Saturday, October 17, 2015

pohon-pohon talok

Awalnya adalah rekomendasi dari seseorang yang sangat mengagumi Arswendo Atmowiloto. Saya menanyakan buku apa yang kira-kira bisa dibaca sambil santai-santai. Dia bilang, 3 Cinta 1 Pria. Tanpa pikir panjang, saya langsung memburu buku itu. Dan, di sana saya menemukan pohon ini disebut. Tak hanya sekali. Berkali-kali. Berulang-ulang. Hingga sangat intens.

Dalam buku 3 Cinta 1 Pria itu, sang tokoh utama adalah seorang yang tergila-gila dengan pohon talok. Ia pun membudidayakan. Memeliharanya. Mencintainya.

Saya sendiri menyebutnya ‘pohon keres’. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut ‘kersen’, sedangkan nama latinnya adalah Muntingia calabura. Saya rasa, pohon ini tumbuh dengan sendirinya, di sembarang tempat. Mungkin 'bibit'nya disemai burung-burung. Jika muncul ke permukaan tanah, ia tak dimusnahkan, tapi juga tak dirawat. Hingga tau-tau tumbuh menjulang dengan daun hijau lebat. Tidak ada orang yang dengan sengaja menanamnya. Setidaknya, sampai sejauh ini saya belum berjumpa atau mendengar cerita ada orang yang dengan sengaja membudidayakan pohon ini. Ya, terkecuali Bong tentu saja, tokoh dalam 3 Cinta 1 Pria.

Bagi saya pohon ini adalah pohon yang istimewa. Ia tak butuh perawatan khusus untuk bisa menghasilkan buah yang menggiurkan itu: hijau kala masih mentah, hijau kekuningan kala beranjak matang, merah kalau matang, dan merah gelap kalau terlalu matang. Dulu, buahnya yang masih mentah biasa saya gunakan untuk pasaran, masak-masakan.

Tak hanya memakan buahnya, bagi saya, memainkan daunnya adalah kegembiraan tersendiri. Dulu, waktu masih di sekolah dasar, daun-daun keres yang muda biasa saya letakkan di sela-sela buku tulis putih bergaris-garis itu. Lalu ditekan kuat-kuat. Dalam beberapa hari akan membentuk pola daun yang indah. Daun yang masih muda akan memberi warna terang, hijau kekuningan. Kalau mau bermain gradasi bisa ambil yang agak tua, tapi biasanya sulit meninggalkan jejak di kertas.

Di Jogja, saya heran mengapa banyak buah keres/talok yang dibiarkan jatuh berserakan. Apalagi kalau musim hujan. Buahnya yang matang begitu gemuk-gemuk. Saya tidak pernah mendapati anak-anak yang antusias bermain atau memanjat pohon ini. Saya curiga, jangan-jangan orang Jogja tidak tahu kalau buah ini bisa dimakan dan rasanya manis. Atau, mereka tahu kalau buah ini bisa dimakan, tetapi sengaja membiarkannya untuk makanan burung. Ah, sial. Boleh saja sih buat makanan burung, tapi, sebagai penggemar buah talok, saya begitu sakit hati melihat buah-buah ini bertebaran tanpa ada yang memungutnya :(

Di sekolah vokasi UGM, ada setidaknya tiga pohon talok yang—subhanallah—buahnya banyak banget! Tapi, saya bersedih untuk ketiga pohon itu. Buahnya yang merah gemuk itu merana. Bertebaran di tanah, tak ada yang berhasrat mencaploknya. Saya juga bersedih untuk diri saya sendiri, yang hanya bisa memandang dengan gemetar. Ingin memanjatnya tapi dihadang rasa malu dilihatin mahasiswa saya. :(

Pohon ini begitu kuat menyimpan memori masa kecil saya. Tapi ia tak sendiri. Ia punya teman yang lain, pohon murbei, pohon juet, cerme, kecacil, ciplukan (kalau bisa dikatakan pohon).

Mungkin saya tak seperti Bong yang memperlakukan pohon talok bagai seorang kekasih. Menghayatinya sampai ke kedalaman. Tapi, saya cukup senang, momen-momen berharga dalam hidup saya pernah hinggap di pohon ini. :)

No comments:

Post a Comment

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...