Friday, January 8, 2010

MADYA HARI 1: EPISODE PAMERAN DAN DISKUSI FOTO

Kamis, 7 Januari 2010

Wow… ditengah asyiknya UAS (asyik?? yg ada juga kebalikannya kalee), ternyata ada acara yg bikin nih otak jadi super fresh. Bagaikan oase ditengah gurun,hehe. Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) tengah menggelar beberapa acara di Benteng Vredeburg dalam rangka evaluasi pengelolaan warisan budaya di Indonesia thn 2009, sekaligus memperingati ultah MADYA yg pertama.

Pukul 13.45. Tepatnya di gedung audio visual benteng Vredeburg, tengah ada sejumlah orang (maaf, saya gak tau namanya, salah duanya adalah mbak Novita dan mas Alvein) yg mempersiapkan beberapa lembar foto yg akan di pajang. Siang ini ada pameran foto dengan tema warisan budaya. Hmm..foto2nya jelas Te Oo Pe Be Ge Te donk. Hasil jepretan fotografer2 muda yg handall. Tak lama kemudian beberapa pengunjung pun tampak dan mereka dipersilakan untuk mengisi buku tamu. Oiya, selain pameran foto, hari ini juga ada diskusi foto. Tenang, tentang diskusinya akan saya ceritakan juga.

Sembari menunggu acara diskusi dimulai, beberapa pengunjung tengah asyik mengagumi foto yg telah dipajang. Juga melihat2 buku yg di display (tentunya untuk dijual). Ada beberapa buku dari penerbit LKiS dan Resist book. Wah..buku2nya juga cukup menggoda.

Kira2 pukul 14.30. Beberapa panitia masih sibuk mempersiapkan acara dikusi. Ternyata ada sedikit masalah dengan LCD. Gambarnya gak muncul di screen. Gak tau juga, yang salah LCDnya ato laptopnya. Satu per satu laptop pun di coba, tapi gak ada yang berhasil. Barangkali ada masalah dengan kabelnya, yang kelihatannya sudah karatan. Tapi belum ada satu pun yang menampakkan wajah putus asa. Beberapa tangan masih terus mencoba mengotak-atik sejumlah tombol. Ternyata belum berhasil juga. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih. Eh, ada mas Maman, the man behind the cam. Datang dengan pakaian serba hitam dan nenteng tas yang kira2 isinya adalah kamera. Entah apa sebabnya saya tidak tahu, beberapa menit kemudian screen sudah menampakkan gambar. Alhamdulillah.

Kira2 pukul 16.09 acara diskusi dimulai. Diskusi kali ini bertema: warisan budaya dalam lensa kamera. MC mempersilakan peserta diskusi untuk menempati kursi bagian depan agar suaranya dapat didengar, soalnya sebelumnya emang gak pake pengeras suara. Peserta diskusi cukup banyak. Datang dari beberapa komunitas foto, LSM dll. Selanjutnya MC membuka acara dengan ucapan salam dan permohonan maaf karena acara dimulai agak telat. Permohonan maaf juga karena pengeras suaranya belum ada, jadi mesti pasang telinga lebar2 (emang gajah?hehe).

Sambutan pertama disampaikan mas Budi Laksono (smoga namany benar), yang menyampaikan beberapa hal mengenai pameran foto. Beliau juga memohon maaf atas keterlambatan dimulainya acara. Sambutan berikutnya adalah Bpk Mahfud selaku ketua panitia yang sekaligus membuka pameran dan diskusi foto.

Dan diskusi pun dimulai. Pembicara yg hadir adalah Bu Wiwid dan mas Brahmanatara dari pihak asosiasi Borobudur yg menyampaikan tentang “Dokumentasi dalam Pelestarian Benda Cagar Budaya”, dan mas Oblo yg menyampaikan tentang “peran media foto dalam karya jurnalistik”. Beberapa slide pun tampak menghiasi layar. Bu Wiwid membuka diskusi dengan beberapa pengantar mengenai unsur kebudayaan, pelestarian, dan benda cagar budaya. Kemudian mas Brahmantara pun mengenalkan sebuah alat canggih bantuan dari UNESCO, lacer scanning 3D. mas Bram pun menjelaskan cara kerja dan beberapa keunggulan alat tersebut, bisa melakukan foto 360⁰, menghasilkan gambar 2D dan 3D, mengetahui kemiringan, blablabla. Moderator kemudian mempersilakan 2 peserta untuk mengajukan pertanyaan.

(Dan mas Maman pun sibuk mengambil gambar. Sementara sie konsumsi mengedarkan minuman).

Penanya pertama adalah pemuda bernama Wisna, seorang blogger. Ia tanya kalo sebenernya motret2 candi tuh dibolehin gak sih? Atau ada prosedurnya? Ini kasusnya di candi Ijo. Karena bukan pihak yang berwenang di Candi Ijo, bu Wiwid gak bisa ngasih jawaban. Tapi beliau bilang kalo sekadar foto2 biasa (foto narsis maksudnya,hehe) dicandi Borobudur itu boleh kok, tapi kalo dipake bisnis sih lain soal, harus ada izinnya. Penanya kedua namanya mas Arif. Tanya apakah cara kerja Lacer sama gak dengan camera biasa? Singkat jawaban: sama (masalahnya saya gak mudeng dengan teknik kamera, jadi gak bisa ngejelasin).

Penanya ketiga masih tentang pengambilan gambar di Candi, kali ini di Ratu Boko. Ceritanya nih, satpam suka menghalangi wisatawan domestik yg mau ngambil gambar, tapi kalo yg dateng bule, eh..malah dipersilahkan. Apa nih maksudnya?. Bu Wiwid jawab kalo kasus semacam ini akan ditindak lanjuti demi kenyamanan bersama. Penanya keempat masalah pengabadian BCB, gimana kalo penyebarannya juga di desa2? Pertanyaan ini disambut antusias dan mendapat jawaban yg cukup memuaskan. Jika ada daerah yg ada BCBnya, silahkan membuat surat agar dapat diproses.

Diskusi sesi pertama udah kelar. Masih dilanjutin sesi berikutnya dengan pembicara mas Oblo. Beliau membuka dengan pernyataan bahwa jurnalis itu dituntut untuk kreatif dan tidak begitu saja percaya dengan omongan orang, ia juga musti riset. Beliau kemudian mengenalkan beberapa jenis foto jurnalistik. Diantaranya yg saya ingat adalah Spot News dan Feature News atau cerita dibalik berita. Mas Oblo kemudian menunjukkan beberapa slide yg berisi foto2. Bagus Euy,,,Selanjutnya beliau bilang kalau misalnya teman2 mau mengkomunikasikan karyanya, maka foto itu harus memiliki nilai lebih dan bisa menarik wartawan. Secara teknik harus bagus. Harus berkesinambungan dan harus berinteraksi lewat jaringan biar gak mandeg. Untuk mengkomunikasikan foto, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyiarkan.

Moderator kembali membuka sesi tanya jawab. Penanya pertama adalah Rahmat, seorang mahasiswa Arkeologi. Ia bertanya bagaiamana caranya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian BCB. Jawaban dari Bu Wiwid adalah: kita musti bikin informasi yg menarik, jangan monoton, bahasa yg digunakan juga harus menarik, jadi orang yg membaca bisa tertarik. Kemudian tak kalah pentingnya adalah sosialisasi. Mas oblo menambahkan, kalo arkeolog bisa menyajikan dengan bahasa yg menarik, maka akan menjadi menarik pula,,

Pertanyaan berikutnya adalah tentang pencantuman ID pada foto. Apakah itu wajib? Trus bagaimana mempublish foto2 hobi? Bagaimana peluangnya, mas? Kemana foto ini akan disiarkan? Mas Oblo njawab: kalo itu foto kita ya wajib dikasih ID. Bahkan foto sekecil apapun harus ada. Alau masalah foto2 hobi, itu memang kendala di Indonesia. Ada yg namanya freelance foto jurnalis. Kita juga bisa menawarkan ke luar negri. Kan sekarang sudah ada internet,, kita juga mesti tahu berita/foto ini punya nilai lokal, nasional, atau internasional? Yang juga penting adalah kenal dengan editor foto.

Kira2 pukul 17.46 moderator menyudahi diskusi. Kemudian acara diserahkan kpd MC. Acara selanjutnya adalah pemberian kenang2an dari pihak MADYA kepada para pembicara. MC juga menginformasikan acara esok hari, yaitu workshop penulisan skenario dan pemutaran film Merantau. Pasti bakalan lebih seru!

Hmm.., diskusi kali ini memang cukup menarik. Cukup memompa semangat untuk terus berkarya. Saya senang sekali. Dan saya pulang dengan menikmati beberapa pasang wajah di bus Trans Jogja jalur 2A.

Salam,

-Ann-

2 comments:

  1. Mbak Anis yang baik...
    Terimakasih telah mensharekan kegiatan yang bermanfaat ini kepada 'khalayak online'. Mudah2an kesadaran masyarakat kita akan kekayaan budaya bangsa bisa menjadi satu motivasi untuk kita bisa mempertahankan sekaligus meningkatkan warisan budaya yang ada.
    Ada beberapa hal yang ingin kami klarifikasi pertama penanggungjawab diskusi foto Drajad Budi Saksono (bukan Budi Laksono:-)), terus yang buka saya sendiri Joe Marbun (Bukan Mahfud, ntar dikira Mahfud MD lagi..wakakakaka..dan juga belum terdaftar di Mahfud community name kalee..he.h..eh.e..:-)).
    Kami juga minta maaf jikalau ada beberapa kesalahan teknis dalam acara tersebut. Namun demikian kami sangat senang dengan partisipasi banyak pihak yang secara sukarela tanpa ada skenario dari panitia, mengambil peran masing-masing. Misalnya Mas Maman, sang cameramen, mbak sendiri, dan banyak yang lainnya. Terimakasih, dan mari kita selalu bergandengan tangan dan bekerjasama.

    Salam Budaya,
    :-)

    ReplyDelete
  2. wah, maaf pak atas kesalahan terkait dengan nama2nya. maklum, telinga saya rada error.hehe.
    yup. saya senang bikin catatan ini..
    semoga MADYA makin jaya..

    ReplyDelete

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...