Tuesday, December 31, 2019

Tiga Puluh


Seharusnya tulisan ini saya posting tepat pada hari saya berulang tahun yang ketiga puluh, tahun ini. Entah mengapa saya merasa berkeharusan untuk menulis “sesuatu”. Sialnya, apa yang sebaiknya ditulis itu tak kunjung muncul di benak.

Saya, sejujurnya, gamang menyandang usia kepala tiga.

Pramoedya pernah bilang, usia adalah aniaya bagi perempuan. Biasanya, semakin tua fisik perempuan, ia tidak lagi menarik. Keriput dan kendor di sana-sini. Sungguh bukan persoalan itu yang membuat saya risau. Saya akan membantah apa yang dibilang Pram itu dengan ucapan Nawal el Saadawi: aku bangga dengan keriput-keriputku, setiap kerutan di wajahku mengisahkan cerita hidupku. Buat saya, itu sikap diri perempuan yang keren sekali!

Tiga puluh tahun. Lama juga saya hidup. Dulu saya menganggap orang berusia tiga puluh itu sudah matang, untuk tidak menyebutnya tua. Ternyata, setelah saya menjalaninya sendiri, nggak juga. Sikap saya masih sering kekanak-kanakan. Masih labil dan jauh dari bijaksana.

Selama tiga puluh tahun menghirup oksigen, apa yang sudah saya lakukan? Rasanya saya belum melakukan sesuatu yang besar. Masih berapa lama lagi saya diberi kesempatan hidup? Saya tidak tahu.

Dalam rentang tiga dekade ini, banyak hal terjadi. Sebagian berlalu begitu saja, sebagian bertahan lama dalam ingatan. Ingatan-ingatan itu kadang menghangatkan, menyelamatkan pada saat-saat berada di titik rendah, tapi tak jarang juga membikin ngilu.

Saya lupa saat-saat saya masih balita, sepertinya itu kenangan yang khusus hanya bisa dimiliki orang tua saya. Keluarga kami tidak begitu sadar dokumentasi. Saya hanya ingat pernah melihat foto saya saat masih bayi: tengkurap, memakai celana pendek bermotif bintang. Entah kemana perginya foto itu sekarang. Saya tak pernah melihatnya lagi.

Ingatan saya saat TK hanya lamat-lamat. Saya ingat jawaban saya atas pertanyaan guru TK, ikan makan apa? Saya jawab duri ikan. Saya tumbuh dengan pengetahuan itu sebab jika ada kucing di rumah, kakek atau ibu saya memberi bagian duri, tak pernah dagingnya. Daging ikan terlalu berharga untuk dibagi dengan kucing.

Saat sekolah dasar, saya sering digendong bapak ke sekolah kalau hari hujan lantaran saya (dan bapak) tak mau sepatu saya kotor. Saat-saat sekolah menengah pertama saya lalui dengan kerja keras tapi rasanya waktu itu asyik-asyik saja. Musim hujan masih menjadi kekhawatiran tersendiri karena itu tandanya saya harus mendorong sepeda di jalanan yang berlumpur.

Banyak orang bilang SMA adalah masa-masa paling indah. Rasanya itu tak berlaku bagi saya. Saya merasa SMA adalah masa yang sedikit suram. Yang tergambar di ingatan saya adalah suasana sore hari yang mendung di depan ruang teater, daun-daun pohon angsana kering dan rontok. Rasa-rasanya saya pernah jatuh cinta pada orang yang jauh lebih tua dari saya, tapi saya lupa bagaimana persisnya. Itu adalah tahun-tahun ketika saya sering tidur di kelas dan malas sekali belajar. Tapi juga tahun ketika saya mulai menulis puisi, dan pernah juara.

Sebentar, kok saya jadi bikin rangkuman perjalanan hidup gini, sih? Hmmm.

Baiklah. Masa-masa itu rasanya sudah lama berlalu. Kenangan-kenangan yang semoga tetap bertahan dan menghangatkan.

Biasanya, di hari ulang tahunnya, orang akan mengucapkan terima kasih. Seberantakan apa pun hidupnya. Saya pun akan melakukan hal itu.

Saya berterima kasih sudah diberi kehidupan. Tidak mudah bertahan hidup selama tiga puluh tahun ini. Hahaha. Harus mengalami banyak luka dan cinta, menanggung berbagai risiko, juga mengambil keputusan-keputusan sulit dengan sok berani. Alhamdulillah, sejauh ini saya masih diberi keselamatan.

Saya juga berterima kasih karena dilimpahi kasih sayang dari orang-orang yang juga sangat saya sayangi. Tanpa kasih sayang mereka, entah apa jadinya saya. Agak terkesan menye-menye sih, tapi saya termasuk manusia yang percaya pada kekuatan cinta dan kasih sayang. Saya selalu takjub pada kekuatan hati manusia. Saya pernah menyangka hati saya sudah sekeras batu, mati rasa. Tapi nyatanya, hati saya masih bisa meleleh lagi (oleh hati manusia lain). Memang ada hal-hal yang menyedihkan, yang hanya dengan mengingatnya rasanya seperti mengulanginya lagi, tapi banyak juga hal yang membahagiakan.

Kendati begitu, bohong besar kalau ada hal-hal yang tidak saya sesali dalam tiga puluh tahun saya hidup. Saya merasa melakukan banyak kekeliruan. Keputusan-keputusan yang saya ambil dengan gegabah, sering tidak memperhitungkan perasaan orang lain lebih dalam. Saya juga kadang punya pikiran-pikiran buruk pada orang lain. Saya pernah berkeinginan agar orang yang menyakiti saya mengalami hal yang lebih menyakitkan daripada yang pernah saya rasakan, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Saya merasa egois dan jahat. Berlarut-larut menyalahkan diri sendiri. Tapi, bagaimanapun, saya harus menerimanya sebagai sesuatu yang sudah berlalu. Sebagai bagian dari perjalanan hidup saya.

Saya harus bisa memaafkan diri saya sendiri. Ada satu kalimat yang terasa begitu hangat dari Ajahn Brahm: apa pun yang kamu lakukan, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu. Saya pernah mengucapkan kalimat itu untuk orang lain. Meski tak saya ucapkan secara langsung, hanya tekad kuat dalam hati. Kalau dipikir-pikir, rasanya saya keliru. Harusnya saya mengucapkan itu untuk diri saya sendiri, sebelum melakukannya untuk orang lain.
Sekarang, saya ingin bilang pada diri saya sendiri: tidak apa-apa berbuat kesalahan, tidak apa-apa mengulang kebodohan, tidak apa-apa bersedih, tidak apa-apa patah hati berkali-kali pada orang yang sama. Tidak perlu menendang kesedihan. Tidak semestinya menggenggam kebahagiaan. Wahai diri, apa pun yang kamu lakukan, seburuk apa pun kesalahan yang pernah kamu perbuat, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.

Kepada orang-orang yang pernah berpapasan dalam hidup saya dan tersakiti oleh sikap saya, semoga semua dalam lindungan dan kasih sayang Tuhan, penuh ketenangan batin dan pikiran. Meski tak lagi saling menyapa, semoga semuanya baik-baik saja. Amin.

Selamat menyongsong tiga puluh tahun, Anis Mashlihatin :)

Tuesday, December 10, 2019

Antasida, Ia, dan Kekasihnya

Ia masih sangat kesal pada kekasihnya. Ia pun ngopi sendirian di kedai kopi langganannya. Sewaktu hendak pulang, ia melihat plang K24. Barangkali karena kesal itulah, ia justru selalu teringat kekasihnya. Kakinya mengarahkannya masuk ke apotek itu, membuka pintunya yang selalu berdenting jika dibuka. Lalu ia membeli sebotol antasida. Ia ingat, terakhir bertemu, kekasihnya mengeluhkan lambungnya yang perih. Dulu ia sering membeli antasida itu untuk meredakan asam lambungnya yang parah.

Ia kesal, tapi ia masih mengkhawatirkan kekasihnya.

Ketika menyadari itu, ia menangis lama sekali.

Tuesday, December 3, 2019

Riuh


Jika sedang diliputi amarah, lelah pikiran dan badan, saya kerap membayangkan padang rumput luas yang teduh zonder suara mesin dan manusia. Sinar matahari tidak terik, bahkan cenderung mendung dan saya bisa berbaring di rerumputan itu dengan nyaman. Saya terbaring di sana dengan kedua tangan menyangga kepala. Saya mengenakan pakaian yang longgar dan nyaman sehingga udara sejuk leluasa masuk ke pori-pori saya. Tidak ada orang lain selain saya, juga tak ada binatang yang dikategorikan buas. Saya akan berlama-lama menatap langit. Menggambar gumpalan awan sebentuk hewan-hewan lucu atau wajah-wajah orang yang saya sayangi.

Kenyataannya, suasana menenangkan semacam itu jauh sekali dari jangkauan saya. Saya harus menerima bahwa saya sedang berada di ruangan sempit nan panas dan suara mesin dan manusia bergemuruh, membuat saya ingin menangis.

Ruangan dengan udara yang panas itu masih bisa saya toleransi, tapi tidak dengan keriuhan, keberisikan. Jika sedang lelah, rasa-rasanya indra pendengar saya lebih peka berkali-kali lipat. Rasanya semua gemuruh menyerbu telinga saya.

Saya paling sebal dengan orang-orang yang memutar video dari ponselnya keras-keras ketika berada di warung makan. Saya benci setengah mati dengan sekumpulan cewek (iya, spesifik cewek!) yang nyerocos dengan suara cempreng dan sama sekali tak peduli kalau kecemprengannya mengganggu indra pendengar orang lain. Jika menemui yang seperti itu, saya pasti buru-buru pergi.

Suatu kali, ketika saya dan pacar sedang nongkrong di warkop, kursi di sebelah kami diduduki seorang perempuan yang menelpon dengan suara keras sekali. Pacar saya paham betul, mood saya akan ambyar jika terus-terusan terpapar suara itu. Dengan sigap ia pun mengeluarkan ponsel, memutar musik, dan menyematkan earphone, lalu menyodorkannya kepada saya. Hati saya lumer. Bukan karena earphone yang nyantol di telinga saya, tapi karena tingkahnya yang uwuwu itu. Hehehe.

Saya tidak terlalu suka menyumpal telinga dengan earphone, sebenarnya. Tapi belakangan earphone sering nyantol di telinga saya. Saya memutar lagu-lagu yang slow. Lalu, tanpa sengaja telinga saya tertambat pada sebuah lagu yang tidak hanya nyaman di telinga, tapi juga liriknya sungguh aduhai. Rasanya saya tersedot ke suatu momen sunyi dan lagu itu dinyanyikan hanya untuk saya seorang.

The Sound of Silence, judul lagu itu. Musiknya sederhana. Diciptakan dan dinyanyikan Simon and Garfunkel. Sudah ditulis sekira 50-an (atau 60-an) tahun yang lalu, tapi rasanya masih sangat relevan untuk kondisi saat ini. Saya pertama kali mendengar nama Simon and Garfunkel dari pacar saya sewaktu saya memberitahunya tentang Kings of Convenience. Tapi waktu itu saya tak langsung mencari lagu-lagu mereka.

Lagu itu berputar-putar sepanjang hari di telinga saya. Mendengarkan lagu itu, rasanya saya dibawa pada suasana di padang rumput yang saya gambarkan di awal tulisan ini. Sebuah protes, tapi elegan dan teduh.

Hello darkness, my old friend.
I’ve come to talk with you again.
~


Saya tahu, saya tidak boleh bergantung pada earphone atau pada lagu-lagu. Saya harus berdamai dengan segala keriuhan. Karena ketenangan letaknya bukan di suatu tempat di luar diri, tapi dalam diri. Kejengkelan dan mood saya yang anjlok ketika mendengar suara-suara keras (dan cempreng) itu bukti bahwa saya belum bisa berdamai. Batin saya masih kemrungsung. Saya tahu. Saya akan berlatih pelan-pelan.

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...