Tuesday, December 3, 2019

Riuh


Jika sedang diliputi amarah, lelah pikiran dan badan, saya kerap membayangkan padang rumput luas yang teduh zonder suara mesin dan manusia. Sinar matahari tidak terik, bahkan cenderung mendung dan saya bisa berbaring di rerumputan itu dengan nyaman. Saya terbaring di sana dengan kedua tangan menyangga kepala. Saya mengenakan pakaian yang longgar dan nyaman sehingga udara sejuk leluasa masuk ke pori-pori saya. Tidak ada orang lain selain saya, juga tak ada binatang yang dikategorikan buas. Saya akan berlama-lama menatap langit. Menggambar gumpalan awan sebentuk hewan-hewan lucu atau wajah-wajah orang yang saya sayangi.

Kenyataannya, suasana menenangkan semacam itu jauh sekali dari jangkauan saya. Saya harus menerima bahwa saya sedang berada di ruangan sempit nan panas dan suara mesin dan manusia bergemuruh, membuat saya ingin menangis.

Ruangan dengan udara yang panas itu masih bisa saya toleransi, tapi tidak dengan keriuhan, keberisikan. Jika sedang lelah, rasa-rasanya indra pendengar saya lebih peka berkali-kali lipat. Rasanya semua gemuruh menyerbu telinga saya.

Saya paling sebal dengan orang-orang yang memutar video dari ponselnya keras-keras ketika berada di warung makan. Saya benci setengah mati dengan sekumpulan cewek (iya, spesifik cewek!) yang nyerocos dengan suara cempreng dan sama sekali tak peduli kalau kecemprengannya mengganggu indra pendengar orang lain. Jika menemui yang seperti itu, saya pasti buru-buru pergi.

Suatu kali, ketika saya dan pacar sedang nongkrong di warkop, kursi di sebelah kami diduduki seorang perempuan yang menelpon dengan suara keras sekali. Pacar saya paham betul, mood saya akan ambyar jika terus-terusan terpapar suara itu. Dengan sigap ia pun mengeluarkan ponsel, memutar musik, dan menyematkan earphone, lalu menyodorkannya kepada saya. Hati saya lumer. Bukan karena earphone yang nyantol di telinga saya, tapi karena tingkahnya yang uwuwu itu. Hehehe.

Saya tidak terlalu suka menyumpal telinga dengan earphone, sebenarnya. Tapi belakangan earphone sering nyantol di telinga saya. Saya memutar lagu-lagu yang slow. Lalu, tanpa sengaja telinga saya tertambat pada sebuah lagu yang tidak hanya nyaman di telinga, tapi juga liriknya sungguh aduhai. Rasanya saya tersedot ke suatu momen sunyi dan lagu itu dinyanyikan hanya untuk saya seorang.

The Sound of Silence, judul lagu itu. Musiknya sederhana. Diciptakan dan dinyanyikan Simon and Garfunkel. Sudah ditulis sekira 50-an (atau 60-an) tahun yang lalu, tapi rasanya masih sangat relevan untuk kondisi saat ini. Saya pertama kali mendengar nama Simon and Garfunkel dari pacar saya sewaktu saya memberitahunya tentang Kings of Convenience. Tapi waktu itu saya tak langsung mencari lagu-lagu mereka.

Lagu itu berputar-putar sepanjang hari di telinga saya. Mendengarkan lagu itu, rasanya saya dibawa pada suasana di padang rumput yang saya gambarkan di awal tulisan ini. Sebuah protes, tapi elegan dan teduh.

Hello darkness, my old friend.
I’ve come to talk with you again.
~


Saya tahu, saya tidak boleh bergantung pada earphone atau pada lagu-lagu. Saya harus berdamai dengan segala keriuhan. Karena ketenangan letaknya bukan di suatu tempat di luar diri, tapi dalam diri. Kejengkelan dan mood saya yang anjlok ketika mendengar suara-suara keras (dan cempreng) itu bukti bahwa saya belum bisa berdamai. Batin saya masih kemrungsung. Saya tahu. Saya akan berlatih pelan-pelan.

No comments:

Post a Comment

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...