Sebenernya, saya pengen nulis proses panjang selama mengerjakan si skripsi, atau memposting kata pengantar yang sempet-sempetnya di coret-coret si dosen. Tapi entah mengapa saya justru nulis ini.
Saya nggak tau ini tulisan efek nonton film korea atau apa, yang ceritanya tentang hubungan orang tua-anak melulu. Atau efek hipnotis si mas-mas bergitar di LIP tadi yang sungguh sangar tapi ibarat sambel dia kurang pedes. Haha.
Alkisah, Bapak saya, lelaki berambut gondrong itu, beberapa hari yang lalu menelpon.
“Ann, lagi lapo? Wes maem? (Ann, lagi ngapain? Udah makan?)” Suara di seberang sana. “Ann” adalah panggilan kesayangan beliau kepada saya.
“Wes, Bapak. Saiki lagi moco-moco wae sih nang ngarep leptop. (udah, Bapak. Sekarang lagi mbaca-mbaca aja sih di depan leptop)” Terkutuklah saya karena tidak pernah boso pada orang tua sendiri.
“Penggawean kok mocooo ae (kerjaan kok mbacaa mulu),” ucapnya sambil terkekeh. Dan saya hanya menjawab dengan “hehehe”.
Kemudian obrolan berlanjut pada hal inti. Yang untuk inilah Bapak saya menelpon. Dan obrolan dengan orang tua seputar mau ngapain setelah lulus kuliah itu sungguh uh uh uh!
Iya, saya ditanya panjang lebar seputar setelah lulus mau ngapain. Kerja atau sekolah? Kalau kerja mau kerja apa? Kalau sekolah lagi udah siap belum? Mau sekolah di mana? Untungnya opsi ‘menikah’ tidak turut serta. Haha.
Dan sungguh sangat berat menjawab pertanyaan ini.
“Pengene kerjo ndisek sih, tapi gak ngerti, ijek bingung, (pengennya kerja dulu sih, tapi belum tahu, masih bingung)” jawab saya asal. Dan betapa obrolan ini sungguh kaku.
“Cah cilik iso kerjo opo? (anak kecil bisa kerja apa?)” Suara Bapak saya terkekeh lagi. Ah, sial! Saya masih selalu dianggap sebagai gadis kecilnya yang suka ngemut choki-choki. Padahal sampe sekarang juga masih iya sih. Hehe.
“Nek ijek pengen sekolah, yo sekolah wae. Mumpung durung akeh tanggungan (kalau masih pengen sekolah, ya sekolah aja. Mumpung belum banyak tanggungan).”
Dan saya hanya bisa menjawab “hemmhemmhemm” sambil senyum-senyum najong.
Memutuskan untuk sekolah lagi itu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang saya pertimbangkan. Saya masih pengen maen-maen. Pengen ngelakuin ini itu. Pengen kesana-kemari. Tapi suatu saat saya juga pengen sekolah lagi. Ah!
Sedikit banyak saya tahu, alasan apa yang membuat Bapak saya secara tersirat menyuruh saya untuk sekolah lagi. Tidak lain tidak bukan adalah senang melihat anaknya bisa sekolah. Lantaran Bapak dan Ibu saya tidak pernah mengenyam bangku sekolah seperti saya. Beliau berdua hanya lulusan SMP. Soal apalagi kalau bukan soal ekonomi.
Beliau berdua tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Umberto Eco, apalagi Foucault. Tapi beliau senang setiap kali melihat anaknya membaca buku, bercerita tentang tokoh ini itu. Dulu sekali, kalau listrik lagi padam dan saya sedang belajar, Bapak selalu mengusahakan penerangan, agar saya nyaman belajarnya.
Saya bersyukur punya beliau berdua yang tidak pernah mempersoalkan nilai akademik. Sejak kecil saya tidak pernah disuruh belajar, malah sering dilarang-larang. Gak pernah dimarahin gara-gara nilai. Tapi beliau juga seneng kalau saya telpon dan ngabarin IP cumlaude, meskipun beliau gak ngerti cumlaude itu apa.
Nah, mendengar mereka menginginkan saya sekolah lagi itu terasa sangat menyenangkan. Beliau berdua menyekolahkan saya juga dengan kerja keras tentunya. Beliau tidak pernah protes saya milih jurusan apa dan di mana. “Terserah, sing penting tanggung jawab, (terserah, yang penting tanggung jawab)” kata beliau. Saya masih ingat pesan ketika saya mau berangkat ke Jogja waktu itu. “kuliah itu diniatin nyari ilmu. Gak usah pengen jadi ini atau itu.” Dan ini sungguh so sweet menurut saya.
Apa yang bisa dibanggakan dadari anak konyol seperti saya. Saya tidak pernahercita-cita menjadi orang besar. Menjadi tokoh atau apalah yang selalu disorot. Dari dulu saya lebih senang menjadi orang di balik layar. Padahal, orang tua saya mungkin senang jika kelak saya memiliki profesi yang prestisius. Yang selalu berada di depan. Sayangnya saya tidak bisa dan tidak suka, maafkan.
Ah, entahlah..
Itulah mengapa saya mengurungkan niat untuk tidak berwisuda. Terasa sangat egois dan jahat ketika saya merenggut kebanggaan beliau yang ingin melihat saya bertoga. Sesuatu yang tidak pernah beliau alami.
Intermezo sebentar, ada satu momen yang sangat saya ingat bersama Bapak. Waktyu itu saya masih TK. Malam hari, purnama, Bapak memboncengkan saya di sepeda. Kami melewati sebuah kuburan. Dan kala itu saya bertanya, “Bapak, kenopo toh mbulane kok melu terus? (Bapak, kenapa sih bulannya kok ngikutin terus?) Dan dengan suara menahan tawa, Bapak saya cuma bilang, “engko nek sampean wes gedhe yo ngerti dewe (nanti kalau kamu sudah besar juga tahu sendiri).” Entah kenapa itu adalah momen yang sungguh tak terlupakan bagi saya. Mungkin itu sebabnya setiap melihat bulan selalu ada romantisme tersendiri. Mungkin itu pula sebabnya saya pernah bercita-cita pergi ke bulan. Hahaha
Mungkin beliau berdua tidak membaca ini. Jelas tidak karena tidak bisa menggunakan internet. Tapi melalui catatan sederhana ini saya hanya ingin berucap terima kasih. Bapak, Ibu, di manapun kalian berada sekarang, terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan kepada saya. Saya belum bisa dan mungkin tidak bisa membalas segala kebaikan dan cinta kasih kalian. Doakan selalu anakmu yang masih terlalu manja diusianya yang sudah 22 tahun ini, yang dengan surat keterangan lulus entah akan berbuat apa.
Kita memang tidak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa dan hidup di keluarga mana, tapi saya bersyukur terlahir dari rahim ibu saya dan menjadi bagian dari mereka ^____^
*ditulis dengan mengulang-ulang lagu “hanya satu”nya Mocca di playlist
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...
No comments:
Post a Comment