semalam, saya dikejutkan oleh sms seorang kawan yang kurang lebih dalam enam bulan ini jaraaang banget nongol di kampus. saya tahu dia sibuk, dan selalu sibuk. sibuk benget malah. saya tahu dia pekerja keras. saya juga tahu dia mencintai dunianya yg sekarang. tapi, yang saya tidak tahu: dia kesepian.
dia, yang menurut saya TOP banget, paling cerdas seangkatan, ternyata sedang menderita penyakit: kesepian. sedang merindukan teman-teman. pengen ngobrol2, pengen bercanda. dia bilang kalo sedang agak bosan dengan dunianya yang sekarang. dunianya yang menghasilkan banyak uang. bayangin aja, bentar lagi dia udah mau beli mobil! pake duitnya sendiri pula. hmm.
saya jadi ngebayangin, gimana perasaannya ketika hari-harinya hanya berhadapan dengan laptop dan tumpukan buku misalnya, tanpa sempat bertemu dengan makhluk hidup. maksud hati ingin berkumpul dan bercanda dengan teman2, tapi apa daya, ada target yang harus segera diselesaikan. saya tahu itu, kawan. saya ngerti.
konon katanya, siksaan yang paling menyakitkan adalah
kesepian.
saya lupa itu di film apa, kalo gak salah pas jamannya Kera Sakti masih jadi film favorit anak2 sampe nenek2 dulu. jadi ceritanya neraka itu berlapis-lapis. tiap lapisan beda2 siksaannya. ada yang dicambukin, digigit binatang buas sampe mampus trus hidup lagi, ada juga yang dirante ampe tulang2nya putus. tapi, lapisan yang paling menyakitkan justru tidak ada siksaan. yang ada hanya ruang kosong. gelap. seekor serangga pun tidak ada. tak ada suara. bahkan mendengar suara sendiri pun tak bisa.
coba bayangkan!
ya, ada kalanya kita ingin sedirian. jadi manusia kamar dan berdialog dengan Tuhan. sunyi. dan bukan sepi. kesunyian. dan bukan kesepian.
ah, barangkali saja tengah malam itu kawan saya sedang duduk sendirian. tidak tahu apa yang harus dia lakukan. dan tau-tau meng-sms saya. cuma pengen bilang kalau lagi kesepian. oh, kawan.
ingin rasanya ngobrol2 lagi denganmu. membicarakan teori2 ini itu. juga hari-hari yang terasa semakin lucu.
Saturday, December 11, 2010
Friday, December 3, 2010
mbah kakung, murbei, dan kembang api
Jika Anda pernah merasakan bahkan menggemari buah yang rasanya manis asem yang bernama murbei (yang bahasa latinnya adalah Morus Alba L), maka saya punya cerita tentangnya. Cerita ini sebenarnya sudah berbulan-bulan lalu ingin saya tulis, tapi selalu saja ada kambing hitam (baca: alasan) yang membuat saya selalu menunda-nunda. Oya, murbei ini tidak akan sendirian dalam cerita kali ini, dia akan ditemani oleh kembang api. Beda spesies, tapi entah mengapa bisa berjodoh.
Sudah lebih dari delapan tahun yang lalu kakek saya (dari pihak ibu) meninggal karena sakit jantung. Dalam usia 73 tahun. Kakek, yang biasa dipanggil cucu-cucunya dengan “mbah kakung”, meninggalkan kenangan-kenangan manis yang tak kan pernah saya lupakan. Kenangan, ya, segala peristiwa yang pernah kami lalui bersama kini hanya menjadi:kenangan.
Dulu, duluuuu sekali, saat pohon-pohon murbei mulai menampakkan gejala pembuahan alias berbuah, kami mulai mengincar dan memboking buah mana yang akan kami petik. Aih, jangan Anda bayangkan pohon murbei kami banyak, hanya ada beberapa di depan rumah dan di ladang. Menunggu matangnya murbei adalah saat-saat yang mendebarkan. Mendebarkan, karena waswas. Jangan-jangan nanti bagian saya dicaplok sama sepupu saya. Jangan-jangan murbeinya dimakan ulat. Jangan-jangan murbeinya gak jadi matang. Dan jangan-jangan yang lain. Maklum, waktu itu rumah saya agak jauh dari rumah mbah kakung, tempat bersemayamnya si murbei itu. Jadinya, waswas saya gedhe. Hehe.
Baiklah, baiklah, dari tadi saya keasyikan ngomongin tentang murbei, sampai-sampai belum memperkenalkan siapa mbah kakung dan cucu-cucunya. Mbah kakung saya bernama Sulaiman, sedangkan nenek saya bernama Sutikah. Cucu-cucunya, yang itu berarti sepupu-sepupu saya, diantaranya adalah Bagus Widianto (sekarang sedang menikmati pekerjaannya di Jakarta), Ira Ristianti (masih kuliah, berkutat dengan matematika), Alifatin Muzayana Arafah (masih kuliah juga, di bidang muamalah), Radinal Muchtar (sekarang kuliah di jurusan konseling), Nuruddin Kholid (adek saya, masih SMP kelas 3), dan Yusiwa Saria Arsana (cicit, sekarang masih SMA). Mereka semua adalah cucu-cucu dan cicit beruntung yang sempat bertemu dan kemudian mengenang mbah kakung.
Sebab ada cucu-cucu yang tak beruntung, yang terlambat lahir ke dunia, yang secara otomatis gak sempat bertemu dan mengenal mbah kakung. Kasian deh loe? Haha. Dan mereka adalah Nur Malinda Ulfa (sekarang masih SD, kelas berapa saya lupa), M. Iqbal (masih play group), M. Faizin Amin (play group juga), Panji Arsana (masih SD), M. Rahmadika (kayaknya udah SD deh, maap saya lupa), dan ada satu lagi sepupu saya, yaitu adeknya Dika, tapi saya gak tau namanya, baru lahir dan belum sempet ketemu, hehe. (Meskipun kalian gak sempet ketemu mbah kakung, tulisan kecil ini mudah-mudahan bisa membantu).
Kembali ke murbei. Mbah kakung lah yang menjadi hakim adil jika terjadi perebutan murbei yang matang menggiurkan itu. Eh, sering lho mbah kakung mengantarkan murbei ke rumah saya. Saya yakin ini tanpa sepengetahuan sepupu-sepupu saya yang lain. Saya pun gak bilang-bilang kalo dibawain murbei. Hehe. (oh, betapa saya merindukan saat-saat itu!)
Mbah kakung saya, yang sangat sangat menyayangi cucu-cucunya, selalu saja tau apa yang menjadi kesenangan kami saat lebaran datang. Apalagi kalo bukan: kembang api. Benda berpijar-pijar cantik itu selalu kami tunggu-tunggu meluncur dari tangan mbah kakung. Satu orang biasanya dapat satu bungkus. Kami seneng banget soalnya kembang apinya panjang-panjang. Kami pun menyalakannya beramai-ramai. Karena pada saat itu seluruh keluarga pasti berkumpul di rumah mbah kakung. (Dan lagi-lagi saya merindukan saat-saat itu!).
Gak cuma kembang api sih, mbah kakung kalau pulang dari Surabaya (saya tidak tahu persis apa pekerjaan beliau di Surabaya dulu. Waktu masih sehat-sehatnya beliau sering bepergian ke Surabaya) suka memberi kami uang kertas yang baru-baru. Masih gress! Aiiih, saya sangat senang, dan rasanya sayaang banget kalau dipakai buat beli jajan.
Itu dulu, kawan. Sebelum ambulance itu datang, dan sirinenya seolah terngiang sampai sekarang. Sebelum rumah tiba-tiba menjadi ramai. Sebelum keranda itu datang, dan doa-doa dibacakan. Sebelum semuanya tiba-tiba menjadi sunyi.
Sekarang, tak ada lagi murbei (yang ikut-ikutan punah seiring kepergian mbah kakung), tak ada lagi keceriaan kembang api, juga tak ada lagi uang kertas yang gress itu. Semuanya tinggal kenangan di masing-masing hati kami, cucu-cucunya. Ah, mbah kakung, kau tak sempat melihat kami tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Tak sempat melihat cucu-cucumu yang baru lahir. Tak sempat melihatku memakai toga.
Mungkin ini terlalu dini untuk dibicarakan. Tapi, di rumah saya nanti, saya ingin menanam pohon murbei. Saya ingin cucu-cucu saya berkumpul dan memakan murbei bersama-sama. Menyalakan kembang api bersama-sama.
Kami sangat merindukanmu, mbah kakung. Semoga engkau selalu damai di sisiNya. Amin.
031210
-Ann-
Thursday, December 2, 2010
Team Kebersihan Punya Cerita
Saya suka sekali menulis tentang orang-orang yang saya temui. Juga teman-teman yang hadir dalam hidup saya. Sebab mereka punya warna dan cahaya masing-masing. Dan semuanya indah.
Baiklah teman2, rasanya sayang banget kalau moment yang singkat tapi sangat menyenangkan ini tidak diabadikan dalam sebuah tulisan (yang juga singkat). Catatan ini hanyalah sepenggal diantara banyaknya hal dan peristiwa yang kami alami. Kami? Ya, kami. Team kebersihan di Gelanggang Emergency Respons (GER) beberapa waktu yang lalu. Kami, orang-orang yang secara kebetulan (?) dipertemukan dan akhirnya terjalin persahabatan. Pada waktu itu, saya yakin alam semesta telah bekerja sama untuk menjodohkan kami dengan tumpukan sampah. Hahaha.
Bagaimana tidak, pekerjaan yang jauh dari kesan heroik ini kami jalani dengan riang gembira layaknya anak kecil yang baru dapet mainan. Kami justru kebingungan lho kalo gak ada sampah. Hoho. By the way, sebelum saya keasyikan bercerita, gak afdhol rasanya kalo belum saya perkenalkan dengan personil-personil team kebersihan yang oke banget ini.
Kepala suku kami bernama Mirza Al Adhar, biasa dipanggil mas Mirza. Kemudian ada Taufiq Nur Rachman sebagai koordinator shift 1. Mbak Yunda Siti Nabila, mbak Errin, mas Agus Ashari, mas Dhiki Supodo, Purbo Carito, Zulfan Nazal alias Jupie, Sabiq Mustofa, Ariny, dan saya sendiri. Kami berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Eh, tapi karena sebagian dari kami adalah anak Ukesma, maka yang didaulat jadi tempat persinggahan kami adalah basecamp Ukesma. Di tempat ini lah kami biasa breefing, santai, dan ngobrol2.
Saya mulai bergabung dengan team ini sejak tgl 7 November. Pada waktu itu suasana Gelanggang masih sangat ramai oleh pengungsi, juga relawan yang terbagi dalam beberapa team. Awalnya saya berniat untuk masuk dapur umum. Tapi entah kenapa saya tergerak untuk memilih di kebersihan. Gak buang-buang waktu saya pun meng-sms sang kepala suku. Dan beberapa menit kemudian saya sudah diterangjelaskan apa saja yang akan saya kerjakan. Oya, sebelum lupa, saya memilih shift 1 yang jam kerjanya tu mulai pukul 07.00 sampe 15.00 WIB.
8 November: pukul tujuh lebih dikit kami sudah mulai memegang sapu dan serok (mbuh, serok ki bahasa Indonesiane opo tho? Aku rung nemu e). Menyapu beberapa area Gelanggang. Baru setelah itu breafing sejenak untuk pembagian kerja. Ada beberapa orang yang ditempatkan di Gelanggang dan beberapa lagi di Purna Budaya. Kira2 pukul setengah sepuluh kami pun beristirahat di basecamp ukesma. Ngobrol2, makan2, santai2. Baru setelah makan siang kami lanjut kerja lagi.
9 November: yang kami kerjakan gak jauh beda dengan hari kemarin.
10 November: kami kehilangan satu personil sodara2. Ariny akhirnya pulang kampung. Dia gak bisa nolak desakan orang tuanya yang terlampau khawatir akan erupsi Merapi. Tapi layaknya peribahasa “patah satu tumbuh seribu”, kami pun kedatangan dua orang relawan lagi. Mereka adalaaah jeng..jeng..jeng : Jupie dan Sabiq. Sipsiip.
11 November: semakin hari semakin tidak banyak pekerjaan. Pengungsi sudah mulai sadar akan kebersihan. Jobless.
12 November: mbak Errin gak dateng karena sakit. Dan ternyata itu berlanjut sampai hari-hari berikutnya. Sedih. Dua personil cewek udah hengkang.
Oya, ada obrolan menyenangkan hari ini. Obrolan geje tapi bermutu. Hehe. Mulai dari Hitler sampe Semar. Siapa lagi dalangnya kalau bukan si Taufik ama si Adin. Wess jan..mereka berdua telah berhasil membuat ruang ukesma menjadi gaduh karena gelak tawa.
13 November: pengungsi yang ada di gelanggang dipindah semua di Purna Budaya. So, mulai besok udah gak ngebersihin Gelanggang lagi. Berita duka: sandal jepit biru-ku hilang! Bete setengah mampus.
14 November: mas Agus ikut-ikutan hengkang
15 November: udah mulai sepi relawan, udah mulai kuliah siih. Mbak Yunda gak dateng karena ke Semarang. Si Sabiq juga udah gak dateng karena kuliah. Jupie kadang2 kabur ke kampus. Agak mati gaya juga karena gak punya basecamp, akhirnya kami nebeng di ruang logistik Purna. Hehe.
16 November: Daaaaan, ini adalah hari paling sepi sodara2. Yang dateng cuma saya dan mas Diki. Si Taufik lagi disembelih, eh, ngurusin penyembelihan maksudnya. Hehe. si Purbo katanya ada praktikum. Hmm, cukup lelah juga kerja cuma berdua. Tapi untungnya ada si Alif, gadis gendut menggemaskan, yang bisa diajak maen.
Eh, tapi seneng lho, pengungsi udah pada mbantuin buat nyapu dan ngepel. ^_^
17 November: Hari ini anak kebersihan banyak yang dateng. Asiiiiik. Tapi, kami—mulai—terserang—virus—jenuh.
18 November: di Purna lagi ada acara nyembelih hewan kurban.
19 November: kalo gak salah yang dateng ada saya, mas Diki, dan mas Mirza. Kami bekerja dengan senangmat!
20 November: sms dini hari dari mas Mirza yang intinya adalah kumpul pukul 7 untuk sosialisasi sampah kepada pengungsi. Ngajarin pengungsi untuk buang sampah. Tapiiii, belum sosialisasi, eh pengungsinya udah pada pulang..ya sudahlah..
21 November: ini adalah hari terakhir saya sebagai petugas kebersihan (yang cantik ) di Purna. Hari ini juga si Alif dan keluarganya pulang ke rumahnya di Hargobinangun. Sedih.
22-24 November: saya gak dateng ke Purna. Ada pekerjaan yang minta segera diselesaikan, udah ditabrak deadline. Hehe. Kabarnya yang masih setia dateng adalah mas Mirza, Purbo, dan Reksa (anak shift 2).
25 November: tamtaraaammm..saya kembali lagiii. Akhirnya kami berkumpul kembali setelah sekian lama gak ketemu (halah!). Hari ini semua pengungsi di Purna bakal dipindahkan ke Maguwo dan Youth Center. So, kami membersihkan area Purna dan membereskan semua peralatan kebersihan.
27 November: endingnya, kami berkunjung ke rumah si Alif. Itung2 refreshing. Hehe.
Kira2 pukul sepuluh kami (saya, mbak Yunda, mas Mirza, mas Diki, Purbo, dan Taufik) berangkat. Tiga puluh menit kemudian kami nyampe. Disambut dengan tingkah Alif yang ngegemesin. Emang dasar si Alif, awalnya dia agak malu-malu jaim gitu..eh, akhirnya nempel juga. Hehe. Bahkan dia sempet gak rela lho pas kami mau pulang.
Merasa sangat senang bisa mengunjungi keluarga Alif. Disana kami jalan-jalan dan makan2. Pas pulangnya, kami dibawain salak banyaaak banget. Asyik cuy. Bagi yang gak ikutan, silahkan bersedih. Hahaha.
Ah, kawan, saat saya menulis ini, saya teringat akan bak sampah, gerobak, sapu, cairan pel, yang pernah secara manis mempertemukan kita. Apa kabar kalian? Mas Mirza dengan tanggungjawab, kesabaran, dan keuletannya (dalam memungut sampah, hahaha, piss mas), mas Diki dengan ke-rajinan-nya datang dan cerita2nya (juga photo2nya), mas Agus dengan ketulusannya (mencari susu di saat2 terakhir, hehe), mbak Yunda dengan keceriaannya, Taufik dengan kesungguhannya, Jupie dengan bercandanya, Sabiq dengan keseriusannya, dan Purbo dengan semangat &kerja kerasnya (maaf ya, kamu sering tak aniaya, tapi sing nganiaya kowe kan gak cuma aku, bahkan simbah dan Alif pun tertarik untuk menganiaya kamu, hehe). Mbak Erin dan Ariny, sayang sekali pertemuan manis kita hanya sebentar.
Meski singkat, terima kasih atas dunia kecil yang sempat hadir.
Ada persahabatan. Ada canda tawa. Ada cerita.
-Ann-
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...