Kata “sudahlah” memang telah keluar berkali-kali dari mulutmu. Tapi tidak dari hatimu. Buktinya, kamu masih belum bisa berhenti menyebut-nyebut namanya. Belum bisa berhenti memandangi fotonya yang telah berbulan-bulan bertengger di meja dekat tempat tidurmu. Sekali waktu kamu pernah membalik foto di balik pigura berwarna kuning itu, tapi setelah bangun tidur kamu pun membaliknya lagi. Belum cukup. Kamu pun menyingkirkan fotonya. Menaruhnya dalam sebuah kotak berwarna biru. Tapi belum ada dua puluh empat jam, kamu mengeluarkannya lagi. Memajangnya di tempat semula. Berkali-kali seperti itu. Dan setiap kali kamu bangun tidur, tidak bisa tidak kamu melihatnya.
Benar kan, kamu tidak bisa melupakannya.
Buktinya, diam-diam kamu menangis. Sekali waktu ketika rindumu tak tahu waktu, tak tahu malu. Kamu pun tidak sabar menunggu pagi. Tidak sabar ingin melihatnya. Tidak sabar ingin tersenyum padanya. Ingin menghirup bau rokoknya. Tidak peduli dia bilang apa, kamu akan mengejarnya. Tapi itu tidak pernah kamu lakukan. Kamu hanya bisa memendam rindumu. Hmm.
Jari-jarimu kemudian memencet beberapa tombol yang ada di ponselmu. Merangkai beberapa kata. Tapi berhenti begitu saja. Kamu tidak pernah berani memilih kata “kirim” di layar ponselmu. Dan kamu memilih untuk selalu berdebar saat ponselmu bergetar. Berharap ada namanya di bawah amplop kecil berwarna kuning. Dan kamu sangat kecewa karena yang muncul adalah nama tetangga kamarmu. Berkali-kali seperti itu.
Dan kamu akan begitu saja rela menunggu. Berjam-jam. Sekadar memastikan baju yang dia pakai. Biru atau ungu. Dan ketika kamu telah berhasil melihat punggungnya dalam hitungan detik, kamu sudah sangat puas. Karena kamu tentu saja tidak berani melihat wajahnya. Tidak berani menatap matanya, seperti dulu.
Begitulah, kamu tidak bisa berhenti memikirkannya.
Kamu berusaha melupakannya. Kamu pun berusaha mencari solusi dengan membaca buku-buku. Menonton film. Makan sebanyak-banyaknya. Membersihkan apa saja. Juga belanja. Tapi tetap saja, jawabnya adalah tidak bisa.
Tidak bisa, meskipun kamu tahu dia telah menyakitimu. Meskipun kamu sadar dia tidak begitu mempedulikan perasaanmu. Terlalu banyak yang harus dia pikirkan. Terlalu banyak yang butuh perhatiannya. Ia punya kehidupan lain.
Tidak bisa, meskipun kamu menganggap bahwa perasaanmu adalah perasaan terkonyol yang pernah kamu alami. Sikapmu adalah sikap bodoh yang tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya. Dan kamu selalu bilang: aku baik-baik saja.
Ada gelisah yang tak mau pergi. Kamu tahu itu. Tapi kamu sudah berjanji tidak akan bercerita.
Kamu berharap cintamu bukan kembang api di malam tahun baru. Yang menggebu. Meledak. Menyala-nyala. Lantas hilang. Lantas kosong. Bukan, bukan itu yang kau mau.
Andai dia tahu.
-Ann-
Wednesday, May 11, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
No comments:
Post a Comment