Saturday, October 19, 2019

Puisi-Puisi, Ia, dan Kekasihnya

Hari ketika ia dilanda murung lantaran datang bulan, kekasihnya mencoba menghibur dengan mengajaknya bermain tebak-tebakan puisi. Kekasihnya mengucapkan satu baris puisi, ia melanjutkan. Begitu seterusnya. Bergantian sampai baris terakhir.

Kekasihnya memulainya dengan “Cemara menderai sampai jauh”.

Tebak-tebakan itu romantis sekaligus menantang. Ia—dan kadang kekasihnya—membutuhkan beberapa detik untuk mengingat baris selanjutnya. Yang melakukan kesalahan dihukum. Meski itu hukuman yang menyenangkan, ia dan kekasihnya tak mau sengaja menyalah-nyalahkan.

Ia dan kekasihnya agak menyesal mendapati diri mereka melupakan beberapa baris puisi yang dulu mereka hafal di luar kepala. “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Kepada Kawan”, dan yang lainnya. Bagaimana bisa mereka lupa? Tidak sebenar-benarnya lupa memang, tetapi kenyataan bahwa mereka tersendat-sendat mengucapkannya itu sudah kemunduran luar biasa.

Ia dan kekasihnya mencoba puisi-puisi yang lain, puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo, misalnya. Sama saja. “Di Beranda ini Angin Tak Kedengaran Lagi”, “Asmaradana”, “Dingin tak Tercatat”. Mereka terbata-bata.

Lalu mereka merenung-renung. Sejak kapan itu terjadi? Barangkali sejak mereka digerus rutinitas. Tenggelam dalam kerja. Ditambah lagi seringnya mengandalkan mesin pencari di internet. Ingatan pun semakin melemah.

Itu tak bisa dibiarkan. Mereka bertekad belajar lagi dan tak memanjakan diri pada mesin pencari. Mereka paham betul, puisi memang tak untuk dihapalkan, tapi dirasakan. Dan mungkin masih bisa dirasakan kendati baris-barisnya banyak yang terlupakan. Namun, keduanya sudah bertekad. Jika sudah demikian, tak ada yang mampu menghalangi.

Dan suatu hari ia dan kekasihnya akan memainkan tebak-tebakan itu lagi.

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...