Sebelas Maret 2018. Malam yang saya nantikan.
Kira-kira pukul 20.30 saya tiba di halaman Balai Pemuda. Indra pendengaran saya menangkap lantunan surat At-taubah. Di tenda utama, di panggung yang tak tinggi, terlihat gamelan dan beberapa alat musik lain. Di sisi kanan kiri tenda, tergantung banner itu: Yang dinanti-nanti akan muncul dari timur. Untuk menguak rahasia bangun dari tidur. Matahari memancar dari timur. Orang-orang perlu berkumpul di timur.
Depan gerbang selatan pintu masuk, dijajar buletin maiyah beserta kotak infaqnya. Karena renovasi, sisi kanan halaman Balai Pemuda ini dikelilingi seng yang berhiaskan mural bernada kritik. Beberapa orang berkerumun di Pojok Ilmu. Beberapa duduk-duduk di selasar gedung sebelah kiri dan di gelaran di bawah tenda utama. Saya memilih duduk di ubin yang tak beralas. Di sebelah kanan dan kiri saya screen didirikan. Para penjual kopi dan air mineral mondar-mandir menawarkan dagangannya.
Beberapa menit kemudian, sebuah suara mengejutkan saya. Mbak Harum datang bersama ajudannya.
“Udah lama, Nis?” sang ajudan menyapa.
“Baru sepuluh menitan sih, mas”
“Maksudku, udah lama sendiriannya?”
Orang semakin berdatangan. Memenuhi tempat-tempat yang sebelumnya masih lengang. Mata saya terpaku pada seorang remaja berambut gondrong yang mengenakan kaos bergambar Portgas D. Ace.
Bacaan surat At-taubah pun usai dan berganti dengan sholawat yang diikuti semua jamaah. Mahallul qiyaam. Salam rindu untuk Kanjeng Nabi melingkupi udara Balai Pemuda dan pelan-pelan naik ke langit. Di depan saya, seorang bapak menggendong anaknya sambil melantunkan sholawat. Pemandangan yang seperti ini selalu berhasil membuat mata saya basah.
Lalu, Mas Amin dan Mas Rio membuka acara. Mengantarkan pada tema malam ini. Etnotalenta. Tapi, sebelum acara diskusi dimulai, grup Padhang Howo dari Pasuruan menampilkan beberapa lagu dan sholawat. Grup ini seperti gamelan kiai kanjeng. Suara vokalisnya enak banget di telinga.
Setelah usai, beberapa orang diminta maju ke depan panggung untuk berdiskusi. Yang saya ingat, salah satunya adalah siswa SMA 8 Surabaya. Saya senang ada (dan mungkin banyak) anak sekolah yang datang dalam acara-acara seperti ini. Mereka kritis dan bergelora.
Gerimis tipis. Sebagian besar jamaah berpindah ke selasar kiri, termasuk saya. Sebagian yang lain memilih untuk bermesraan dengan air langit yang lembut itu.
Sementara itu, Mas Amin dan Mas Rio masih melanjutkan berdiskusi. Tak semuanya terekam di kepala karena saya sambi ngobrol dengan Mbak Harum. Tapi, kira-kira begini isi diskusi itu: pilihan-pilihan penjurusan anak-anak SMA itu rata-rata bukan karena keinginannya. Tapi karena keinginan orang tuanya. Sistem pendidikan di sekolah seringkali justru membunuh karakter dan bakat siswa. Lalu, nasihat Mas Rio: jadilah ahli dalam keahlian masing-masing. Karena, kadang, talenta kita hadir tanpa kita sadari. Konsistenlah di keahlian masing-masing dan bergembiralah dengannya.
Gerimis berhenti. Orang-orang kembali lagi mengisi tempat yang tadi ditinggalkannya. Saya malas beranjak. Di depan saya, dua orang anak kecil asyik bermain-main, tapi di mata orang dewasa mungkin mereka terlihat sednag berantem.
Mas Didit dari Sanggar Alang-Alang hadir di tengah-tengah diskusi. Beliau dulu pengasuh salah satu program di TVRI. Sanggar Alang-Alang adalah sebuah sanggar tempat belajar anak-anak jalanan. Oh ya, Mas Didit menolak istilah “anak jalanan”, yang benar bagi beliau adalah “anak negeri”. Masih ingat grup Klanting di acara Indonesia mencari bakat dulu itu? Yup! Klanting adalah salah satu jebolan Sanggar Alang-Alang.
Mas-mas berambut gondrong memakai baju kotak-kotak--yang saya gak tahu namanya--menginformasikan form piagam maiyah yang bisa didownload di twitter atau di web bangbang wetan.
Kira-kira pukul 23.30 Padhang Howo kembali memainkan musiknya. Sebuah lagu berjudul Kun Anta yang sempat viral karena pernah dinyanyikan cewek cantik sholihah. Suasa jadi semakin bergairah. Dan satu lagu lagi yang sekaligus mengiringi kedatangan Sabrang
Saya mbatin, kok Pak Muzammil gak datang? Saya kangen kyai jenaka itu. Tapi beberapa menit kemudian beliaupun naik ke panggung.
Mas Joko mengawali diskusi dengan memberi penilaian tentang tema-tema Bangbang Wetan yang menurutnya semakin komprehensif. Lalu, dengan gaya bicaranya yang seperti mendeklamasikan puisi, Mas Joko mulai membahas China dan Amerika. China memiliki kemampuan emigrasi, tetapi kurang dalam imigrasi. Sebaliknya dengan Amerika. Amerika memiliki kemampuan nggelar kloso untuk orang asing (yang pintar). Amerika bisa besar karena mengumpulkan orang-orang terbaik di seluruh dunia. Mengekspor dolar, mengimpor orang pintar.
Bahasa adalah pengejawantahan hidup, begitu kata Mas Joko. Lalu dia membeberkan bahwa orang Jawa lebih banyak memiliki kosakata jatuh daripada bangkit. Sabrang yang kemudian mendapat giliran bicara, mengkritisi kosa kata jatuh dan bangkit itu. “Orang sering jatuh itu kan berarti karena terbiasa di atas”.
Sementara itu, gerimis mendadak rapat dan deras. Orang-orang kembali mencari tempat berteduh. Mas-mas di samping saya menawari wafer tango rasa vanila dan mulai ngajak ngobrol.
Sabrang, yang malam itu mengenakan baju biru dongker garis-garis lengan pendek, menyitir perkataan Mbah Nun tentang manusia ruang dan perabot. Manusia perabot saling berebut eksistensi dalam suatu ruang, sedangkan manusia ruang memberikan tempat sehingga manusia lainnya memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Indonesia adalah manusia ruang, semuanya diterima, sampai-sampai lupa akan dirinya sendiri.
Manusia Indonesia adalah manusia yang luar biasa kreatif, lanjut Sabrang. Pembuat instagaram tak pernah menyangka bahwa akan ada orang yang jualan follower, misalnya. Lalu kreativitas itu harusnya tak hanya untuk memakai, tetapi juga membuat. Yang jelas, outputnya adalah untuk membangun bersama. Maka, jadilah ahli dalam bidangmu sendiri. Lalu menciptakan sistem yang saling menunjang keahlian masing-masing. Peradaban Indonesia sedang pada tahap menganalisis dan tandang.
Setelahnya, Sabrang menyanyikan Permintaan Hati yang diiringi musik Padhang Howo. Para jamaah ikut menyanyikannya, minimal rengeng-rengeng. Kamera handphone turut merekam. Kemudian disambung lagu Ruang Rindu. Kali ini, jamaah serempak mengikuti. Uuuuh! Rasanya kerinduan nonton konser Letto sedikit terobati.
Kira-kira pukul 01.00 Mbak Harum dan ajudannya pamit pulang duluan.
Lalu giliran Kyai Muzammil yang lucu itu memberikan paparannya. Dengan kata-kata yang sebentar-sebentar diiringi tawa jamaah, beliau berfokus pada identitas manusia Jawa, manusia Indonesia yang jangan sampai mau didikte ideologi-ideologi asing. Yang membuat para jamaah bertepuk tangan adalah ketika beliau berkata, harmoni adalah membiarkan bunga-bunga tumbuh dengan warnanya masing-masing.
Tapi, ada beberapa pernyataan Kyai Muzammil yang kemudian direvisi Sabrang. Perihal matematika. Matematika bukanlah produk Barat, tapi produk dunia. Seperti yang sering dikatakan Sabrang, matematika adalah ilmu yang paling bersih. Manusia tak ada yang bisa ikut campur. Matematika adalah bahasa logika. Berbeda dengan ilmu yang lain, sains sangat senang jika disalahkan karena dia akan berpacu untuk membuktikan yang lebih benar sehingga dirinya menjadi lebih baik.
Suasana pun semakin gayeng karena guyonan saling ejek antara Pak Suko dan Kyai Muzammil. Meski jamaah sudah banyak yang pulang duluan, termasuk mas-mas wafer tango tadi.
Kurang lebih pukul 02.00 diskusi dibuka. Ada enam pertanyaan. Dijawab Kyai Muzammil, Mas Joko, dan Sabrang. Kira-kira begini ringkasannya. Kyai Muzammil menjawab pertanyaan tentang etimologi Islam. Mas Joko: kita sedang berada di zaman post truth. Zaman ketika semua mencari pembenaran, bukan kebenaran. Sabrang: orang harus memiliki misi dan tujuan hidup agar tidak bingung ketika dia berapa pada level apapun. Sebab, orang yang banyak drama adalah orang yang tidak memiliki tujuan hidup.
Demikianlah…kira-kira pukul 03.15 diskusi disudahi. Acara ditutup dengan bacaan sholawat dan doa oleh Kyai Muzammil. Tenang dan khusyuk.
Setelahnya, para jamaah saling bersalaman. Mas Amin meminta tolong agar sampah-sampah dibuang di tempat sampah yang disediakan.
Di kejauhan, saya melihat Sabrang disalami beberapa jamaah.
Saya berjalan menuju masjid As-Sakinah yang dipindah di gedung Merah Putih. Menunggu subuh.