Monday, August 8, 2016

pisang, susu, dan realisme magis

Ada hadits nabi yang kira-kira bunyinya seperti ini: janganlah kamu mencintai sesuatu dengan berlebih-lebihan karena mungkin suatu saat akan menjadi musuhmu. Hadits itu terejawantah pada makhluk bernama cabe.

Saya pernah mencintai cabe dengan berlebihan sih, tapi kami tak pernah bermusuhan. Saya hanya dipisahkan secara paksa dengannya. Tidak boleh mengonsumsi dalam jangka waktu sampek embuh kapan karena bisa berakibat buruk pada lambung saya. Berhubung saya bergolongan darah B yang keren, secara alamiah saya (sering) dengan sengaja melanggar apa-apa yang dilarang. Potongan cabe rawit tidak pernah absen dari mie instan yang saya masak. Sambel bawang juga masih jadi teman favorit nasi. Kendati setelahnya lambung jadi perih. Tapi kalau dulu level saya cabe 20, sekarang turun jadi cabe 5 aja.

Hadits itu masih ada lanjutannya: dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi itu akan menjadi sesuatu yang kamu sukai. Seperti yang sudah dititahkan, suatu waktu dalam hidup ini, saya harus bersinggungan dengan hadits itu yang mewujud dalam seonggok pisang. Padahal sejak kecil saya tidak menyukai buah mblenyek itu. Dalam olahan apapun.

Apa yang menyebabkan saya harus bersahabat dengan pisang? Adalah ini: asam lambung. Kalau asam lambung saya sedang kambuh parah, lidah saya sampai terasa sangat pahit. Sakitnya minta ampun. Satu-satunya solusi adalah saya harus minum antasida. Di semua tas saya, selalu tersedia antasida, baik yang sirup maupun yang kapsul. Ibu kos saya yang baik hati pernah memberi saya obat untuk lambung yang oke banget. Sayang obat itu sekarang sudah habis dan tidak tersedia di apotek di sini.

Karena saya juga tidak ingin terus-menerus ketergantungan dengan obat, saya mencoba tanya sana sini, menelusuri sendiri, apa-apa yang bisa meredam asam lambung. Dan semua jawaban mengarah pada pisang! Mengingat bahwa lambung adalah amanat Tuhan yang harus dijaga, mau tidak mau, saya mulai makan pisang. Saya rasa-rasakan, ada perubahan yang baik pada lambung saya. Jadinya saya sering sekali makan pisang. Pertama-tama karena kebutuhan. Lama-lama ketagihan. Begitulah nasib yang sudah digariskan.

Jika pisang adalah sahabat bagi si asam lambung, selain cabe dia punya musuh lain, yaitu susu. Itu tidak masalah bagi saya karena saya tidak terlalu menyukai susu, kecuali yang rasa coklat dan rasa melon. Masalah baru muncul ketika indomilk mengeluarkan produk baru yang keren banget: susu rasa pisang! Enak bangeet. Waktu pertama kali melihat produk itu di deretan rak indomaret, saya tercekat. Sungguh. Bagi saya itu adalah penemuan luar biasa tahun 2016. Bahkan ultramilk (yang punya produk andalan susu rasa moca-nya) tidak mengeluarkan kolaborasi genius itu.

Lantas apa yang harus saya lakukan? Sebagai manusia yang harus adil sejak dalam pikiran, saya gak bisa mengabaikan keberadaan susu rasa pisang yang lezat itu. Tapi saya juga gak bisa pura-pura gak tahu bahwa produk itu bisa berakibat negatif pada lambung saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap mengonsumsinya karena saya konsumtif. Haha. Kan kalau asam lambung saya kambuh, saya bisa makan pisang aja tanpa susu :p

Oke, apakah kamu sudah bertanya-tanya tentang relasi antara pisang dan realisme magis seperti yang tertera dalam judul tulisan ini? Yakinlah bahwa relasi itu ada.

Begini, susu dan pisang, dua komponen yang bagi lambung saya berekasi berlawanan itu, ternyata bersekongkol membentuk minuman yang lezat. Persekongkolan mereka mengingatkan saya pada aliran sastra realisme magis. Seperti halnya yang asam menyatu dengan yang basa, dalam realisme magis yang real dan yang magis hadir bersama, menyatu, merayakan percampuran, tidak bertengkar mana di antara keduanya yang harus berjalan di depan*.

Mungkin bukan sebuah kebetulan bahwa pisang punya relasi khusus dengan realisme magis. Gabo, panggilan akrab Gabriel Garcia Marquez, yang dianggap sebagai tokoh utama dari aliran sastra realisme magis (meskipun tidak semua karyanya bisa dikategorikan dalam aliran realisme magis), kerap memunculkan perusahaan pisang dalam novel-novelnya.

Jika kamu sudah membaca One Hundred Years of Solitude (yang diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian) kamu pasti langsung klik di mana perusahaan pisang itu berada. Perusahaan pisang tidak hanya disebut dalam novel itu. Di novelnya yang lain, Memories of My Melancholy Whores, Gabo juga menyebut-nyebut perusahaan pisang. Apalagi di Living to Tell the Tale (novel otobiografis) Gabo banyak sekali menceritakan perusahaan pisang dalam hubungannya dengan sejarah keluarganya.

Nah, karena saya terlebih dahulu mengenal Gabo baru kemudian bersahabat dengan pisang, setiap kali makan pisang dan susu rasa pisang, saya merasa seolah berada di alam realisme magis.

Nyambung gak?

Saya rasa bukan kebetulan juga produk susu rasa pisang itu diluncurkan pada 2016. Tahun ini adalah tahun transisi bagi saya. Tahun pemiuhan batas-batas. Antara yang idealis dan yang realistis hadir bersama, melebur, tanpa bertengkar mana yang harus menang. Keterhubungan yang ajaib kan?

*dalam ingatan pada sajak “Berjalan ke Barat” karya Sapardi Djoko Damono. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
**Tadinya saya meniatkan tulisan ini tentang cabe dan pisang saja, tapi ternyata pisang bergerak liar hingga menemukan susu dan realisme magis. Apa boleh buat.

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...