Friday, December 3, 2010

mbah kakung, murbei, dan kembang api


Jika Anda pernah merasakan bahkan menggemari buah yang rasanya manis asem yang bernama murbei (yang bahasa latinnya adalah Morus Alba L), maka saya punya cerita tentangnya. Cerita ini sebenarnya sudah berbulan-bulan lalu ingin saya tulis, tapi selalu saja ada kambing hitam (baca: alasan) yang membuat saya selalu menunda-nunda. Oya, murbei ini tidak akan sendirian dalam cerita kali ini, dia akan ditemani oleh kembang api. Beda spesies, tapi entah mengapa bisa berjodoh.

Sudah lebih dari delapan tahun yang lalu kakek saya (dari pihak ibu) meninggal karena sakit jantung. Dalam usia 73 tahun. Kakek, yang biasa dipanggil cucu-cucunya dengan “mbah kakung”, meninggalkan kenangan-kenangan manis yang tak kan pernah saya lupakan. Kenangan, ya, segala peristiwa yang pernah kami lalui bersama kini hanya menjadi:kenangan.

Dulu, duluuuu sekali, saat pohon-pohon murbei mulai menampakkan gejala pembuahan alias berbuah, kami mulai mengincar dan memboking buah mana yang akan kami petik. Aih, jangan Anda bayangkan pohon murbei kami banyak, hanya ada beberapa di depan rumah dan di ladang. Menunggu matangnya murbei adalah saat-saat yang mendebarkan. Mendebarkan, karena waswas. Jangan-jangan nanti bagian saya dicaplok sama sepupu saya. Jangan-jangan murbeinya dimakan ulat. Jangan-jangan murbeinya gak jadi matang. Dan jangan-jangan yang lain. Maklum, waktu itu rumah saya agak jauh dari rumah mbah kakung, tempat bersemayamnya si murbei itu. Jadinya, waswas saya gedhe. Hehe.

Baiklah, baiklah, dari tadi saya keasyikan ngomongin tentang murbei, sampai-sampai belum memperkenalkan siapa mbah kakung dan cucu-cucunya. Mbah kakung saya bernama Sulaiman, sedangkan nenek saya bernama Sutikah. Cucu-cucunya, yang itu berarti sepupu-sepupu saya, diantaranya adalah Bagus Widianto (sekarang sedang menikmati pekerjaannya di Jakarta), Ira Ristianti (masih kuliah, berkutat dengan matematika), Alifatin Muzayana Arafah (masih kuliah juga, di bidang muamalah), Radinal Muchtar (sekarang kuliah di jurusan konseling), Nuruddin Kholid (adek saya, masih SMP kelas 3), dan Yusiwa Saria Arsana (cicit, sekarang masih SMA). Mereka semua adalah cucu-cucu dan cicit beruntung yang sempat bertemu dan kemudian mengenang mbah kakung.

Sebab ada cucu-cucu yang tak beruntung, yang terlambat lahir ke dunia, yang secara otomatis gak sempat bertemu dan mengenal mbah kakung. Kasian deh loe? Haha. Dan mereka adalah Nur Malinda Ulfa (sekarang masih SD, kelas berapa saya lupa), M. Iqbal (masih play group), M. Faizin Amin (play group juga), Panji Arsana (masih SD), M. Rahmadika (kayaknya udah SD deh, maap saya lupa), dan ada satu lagi sepupu saya, yaitu adeknya Dika, tapi saya gak tau namanya, baru lahir dan belum sempet ketemu, hehe. (Meskipun kalian gak sempet ketemu mbah kakung, tulisan kecil ini mudah-mudahan bisa membantu).

Kembali ke murbei. Mbah kakung lah yang menjadi hakim adil jika terjadi perebutan murbei yang matang menggiurkan itu. Eh, sering lho mbah kakung mengantarkan murbei ke rumah saya. Saya yakin ini tanpa sepengetahuan sepupu-sepupu saya yang lain. Saya pun gak bilang-bilang kalo dibawain murbei. Hehe. (oh, betapa saya merindukan saat-saat itu!)

Mbah kakung saya, yang sangat sangat menyayangi cucu-cucunya, selalu saja tau apa yang menjadi kesenangan kami saat lebaran datang. Apalagi kalo bukan: kembang api. Benda berpijar-pijar cantik itu selalu kami tunggu-tunggu meluncur dari tangan mbah kakung. Satu orang biasanya dapat satu bungkus. Kami seneng banget soalnya kembang apinya panjang-panjang. Kami pun menyalakannya beramai-ramai. Karena pada saat itu seluruh keluarga pasti berkumpul di rumah mbah kakung. (Dan lagi-lagi saya merindukan saat-saat itu!).

Gak cuma kembang api sih, mbah kakung kalau pulang dari Surabaya (saya tidak tahu persis apa pekerjaan beliau di Surabaya dulu. Waktu masih sehat-sehatnya beliau sering bepergian ke Surabaya) suka memberi kami uang kertas yang baru-baru. Masih gress! Aiiih, saya sangat senang, dan rasanya sayaang banget kalau dipakai buat beli jajan.

Itu dulu, kawan. Sebelum ambulance itu datang, dan sirinenya seolah terngiang sampai sekarang. Sebelum rumah tiba-tiba menjadi ramai. Sebelum keranda itu datang, dan doa-doa dibacakan. Sebelum semuanya tiba-tiba menjadi sunyi.

Sekarang, tak ada lagi murbei (yang ikut-ikutan punah seiring kepergian mbah kakung), tak ada lagi keceriaan kembang api, juga tak ada lagi uang kertas yang gress itu. Semuanya tinggal kenangan di masing-masing hati kami, cucu-cucunya. Ah, mbah kakung, kau tak sempat melihat kami tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Tak sempat melihat cucu-cucumu yang baru lahir. Tak sempat melihatku memakai toga.

Mungkin ini terlalu dini untuk dibicarakan. Tapi, di rumah saya nanti, saya ingin menanam pohon murbei. Saya ingin cucu-cucu saya berkumpul dan memakan murbei bersama-sama. Menyalakan kembang api bersama-sama.

Kami sangat merindukanmu, mbah kakung. Semoga engkau selalu damai di sisiNya. Amin.


031210
-Ann-

No comments:

Post a Comment

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...