Saya sudah membaca keempat seri buku-buku tebal karangan Robert Galbraith alis J.K Rowling. Keempat buku itu saya pinjam dari teman saya. Buku pertama saya pinjam dari Nilam sewaktu saya masih di Surabaya, ketiga buku yang lain saya pinjam dari Mas Napek yang saya tidak menyangka ternyata dia punya lengkap.
Gabraith mencipta cerita detektif yang digerakkan oleh satu sosok sentral, Cormoran Strike. Sejak buku pertama, sosok ini sudah menarik perhatian saya.
Strike pincang. Kakinya diamputasi karena ledakan bom sewaktu dia masih bergabung dengan militer. Ia mengakhiri kisah cintanya yang sengit setelah menjalin hubungan asmara selama 16 tahun dengan kekasihnya yang aristokrat: Charlotte. Belakangan, mantan tunangannya itu menikah dengan sesama aristrokat dan tengah hamil anak kembar. Setelahnya, ia menjalin hubungan dengan beberapa perempuan, meski tak lama. Belum ada yang sanggup mengaduk-aduk perasaannya seperti yang pernah dilakukan Charlotte.
Strike ditawari berbagai pekerjaan kantoran oleh teman-temannya. Sejenis pekerjaan kantoran yang masih berkaitan dengan dunia militer. Ia menolak. Ia memilih mendirikan biro detektifnya sendiri dari nol. Benar-benar dari nol.
Seperti diakui Robin, partnernya di bironya, Strike mandiri dan tabah, sanggup menyerap trauma dan maju terus meski timpang, siap menghadapi apa pun yang dilontarkan kehidupan ke arahnya tanpa berjengit, tanpa membuang muka. Menolak menyerah pada kesulitan apa pun yang menghadangnya dan siap menanggung risiko.
Strike tak bisa mengabaikan dorongan dirinya untuk memecahkan kasus-kasus di lapangan. Ambisinya sangat besar. Perfeksionis. Tak bisa dibikin penasaran. Tak bisa tenang jika ada kasus yang belum sanggup dituntaskan, meski itu tak begitu penting. Dan memang ia sangat jenius.
Sosok Strikelah yang membuat saya bertahan merampungkan cerita itu sampai halaman terakhir. Belakangan saya menyadari, yang membikin saya tertarik bukan teka-teki kriminalnya, melainkan bagaimana proses Strike memecahkan masalah itu.
Thursday, November 28, 2019
Thursday, November 21, 2019
Musikalisasi Puisi, Ia, dan Kekasihnya
Ia menyukai musikalisasi puisi, kekasihnya tidak. Kekasihnya sering menggerutu karena menurutnya, musikalisasi puisi “merusak” puisi. Ia tentu saja membantah. Toh musikalisasi puisi lebih mudah disebarluaskan, diingat, dan disukai. Di mana letak perusakannya?
Hari-hari berlalu. Perdebatan itu tak pernah sengit. Ia, seperti biasanya, masih mendengarkan dan menikmati musikalisasi puisi.
Suatu malam setelah melakukan perjalanan dan masih enggan kembali ke kos, ia dan kekasihnya memutuskan mampir ke toko buku. Kekasihnya ingin membeli buku puisi pertama Sapardi Djoko Damono, “Duka-Mu Abadi”, yang dicetak ulang.
Kebetulan di depan toko buku itu ada bangku di pingir jalan. Mereka membacanya di sana. Kekasihnya mengecek ingatannya pada puisi-puisi di buku itu. Hanya beberapa yang masih lekat. Membuka-buka buku puisi itu. Ia menggerutu pada desain isinya yang dianggapnya tak bersimpati pada pohon-pohon.
Selanjutnya, ia tercenung sebelum akhirnya mengumpat-ngumpat sialan. Ia menghafal beberapa puisi Sapardi itu dari musikalisasi puisi Ari-Reda. Dan malam itu ia baru menyadari, banyak hal yang diabaikannya. Ia pun mengerti mengapa kekasihnya sering menganggap musikalisasi merusak puisi.
Ia memang hafal puisi-puisi, tetapi lebih sebagai lirik. Sama seperti lagu-lagu lainnya. Akan sangat kecil kemungkinan orang yang sudah nyaman mendengarkan musikalisasi puisi untuk mencari tahu bentuk puisi aslinya. Akibatnya, aspek-aspek topografi, penggunaan huruf kapital, pembubuhan tanda baca, pemenggalan baris, mutlak diabaikan. Padahal, semua itu adalah aspek signifikan dalam puisi. Penyair membikinnya bukan tanpa perhitungan.
Semua pemahamannya malam itu ia sampaikan pada kekasihnya. Kekasihnya tersenyum, sedikit mengejek dan seolah berkata “Kok bisa kamu nggak menyadari itu dari dulu?”
Mau tak mau pandangannya pada musikalisasi puisi pun berubah. Namun, ia tak lantas membenci musikalisasi. Tidak. Ia masih menikmatinya sampai sekarang.
Hari-hari berlalu. Perdebatan itu tak pernah sengit. Ia, seperti biasanya, masih mendengarkan dan menikmati musikalisasi puisi.
Suatu malam setelah melakukan perjalanan dan masih enggan kembali ke kos, ia dan kekasihnya memutuskan mampir ke toko buku. Kekasihnya ingin membeli buku puisi pertama Sapardi Djoko Damono, “Duka-Mu Abadi”, yang dicetak ulang.
Kebetulan di depan toko buku itu ada bangku di pingir jalan. Mereka membacanya di sana. Kekasihnya mengecek ingatannya pada puisi-puisi di buku itu. Hanya beberapa yang masih lekat. Membuka-buka buku puisi itu. Ia menggerutu pada desain isinya yang dianggapnya tak bersimpati pada pohon-pohon.
Selanjutnya, ia tercenung sebelum akhirnya mengumpat-ngumpat sialan. Ia menghafal beberapa puisi Sapardi itu dari musikalisasi puisi Ari-Reda. Dan malam itu ia baru menyadari, banyak hal yang diabaikannya. Ia pun mengerti mengapa kekasihnya sering menganggap musikalisasi merusak puisi.
Ia memang hafal puisi-puisi, tetapi lebih sebagai lirik. Sama seperti lagu-lagu lainnya. Akan sangat kecil kemungkinan orang yang sudah nyaman mendengarkan musikalisasi puisi untuk mencari tahu bentuk puisi aslinya. Akibatnya, aspek-aspek topografi, penggunaan huruf kapital, pembubuhan tanda baca, pemenggalan baris, mutlak diabaikan. Padahal, semua itu adalah aspek signifikan dalam puisi. Penyair membikinnya bukan tanpa perhitungan.
Semua pemahamannya malam itu ia sampaikan pada kekasihnya. Kekasihnya tersenyum, sedikit mengejek dan seolah berkata “Kok bisa kamu nggak menyadari itu dari dulu?”
Mau tak mau pandangannya pada musikalisasi puisi pun berubah. Namun, ia tak lantas membenci musikalisasi. Tidak. Ia masih menikmatinya sampai sekarang.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...