Monday, January 25, 2010

Suatu Hari Tentang W.S Rendra

Sebelum ingatan saya luntur, baiklah saya akan mencoba membuat semacam catatan seminar tentang Rendra beberapa waktu lalu di auditorium FIB UGM. Sebenarnya, cacatan ini bisa dibilang agak usang. Acaranya sudah berlangsung lebih dari dua bulan yg lalu. Maklum, data-data saya tentang seminar tersebut telah hilang disebabkan laptop saya yg sempat ngambek. Tapi untunglah, ada beberapa hal yg saya tulis di kertas. So, biar gak tambah lupa lagi, saya mencoba untuk mengumpulkan mozaik2 ingatan saya tersebut dalam bentuk catatan singkat. Barangkali suatu saat berguna.

Pada hari Sabtu tgl 14 November 2009, kira2 pukul tujuh pagi, di depan ruang auditorium FIB tampak sejumlah orang yg tengah melakukan beberapa aktivitas. Ada yg mempersiapkan meja tamu, ada yg mempersiapkan snack, ada juga yg menata buku (berjudul “Repertoire” yg akan dibagikan secara gratis untuk para tamu, tersedia dlm bhs Indonesia dan bhs Inggris). Di dalam ruangan, telah berderet dgn rapi sejumlah kursi untuk para tamu dan pembicara. Yup! hari ini akan diadakan sebuah seminar untuk mengenang wafatnya Rendra, yang kemudian disebut sebagai “bulan Rendra”. Seorang sastrawan besar yg sampai saat ini fotonya masih terpajang gagah di dinding kamar saya. Hehe.

Kira2 pukul sembilan, beberapa undangan telah datang dan menempati sejumlah kursi. Pak Dibyo dan Bu Ningrum juga sudah datang dari tadi. Tampak juga pak Bakdi Soemanto, yg nantinya akan jadi pembicara. Oya, yg akan jadi pembicara pada seminar kali ini selain pak Bakdi adalah pak Faruk H.T, pak Nugroho, dan M.H Ainun Nadjib alias Cak Nun. Wow, pasti seru!

Pukul 09.30 telah lewat, tapi acara belum juga dimulai. Ternyata masih nunggu pak Faruk yg belum datang. Kira2 pukul 09.45 Bu Novi, yg bertugas sebagai MC, mempersilakan para undangan untuk menempati kursi bagian depan karena acara akan segera dimulai. Sayang sekali, yg datang tidak begitu banyak. Masih banyak kursi yg kosong. Teman2 jg tidak banyak yg datang karena mengira acara ini tidak untuk umum.

Di podium telah duduk Cak Nun yg waktu itu memakai baju hitam, Pak Faruk, dan Pak Dibyo selaku moderator. Seminar kali ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah cak Nun dan pak Faruk. Pak Dibyo kemudian mempersilakan Cak Nun untuk berbicara terlebih dahulu. Cak Nun, yg selalu mendampingi Rendra pada saat2 terakhirnya, bercerita tentang bagaimana manusia Rendra. Jika Rendra telah banyak dibicarakan sebagai penyair dan dramawan, kali ini cak Nun hanya ingin bercerita tentang bagaimana keseharian Rendra. Bagaimana sikap hidup Rendra. Menurut cak Nun, saat ini masyarakat tidak dapat menghargai tokoh2 besarnya, mulai dari Habibie, Nur Kholis Madjid, dan Gus Dur. Nah, kehadiran Cak Nun adalah untuk mengakui orang2 besar itu, kelakarnya. Selanjutnya, cak Nun tak ingin Rendra dilupakan begitu saja. Beliau senang bahwa Rendra diperingati dimana2.

Rendra adalah pribadi yg sangat luhur. Di saat2 terakhirnya ia masih sempat memikirkan orang lain. Diceritakan oleh cak Nun bahwa saat menentukan satu orang yg akan ikut pada pengobatan Rendra di Singapura, Rendra memilih A. Tapi kemudian Rendra juga memilih B, C, dan D karena tidak mau mengabaikannya. Hmm, saya sangat terharu mendengarnya. Dilain kesempatan, Rendra adalah pemeluk agama yg kuat. Cak nun bercerita bahwa Rendra selalu menangis “ngguguk-ngguguk” jika mendengar asma Allah dan Rosulnya. Rendra juga menganggap bahwa islam adalah agama yg demokratis. Karena dengan syahadat ia bisa mengislamkan dirinya sendiri. Pengalaman spiritual Rendra ketika itu terjadi di pantai Parangtritis. Bagi cak Nun, tiga penyair besar Indonesia sampai saat ini adalah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, dan Rendra. Yup! saya setuju.

Pembicara selanjutnya adalah pak Faruk. Beliau berkelakar bahwa sebenarnya tidak tahu kenapa bisa duduk dipodium pada saat itu. Beliau merasa tidak begitu mengenal Rendra. Tapi akan mencoba berbicara tentang Rendra dari sisi akademik . Tapi seribu maaf, pembicaraan pak Faruk sama sekali tidak terekam dalam memori saya. Bahasannya agak berat. Otak saya gak siap. Hehe.

Dalam diskusi tersebut salah satu peserta mengutarakan pendapatnya. Bagaimana kalau Rendra dijadikan sebagai bapak teater modern Indonesia? Mengingat bahwa Usmar Ismail dijadikan sebagai Bapak perfilman Indonesia. Cak Nun menjawab bahwa sebenarnya Rendra telah menjadi bapak teater Australia. Tentang ide tersebut Cak Nun setuju, tapi kata ‘bapak’ perlu didiskusikan kembali. Pak Faruk malah gak setuju dengan adanya kata ‘bapak’ . “gak perlu lah yg gitu2an” katanya. “tapi kalau ‘anak’ saya setuju”. Hahaha…

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang keindahan, ketenangan, dan kebebasan Rendra. Cak Nun mengatakan bahwa Rendra adalah wakil keindahan Tuhan. Rendra itu menginformasikan kehidupan. Rendra itu keindahan. Dia adalah orang yg sangat cinta kepada Indonesia. Cak Nun bilang bahwa belum pernah menemukan nasionalisme seperti nasionalismenya Rendra pd seniman2 lain. Rendra mantap menjadi penyair adalah ketika bertemu dengan tukang arang. Kehidupan maju yg dibayangkan oleh tukang arang bukan menjadi orang yg kaya-raya. Cita2 si tukang arang adalah ingin bagaimana bisa membikin arang menjadi lebih baik. Sejak saat itulah Rendra menemukan ketenangan.

Pak Dibyo kemudian menyudahi diskusi sesi pertama tersebut dan mengucapkan terimakasih atas kesediaan Cak Nun untuk datang. Cak Nun malah bilang kalo dirinya sangat bersedia datang, asalkan waktunya dikonfirmasikan terlebih dahulu. “kalo dulu saya ditolak, itu karena zaman dulu dosen2nya isih pekok” kelakarnya. Hahahaha. Cak Nun pun meminta maaf karena tidak bisa mengikuti seminar hingga akhir.

Sesi kedua adalah pak Bakdi dan pak Nugroho. Pak Dibyo mempersilakan pak Nugroho, dosen Sastra Nusantara, untuk terlebih dahulu menyampaikan makalahnya. Karena pak Nug merasa hari2nya selalu diliputi wayang, wayang, dan wayang, maka apa boleh buat, ia pun berbicara soal Rendra dari segi pewayangan. Menurutnya, Rendra adalah seorang seniman besar yg tidak melupakan kebudayaan bangsanya. Salah satunya adalah pewayangan.

Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian nama terhadap anak-anaknya. Delapan anak Rendra selalu “diembel-embeli” dengan nama wayang. Daniel Seta, Clara Sinta, Yunus salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, …. Saraswati (yg ini saya lupa nama depannya), Isaias Sadewa, dan Maryam Supraba. Menurut pak Nug, nama2 tersebut tidak ada yg keliru, semua ditempatkan pada tempatnya secara benar. Tidak keliru antara laki-laki dan perempaun. Pak Nug menambahkan bahwa sebarat-baratnya Rendra, ternyata dalam hati kecilnya masih memikirkan Jawa.

Selanjutnya, Pak Bakdi akan berbicara tentang Rendra yg dilhat dari lakon drama Kereta Kencana. Kereta Kencana tumbuh menjadi ikon Rendra, dimainkan dimana-mana oleh Rendra dan Istrinya. Kereta Kencana adalah daptasi dari lakon The Chairs karya Iogene Ionesco, seorang dramawan Perancis. The Chairs dalam bahasa Perancis adalah Les Chaises yg berarti ‘kursi-kursi’. Pak Bakdi bercerita bahwa Lakon The Chairs adalah favorit Umar Kayam, tetapi Kayam agak terkejut ketika The Chairs diadaptasi oleh Rendra. Munculnya Kereta Kencana bersamaan ketika pementasan Bengkel Teater menyusut.

Awalnya, lakon Les Chaises menceritakan seorang profesor tua dan istrinya yg tinggal di sebuah pulau. Mereka tengah menunggu tamu-tamu untuk mendengarkan ceramah sang profesor. Ruang tamu mereka telah dipenuhi oleh kursi. Tapi tamu2 yg ditunggu tersebut tidak pernah datang. Suasana yg terbentuk pd lakon tersebut adalah hampa dan mencekam. Sepi. Ini adalah cerminan suasana pasca perang dunia II. Namun, Rendra telah mengubah segalanya! Tidak ada kursi-kursi di panggung Rendra, tapi dibayangkan ada. Yang paling penting adalah suasana sepi diubah Rendra menjadi puitis. Ruang yg kosong menjadi penuh dan berkebalikan dengan lakon Les Chaises. Disinilah letak kreaativitas Rendra.

Pak Bakdi membawakan makalahnya dengan sangat ekspresif. Sesekali beliau menirukan dialog2 lakon. Dan keren banget. Maklum, pak Bakdi juga adalah pemain teater yg handal. Bersama Rendra, beliau telah malang melintang di dunia perteateran. Menurut pak Bakdi, salah satu ciri Rendra adalah selalu menjaga daya hidup.

Kemudian, pak Dibyo pun membuka tanya jawab. Hmm, bayak juga pertanyaan yg disampaikan. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Bu Ningrum (dosen dramaturgi). Drama Rendra yg manakah yg paling master piece? Dan sejauh mana Rendra membawa kontribusi terhadap teater Indonesia? Kemudian pak Bakdi menjawab bahwa sepulangnya dari Amerika, Rendra ingin membangun teater Indonesia yg pada waktu itu “masih begitu-begitu saja”. Pada waktu itu Rendra nonton pementasan Arifin C. Noer yg berjudul Caligula. Kemudian munculllah teater Mini Kata, yg oleh pak Bakdi dianggap paling berpengaruh. Meskipun pd setiap pementasan Rendra selalu ada pembaruan.

Pertanyaan selanjutnya adalah analogi Rendra dalam dunia pewayangan. Oleh pak Nug di jawab, karena mengingat kata Cak Nun bahwa Rendra adalah wakil keindahan, maka seandainya Rendra adalah tokoh wayang, yg sesuai dengannya adalah Arjuna. Arjuna adalah jago para dewa dengan keindahan fisiknya. Betul..betul..betul.

Kira2 pukul 12.45, pak Dibyo menyudahi diskusi kali ini. Dan Bu Novi pun menutup acara. Hmm, diskusi yg sangat menyenangkan. Bagaimanapun Rendra tak akan tergantikan. Ia akan selalu besar. Selalu dikenang. Selamat jalan Burung Merak..

Sebenarnya, acara tentang Rendra belum selesai. Malam harinya ada pementasan teater oleh Putu Wijaya, tentang Rendra juga. Dan sangat menarik. Tapi akan saya ceritakan dilain catatan saja. Takut catatan ini jadi terlalu panjang.

Salam,
-Ann-

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...