalui prinsip displacement dan diferensiasi.
Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi kolonial salah satunya dapat dilihat dari kerja stereotipe kolonial. Stereotipe adalah representasi dan penilaian yang pasti dan tanpa kompromi terhadap orang lain. Ia adalah bentuk representasi kultural yang kaku dan menciptakan jarak di antara manusia. Stereotipe ini mencakup idealisasi yang selektif terhadap liyan. Stereotipe dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki sedikit kekuasaan dan status dalam masyarakat. Pihak yang menjadi objek penstereotipan kemudian berfungsi sebagai kambing hitam bagi perasaan frustasi, tidak senang, dan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Lebih lanjut, stereotipe adalah dasar legitimasi penguasa kolonial. Penstereotipan adalah muara dari struktur tata kelola yang penuh prasangka dan diskriminatif.
Bhabha berfokus pada upaya menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe. Bhabha menafsir rezim stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respons-respons psikis yang kontadiktif terhadap liyan yang terjajah.
“The Other Question” bermula dari pengamatan terhadap ketergantungan wacana kolonial pada konsep fiksitas dalam representasi atas identitas yang tidak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya. Misalnya, stereotipe mengenai lustful Turk atau noble savage. Akan tetapi, bagi Bhabha, terdapat efek bertentangan dalam ekonomi stereotipe sejauh apa yang seharusnya sudah diketahui ternyata harus secara terus-menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini menegaskan adanya kekuarangan (lack) dalam jiwa penjajah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar ontologis konsep-konsep pascakolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement dan kondisi rupture. “Keterpecahan-keterpecahan” wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.
Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar epistemologis konsep-konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha. Metode ini beroperasi setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya yang mungkin bertentangan dan dapat menunda dan membuat asumsi-asumsi dasar itu ruptured (terpecah). Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.
[1] Berdasarkan tulisan-tulisan Bhabha yang terkumpul dalam The Location of Culture (1994), Bart Moore-Gilbert dalam Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics (1997) membagi dua fase besar dalam karier Bhabha. Pertama, sekitar tahun 1980—1988 Bhabha berfokus pada analisis wacana kolonial. Berbeda dengan Said yang berfokus pada Timur Tengah, Bhabha –seperti Spivak- berfokus pada pertukaran budaya dalam sejarah pemerintahan Inggris di India. Kedua, sejak tahun 1988 Bhabha lebih memberikan perhatian pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antara wacana pascakolonialis dan postmodernisme.
[2] Akan tetapi, resistensi tidak lantas berarti tindak oposisional atau negasi yang murni. Pada dasarnya, resistensi tidak pernah dengan mudah dapat dijelaskan karena ia bersifat khusus, tidak lengkap, dan ambigu. Hal inilah yang kemudian menjadikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah.
[3] Ruang ketiga ini dianalogikan oleh Bhabha (2007: 5) seperti karakter arsitektur tangga-hubung karya Reene Green yang memiliki roda yang mengalir antara ruang atas dan ruang bawah.
[4] Bhabha kembali pada Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminalitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Bagi Fanon, trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.
[5] Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh Robert J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional. Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam “Postcolonial Theory: Possibilities and Limitation” (1998) membagi hibriditas menjadi tiga, yaitu: hibriditas terkooptasi, hibriditas tersembunyi, dan hibriditas intensional.
[6] Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask (1952) yang mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.
Bahan Bacaan:
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Moore-Gilbert, Bart. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics. London, New York: Verso.
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indoensia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jacques Lacan juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh seperti Franz Fanon dan Edward W. Said [1]. Beberapa konsep teori pascakolonialisme Bhabha, antara lain: stereotipe, mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.
Dalam kajiannya, Bhabha mengkritisi model oposisi biner tentang hubungan-hubungan kolonial seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dan Franz Fanon. Said berfokus pada wacana penjajah, sedangkan Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara konsep-konsep Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi [2].
Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah dalam konsep time-lag-nya (yang pertama kali muncul pada tahun 1990), yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.
Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga” [3].
Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas [4]. Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.
Hibriditas di lingkungan kolonial dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas drai ortodoksi rezim kolonial maupun identitas-identitas nasionalis bayagan yang harus menggantikannya. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial [5].
Strategi hibriditas ini dapat ditempuh dengan cara mimikri [6]. Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas penjajah di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Tindakan mimikri ini kemudian dapat dipahami sebagai akibat dari retakan-retakan dalam wacana kolonial. Baik bagi penjajah maupun terjajah, tindakan mimikri ini menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif.
Oleh karena itu, identitas hibrida dari tindak mimikri ini tidak pernah benar-benar terkendali atau dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial karena terdapat ambivalensi dalam wacana kolonial. Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus pascakolonial, ambivalensi berkembang menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan-pilihan yang ditawarkan pada subjek-subjek kolonial bagi pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.
Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat keambiguan wacana kolonial. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai subjek terjajahnya dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam, bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah kepada penjajahnya.
Pada level tertentu, tindakan mimikri tersebut dapat pula menjadi suatu olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen ketika di satu pihak membangun persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura (bahkan sambil berbohong) diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan almost the same, but not quite.
Selanjutnya, dalam upaya untuk mengalihkan fokus dari analisis wacana kolonial ke dalam formasi identitas, efek psikis yang mempengaruhi dan beroperasi dari bawah sadar, Bhabha menggunakan konsep Lacan. Bagi Bhabha, identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude melalui prinsip displacement dan diferensiasi.
Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi kolonial salah satunya dapat dilihat dari kerja stereotipe kolonial. Stereotipe adalah representasi dan penilaian yang pasti dan tanpa kompromi terhadap orang lain. Ia adalah bentuk representasi kultural yang kaku dan menciptakan jarak di antara manusia. Stereotipe ini mencakup idealisasi yang selektif terhadap liyan. Stereotipe dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki sedikit kekuasaan dan status dalam masyarakat. Pihak yang menjadi objek penstereotipan kemudian berfungsi sebagai kambing hitam bagi perasaan frustasi, tidak senang, dan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Lebih lanjut, stereotipe adalah dasar legitimasi penguasa kolonial. Penstereotipan adalah muara dari struktur tata kelola yang penuh prasangka dan diskriminatif.
Bhabha berfokus pada upaya menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe. Bhabha menafsir rezim stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respons-respons psikis yang kontadiktif terhadap liyan yang terjajah.
“The Other Question” bermula dari pengamatan terhadap ketergantungan wacana kolonial pada konsep fiksitas dalam representasi atas identitas yang tidak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya. Misalnya, stereotipe mengenai lustful Turk atau noble savage. Akan tetapi, bagi Bhabha, terdapat efek bertentangan dalam ekonomi stereotipe sejauh apa yang seharusnya sudah diketahui ternyata harus secara terus-menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini menegaskan adanya kekuarangan (lack) dalam jiwa penjajah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar ontologis konsep-konsep pascakolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement dan kondisi rupture. “Keterpecahan-keterpecahan” wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.
Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar epistemologis konsep-konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha. Metode ini beroperasi setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya yang mungkin bertentangan dan dapat menunda dan membuat asumsi-asumsi dasar itu ruptured (terpecah). Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.
[1] Berdasarkan tulisan-tulisan Bhabha yang terkumpul dalam The Location of Culture (1994), Bart Moore-Gilbert dalam Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics (1997) membagi dua fase besar dalam karier Bhabha. Pertama, sekitar tahun 1980—1988 Bhabha berfokus pada analisis wacana kolonial. Berbeda dengan Said yang berfokus pada Timur Tengah, Bhabha –seperti Spivak- berfokus pada pertukaran budaya dalam sejarah pemerintahan Inggris di India. Kedua, sejak tahun 1988 Bhabha lebih memberikan perhatian pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antara wacana pascakolonialis dan postmodernisme.
[2] Akan tetapi, resistensi tidak lantas berarti tindak oposisional atau negasi yang murni. Pada dasarnya, resistensi tidak pernah dengan mudah dapat dijelaskan karena ia bersifat khusus, tidak lengkap, dan ambigu. Hal inilah yang kemudian menjadikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah.
[3] Ruang ketiga ini dianalogikan oleh Bhabha (2007: 5) seperti karakter arsitektur tangga-hubung karya Reene Green yang memiliki roda yang mengalir antara ruang atas dan ruang bawah.
[4] Bhabha kembali pada Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminalitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Bagi Fanon, trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.
[5] Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh Robert J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional. Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam “Postcolonial Theory: Possibilities and Limitation” (1998) membagi hibriditas menjadi tiga, yaitu: hibriditas terkooptasi, hibriditas tersembunyi, dan hibriditas intensional.
[6] Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask (1952) yang mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.
Bahan Bacaan:
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Moore-Gilbert, Bart. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics. London, New York: Verso.
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indoensia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...