Friday, December 25, 2015

catatan di tepi buku #1

Tidak semua buku yang saya baca adalah buku bagus. Ada buku-buku yang ditulis dengan serampangan dan tidak dibangun dengan argumen yang meyakinkan. Namun, bagaimanapun, saya selalu mencoba untuk berdialog dengan buku yang saya baca. Dan, menurut saya, inilah yang penting dari sebuah aktivitas membaca: berdialog. Sebuah buku dapat diperlakukan sebagai teman bersenang-senang, teman berdiskusi, teman berpikir, bahkan juga dapat diperlakukan sebagai sabda yang tak dapat dibantah, dan lain-lain terserah pada si pembaca. Saya, tentu saja, lebih memilih tiga yang pertama. Dengan pilihan sikap seperti itu, harusnya saya sering-sering bikin review buku. Tapi itu tidak pernah saya lakukan. Karena apa? Yap! karena malas :p

Tulisan ini jelas bukan review. Ini hanya catatan di tepi buku, semacam coretan-coretan di pinggir pada buku-buku yang saya baca tahun ini, yang ada di postingan sebelumnya.

Saya memulai awal tahun 2015 dengan membaca A Simple Life karya Desi Anwar. Seperti judulnya, isinya membahas hal-hal sederhana yang seringkali luput dari perhatian orang, karena kesibukan, karena keriuhan pikiran. Hal-hal sederhana itu, bagi Desi Anwar sangat penting dan dapat menjadikan hidup lebih bermakna. Buku ini, menurut saya lebih pas dibaca oleh kaum urban yang sibuk dengan pekerjaan kantoran, sering lembur, banyak pikiran, kesepian, berkutat dengan rutinitas sehingga mudah stress. Anggaplah itu kondisi sebagian besar kaum kelas menengah perkotaan. Hal-hal yang ditawarkan oleh Desi itu tidak untuk, katakanlah, “kelas bawah”. Selain tidak mampu, juga tidak perlu.

99 Cahaya di Langit Eropa saya baca karena sebuah keharusan. Saya seperti dikutuk membaca buku ini. Bahasa jawanya: kualat. Jujur, saya tidak menyukai buku ini, tapi penelitian tesis mengharuskan saya membaca buku ini puluhan kali hingga saya hafal letak titik komanya. Persoalan-persoalan dalam novel inilah yang justru saya butuhkan untuk dikaji dalam penelitian. Sampai penelitian saya selesai, saya masih belum menyukai buku ini. Setidaknya buku ini mengingatkan saya bahwa hidup tak sekadar soal suka atau tidak suka.

Ulid Tak Ingin ke Malaysia adalah buku bagus, tapi bukan judul buku yang bagus. Menurut saya Ulid saja sudah cukup untuk dijadikan judul buku, tak perlu embel-embel “tak ingin ke Malaysia” yang justru menjadikannya terkesan murahan. Mungkin judul dan covernya itulah yang membuat buku sebagus ini tidak banyak dibicarakan. Dilahirkan oleh penulis yang sama, menurut saya, Ulid ini jauh lebih bagus dibanding Kambing dan Hujan yang riuh dipuji-puji itu. Saya tidak akan menceritakan isinya. Baca saja sendiri kalau ingin tahu. Ulid seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh Sean O’Connell dalam film The Secret Life of Walter Mitty, bahwa beautiful things don’t ask for attention.

Psikologi Kematian saya baca karena ingin mbaca aja. Penasaran apa isinya. Begitu juga dengan Islam di Mata Orang Jepang. Ini adalah buku kedua Hisanori Kato setelah buku Kangen Indonesia. Saya penasaran bagaimana Kato—sebagai orang Jepang, intelektual—memandang Islam. Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu dibaca karena bertugas sebagai moderator pada peluncuran dan diskusinya. Aruna dan Lidahnya dibaca karena penasaran dengan topik yang ditulis Laksmi Pamuntjak: makanan. Menarik dan asyik sih. Mbacanya sambil nelan ludah berkali-kali.

3 Cinta 1 Pria, Dua Ibu, dan Dewi Kawi adalah buku-buku yang dibaca karena rekomendasi seorang teman. Saya pun akan merekomendasikan dua buku yang pertama bagi yang mau membaca karya-karya Arswendo. Saya menyesal mengapa tidak membaca buku itu sejak dulu. Sesal saya juga untuk buku Negara Kelima. Saya jatuh cinta pada E.S Ito sejak membaca Rahasia Meede—yang merupakan karya keduanya. Saya pun mencari buku karangan Ito yang pertama ini. Tapi, apa boleh buat, saya baru berjodoh dengan buku ini tahun ini. Seperti buku pertamanya, E.S Ito selalu berhasil membuat saya jatuh cinta berkali-kali.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Awal-awal buku ini terbit, saya berkomentar “ah menye-menye gitu judulnya”. Dan saya tak kunjung membacanya. Lalu ada teman saya membawa buku itu, saya buka-buka bentar, lalu memutuskan untuk membacanya. Saya senang bahwa anggapan awal saya tentang buku ini salah. Buku ini jauh dari predikat “menye-menye”. Saja juga menilai bahwa Eka Kurniawan, semakin kesini semakin menunjukkan kematangannya dalam membuat cerita. Salah sangka itu kemudian tidak ingin saya teruskan pada buku Eka selanjutnya, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Saya langsung membelinya saat buku ini muncul di toko buku. Ini kumpulan cerpen. Beberapa sudah banyak yang saya baca sebelumnya.

bersambung. capek ngetiknya

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...