Sunday, May 27, 2012

Ngawur Karena Benar ala Sujiwo Tedjo

Tadinya saya mau nulis tentang buku yang menurut saya sangat ciamik. Tentang kritik arsitektur oleh Avianti Armand. Tapi berhubung saya belum selesai membaca buku itu, jadinya terpostinglah ini. Tulisan ini sebenarnya hanya mengumpulkan ingatan biar nggak tercecer sia-sia aja sih.

Bersama seorang kawan, semalem saya dateng di acara bedah buku Ngawur Karena Benar-nya sang Presiden Jancukers alias Sujiwo Tedjo di Djendelo cafe. Kira-kira pukul 18.30 tikar yang disediakan panitia sudah penuh manusia, hampir tidak ada celah. Tapi alhamdulillah karena tubuh saya kecil, saya bisa ndresel-ndresel dan duduk dengan nyaman.

Tak berapa lama kemudian Sujiwo Tedjo (Mbah Tedjo) datang dengan dandanan khasnya: topi koboi, jaket kulit hitam, sarung, dan selop. Ada alasannya mengapa si Mbah mengenakan itu semua. Konon, topi koboi ini adalah hadiah seseorang waktu si Mbah manggung di Australia, memakai sarung biar nggak kejepit resleting, dan selop adalah bukti kecerdasan manusia Indonesia yang memodifikasi sepatu yang datangnya dari budaya Eropa. Dan ternyata wajah beliau lebih muda dari yang saya bayangkan. Entah sih ya, kenapa semakin berumur, lelaki justru semakin keren sih. Haha. Lupakan!

Si Mbak MC sekaligus moderator yang kalau gak salah namanya Ajeng membuka acara dengan suara yang renyah. Kaos dan kerudungnya yang merah membikin suasana malam itu jadi bersemangat. Setelah berbasa-basi sebentar tentang buku dan penulisnya, akhirnya tibalah giliran Mbah Tedjo memberikan pengantar terhadap bukunya.

Oke, biar tulisan ini gak terlalu bertele-tele dan saya juga harus membagi waktu untuk nyetrika, saya persingkat saja tulisan ini. Setidaknya, diskusi dengan si Mbah Tedjo bisa dirangkum dalam tiga poin. Tuhan, cinta, dan bangsa.

Tuhan
Semalam, topik tentang Tuhan menjadi perbincangan yang hangat. Mbah Tedjo percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah direncanakan oleh Tuhan. Kita hanya menjalankan skenario. Kita hanya berperan sesuai dengan skenario yang sudah ditulis tersebut. Dan yang menggerakkan segala pilihan kita adalah Tuhan.

Tokoh panakawan yang disebut-sebut oleh Mbah Tedjo adalah Semar. Semar adalah panakawan yang manunggal dengan Tuhan. Segala gerak geriknya adalah bentuk ibadahnya kepada Tuhan, termasuk ngupil dan melirik perempuan. Iya juga sih ya, bukankah kenikmatan Tuhan itu begitu luar biasa dalam segala hal. Dalam konteks melirik, bukankah kita bisa bersyukur telah diberikan mata sehingga bisa ngeliat makhluk Tuhan yang kinclong nan mempesona.

Bahwa segala sesuatu itu ada maksudnya yang kadang kita terlalu bebal untuk bisa mengerti. Semisal, demo kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu. Coba liat berapa pedagang asongan yang bisa makan karenanya. Segala sesuatu harus terjadi untuk segala sesuatu yang lain. Ini sebenarnya ada hubungannya dengan Sastra Jendra, tapi sayangnya saya tidak bisa menjelaskan lebih tentang itu.

Oya, menurut si Mbah, harusnya Tuhan itu tidak maha Esa, tapi maha kosong. Karena kekosongan bisa menampung semuanya. Di sini kosong, dan bukan nol. Karena nol itu angka yang punya nilai, tapi kosong bukan angka. Nol ada dalam kosong. *sambil nginget2 pelajaran matematika waktu smp

Cinta
Tapi ini adalah topik yang paling menarik menurut saya. Ya, segala hal yang menyangkut cinta-cintaan itu selalu menarik. Hehe. Kebanyakan dari kita sering bilang kalau “cinta itu butuh pengorbanan”. Bener? Nah, menurut Mbah Tedjo, kalau kita udah ngerasa berkorban, itu udah bukan cinta lagi. Kadar kecintaan kita udah berkurang dan perlu dipertanyakan. Gini nih maksudnya, kalau kita melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai, jangan merasa berkorban, tapi asyik-asyik aja. Mau hujan-hujanan, mau nunggu sampe karatan juga kalau alasannya cinta gak usah merasa berkorban. Enjoy aja ngejalaninnya. Biarin orang lain menilai berkorban, tapi kita nggak usah merasa berkorban.

Hal lain tentang cinta adalah kisah Rama dan Sinta. Kata si Mbah, sebenarnya Sinta tuh nggak cinta sama Rama. Dan sebenernya Sinta yang pingin diculik sama Rahwana. Alkisah, Sinta bosan sama Rama yang nggak ada cacat-cacatnya, yang lurus-lurus aja, ganteng dan nggak pernah selingkuh. Ibarat di sinetron peran itu dimainkan oleh Dude Herlino, yang kata temen saya, dialah cowok paling absurd sedunia.

Si mbah bilang, pada dasarnya, perempuan tuh gak suka lelaki yang lulus-lurus aja. Gak ada sensasinya katanya.(Halah2, sok tau wae si Mbah ki sebenere). Nah, jatuh cintalah Sinta dengan Rahwana yang slengekan itu. Tapi kalau mau dirunut, menurut salah satu versi, nggak salah juga kenapa Rahwana menculik Sinta. Sebeneranya Rahwana pernah bertapa selama 50000 tahun untuk memenggal kepalanya yang sepuluh. Ketika kepalanya tinggal satu, dewa turun dan menggagalkan rencana bunuh diri Rahwana. Karena dengan kematiannya, dunia ini nggak bakalan jalan. Harus ada yang berperan menjadi jahat untuk mengimbangi yang baik. Karena kesediaannya, Rahwana dijanjikan dua hal, yaitu kesaktian tiada tara dan perempuan paling cantik sedunia alias Dewi Widowati. Dewi Widowati inilah yang menitis ke Sinta.

Nah, bukankah Rahwana hanya menjemput cintanya? Asemlah kenapa tiba-tiba muncul kata menjemput cinta gini.


Bangsa
Yang perlu diluruskan adalah Indonesia bukan 350 tahun dijajah. Si Mbah Tedjo menawarkan diksi ‘350 tahun melawan’. Menurut saya ini benar, bukankah yang dijajah hanya para raja yang bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial guna melanggengkan kekuasaanya? Bukankah rakyat tetap melawan? Diksi “dijajah” inilah yang seringkali menimbulkan sikap inferior. Buku-buku sejarah di sekolah sudah selayaknya dirombak. Oh ya, dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah karangan G.J Resink disebutkan bahwa sebenarnya Indonesia hanya(?) 40 tahun dijajah, waktu 310 tahun digunakan oleh Belanda untuk mencari strategi menaklukan bangsa Indonesia. Ajib kan..

Pernyataan Mbah Tedjo yang menurut saya menarik adalah, manusia Indonesia yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun ini mustahil bisa dijajah. Mungkin yang dijajah adalah fisiknya, tapi hatinya nggak mungkin bisa ditembus. *manggut2*

Bahwa dunia digerakkan oleh perempuan, si Mbah Tedjo menyetujui itu. Segala macam perang, industri, dan politik terjadi akibat persaingan antarperempuan. Hahaha.

Sebenernya masih banyak hal yang diungkapkan Mbah Tedjo dalam perbincangan kurang lebih dua jam itu. Ada soal hukum, etika, politik, tentang panakawan, blablabla. Tapi berhubung memori saya tidak terlalu bagus untuk menampung semuanya, dan saya yag udah nggak tahan ngeliat tumpukan baju yang berantakan, jadinya saya sudahi saja ya tulisan kali ini. Enjoy!

Eh, tapi saya belum menjelaskan kenapa itu judul bukunya Ngawur karena Benar, ya? Dan mengapa bukan Benar karena Ngawur? Oke, dikit aja tapi ya. Biar Anda membaca bukunya langsung.

Ngawurisme sebenarnya adalah istilah yang digunakan si Mbah Tedjo untuk membobol kesopanan yang dibuat-buat, munafik. Ngawur ini cenderung pada urakan, tapi bukan kurang ajar. Urakan mengacu pada pelanggaran aturan, juga pikiran, karena tidak sesuai dengan hati nurani. Kurang ajar mengacu pada pelanggaran oleh dorongan nafsu sesaat. Hati nurani ini beda dengan perasaan. Perasaan sering membohongi, tapi hati nurani adalah ketika kita bisa merasakan ketulusan atau tidak.


Ah..wes yaa..setrikaku wes panass...

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...