Sudah terhitung sembilan tahun sejak saya lulus dari bangku sekolah menengah pertama. Rasanya baru kemarin kami saling mengolok nama orang tua, nongkrong di kantin saat jam kosong, melakukan berbagai perlombaan saat class meeting, dan berbaris di halaman untuk melakukan olahraga pagi, mengkerut di hadapan Pak Rahmadi yang terkenal killer dari zaman ke zaman itu. Waktu bergerak begitu cepatnya.
Dan, kemarin sore, kami membuat sebuah reuni kecil di food court UGM. Rosi, Andi, dan saya. Kami sekelas selama dua tahun, 2A dan 3C di MTsN Model Babat.
Andi datang duluan, saya menyusul, baru kemudian Rosi datang belakangan. Kalimat pertama yang dilontarkan Rosi saat bertemu Andi adalah “kok Andi bisa gedhe sih?”. Yap, Andi sembilan tahun yang lalu adalah Andi yang tubuh dan tingginya seukuran saya dan Rosi, kecil mungil, bahkan mungkin lebih kecil. Tapi kini dia menjulang tinggi, sedangkan saya dan Rosi seolah terhenti pertubuhan badannya. Sial. Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya saya bertemu Andi. Tahun kemarin dan beberapa tahun yang lalu Andi sudah mengunjungi saya saat kebetulan dia ada di Jogja. Tidak jauh berbeda dengan reaksi Rosi, waktu itu saya juga dibuat kaget oleh penampakan Andi yang bongsor.
Beberapa tahun terakhir ini Andi sedang bergulat dengan dunia petualangan. Dia terlihat sangat menikmati dunianya. Sepertinya sudut-sudut Indonesia yang paling terpencil sekalipun sudah dia kunjungi. Kalau ditanya tentang kesibukan, dia pasti jawab: sibuk jalan-jalan. Kalau ditanya tentang pekerjaan, dia bilang belum minat kerja. Nyebelin gak sih? Lebih tepatnya, bikin iri gak sih? Ya, Andi yang dulu pernah merebut diary saya dan membacanya keras-keras di kamar mandi itu kini seorang backpacker sejati. Hidup dari truk ke truk, dari terminal ke terminal. Dan beberapa hari ke depan ini dia mau ke Flores. Uh!
Tahun ini Rosi resmi menjadi mahasiswa UGM. Dia mengambil program pascasarjana kedokteran. Sebelumnya dia kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Selain kuliah, beberapa bulan ini dia sudah ngajar di Stikes (saya lupa namanya) di Jogja. Setelah sembilan tahun, di mata saya, tidak banyak yang berubah pada Rosi, selain tubuhnya yang lebih kurus dan kacamata berbingkai hitam di wajahnya. Rosi bilang, selain wedges, kacamata itu dipakai agar dia tampak lebih dewasa di hadapan mahasiwanya. Haha. Sepertinya ini tips yang layak dicoba.
Maka, sore itu pun kami mengenang banyak hal. Guru-guru kami yang ajaib. Pak Purnomo sang guru matematika paling baik sedunia, Pak Zanuar guru biologi yang asyik, Pak Nur Sodiq, juga Pak Harmadji yang menginspirasi saya masuk jurusan sastra. Saya pun jadi teringat Pak Zainul yang kerap memanggil saya “si mungil”.
Kami juga membicarakan teman-teman: Bayu yang masih di Surabaya, Fani yang kini menjadi ustadz alim, Dedik yang gondrong, Ali yang jadi perangkat desa, Soqi yang jadi bidan dan istri kepala desa, Luqman yang mulai bisa ‘ngomong’, Laili yang menjadi guru, Muhaimin yang menghilang, Nashir, Wahid, Ilham, Awen, Beni, Aang (musuh bebuyutan saya), Majid, Weni, Nevi, Ida Anisa, Indri, Fatim, Muslikhah, Wiwin, grup M3RUW (hahaha), Himatul, Zulfa, dan beberapa teman yang bisa-bisanya saya lupa namanya :’(
Berbagai kenangan datang berkelebatan, banyak kekonyolan-kekonyolan yang membuat kami tertawa-tawa, cinta monyet ala anak smp, persaingan kelas, dan lain sebagainya, dan lain sebagianya yang akhirnya membuat kami bersepakat bahwa masa-masa MTs itu lebih berkesan daripada masa SMA! :p
Selama sembilan tahun itu, kami berproses dengan cara masing-masing. Di antara kami bertiga, sepertinya hanya Rosi yang tumbuh menjadi manusia ‘normal’. Dia, layaknya gadis yang berusia 20an, sudah merencanakan rumahtangga alias ingin cepat-cepat menikah. Dia pun tak ingin jauh-jauh dari kota kelahiran sekaligus kediaman orang tuanya, Bojonegoro. Setelah lulus S2, Rosi sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di sana. Sementara itu, Andi bisa dikatakan memiliki keinginan yang berkebalikan dari Rosi. Dan saya, barangkali sintesis dari keduanya :p
Selepas maghrib kami pun menyudahi pertemuan. Saya pun berdoa dalam hati: semoga, suatu saat, nasib baik mempertemukan kami dengan teman-teman yang lain. Amin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
suwun, Cur. iki tulisan-tulisan nggo crito anak putuku sesuk. haha. blogmu metal tenan. sip.
ReplyDeletehuahahaha. *ngakak tenan*
ReplyDelete