Banyak cerpen yang membekas di ingatan saya. Bahkan memengaruhi hidup saya. Tapi, dari yang banyak itu, saya tidak akan bertele-tele dengan menyebutnya satu persatu. Saya akan langsung pada sasaran tulisan ini, yaitu cerpen “Pispot” karya Hamsad Rangkuti.
Saya berkenalan dengan cerpen ini tahun 2012. Tergolong amat sangat lambat mengingat cerpen ini ditulis tiga puluh tahun sebelumnya. Waktu itu kami sedang belajar tentang realisme magis. Nah, sebelum mempelajari lebih jauh tentang realisme magis, terlebih dahulu kami harus tahu apa itu realisme. Untuk itu, pengajar saya menyodorkan cerpen “Pispot” itu untuk dianalisis.
Kami diminta menganalisis apakah cerpen ini beraliran realis atau bukan. Berdasarkan karakteristik umum realisme, saya menyimpulkan bahwa cerpen ini termasuk cerpen realis. Bagi kamu yang belum membaca cerpen ini, maafkan saya karena saya tidak akan memberikan sinopsisnya. Silakan membacanya di kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu. Diterbitkan oleh DivaPress. (Btw, kenapa harga buku terbitan DivaPress mahal-mahal sih?).
Cerpen ini, entah mengapa, menimbulkan efek “nyeri” pada diri saya. Seperti ada yang tiba-tiba sakit di ulu hati saya. Berkali-kali saya membaca cerpen ini, efek itu masih tetap terasa.
Si tokoh digambarkan sebagai orang yang benar-benar tidak punya kuasa, tidak berdaya. Pertama, dia tidak berdaya menghadapi massa yang mengeroyoknya (di pasar). Kedua, dia tidak berkuasa terhadap kekuasaan polisi yang menginterogasinya, yang memaksanya meminum obat pencahar dan mengeluarkan kotoran sampai tubuhnya lemas. Ketiga, dia tidak kuasa menghadapi dokter “yang meminta banyak”. Keempat, ia tak berdaya terhadap dirinya sendiri sehingga akhirnya memutuskan menjadi penjambret.
Saya tahu “Pispot” bukan satu-satunya cerpen yang mengangkat persoalan ketidakberdayaan kaum marginal. Tapi dengan caranya yang sederhana, Hamsad mampu memberikan efek “nyeri” itu. Mungkin efek yang seperti itu tidak dialami oleh pembaca yang lain. Mungkin saya-nya saja yang terlalu masuk ke dalam cerita itu. Atau entah karena apa. Saya tidak tahu. Saya juga merasakan efek yang sama, bahkan lebih parah, pada cerpen “Parmin” karya Jujur Prananto. Selain membaca “Pispot”, saya sarankan kamu juga membaca “Parmin”. Suatu saat saya akan membahas cerpen itu secara khusus.
***
Sama seperti yang dilakukan oleh pengajar saya waktu itu, saya menyodorkan cerpen “Pispot” pada murid-murid saya untuk materi prosa fiksi. Selain untuk keperluan praktis menjelaskan konflik, penokohan, dan lain-lainnya, sebenarnya saya punya tujuan lain mengapa membagi cerpen itu untuk mereka. Yaitu, membagi kisah itu sendiri.
Saya tidak tahu apakah efek yang saya rasakan juga mereka rasakan. Tujuan saya menyodorkan cerpen itu tentu bukan agar mereka merasakan efek “nyeri” yang sama. Mungkin mereka akan segera melupakan cerpen itu. Toh di antara mereka ada juga yang membacanya dengan ogah-ogahan. Tapi yang jelas, sedikit atau banyak, saya yakin kisah itu akan menempel di dinding ingatan mereka.
Mungkin nanti di antara mereka ada yang menjadi dokter, dan tiba-tiba mereka mengingat kisah itu, mereka jadi lebih berbelas kasih pada orang sakit yang datang kepadanya. Mungkin di antara mereka ada yang akan menjadi polisi, mereka akan menjadi lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka kriminal. Tapi semoga di antara mereka, dengan segala kondisinya, tidak ada yang menjadi penjambret.
Siswa-siswa yang saya ajar adalah dari—katakanlah—kelas sosial atas, sementara tokoh yang ada dalam cerpen itu dari golongan kelas sosial bawah. Setidaknya mereka jadi tahu bahwa ada berbagai alasan mengapa orang melakukan tindak kriminal. Dalam hal moralitas, cerpen “Pispot” (dan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti yang lain) tidak menghakimi tokoh-tokohnya, tidak memandang hitam putih kebaikan dan kejahatan, tidak memberi cap siapa yang pahlawan dan siapa yang pecundang.
Oke, selamat membaca cerpen “Pispot”, ya. Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakan pengalaman membacamu pada saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
No comments:
Post a Comment