Rabu, 16 Desember 2009
Awalnya adalah sebuah sms. Yang mengabarkan bahwa siang ini jam satu ada workshop Mario Teguh di toko buku Togamas Affandi. Hmm, saya menyambut gembira sms tersebut dengan balasan: okey.
Jam satu lebih lima menit saya tiba di lokasi. Melihat spanduk , ternyata bincang2 dengan Mario Teguh dimulai pukul setengah dua. Tak apalah. Kesempatan setengah jam saya gunakan untuk melihat-lihat buku yang kebetulan lagi diskon gedhe2an. Weleh2, buku2nya cukup berpotensi membikin dompet saya kosong. Tak lama kemudian kawan saya (yang meng-sms tadi) datang. Agak ragu apakah acaranya diadakan di lantai dua atau lantai satu. Kami pun memutuskan untuk hunting buku dulu sembari menunggu acara dimulai.
Jam setengah dua. Ternyata sudah cukup banyak orang yang menunggu acaranya dimulai. Kursi yang disediakan terbatas. Jadi hanya ada beberapa orang saja yang bisa duduk. Eh, ada kakak angkatan yang lagi mainin gitar, ternyata Sasbud FIB UGM ngisi acara. Musiknya dijamin keren banget.. ^_^
Kira2 jam dua kurang lima belas menit MC memulai acara dan mengabarkan bahwa Mario Teguh masih O Te We alias dalam perjalanan. Sasbud pun diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan. Lagu pertama yang dinyanyikan adalah (kalo gak salah nee) “suwe ora jamu”. Dilanjutkan dengan lagu2 daerah. Cukup menghibur. Terutama bagi saya yang masih hunting beberapa buku.
Jam dua lebih lima belas menit. MC mengabarkan bahwa orang yang ditunggu2 masih dalam perjalanan. Ia pun mencoba menghibur orang2 dengan tanya ini itu seputar apa saja motivasi bertemu Mario Teguh. Dugaan awal saya, mereka2 itu sedang butuh pencerahan, butuh solusi, butuh kata2 yang bikin semangat. Ternyata Jawabannya macem2. Ada yang sekadar ingin melihat wajahnya, ada yang pengen curhat, dan ada memang yang pengen tanya2. Sebenarnya saya juga penasaran, pengen melihat langsung wajah bang Mario yang selalu bikin saya terkagum2 saat membawakan acara Golden Ways.
Jam setengah tigaan. Mario Teguh belum dateng juga. Orang2 udah agak gelisah. MC udah agak mati gaya. Takut orang2 pada kecewa. Ia pun berjuang meyakinkan bahwa Mario Teguh benar2 dalam perjalanan menuju lokasi. Kelengangan itu diisi dengan lagu “Bengawan Solo” oleh kelompok sasbud. Sedang saya masih asyik mencari2 buku. Dan Kawan saya sepertinya sedang asyik membaca komik. Kelompok sasbud mengejutkan saya dengan lagunya. Sebuah sajak favorit saya yang berjudul “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono. Saya sangat suka. Lirih dan sendu.
Kira-kira jam tiga kurang lima belas menit, MC mengabarkan bahwa orang yang ditunggu2 datang juga. Saya “menjinjit-njinjit” karena gak kelihatan. Mario Teguh dengan seyumnya yang hangat menyapa para pengunjung. Ia memakai baju batik warna biru motif bunga2. Sangat terlihat segar dan bersemangat. Tak lupa sapaan khasnya..”Salam Super”. Pengunjung pun bertepuk tangan menyambut kedatangannya.
Mario Teguh pun mulai bercakap-cakap. Disusul beberapa pertanyaan dari para pengunjung yang udah gak sabar pengen denger petuah2 bang Mario. Pertanyaannya seputar cara mengatasi kebosanan, bagaimana bersikap saat kita ditempatkan pada situasi yang sulit dan tidak menyenangkan. Sayangnya, saya tidak bisa mereview sepenuhnya pertanyaan serta jawaban bang Mario di catatan ini. Namun, yang masih lekat dalam ingatan saya (karena sebenarnya ini juga masalah saya.hehe) adalah bahwa kita harus melapangkankan hati agar pekerjaan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Kita tidak boleh takut menghadapi kemungkinan2. Saya kagum dengan kelakar beliau tentang hari. Saat kesibukan di hari senin orang memikirkan hari sabtu dan minggu yang santai, hari sabtu dan minggu orang memikirkan kesibukan di hari senin. Lantas orang itu mau hidup di hari apa?
Pengunjung bertepuk tangan dengan meriah. Makin Kagum dengan Mario Teguh.
Oya, Mario Teguh juga menceritakan masa kecilnya yang doyan bercerita. Hingga ia bisa tahu gimana caranya mengahadapi orang. Beliau juga menceritakan pengalamannya saat menjadi pegawai bank. Sayang, bincang2 dengan bang Mario cuma sebentar banget. Kira2 setengah jam. Ato sejam tapi terasanya setengah jam za..hehe. Acara dilanjutkan dengan pemberian kenang2an oleh pihak Togamas kepada Mario Teguh. Juga tandatangan.
Kira2 jam setengah empat sore saya pulang, dengan membawa energi positif. Optimis lagi. Semangat lagi. Kata2 bang Mario emang Te O Pe Be Ge Te. Dan Begitulah kekuatan kata-kata.
Salam SUPER
*Makasih banget buat Mas Alvein yang udah meng-sms acara tersebut ^_^
Thursday, December 17, 2009
Monday, December 7, 2009
Sedikit Kepanikan di Hari Kedua Syuting
Minggu, 06 Desember 2009
Jam tujuh kurang lima belas menit. Minggu yg cerah. Matahari pagi menghangatkan beberapa wajah yang lalu lalang keluar masuk stasiun. Tampak juga beberapa tukang ojek menawarkan jasanya. Sembari menunggu kru dan artis yang belum datang, saya sempatkan untuk menikmati beberapa wajah di stasiun Lempuyangan pagi tadi. Ternyata asyik juga. Ada yang terburu2 mengejar kereta karena terdengar pengumuman sebentar lagi kereta akan di berangkatkan. Ada yang sedang menunggu jemputan dan memencet beberapa nomor di HPnya. Oya, saya jadi ingat, tadi ada wanita tua yang sedang menunggu jemputan keluarganya. Ia menyodorkan selebar kertas bertuliskan beberapa nomor dan meminta tolong saya untuk menel[pon nomor tersebut. Sayang banget, beberapa kali saya coba telpon tapi gak diangkat. Wanita tua itu kemudian pergi entah kemana.
Jam tujuh lewat dua menit. Candy datang disusul beberapa kru dan artis lain. Syuting kali ini gak serame kemaren. Ada beberapa artis yang udah gak ikut syuting hari ini karena scene udah selese di ambil. Jadilah kami hanya bersebelas. Taufiq, Danar, Vera, dan Diaz udah tereliminasi (hehehe). Tapi gak pa2, kami tetep semangat kok.
Jam tujuh tiga puluh kru udah kumpul kecuali si Abim. Yaudah, kami masuk duluan deh ke markas. Ada sebelas orang yang masuk peron. Sang penjaga peron undah nodong minta duit. Segera saya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Eh, gak da kembalian. “uang kecil ja mbak. wah gak ada mas, kalo gak da kembalian gak usah bayar ja ya (maunya). Sang penjaga peron Cuma senyum2 aja. Yaudah, seadanya ja deh mbak. Uang di dompet Cuma ada delapan ribu, jadinya kurang tiga ribu. Nanti ya mas kurangnya. Oke mbak. Huh..
Ada sedidkit masalah di markas. Satpam yang jaga udah ganti. Jadinya kami ditanyain beberapa hal tentang maksud kedatangan kami di markas, yang terkesan tiba2. Panik. Jangan2 gak boleh naruh barang2 di pos satpam. Lah, terus ditaruh mana? Saya menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan kami, tentang surat izin dan bla bla bla. Untung pak satpamnya baek bgt. Karena hari ini hari minggu, penjagaan di stasiun ditingkatkan. Jadinya pos satpam padat ama orang2 deh. Wah, sedikit merasa gak enak.
Jam delapan semua kru dan artis sarapan sembari briefing hari ini mau fokus di scene mana aja, dimana posisi masing2 kamera. Scene yg difokuskan pas si tokoh turun dari kereta. Kami harus benar2 tepat waktu, soalnya nyesuaiin jadwal kedatangan kereta. Erlin njelasin dengan semangat bnget. Ada beberapa scene di skenario yang musti dihilangkan karena dianggap gak perlu.
Jam setengah sembilan semua kru dan artis udah siap ngambil gambar. Musti ada beberapa kali latihan dulu sebelum take. Kameramen udah siap dengan kamera masing2. Ada yg ngatur cahaya pake steorofom. Ada kesalahan yang agak fatal. Kedatanga kereta Logawa yang diperkirakan dari arah timur dan di jalur tiga, ternyata datang dari arah barat dan di jalur dua. Padahal kereta ini amat sangat penting. Otomatis semua kamera ganti posisi masing2. Udah gitu kehalang ama kereta Pramex dijalur satu lagi. Wah, agak panik. Akhirnya pengambilan gambar di pending dulu, nunggu kereta Pramex pergi. Untunglah, kereta Logawa berhentinya agak lama. Jadinya pengambilan gambar pun terlaksana dengan baik. Untuk scene yang turun dari kereta berikutnya saya tanya kepada petugas (kok gak kepikiran dari tadi tho Nis, Nis).
Kereta yg datang berikutnya adalah Pramex warna ungu dari arah timur di jalur dua. Semabri nunggu kereta, artisnya (mbak Andhit) latian2 dulu. Pas kereta datang udah siap take. Ternyata kereta pramex berhentinya bentar bgt. Pengambilan gambar juga harus dilakukan dengan cepat. Dan kereta pramex pun beranjak. Tapi kok? Loh. Artisnya mana nee? Semua pada panik. Jangan2 kebawa ama tu kereta. Saya berusaha menelpon tapi tiba2 ingat klo si artis gak bawa HP. Wah, gimana donk kalo beneran kebawa. Semuanya menampakkan wajah kebingungan. Tiba-tiba. Ada sesosok makhluk yang cengar cengir karena berasa berhasil bikin panik semua orang datang dari arah timur. Huh…kirain kebawa kereta. Lega banget rasanya..tapi tetep masih dongkoool.
Si abim, beberapa kali musti ngulang adegannya. Si ridlo ama erlin berjuang ngasih contoh. Setelah melalui beberapa latihan akhirnya bisa juga. selanjutnya, Pengambilan gambar dilanjutkan di luar stasiun. Panazz..
Jam setengah satu. Dan berakhirlah syuting hari ini. Tawaran makan siang disambut dengan riang. Hemm..makananya masih anget. Enyak bgt. Selese makan dilanjutkan ngobrol2 en bercanda2... udah mau pulang tapi masih belum berani ngambil barang2 di pos satpam, soalnya ada beberapa orang yg sedang diinterograsi.
Sebenarnya, ditengah syuting tadi ada kejadian di stasiun. Tiba2 saya melihat beberapa satpam berlari2 menuju suatu arah. Orang2 yg ada di kursi tunggu pun menengok ke arah yang sama. Ada wajah2 panik. Kirain ada percobaan bunuh diri. Ternyata ada segerombolan pemuda yang nekat naik kereta Pertamina. Pengennya sih gratis, eh, malah ketangkep. Nah, segerombolan pemuda tadi diinterogasi di ruang satpam. Moment itu kami manfaatkan buat photo2. Tetep deh..
Setelah menuggu beberapa menit, pemuda2 itu akhirnya dilepas di alam bebas. Kami pun mengemasi barang masing2. Tapi, tunggu dulu. Tiba2 saya dipanggil ama pak satpam. KTP dan NIM saya diminta. Beberapa keterangan tentang diri saya dicatat. Ditahan beberapa menit. Ditanyai ini itu. Wah, apalagi nee? Ternyata Cuma dicatat. Antisipasi kalo nanti ada sesuatu. Tapi pak satpam sempet cengar cengir ngliat tanggal lahir saya :)
Jam satu lebih lima belas menit. Akhirnya kami pulang bersama2. Btw bayar peron yang kurang tigaribu jadinya gak dibayar. Soalnya penjaganya gak ada. Hehehe.
Syuting hari ini selesai sudah. Tinggal proses editing. Ada semacam perasaan kehilangan. Masih berharap bisa produksi film lagi. Bisa syuting lagi (^_^).
Salam,
Manajer Produksi IdeKita Production.
Jam tujuh kurang lima belas menit. Minggu yg cerah. Matahari pagi menghangatkan beberapa wajah yang lalu lalang keluar masuk stasiun. Tampak juga beberapa tukang ojek menawarkan jasanya. Sembari menunggu kru dan artis yang belum datang, saya sempatkan untuk menikmati beberapa wajah di stasiun Lempuyangan pagi tadi. Ternyata asyik juga. Ada yang terburu2 mengejar kereta karena terdengar pengumuman sebentar lagi kereta akan di berangkatkan. Ada yang sedang menunggu jemputan dan memencet beberapa nomor di HPnya. Oya, saya jadi ingat, tadi ada wanita tua yang sedang menunggu jemputan keluarganya. Ia menyodorkan selebar kertas bertuliskan beberapa nomor dan meminta tolong saya untuk menel[pon nomor tersebut. Sayang banget, beberapa kali saya coba telpon tapi gak diangkat. Wanita tua itu kemudian pergi entah kemana.
Jam tujuh lewat dua menit. Candy datang disusul beberapa kru dan artis lain. Syuting kali ini gak serame kemaren. Ada beberapa artis yang udah gak ikut syuting hari ini karena scene udah selese di ambil. Jadilah kami hanya bersebelas. Taufiq, Danar, Vera, dan Diaz udah tereliminasi (hehehe). Tapi gak pa2, kami tetep semangat kok.
Jam tujuh tiga puluh kru udah kumpul kecuali si Abim. Yaudah, kami masuk duluan deh ke markas. Ada sebelas orang yang masuk peron. Sang penjaga peron undah nodong minta duit. Segera saya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Eh, gak da kembalian. “uang kecil ja mbak. wah gak ada mas, kalo gak da kembalian gak usah bayar ja ya (maunya). Sang penjaga peron Cuma senyum2 aja. Yaudah, seadanya ja deh mbak. Uang di dompet Cuma ada delapan ribu, jadinya kurang tiga ribu. Nanti ya mas kurangnya. Oke mbak. Huh..
Ada sedidkit masalah di markas. Satpam yang jaga udah ganti. Jadinya kami ditanyain beberapa hal tentang maksud kedatangan kami di markas, yang terkesan tiba2. Panik. Jangan2 gak boleh naruh barang2 di pos satpam. Lah, terus ditaruh mana? Saya menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan kami, tentang surat izin dan bla bla bla. Untung pak satpamnya baek bgt. Karena hari ini hari minggu, penjagaan di stasiun ditingkatkan. Jadinya pos satpam padat ama orang2 deh. Wah, sedikit merasa gak enak.
Jam delapan semua kru dan artis sarapan sembari briefing hari ini mau fokus di scene mana aja, dimana posisi masing2 kamera. Scene yg difokuskan pas si tokoh turun dari kereta. Kami harus benar2 tepat waktu, soalnya nyesuaiin jadwal kedatangan kereta. Erlin njelasin dengan semangat bnget. Ada beberapa scene di skenario yang musti dihilangkan karena dianggap gak perlu.
Jam setengah sembilan semua kru dan artis udah siap ngambil gambar. Musti ada beberapa kali latihan dulu sebelum take. Kameramen udah siap dengan kamera masing2. Ada yg ngatur cahaya pake steorofom. Ada kesalahan yang agak fatal. Kedatanga kereta Logawa yang diperkirakan dari arah timur dan di jalur tiga, ternyata datang dari arah barat dan di jalur dua. Padahal kereta ini amat sangat penting. Otomatis semua kamera ganti posisi masing2. Udah gitu kehalang ama kereta Pramex dijalur satu lagi. Wah, agak panik. Akhirnya pengambilan gambar di pending dulu, nunggu kereta Pramex pergi. Untunglah, kereta Logawa berhentinya agak lama. Jadinya pengambilan gambar pun terlaksana dengan baik. Untuk scene yang turun dari kereta berikutnya saya tanya kepada petugas (kok gak kepikiran dari tadi tho Nis, Nis).
Kereta yg datang berikutnya adalah Pramex warna ungu dari arah timur di jalur dua. Semabri nunggu kereta, artisnya (mbak Andhit) latian2 dulu. Pas kereta datang udah siap take. Ternyata kereta pramex berhentinya bentar bgt. Pengambilan gambar juga harus dilakukan dengan cepat. Dan kereta pramex pun beranjak. Tapi kok? Loh. Artisnya mana nee? Semua pada panik. Jangan2 kebawa ama tu kereta. Saya berusaha menelpon tapi tiba2 ingat klo si artis gak bawa HP. Wah, gimana donk kalo beneran kebawa. Semuanya menampakkan wajah kebingungan. Tiba-tiba. Ada sesosok makhluk yang cengar cengir karena berasa berhasil bikin panik semua orang datang dari arah timur. Huh…kirain kebawa kereta. Lega banget rasanya..tapi tetep masih dongkoool.
Si abim, beberapa kali musti ngulang adegannya. Si ridlo ama erlin berjuang ngasih contoh. Setelah melalui beberapa latihan akhirnya bisa juga. selanjutnya, Pengambilan gambar dilanjutkan di luar stasiun. Panazz..
Jam setengah satu. Dan berakhirlah syuting hari ini. Tawaran makan siang disambut dengan riang. Hemm..makananya masih anget. Enyak bgt. Selese makan dilanjutkan ngobrol2 en bercanda2... udah mau pulang tapi masih belum berani ngambil barang2 di pos satpam, soalnya ada beberapa orang yg sedang diinterograsi.
Sebenarnya, ditengah syuting tadi ada kejadian di stasiun. Tiba2 saya melihat beberapa satpam berlari2 menuju suatu arah. Orang2 yg ada di kursi tunggu pun menengok ke arah yang sama. Ada wajah2 panik. Kirain ada percobaan bunuh diri. Ternyata ada segerombolan pemuda yang nekat naik kereta Pertamina. Pengennya sih gratis, eh, malah ketangkep. Nah, segerombolan pemuda tadi diinterogasi di ruang satpam. Moment itu kami manfaatkan buat photo2. Tetep deh..
Setelah menuggu beberapa menit, pemuda2 itu akhirnya dilepas di alam bebas. Kami pun mengemasi barang masing2. Tapi, tunggu dulu. Tiba2 saya dipanggil ama pak satpam. KTP dan NIM saya diminta. Beberapa keterangan tentang diri saya dicatat. Ditahan beberapa menit. Ditanyai ini itu. Wah, apalagi nee? Ternyata Cuma dicatat. Antisipasi kalo nanti ada sesuatu. Tapi pak satpam sempet cengar cengir ngliat tanggal lahir saya :)
Jam satu lebih lima belas menit. Akhirnya kami pulang bersama2. Btw bayar peron yang kurang tigaribu jadinya gak dibayar. Soalnya penjaganya gak ada. Hehehe.
Syuting hari ini selesai sudah. Tinggal proses editing. Ada semacam perasaan kehilangan. Masih berharap bisa produksi film lagi. Bisa syuting lagi (^_^).
Salam,
Manajer Produksi IdeKita Production.
Saturday, December 5, 2009
Beberapa Kejutan di Hari Pertama Syuting
Sabtu, 05 Desember 2009
Pukul enam pagi dering hape telah membangunkan beberapa insan yang tengah menikmati selimut hangatnya. Sebuah telpon dari Manajer Produksi yang gak bakalan nyerah sebelum telponnya diangkat.
“jam tujuh di lokasi ya..”. Terdengar beberapa jawaban. Oke. Ya. Hmmm (masih setengah tidur). Otw (yakin lo?).
Pukul Tujuh pagi. Beberapa orang tengah bergerombol di depan stasiun Lempuyangan dengan mata merah karena terpaksa bangun pagi buta. Masih harus nunggu juga bebepa kru yang belum dateng (emang za, jadi orang Indonesia tu gak afdhol kalo belum ngaret.hehe). Tentunya kesempatan itu gak bakalan di sia2in. Photo2 mode on. Gak peduli perut laper en mata masih pengen merem, kalo dah ketemu ama kamera nee, langsung dech pasang gaya..
Orang yg ditunggu2 akhirnya dateng juga. Sang kemeramen ama sang pembawa sarapan. Tanpa basa-basi semua orang yg tengah bergerombol tadi langsung masuk peron. Sang manajer produksi menghitung berapa ekor yang bakalan masuk dan musti bayar karcis peron. Semua segera sarapan (ala kadarnya) dan menuju markas. Markas yang kami maksud adalah pos satpam yang ada di dalam peron, yang disewa dadakan ^_^. Untungnya si pak satpam baeek bgt mau ngejagain barang bawaan kami. Penghargaan setinggi-tingginya untukmu wahai pak satpam.
O iya, kami ceritakan dulu mengapa kami ujuk-ujuk kumpul di stasiun Lempuyangan. Kami tidak sedang mudik bareng ato mau jalan2 bareng. Nggak. Kami yang tergabung dalam rumah produksi IdeKita Production mau syuting (wheee nggaya tenan). Kebetulan lokasi yg digunakan adalah stasiun Lempuyangan. Kami akan memproduksi sebuah film pendek berjudul Pada Sebuah Stasiun (meski jujur nee, judul itu belum fix sepenuhnya). Film ini dijadiiin tugas akhir mata kuliah Dramaturgi.
Ada empat belas orang keren yang terlibat dalam pembuatan film pendek ini. Anis Mashlihatin (Manajer Produksi), Muh rasyid Ridlo (Director of Photography), Erlina Rakhmawati (Kameramen), Kholis (kameramen), Inta Fitriya Devi (Sutradara), Rissa Maistyari (Art Director, merangkap konsumsi), Srikandi Yuniar (Script Writter, merangkap Clapper girl), Abimayu (aktor ), Andhit (aktris), Vera (aktris), Taufiq (aktor), Danar (aktor), Diaz (aktor), Indah (aktris).
Jam setengah sembilan. Sarapan udah kelar. Dilanjutin briefing sejenak. Beberapa kameramen nyiapin handycam ama tripodnya masing2. Tim make up en wardrobe beraksi menyulap para artis biar jadi oke. Sang manajer produksi ngatur situasi di peron.
Saatnya pengambilan gambar. Ternyata gak gampang za..(musti diulang2. Berkali-kali). Sang sutradara mengarahkan artis. Ekspresinya mana?. Hehe. Aktor utama yang berperan sebagai Arya (Abimanyu) musti berjuang keras agar sesuai dengan keinginan sutradara. Taufiq yang berperan sebagai penjual koran emang Te O Pe Be Ge Te. Pantes banget jadi penjual koran. Haha. Dia sedang menawarkan koran pada orang2 yang ada di peron, tapi sayang gak ada yang mau beli. Dia pun sabar banget meski harus ngulang berkali2. Yang gak sabar sutradara ama kameramennya. Hahaha.. Danar yang berperan jadi pengamen juga oke banget. Jiwa pengamennya (eh, penyanyi) kontan keluar didukung dengan rambut gondrongnya yang keren.
Jam setengah sepuluh. Asisten Mas Alvein (sang Dosen) yang namanya Fendi dateng bareng temennya (aku gak tau namanya, soalnya belum sempet kenalan. Wah, amat sangat disayangkan! Haha). Ia mengemban amanat sang dosen, yang berhalangan hadir karena masih diluar kota, buat ngliat jalannya syuting. Tapi Cuma bentar, soalnya ada panggilan mendadak..
Giliran scene keluar dari kereta yang diperanin si Indah musti dipending. Gara2nya gak dapet situasi yang crowded. Pas kereta ada, gak ada orang2 yang naik-turun. Kita telat. Kedatangan kereta di jalur 3 tidak sempat direkam karena gak tau kalo ada kereta datang. Gak kedengeran (kok bisa? Buktinya bisa tuh.hehe) Tertutup kereta di jalur 2. Akhirnya, scene itu dipending hari berikutnya..
Tim kameramen berjuang sekuat tenaga biar dapet gambar yang bagus. Mereka rela mengulang2 biar dapet hasil yang maksimal. Sang manajer produksi ngatur situasi agar orang2 yang duduk di kursi tunggu peron berekspresi natural. Gak cengar-cengair, narsis, atopun gugup. Untungnya mereka cukup membantu.
Waktu pengambilan gambar ada hal yang bikin kami jengkel tapi gak bisa jengkel (gimana tuh ngejelasinnya). Si Abim gak bisa berekspresi kecewa gara2 lawan mainnya cantik banget dan memasang senyum manis. wah, ampek ngulang2 beberapa kali. Weleh2, belum apa2 udah cinlok. Ckckckcckc… Piiz
Jam dua belas. Break dulu. Konsentrasi udah mulai buyar soalnya perut udah pada keroncongan. Ajakan makan siang disambut riang oleh semua kru dan artis. Saatnya makaaan. Hmm, menu yang dipilih ama tim konsumsi emang mak nyus. Sangat bersahabat dengan cacing2 di perut yang udah pada demo. Yang udah slese makan nganjutin sholat dzuhur. Saatnya menghadap yang Maha Kuasa. Tidak lupa berdoa agar syuting berjalan lancar tanpa gangguan.
Ada diskusi menarik diantara kami disela2 break. Biangnya adalah si Ridlo. Dia ngajuin teka-teki yang gak sampai saat ini belum ada yang bisa njawab. Ada dua orang bapak dan dua orang anak. Mereka sedang memancing dan masing2 mendapat satu ekor ikan.kemudian ikan tersebut dikumpulkan. Ada berapa jumlah ikan sekarang? Siapa pun yang tahu jawabannya tolong kasih tau ya, soalnya si ridlo bersikukuh gak mau ngasih tahu jawabannya sebelum syuting selesai. Dan kami jengkel bgt dibikin penasaran kayak gitu. Palagi si Taufiq. Wah..dia yang paling penasaran diantara kami..
Jam satu. Hujan. Wah, sumpah deh, ternyata hujan di stasiun tuh keren banget. Meski hujan nee, semua kru dan artis bersikukuh melanjutkan syuting. Toh peron ada atapnya, gak ngaruh kan. Syuting dimulai lagi. Masih ngulang adegan si Abim yang musti nunjukin wajah kecewanya. Si Erlin berjuang mati2an meragain ekspresi kecewa. Setelah melalui beberapa take akhirnya berhasil juga. Manajer produksi beserta kru yang lain masih mengatur situasi. Musti bilang ke beberapa orang yang duduk di stasiun agar berekspresi natural dan tidak duduk di kursi2 tertentu.
Ada mbak Ima (kakak angkatan) datang ngliat jalannya syuting.
Jam dua. Syuting hari ini disudahi. Semua kru dan artis kembali ke markas untuk briefing syuting besok. Ada beberapa artis hari ini yang udah gak dateng buat syuting besok karena scenenya udah selese diambil. Acara selanjutnya adalah photo2 (apa pun yang terjadi acara satu ini gak boleh dilupain dan harus dilaksanakan!). Semua berpose dengan gaya seksinya masing2. Setelah beberapa jepretan hasil bidikan mbak Ima, kami semua mulai mengemasi barang2 dan semua peralatan. Tidak lupa mengucapkan terimaksih yang sebesarnya pada pak satpam yang dengan kerelaannya telah bersedia membantu.
Tapi tunggu dulu. Ada peristiwa yang menghambat kepulangan kami. Kunci motornya si Abim Ilang! Owalah, kamu taruh dimana toh Bim. Tak ayal, semua kru mencari disemua sudut, saku, dan tas masing2. Jangan2 tak sengaja nyelip. Setelah beebrapa menit pencarian, hasilnya nihil. Semua sudut stasiun udah dicari. Tempat sampah juga udah. Pak penjaga parkir juga udah ditanyain, jangan2 kuncinya masih nempel di motor. Ternyata belum ada juga. kami pun memutuskan untuk pulang karena hari sudah sore. Udah pada kangen berat ama kansur dan bantal masing2.
Simsalabim! Dari kantong si Abim muncul sebentuk kunci motor. Sialan. Dia udah nemuin tapi gak bilang2. Ternyata kuncinya ketinggalan di toilet. Wah..lega!
Hari ini kami pulang dengan berbagai pengalaman yang dahsyat. Tapi perjuangan belum berakhir, masih ada syuting hari esok. Yang tentunya lebih dahsyat lagi J
Salam,
Manajer Produksi IdeKita Production.
Wednesday, November 25, 2009
Perempuan di Taman
Perempuan berbaju merah itu, agaknya sudah terlalu lama duduk di sebuah kursi panjang yang berwarna merah pula. Wajahnya sedikit tegang sambil sesekali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sesekali pula, ia melihat ke seberang jalan sana, berharap ada sosok yang akan membuat matanya berbinar. Angin berhembus lirih memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
Agaknya, senja kali ini tak banyak orang datang ke taman, entah terlalu sibuk dengan pekerjaan atau hanya malas saja. Barangkali juga tempat lain lebih menggoda. Seorang laki-laki yang sudah tua datang dengan anjingnya yang berwarna coklat dengan bulunya yang panjang dan halus, bercakap dengan gembira seolah anjingnya itu mengerti apa yang lelaki tua itu bicarakan. Lucu. Barangkali lelaki tua itu sudah terlalu bosan dengan istrinya di rumah yang semakin cerewet dan keriput. Dan ia beralih pada anjingnya, dan dibayangkannya anjingnya itu kekasihnya sewaktu muda dahulu, manis dan manja. Perempuan itu tertawa-tawa kecil dengan apa yang berkelebat di kepalanya tentang lelaki tua itu.
Dan lagi, sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya. Seorang perempuan berambut pendek dan lelaki kurus berambut panjang berkacamata, tampak berbinar-binar mata keduanya. Cekikikan entah menertawakan apa. Barangkali menertawakan hidup. Namun, mereka tampak begitu bahagia. Mengingatkannya pada suatu ketika, suatu masa, entah kapan. Perempuan berbaju merah dan duduk di kursi merah itu berair matanya.
Senja kali ini berwarna merah keemasan, berkilauan. Sebuah kombinasi yang memukau. Dan mengingatkannya pada senja milik Seno Gumira Ajidarma pada Sepotong Senja Untuk Pacarku. Senja yang dikirim oleh seorang lelaki pada kekasihnya sebagai ungkapan rindunya. Senja yang manis. Dan sekarang ia tak mau berhenti memandangnya. Sebab senja hanya sekejap saja, pikirnya. Ia pun heran, kenapa senja yang begitu indah itu hanya sekejap, selanjutnya digantikan malam yang pekat. Seperti nyala kembang api yang juga sekejap.
Tak lama kemudian, ia kembali melihat arlojinya. Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dan ia belum juga melihat sosok yang diidam-idamkannya. Ia curiga jangan-jangan arlojinya sudah mulai snewen. Matanya mulai liar mencari-cari sosok yang sekian lama dirindukannya itu. Tubuh tinggi dan kurus. Mata yang dingin dan dalam. Ah, sudah berapa lama ia tak melihatnya ia pun tak tahu. Kini kakinya mulai tak bisa diam. Bintik-bintik keringat di dahinya juga sudah mulai tampak. Ia pun sudah mulai menggigit bibirnya yang merah. Dan ia mulai tak percaya lagi dengan arlojinya. Tapi ia belum juga beranjak dari kursinya dan mulai mencari ketenangan dengan menghisap sebatang rokok. Asap mengepul dari mulutnya.
***
Rumah yang mungil. Halaman yang kecil tapi dipenuhi bunga-bunga aneka warna. Ada kolam dengan sepasang kura-kura yang juga kecil. Angin semilir bercakap dengan daun-daun yang beranjak tidur. Menambah sejuk teras dengan dua kursi santai itu.
“Sayang, mau kubikinkan teh?”
“Bolehlah, tapi jangan terlalu manis”.
Sejenak kemudian seorang perempuan datang dengan membawa dua cangkir teh dan sepiring kue bolu. Perempuan dan lelaki itu kemudian meminum teh masing-masing dengan diam-diam, belum berkata-kata. Si perempuan mulai menjamah kue yang ada di piring dan menawarkannya pula pada si lelaki.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya perempuan itu dengan kue bolu yang memenuhi mulutnya. “kau tampak gelisah, sayang.”
“Tidak ada apa-apa.”
“Kau jangan bohong. Matamu tak bisa menyembunyikan kegelisahanmu itu.”
“Benar kok, tidak ada apa-apa. Sungguh.”
Si perempuan tak bertanya lagi pada si lelaki, tapi sungguh tak dapat dipungkiri, hatinya tak mau berhenti bertanya-tanya.
Lelaki itu kemudian beranjak dari kursinya. Berjalan-berjalan di halamannya yang tidak luas itu. Dan kini ada sebatang rokok di mulutnya. Asap mengepul. Ia masih berjalan mondar-mandir sambil sambil berulang kali memberi makan kura-kura yang sudah tak berselera makan itu.
Perempuan yang masih duduk di kursinya itu semakin bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada lelaki yang telah menikahinya dua tahun yang lalu itu. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus. Matanya yang dingin dan dalam. Memang, suaminya itu tak banyak bicara. Tapi tak pernah bersikap dingin seperti ini kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa suaminya itu sangat mencintainya, menyayanginya. Belum ada suatu masalah yang serius dalam rumah tangga yang telah dikaruniai seorang bayi laki-laki yang kini sedang tidur pulas. Cukup memenuhi untuk kriteria keluarga bahagia.
Setiap pagi, selain Sabtu dan Minggu, dirinya menyiapkan sarapan sebelum suaminya pergi ke kantor. Tak lupa sebelum pergi, suaminya mencium dirinya dan juga bayinya. Sore ketika suaminya pulang, mereka biasa bercakap-cakap tentang apa saja yang mereka kerjakan seharian. Perempuan itu cukup berbahagia. Tapi, tiga hari ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada suaminya. Entah apa ia pun tak tahu.
Diperhatikannya suaminya yang masih mondar-mandir di halaman itu sedikitnya sudah menghabiskan dua batang rokok, padahal sebelumnya sudah ditekannya di asbak, meski belum habis sebatang. Ia ingin bertanya lagi apa yang terjadi pada suaminya, Barangkali ada masalah dengan pekerjaannya atau dengan teman sekantornya, tapi ia enggan. Takut jika suaminya marah.
Dan lelaki yang sedari tadi mondar-mandir itu kini kembali mendekat pada tempat dimana istrinya duduk. Ia pun menghabiskan tehnya tanpa menyentuh kue yang ditawarkan istrinya tadi.
“Sayang, aku mau mandi dulu. Gerah sekali rasanya.” ujar lelaki itu pada istrinya. Dan perempuan yang dipanggil sayang itu hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
***
Lelaki itu belum juga beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih melayang-layang pada sesosok wanita berambut panjang yang sudah entah berapa lama tak dilihatnya itu. Tapi sangat dirindukannya. Sangat.
Ia membanyangkan perempuannya yang menunggu di taman. Tempat mereka biasa bertemu pada suatu ketika, suatu masa. Sendirian menunggunya. Dibayangkannya pula bagaimana kebiasaan perempuan itu, yang suka menggigit bibirnya sendiri jika tak sabar menunggu sesuatu. Lelaki itu tersenyum-senyum pada ingatannya. Ah, Maya, masihkah sekarang kau menungguku? Kenapa masih menungguku? gumamnya.
Dan ia pun masih belum juga beranjak ke kamar mandi, malahan berjalan-jalan ke ruang tengah. Mungkin selera mandinya sudah hilang. Tak lagi gerah. Dan ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Berlari ke taman? Mungkinkah? Bertemu lagi dengan perempuan yang sangat dirindukannya sekaligus ingin dilupakannya itu? Ataukah tidak pergi kemana-mana dan melanjutkan hidupnya seperti biasa? Seperti sebelum datang sebuah pesan di ponselnya dari perempuan itu. Yang ingin bertemu di taman, di tempat mereka biasa bertemu, dulu.
Sejenak ia melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Bingkai-bingkai foto itu agaknya berusaha mengabadikan sebuah peristiwa. Ada foto dirinya sewaktu diwisuda. Ada foto kedua orang tuanya. Ada juga foto pernikahannya dua tahun yang lalu. Dirinya tampak berseri-seri, begitu juga istrinya. Foto lain memperlihatkan anak lelakinya yang baru berusia satu tahun. Bukankah dirinya berbahagia? Ia merasa sangat beruntung dengan keluarga yang dimilikinya sekarang. Pekerjaan yang mapan. Sahabat-sahabat. Istri yang cantik, baik, dan perhatian. Juga anak yang lucu. Bukankah dirinya berbahagia?
***
Perempuan itu masih di sana. Matanya semakin jalang mencari-cari. Rasanya rokok yang dihisapnya itu pun begitu cepat habis. Lelaki tua dengan anjingnya pun sudah berlalu pergi. Sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya itu juga sudah berlalu entah kemana. Tiba-tiba taman terasa begitu asing. Dan hening menyelinap dalam hatinya.
Kini ia pun berjalan mondar-mandir di taman itu. Mencari ketenangan diantara rumput-rumput hijau yang mulai memerah sebab senja. Sepatunya yang tinggi kini bercakap dengan rumput-rumput itu. Kenapa ia masih juga menunggu laki-laki itu? Berkali-kali ia bertanya pada dirinya sendiri, tapi tak juga menemukan jawaban. Ataukah memang tak ada jawaban, bahkan di majalah-majalah wanita sekalipun.
Hatinya terasa kosong dan pikirannya melayang kemana-mana. Terpikir olehnya jangan-jangan tindakannya ini sudah mendekati kebodohan. Kegilaan. Jangan-jangan ia yang dirindukannya tak datang. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya ketika dalam perjalanan kemari. Jangan-jangan ia lupa. Jangan-jangan…
Perempuan itu berjuang keras untuk tetap tenang.
Jari dengan kuku-kuku yang bercat merah itu sedari tadi memencet sejumlah angka yang ada di ponselnya, tapi ia tak pernah menyelesaikannya. Ia tak punya cukup keberanian untuk menelpon laki-laki di seberang sana. Ada sesak. Ada gelisah. Dan senja tak lagi mampu menarik perhatiannya. Pikirannya pun dijejali kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya takut. Bagaimana kalau ia tak mau mengangkat telponnya. Bagaimana kalau yang mengangkat adalah seorang perempuan. Bagaimana kalau ia, lelaki itu, sudah melupakannya. Bagaimana kalau…Ahh..
Perempuan itu tak pernah tahu mengapa ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Sungguh tak pernah tahu.
Perempuan itu pun tak pernah tahu, lima menit yang lalu ketika lampu-lampu taman menyala serentak, tepat ketika ia meninggalkan taman itu, sesosok laki-laki datang dengan nafas terengah-engah. Lelaki berbadan tinggi dan kurus. Matanya dingin dan dalam.
Agaknya, senja kali ini tak banyak orang datang ke taman, entah terlalu sibuk dengan pekerjaan atau hanya malas saja. Barangkali juga tempat lain lebih menggoda. Seorang laki-laki yang sudah tua datang dengan anjingnya yang berwarna coklat dengan bulunya yang panjang dan halus, bercakap dengan gembira seolah anjingnya itu mengerti apa yang lelaki tua itu bicarakan. Lucu. Barangkali lelaki tua itu sudah terlalu bosan dengan istrinya di rumah yang semakin cerewet dan keriput. Dan ia beralih pada anjingnya, dan dibayangkannya anjingnya itu kekasihnya sewaktu muda dahulu, manis dan manja. Perempuan itu tertawa-tawa kecil dengan apa yang berkelebat di kepalanya tentang lelaki tua itu.
Dan lagi, sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya. Seorang perempuan berambut pendek dan lelaki kurus berambut panjang berkacamata, tampak berbinar-binar mata keduanya. Cekikikan entah menertawakan apa. Barangkali menertawakan hidup. Namun, mereka tampak begitu bahagia. Mengingatkannya pada suatu ketika, suatu masa, entah kapan. Perempuan berbaju merah dan duduk di kursi merah itu berair matanya.
Senja kali ini berwarna merah keemasan, berkilauan. Sebuah kombinasi yang memukau. Dan mengingatkannya pada senja milik Seno Gumira Ajidarma pada Sepotong Senja Untuk Pacarku. Senja yang dikirim oleh seorang lelaki pada kekasihnya sebagai ungkapan rindunya. Senja yang manis. Dan sekarang ia tak mau berhenti memandangnya. Sebab senja hanya sekejap saja, pikirnya. Ia pun heran, kenapa senja yang begitu indah itu hanya sekejap, selanjutnya digantikan malam yang pekat. Seperti nyala kembang api yang juga sekejap.
Tak lama kemudian, ia kembali melihat arlojinya. Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dan ia belum juga melihat sosok yang diidam-idamkannya. Ia curiga jangan-jangan arlojinya sudah mulai snewen. Matanya mulai liar mencari-cari sosok yang sekian lama dirindukannya itu. Tubuh tinggi dan kurus. Mata yang dingin dan dalam. Ah, sudah berapa lama ia tak melihatnya ia pun tak tahu. Kini kakinya mulai tak bisa diam. Bintik-bintik keringat di dahinya juga sudah mulai tampak. Ia pun sudah mulai menggigit bibirnya yang merah. Dan ia mulai tak percaya lagi dengan arlojinya. Tapi ia belum juga beranjak dari kursinya dan mulai mencari ketenangan dengan menghisap sebatang rokok. Asap mengepul dari mulutnya.
***
Rumah yang mungil. Halaman yang kecil tapi dipenuhi bunga-bunga aneka warna. Ada kolam dengan sepasang kura-kura yang juga kecil. Angin semilir bercakap dengan daun-daun yang beranjak tidur. Menambah sejuk teras dengan dua kursi santai itu.
“Sayang, mau kubikinkan teh?”
“Bolehlah, tapi jangan terlalu manis”.
Sejenak kemudian seorang perempuan datang dengan membawa dua cangkir teh dan sepiring kue bolu. Perempuan dan lelaki itu kemudian meminum teh masing-masing dengan diam-diam, belum berkata-kata. Si perempuan mulai menjamah kue yang ada di piring dan menawarkannya pula pada si lelaki.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya perempuan itu dengan kue bolu yang memenuhi mulutnya. “kau tampak gelisah, sayang.”
“Tidak ada apa-apa.”
“Kau jangan bohong. Matamu tak bisa menyembunyikan kegelisahanmu itu.”
“Benar kok, tidak ada apa-apa. Sungguh.”
Si perempuan tak bertanya lagi pada si lelaki, tapi sungguh tak dapat dipungkiri, hatinya tak mau berhenti bertanya-tanya.
Lelaki itu kemudian beranjak dari kursinya. Berjalan-berjalan di halamannya yang tidak luas itu. Dan kini ada sebatang rokok di mulutnya. Asap mengepul. Ia masih berjalan mondar-mandir sambil sambil berulang kali memberi makan kura-kura yang sudah tak berselera makan itu.
Perempuan yang masih duduk di kursinya itu semakin bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada lelaki yang telah menikahinya dua tahun yang lalu itu. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus. Matanya yang dingin dan dalam. Memang, suaminya itu tak banyak bicara. Tapi tak pernah bersikap dingin seperti ini kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa suaminya itu sangat mencintainya, menyayanginya. Belum ada suatu masalah yang serius dalam rumah tangga yang telah dikaruniai seorang bayi laki-laki yang kini sedang tidur pulas. Cukup memenuhi untuk kriteria keluarga bahagia.
Setiap pagi, selain Sabtu dan Minggu, dirinya menyiapkan sarapan sebelum suaminya pergi ke kantor. Tak lupa sebelum pergi, suaminya mencium dirinya dan juga bayinya. Sore ketika suaminya pulang, mereka biasa bercakap-cakap tentang apa saja yang mereka kerjakan seharian. Perempuan itu cukup berbahagia. Tapi, tiga hari ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada suaminya. Entah apa ia pun tak tahu.
Diperhatikannya suaminya yang masih mondar-mandir di halaman itu sedikitnya sudah menghabiskan dua batang rokok, padahal sebelumnya sudah ditekannya di asbak, meski belum habis sebatang. Ia ingin bertanya lagi apa yang terjadi pada suaminya, Barangkali ada masalah dengan pekerjaannya atau dengan teman sekantornya, tapi ia enggan. Takut jika suaminya marah.
Dan lelaki yang sedari tadi mondar-mandir itu kini kembali mendekat pada tempat dimana istrinya duduk. Ia pun menghabiskan tehnya tanpa menyentuh kue yang ditawarkan istrinya tadi.
“Sayang, aku mau mandi dulu. Gerah sekali rasanya.” ujar lelaki itu pada istrinya. Dan perempuan yang dipanggil sayang itu hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
***
Lelaki itu belum juga beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih melayang-layang pada sesosok wanita berambut panjang yang sudah entah berapa lama tak dilihatnya itu. Tapi sangat dirindukannya. Sangat.
Ia membanyangkan perempuannya yang menunggu di taman. Tempat mereka biasa bertemu pada suatu ketika, suatu masa. Sendirian menunggunya. Dibayangkannya pula bagaimana kebiasaan perempuan itu, yang suka menggigit bibirnya sendiri jika tak sabar menunggu sesuatu. Lelaki itu tersenyum-senyum pada ingatannya. Ah, Maya, masihkah sekarang kau menungguku? Kenapa masih menungguku? gumamnya.
Dan ia pun masih belum juga beranjak ke kamar mandi, malahan berjalan-jalan ke ruang tengah. Mungkin selera mandinya sudah hilang. Tak lagi gerah. Dan ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Berlari ke taman? Mungkinkah? Bertemu lagi dengan perempuan yang sangat dirindukannya sekaligus ingin dilupakannya itu? Ataukah tidak pergi kemana-mana dan melanjutkan hidupnya seperti biasa? Seperti sebelum datang sebuah pesan di ponselnya dari perempuan itu. Yang ingin bertemu di taman, di tempat mereka biasa bertemu, dulu.
Sejenak ia melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Bingkai-bingkai foto itu agaknya berusaha mengabadikan sebuah peristiwa. Ada foto dirinya sewaktu diwisuda. Ada foto kedua orang tuanya. Ada juga foto pernikahannya dua tahun yang lalu. Dirinya tampak berseri-seri, begitu juga istrinya. Foto lain memperlihatkan anak lelakinya yang baru berusia satu tahun. Bukankah dirinya berbahagia? Ia merasa sangat beruntung dengan keluarga yang dimilikinya sekarang. Pekerjaan yang mapan. Sahabat-sahabat. Istri yang cantik, baik, dan perhatian. Juga anak yang lucu. Bukankah dirinya berbahagia?
***
Perempuan itu masih di sana. Matanya semakin jalang mencari-cari. Rasanya rokok yang dihisapnya itu pun begitu cepat habis. Lelaki tua dengan anjingnya pun sudah berlalu pergi. Sepasang kekasih yang duduk tak jauh darinya itu juga sudah berlalu entah kemana. Tiba-tiba taman terasa begitu asing. Dan hening menyelinap dalam hatinya.
Kini ia pun berjalan mondar-mandir di taman itu. Mencari ketenangan diantara rumput-rumput hijau yang mulai memerah sebab senja. Sepatunya yang tinggi kini bercakap dengan rumput-rumput itu. Kenapa ia masih juga menunggu laki-laki itu? Berkali-kali ia bertanya pada dirinya sendiri, tapi tak juga menemukan jawaban. Ataukah memang tak ada jawaban, bahkan di majalah-majalah wanita sekalipun.
Hatinya terasa kosong dan pikirannya melayang kemana-mana. Terpikir olehnya jangan-jangan tindakannya ini sudah mendekati kebodohan. Kegilaan. Jangan-jangan ia yang dirindukannya tak datang. Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya ketika dalam perjalanan kemari. Jangan-jangan ia lupa. Jangan-jangan…
Perempuan itu berjuang keras untuk tetap tenang.
Jari dengan kuku-kuku yang bercat merah itu sedari tadi memencet sejumlah angka yang ada di ponselnya, tapi ia tak pernah menyelesaikannya. Ia tak punya cukup keberanian untuk menelpon laki-laki di seberang sana. Ada sesak. Ada gelisah. Dan senja tak lagi mampu menarik perhatiannya. Pikirannya pun dijejali kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya takut. Bagaimana kalau ia tak mau mengangkat telponnya. Bagaimana kalau yang mengangkat adalah seorang perempuan. Bagaimana kalau ia, lelaki itu, sudah melupakannya. Bagaimana kalau…Ahh..
Perempuan itu tak pernah tahu mengapa ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Sungguh tak pernah tahu.
Perempuan itu pun tak pernah tahu, lima menit yang lalu ketika lampu-lampu taman menyala serentak, tepat ketika ia meninggalkan taman itu, sesosok laki-laki datang dengan nafas terengah-engah. Lelaki berbadan tinggi dan kurus. Matanya dingin dan dalam.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...