percakapan dengan beberapa kawan akhir-akhir ini, entah mengapa, selalu berujung pada persoalan-persoalan labeling. nah, untuk itu, saya pun nggak tahan pengen ngoceh.
sebenarnya, yang membuat saya udah jengkel di ubun-ubun adalah talkshow tadi pagi yang kebetulan saya ikuti, yaitu berbagi cerita dengan pengajar muda. ini adalah acara yang diselenggarakan oleh bentang pustaka yang bekerja sama dengan program indonesia mengajar pimpinan Anis Baswedan.
singkat cerita, moderator yang dalam acara tersebut, menurut saya, amat sangat tidak bijak ketika menggunakan label-label tertentu untuk menyebut orang dan lokasi penempatan para pengajar muda. dibilang terbelakanglah, tempat antah berantahlah, seramlah. gak cuma itu, acara bincang-bincang itu dibuka dengan si moderator yang lebih mengedepankan bagaimana keadaan lokasi dan orang-orangnya, yang ternyata oleh pengajar muda (tadi yang datang Agus dan Aline) dijawab juga dengan label-label yang mengesankan bahwa lokasi yang mereka tuju itu emang "buruk" dengan mendeskripsikan keadaan jalan, listrik, wc, dan lain sebagainya. njut ngopo nek wes ngono?
inilah mengapa saya gak suka banget pada salah satu acara di stasiun tv swasta yang judulnya "andai aku menjadi". menurut saya, acara tersebut tidak jauh beda dengan kampanye untuk menganggap bahwa orang-orang desa yang menjadi target acar tersebut adalah orang-orang yang menderita. nah, acara tersebut mendorong penonton untuk menganggap bahwa hidup "yang seperti itu" adalah sebuah penderitaan. eksploitasi gak sih? ini ditambah lagi dengan si mahasiswa yang seringkali menye-menye kalau ngikutin keseharian orang-orang desa tersebut.
harusnya nih, gak usah ditonjolkan hal yang dianggap sebagai "penderitaan". harus ada sisi lain yang diungkapkan, seperti kesetiaannya pada hidup, keikhlasannya, keuletannya. sehingga penonton bisa mengambil pelajaran atau falsafah dari orang-orang tersebut. bukan sebaliknya. bukan anggapan bahwa hidupnya lebih beruntung dibandingkan dengan si A atau si B. juga bukan semakin menganggap diri lebih mulia.
labeling ini dipicu oleh (semacam) prasangka sehingga tercipta sebuah jarak tertentu. justifikasi pada pertemuan awal atau homogenisasi terhadap suatu hal juga bisa menimbulkan labeling. dan akhirnya stereotipe. misalnya, orang sana pasti kasar, orang sana pasti pelit dan mata duitan, orang sana lagi licik. dan lain sebagainya.
sebenarnya, yang menjadi masalah adalah: parameter yang digunakan itu apa?
barangkali, yang juga memicu timbulnya labeling terhadap suatu hal atau subjek tertentu adalah ketika seseorang itu terlalu lama berada dalam zona nyamannya. entah zona nyaman itu berwujud fisik yg oke, lingkungan, atau yg lainnya. yang tentunya dianggap sebagai paling oke. dan masalahnya lagi, labeling ini lebih condong pada hal-hal yang sifatnya kurang baik. meskipun ada juga yang membaikkan.
nah, salah satu manfaat belajar poskolonialisme adalah mengurangi dan menghindarkan diri dari bahaya labeling dan stereotipe ^^
#eh, tapi di akhir2 talkshow si Agus bilang sih kalo dirinya berusaha menolak anggapan bahwa masyarakat dimana dia ditempatkan itu pencuri :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
No comments:
Post a Comment