Saturday, February 25, 2017

teruntukmu, perempuan jelmaan Otsu

percayalah,
perlahan kau akan melupakanku
dan kelak,
aku orang asing bagimu


Ella, apakah kau perempuan jelmaan Otsu? Jika tidak, bagaimana mungkin kau mencintaiku sedahsyat ini? Selain pada Otsu, sungguh aku tak percaya perempuan bisa mencintai sebegitu dahsyatnya. Kau tahu siapa Otsu? Ah, Ella, kau harus membaca Musashi karangan Eiji Yoshikawa. Kau akan berkenalan dengan Otsu. Aku yakin kalian akan cepat akrab.

***

Malam itu, pada pertemuan kita yang penghabisan, kau membuka kotak berwarna ungu yang kau bilang berisi rahasia-rahasia. Mengapa Ella? Mengapa kau mendedahkan rahasia-rahasia itu? Jika kotak itu tak sanggup, harusnya kau menyimpannya dalam-dalam di jantungmu sendiri. Mengapa kau tiba-tiba menyeretku? Kau ingin aku turut menanggungnya? Aku tak sanggup, Ella. Aku tak setangguh dirimu. Aku hanya lelaki gombal yang meninggalkanmu tanpa penjelasan apa-apa.

Di kehidupanku yang semekar bunga bungur di bulan Oktober, mengapa kau tiba-tiba hinggap di rerantingnya? Kau pun hinggap di jendela rumahku. Tak pergi-pergi. Ella, kau bukan burung kakak tua. Kau tak boleh seenaknya melakukan itu. Aku tahu kau amat menyukai jendela. Kau, dulu, juga suka duduk berlama-lama di café yang memiliki jendela-jendela besar, kan? Itu adalah satu-satunya tempat untuk kita membayar rindu. Dulu.

Kau mengingatkan, kita pernah saling bercakap di sebuah jendela maya. Percakapan yang tak putus-putus. Dari subuh ke subuh lagi. Tak bosan-bosan. Tapi, maaf, aku lupa apa saja yang kita percakapkan dulu itu. Kau tahu ingatanku tentang detail sungguhlah payah.

Dan kau pun bilang, seolah mengantisipasi ingatanku yang tak dapat diandalkan, bahwa di kotak berwarna ungu itu percakapan kita terdokumentasi seluruhnya. Tak ada yang terlewat. Tanggal dan jamnya pun lengkap. Kau menyimpan sekaligus mencetak percakapan kita. Ratusan halaman. Setebal skripsiku. Kau membacainya jika sedang merindukanku. Meskipun setelah membacanya kau akan semakin merindukanku. Setelahnya, kau akan menangis tersedu. Mendengar itu keluar dari mulutmu, aku seperti mendadak lumpuh.

Bagaimana bisa kau melakukan tindakan konyol itu, Ella? Bukankah kau perempuan yang tak mau kompromi dengan hal-hal sentimentil semacam itu? Kau menceritakan itu dengan mata penuh duka. Kau menyakiti dirimu sendiri, Ella. Kini kau mau menyakitiku juga.

Cukup, Ella. Aku tak mau membacanya. Melihat sebundel kertas yang sengaja kau bawa ini membuatku gemetar. Kuakui aku terharu atas apa yang kau lakukan. Itu adalah kekonyolan yang manis. Hatiku bersorak tapi hampa sekaligus.

***

Dengar, Ella. Aku sudah memiliki kehidupan yang sangat, sangat indah. Aku bertemu dengan seorang perempuan yang suka bergincu merah, warna kesukaanku. Dia memiliki selera musik yang bagus. Aku bahkan kalah dengannya dalam hal referensi musik. Dia juga punya suara yang cukup enak didengar, meski tak bagus-bagus amat. Aku senang mendengarnya bersenandung sementara aku memainkan gitar atau piano. Dia juga jenis perempuan yang hangat di tempat tidur. Sempurna!

Kau hanyalah masa lalu. Dan masa lalu harus tetap tinggal di masa lalu.

***

Tapi di sinilah aku sekarang, Ella. Menyuntuki lembar demi lembar percakapan sinting itu. Karena sering kau buka-buka, kertas itu jadi lebih tebal daripada seharusnya. Banyak bekas tangisanmu juga. Lalu aku jadi membayangkan wajahmu ketika membaca lembaran-lembaran ini. Ella, diam-diam aku ingin melihat wajahmu saat merindukanku.

Dalam lembaran-lembaran itu, ternyata banyak sekali yang kita bicarakan: mulai dari jenis-jenis cabe berikut tingkat kepedasannya, pembicaraan tentang alien dan ruang angkasa (kau sangat bersemangat membicarakan ruang angkasa sementara aku tak tau apa-apa tentang itu), tentang drama korea (bisa-bisanya kau menyukai hal-hal semacam itu), tentang rencana-rencana bolos kuliah dan menggantinya dengan pergi ke toko-toko buku bekas (ini adalah hal yang paling kusukai), kita juga membahas siapa sebenarnya Anny Arrow (dulu aku sempat menjadikannya bahan untuk tugas kuliah), eyel-eyelan tentang ‘yang nyata’ dan ‘yang maya’ (kita berada di mana, Ella?), hingga pembicaraan tentang dosen yang kamu idolakan (semoga beliau selalu sehat).

Diriku seolah melesat mundur belasan tahun. Kembali menjadi seorang remaja duapuluhan awal yang tak banyak ambisi. Yang menghabiskan sebagian besar waktu luang dengan menonton video-video di youtube dan melamun memandangi langit-langit kamar dengan tangan terlipat di bawah kepala. Betapa masa-masa yang menyenangkan.

Aku merasakan kembali gejolak itu. Debar itu. Tapi, saat aku melihat diriku yang sekarang, aku menyadari saat-saat itu telah berlalu dan begitu berjarak. Segala terasa begitu menjauh. Hilang dan tak pernah kembali lagi.

Aku jadi begitu takjub pada usahamu untuk mencoba mengabadikan percakapan kita dalam lembaran-lembaran kertas ini. Kau bilang, sebundel kertas itu hanya satu rahasia. Yang lain masih tersimpan dengan baik. Cukup. Aku memilih menutup mata, Ella. Aku tak sanggup melihat kebodohanku yang lebih banyak lagi.

***

Lantas, apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku terus menerus merutuki kebodohanku di masa lalu? Tidak. Tidak! Kau, Ella, memang perempuan jelmaan Otsu. Celakanya aku adalah jelmaan si brengsek Matahachi. Sementara kau selalu merindukanku, aku tak pernah sekalipun memikirkanmu. Segala aktivitas dan kesibukanku mengaburkan keberadaanmu di benakku. Ingatan tentang percakapan di jendela-jendela maya itu juga tak pernah mampir di pikiranku. Aku seperti amnesia. Maafkan aku, Ella.

Ella, kini, tak ada lagi jendela di antara kita. Tak boleh ada lagi. Sebagaimana syair sebuah lagu yang sering kudengar tapi aku lupa siapa yang melantunkannya: antara hatimu hatiku, terbentang dinding yang tinggi, tak satu jua jendela di sana. Di pikiranku hanya ada perempuanku dengan gincu merahnya dan senyumnya yang selalu merekah. Ia telah mengisi hari-hariku yang kosong di kota yang begitu riuh ini. Jika dulu aku begitu bodoh telah melupakan dan meninggalkanmu, kini aku tak mau mengulang kebodohan dengan menyakitinya.

Ella, telah kulepas engkau. Maka, lepaskanlah aku.

***

Di dunia paralel sana, di sebuah jendela yang itu itu juga, seorang perempuan masih terduduk tenang menunggu balasan sapaan “hai”. Sementara itu, si lelaki yang ditunggu sedang ketiduran setelah lelah menonton video-video di youtube. Syalalalala~

1 comment:

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...