Akhir-akhir ini banyak kawan saya yang meninggalkan Jogja, kota kecil yang perlahan menjadi ruwet ini. Ada gerowong dalam hati saya dan menimbulkan perasaan yang teramat sedih. Sedih yang bertahan lama dan tak sanggup saya jelaskan.
Saya mengenal keluarga ini sejak semester lima, itu berarti sekitar tahun 2009. Waktu itu, Mas Alvein Damardanto adalah pengajar mata kuliah dramaturgi bagian film. Pertama kali bertemu, beliau masih terlihat muda, mungkin hanya beberapa tahun di atas saya, pikir saya waktu itu. Namun, dugaan saya itu tidak bertahan lama kebenarannya karena Bu Ningrum (pengampu dramaturgi) cepat-cepat memberitahu pada kami bahwa beliau sudah menikah dan sudah punya anak. Dan jarak “beberapa” tahunnya itu ternyata jauh. Tapi saya masih tidak percaya.
Mas Alvein mengajar dengan pembawaan yang santai dan menyenangkan. Beliau sering menceritakan hal-hal seru. Pengalaman-pengalamannya membuat film dan mengikuti berbagai festival. Dan kemudian, pada pertemuan-pertemuan berikutnya Mas Alvein kerap membawa kedua putrinya, Zahra dan Zaskia, ke kampus. Pada saat itulah saya baru benar-benar percaya kalau beliau sudah menikah, dan punya 4 anak. Ya, empat!
Beberapa obrolan membuat hubungan kami tidak sekadar mahasiswa dan dosen, tapi teman. Ada beberapa buku yang sama-sama kami baca. Ini menyenangkan. Mas Alvein juga sering bercerita tentang persoalan rumah tangganya. Hmm. Hingga beliau mengundang saya untuk datang ke ulang tahun Zahra, entah ulang tahun yang ke berapa, saya lupa. Saya pun akhirnya bertemu dengan si kembar, Aya dan Acha. Keempat anaknya adalah anak-anak yang mudah dekat dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Saya senang bisa bertemu dengan mereka.
Di antara keempat saudara-saudaranya, Zahra-lah satu-satunya yang mirip mas Alvein. Hampir semua giginya keropos. Hehe. Zaskia, putri kedua. Biasa dipanggil Kia. Sama kayak Zahra, gigi Kia juga keropos. Kia punya kebiasaan menggemaskan. Dia suka menaik-naikkan alis kirinya sambil senyum-senyum. Dia juga sempat beberapa hari dirawat di rumah sakit. Di antara saudara-saudaranya, dia yang paling sering masuk rumah sakit. Kalau si kembar Aya dan Acha, saya sering banget salah manggil, mana Aya, mana Acha. Dan biasanya mereka sering ngambek kalau namanya salah dipanggil. Mereka tergolong pemalu jika dibandingkan dengan kedua kakaknya. Baru akhir-akhir ini saja sebenarnya mereka berdua mau “nempel” sama saya.
Di acara ulang tahun Zahra itulah untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan istri Mas Alvein, Mbak Nia, Kuniati Winduni. Seorang perempuan muda berwajah ayu. Mbak Nia lebih muda delapan tahun dari Mas Alvein. Mbak Nia menikah dengan Mas Alvein pada usia yang sangat belia, 17 tahun. Bagi saya, seorang perempuan yang mengambil keputusan untuk menikah pada usia muda itu adalah sebuah pilihan yang hebat. Saya yakin telah terjadi negosiasi yang panjang dalam dirinya sebelum memutuskan itu. Dalam kemudaannya, dia harus merelakan dunianya “menyempit” dan “meluas” sekaligus. Dia sudah tidak bisa seenaknya seperti remaja seumurannya. Ada hal lain yang menuntut tanggung jawabnya, keluarga. Betapa hebatnya!
Mbak Nia adalah sosok perempuan yang selamanya saya kagumi. Mengurus dan mendidik empat anak yang masih kecil-kecil bukanlah hal yang mudah, belum lagi ia harus mengurus persoalan rumah tangga yang lain. Seringkali Mbak Nia sendirian di rumah bersama keempat anaknya jika Mas Alvein sedang motret di luar kota. Sepanjang yang saya kenal, Mbak Nia adalah seorang yang begitu sabar. Sabar dalam arti yang sesungguhnya. Kalaupun dia pernah marah dengan keadaan, bagi saya itu adalah kemarahan yang wajar. Sekarang ini Mbak Nia sedang hamil lagi, calon anak kelima. Semoga selalu sehat, Mbak.
Beberapa kali saya berkunjung ke rumah kontrakannya di daerah Wirobrajan. Mas Alvein sering mengundang kami untuk makan empek-empek dan tekwan. Saya pun jadi semakin dekat dengan anak-anak. Pada waktu itu sudah timbul rasa kangen jika lama tak bertemu mereka. Mereka senang jika ditemani menggambar dan selalu menagih choki-choki jika pada saya ^.^
Dan sore itu saya berangkat ke stasiun Lempuyangan. Dua hari sebelumnya Mas Alvein mengabarkan kalau mereka sekeluarga akan pindah ke Palembang. Dalam dua hari itu saya tidak bisa berkunjung ke rumahnya. Padahal sudah lama saya tidak bertemu anak-anak. Dan saya sangat kangen pada mereka. Tahu-tahu mereka sudah akan pindah. Sebenarnya sudah jauh-jauh hari mereka memberitahukan rencana kepindahannya. Tapi tetap saja, rasanya terlalu cepat.
Setelah sampai di Lempuyangan, saya sms Mas Alvein. Dan ternyata keberangkatan kereta di stasiun Tugu. Saya pun kesana bersama abang becak yang sumpah jalannya pelan banget. Kampretos. Saya was-was kalau-kalau tidak bisa bertemu mereka. Tapi akhirnya saya sampai di stasiun Tugu di pintu barat, dan ternyata Mas Alvein berencana lewat pintu timur. Saya pun melewati jalan yang memungkinkan saya untuk sampai kesana dengan cepat. Dan sedemikian rupa sehingga saya bisa masuk peron tanpa membawa tiket. Haha.
Saya pun mondar-mandi di peron itu. Menunggu tepat di puntu masuk petugas yang mengecek tiket. Nengok sana nengok sini. Tapi Mas Alvein dan keluarganya tak kunjung datang. Saya ngecek jadwal keberangkatan kereta Gajah Wong menuju Jakarta. Tinggal sebentar lagi berangkat dan saya belum melihat tanda-tanda Mas Alvein datang. Sudah pukul 6. Saya resah. Berkali-kali memastikan jadwal. Hingga saya pun bertanya pada petugas. Dan ternyata...kereta sudah berangkat! Saya cuma bisa bengong. Banyak yang berkelebat dalam pikiran saya. Jangan-jangan Mas Alvein ketinggalan kereta. Jangan-jangan..ah!
Beberapa sms saya tidak berbalas.
Beberapa saat kemudian Mas Alvein baru membalas sms, meminta maaf. Dia sudah berada di dalam kereta. Jadi, ceritanya, Mas Alvein salah ngeliat jadwal kereta. Dikiranya jam setengah tujuh. Uh! Mereka masuk lewat pintu barat. Pantas saja tidak ketemu. Dia bilang kalau mereka semua lari-lari ngejar kereta. Teriak-teriak. “Anak-anak nangis semua, gue ngerasa jadi orang paling bego sedunia, Nis.” katanya. Saya membaca sms-nya antara sedih dan senyum-senyum.
Bayangan saya tentang perpisahan dengan keempat anak-anak lucu itu seketika runtuh. Tadinya saya pengen gendong-gendong mereka. Cipika-cipiki. Tapi bahkan melihat saja saya tidak sempat. Padahal sudah sangat lama tidak bertemu. Huhu. Pada saat itulah perasaan sedih dimulai. Ada yang hilang dan terasa menyesakkan. Saya juga gak ngerti kenapa bisa segitunya. Saya sedih kalau tidak bisa bertemu mereka lagi.
Bagi saya mereka adalah keluarga yang sangat hebat. Mas Alvein dan Mbak Nia adalah guru bagi saya. Orang tua yang menyangi anak-anaknya tanpa memanjakannya. Orang tua yang selalu bertahan dalam kondisi apapun. Dan anak-anak itu, adalah anak-anak yang didewasakan oleh keadaan dan orang tua hebat. Semoga kelak menjadi anak yang hebat pula. Ah, saya sangat merindukan mereka semua :(
*Saat menulis ini, saya baru saja menerima sms dari Mas Alvein. Dia bilang, “aku kehilangan...mu”. Saya kebingungan gimana membalasnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
No comments:
Post a Comment