Terhitung sejak 24 Januari 2016, saya sudah tidak tinggal di Yogyakarta. Sedikit sedih, banyak rindunya. Tapi bukan bagian itu yang ingin saya tulis di sini. Singkat cerita, saya akhirnya hijrah ke Surabaya. Memulai lagi dari awal, kehidupan di sebuah kota yang asing. Sendirian.
Sebenarnya kota ini tidak benar-benar asing bagi saya. Setidaknya dulu waktu saya TK dan SMP, saya pernah mengunjungi kebun binatangnya. Waktu SMA saya juga beberapa kali pergi ke jalan Semarang dekat Pasar Turi untuk membeli buku-buku bekas. Sewaktu kuliah saya juga beberapa kali singgah di Surabaya.
Tapi toh ternyata tinggal itu berbeda dengan singgah.
***
Kamu jelas tahu bahwa Surabaya yang sekarang sudah melesat jauh dari gambaran Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia atau Idrus dalam Surabaya. Tapi tak begitu jauh sih dari gambaran Hamka dalam Tuan Direktur.
Jika kamu menganggap bahwa Surabaya hari ini adalah deretan mal dan deru kendaraan yang memekakkan telinga selama 24 jam, kamu tidak salah. Jika kamu menganggap Surabaya adalah tempat orang-orang begitu keras bekerja dari Senin sampai Jumat kemudian menghabiskan akhir pekan berjubel di pusat perbelanjaan, kamu juga tidak salah. Jika kamu menganggap bahwa gambaran Surabaya tak jauh-jauh dari lirik-lirik lagu Silampukau: tanah lapang yang berganti gedung-gedung tinggi, kota yang menghisap habis impian hidup seseorang, suasana malamnya yang jahanam, kamu juga bener banget. Juga, kalau kamu menganggap bahwa jalanan Surabaya membuat seorang gadis (yang belum begitu tegen mengendarai motor) tak berani melenggang santai, kamu seratus persen bener.
Nah, jika kamu menganggap bahwa gambaran-gambaran tentang Surabaya itu membuat saya males tinggal di dalamnya, bentar, tunggu dulu. Saya bersyukur diciptakan sebagai makhluk yang mudah beradaptasi. Lagi pula, anak kecil macam saya tak akan sulit menemukan apa yang saya namai dengan surga-surga kecil. Yah, setidaknya surga versi saya.
Baik, saya akan memulainya dari tempat yang paling dekat dengan tempat saya tinggal.
Jemuran kos. Silakan tertawa. Tapi inilah surga pertama yang saya temukan. Tempat kos saya yang didominasi warna ungu muda ini memiliki halaman yang cukup luas dan ditumbuhi banyak pohon besar. Dan pohon-pohon itu meneduhi tempat jemuran yang cukup luas di lantai 2. Ada beberapa lidah buaya yang tumbuh subur di dalam pot dan lumut-lumut hijau yang menempel di dinding sehingga menjadikan tempat ini sangat cocok untuk menghabiskan sore, duduk-duduk membaca buku sambil menikmati secangkir teh tong tji.
Tempat ini juga sangat cocok untuk memandang bulan purnama sambil menelpon teman-teman. [Bulan purnama dan teman-teman saya: sama-sama jauh. Satunya cuma bisa saya pandang, satunya lagi cuma bisa saya dengar suaranya].
Angkringan dekat kos. Angkringannya jogja banget. Tehnya, jahenya, tahu bacemnya, sate-satenya. Uh! Sepulang mengajar, saya sering mampir ke sini. Betapa teh hangat dengan gula batu itu bisa membunuh penat seharian. Oh ya, penjualnya adalah mas-mas dari Jogja. Kami biasa mengobrolkan ini itu tentang Jogja, dan hal-hal lainnya. Hotel dan apartemen di Jogja makin banyak ya, mas. Duh.
Danau Unesa. Ada sebuah danau di Unesa. Cukup luas. Selain dihuni ikan-ikan, di tengah-tengah danau itu ditanam sebuah pohon dan sarang burung merpati. Melihat merpati-merpati itu bertengger di dahan-dahan pohon dan kadang terbang mengapakkan sayap-sayapnya, ada yang menghangat di hati saya. Kalau hari minggu, banyak anak kecil yang didampingi orang tuanya bermain di sekitar danau ini. Mereka biasanya memberi makan ikan-ikan. Di pinggir-pinggir danau ada bangku-bangku untuk duduk. Tempat ini benar-benar membuat saya betah berlama-lama melamun. Saya juga sering bersepeda di sekitaran danau ini.
Kursi-kursi dengan meja bundar dan payung, di kantin Unesa. Di dekat danau itu terletak sebuah kantin. Di kursi-kursinya yang ada payung besarnya itulah saya sering menulis. Melihat mahasiswa-mahasiswa yang penuh gairah itu membuat saya ingin menjadi mahasiswa lagi. Bagaimanapun, memandang mereka, memberikan asupan energi bagi saya.
Kebun Binatang Surabaya (KBS). Jika berita-berita yang kamu baca tentang kebun binatang ini adalah hal-hal yang tidak menyenangkan, mungkin kamu memang harus berkunjung langsung ke sini. Dan buktikan bahwa berita itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin banyak yang enggan datang lagi ke sini karena ngapain? hewan-hewannya udah jarang gitu. Lha justru itu! Kamu harus sering-sering mengunjungi mereka yang masih bertahan hidup. Oke, mungkin mereka gak ada sangkut pautnya dengan hidup kamu, tapi percayalah, bertemu mereka tak akan sia-sia.
Kebun binatang ini amat luas. Penuh dengan pohon-pohon besar. Entah mengapa, saya selalu merasa aman dan nyaman jika dekat dengan pohon besar. Rasanya begitu teduh. Menurut salah satu filmnya Wong Kar Wai, pohon adalah makhluk yang paling bisa menjaga rahasia. Mungkin suatu saat akan ada pohon yang saya lubangi untuk menyimpan rahasia itu.
Taman Bungkul. Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai tanaman yang ditata sedemikian rupa. Saya lebih menyukai taman yang berantakan, yang tanamannya tumbuh sesukanya. Oleh karena itu, taman yang banyak rumput liarnya menurut saya lebih menyenangkan. Tapi, sebagai ruang alternatif, taman bungkul ini cukup nyaman untuk duduk-duduk sambil membaca buku kesayangan.
Saya akan membuat tulisan tersendiri tentang taman bungkul ini. Nanti.
Perpustakaan BI. Tempat ini adalah bekas museum Mpu Tantular. Berhubung museumnya dipindah ke Sidoarjo, tempat ini dijadikan sebagai perpustakaan. Bukunya tidak begitu lengkap, tapi tempatnya cukup asyik. Ada semacam warung kopinya di bagian lobi.
Jalan Ahmad Yani. Siang hari, jalanan ini memang sungguh beringas kayak arena balapan. Mobil motor bergerak begitu gegas. Sebenernya mereka pada mau kemana sih? Tapi kalau malam, sehabis hujan, jalanan ini menampakkan sisi lainnya. Oke, masih tetap beringas sih, tapi paling tidak ada indah-indahnya. Lampu-lampu kendaraan yang dipantulkan sisa-sisa hujan itu, bagi saya, sungguh indah.
Oke, sekian dulu ya. Perjalanan saya di kota ini belum jauh. Baru sekitar Surabaya bagian selatan. Oh ya, ada sebuah perpustakaan menyenangkan di Surabaya. Namanya perpustakaan C20. Tapi saya belum sempat ke sana. Semoga dalam waktu dekat bisa ke sana.
*Hmm..ternyata ada banyak cara Tuhan menghadirkan surga. Atau mungkin saya yang mulai (belajar) mencintai kota ini?
**Jangan khawatirkan saya, Pak. Saya baik-baik saja. Sudah jarang minum antasida.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
Terakhir ke kebun binatangnya pas es em pe. Skrg udh lbh bagus kah?
ReplyDelete