Thursday, July 20, 2017

Percakapan Dua Pohon


Aku iri pada mereka yang sampai tua bisa menjalani apa yang mereka sukai, katamu. Aku iri pada mereka yang bisa hidup bersama, meski tak sampai tua, dengan yang mereka cintai, kataku.

Hai, kamu. Meski tubuhku dan tubuhmu tak bisa lebih mendekat, aku berterima kasih pada angin yang menautkan reranting kita barang sejenak, yang memungkinkan kita untuk bercakap seperti ini.

Tapi barangkali daun-daunku akan lebih dulu menguning dan gugur. Ranting-rantingku akan jatuh satu per satu. Lalu kita tak bisa bercakap lagi.

Sampai saat itu tiba, aku akan senantiasa berdoa. Kelak kamu bisa menjalani apa yang kamu sukai bersama yang kamu cintai. Sampai tua. Sampai daun-daun tak mau tumbuh lagi di kulitmu. Hingga tiba saatnya seseorang menumbangkan tubuhmu yang lebih jangkung dariku. Semoga dengan cara yang tidak menyakitkan. Tidak pula dengan alat yang menakutkan.

Setelahnya mungkin kamu akan jadi kayu bakar di perapian sebuah rumah mungil di dekat gunung. Atau kayu dalam api unggun perkemahan anak pramuka. Lalu menjadi abu.

Aku, dalam jarak tertentu, menanti angin menerbangkanmu ke arahku.

Tuesday, July 18, 2017

Pamit

Butuh menempuh ratusan kilo meter,
untuk mengungkap apa yang selama ini tersimpan di jantung
Butuh dini hari yang sepi dan dingin,
untuk mengucap maaf dan terima kasih pada ribuan detik
yang pernah terlalui bersama

Setelah sekian lama terlunta
Akhirnya semua selesai sudah
Nyeri merambat jauh di dalam dada
Aku menahan gigil dan tangis

Waktu akan membawamu pergi
Kamu memang ingin pergi, aku tahu
Tapi aku tak pernah rela kau mengabur dari pikiran
Tidak setelah sekian banyak tahun
Tapi tanganku tak mampu meraihmu

Maka, dekap
Karena ini mungkin yang terakhir.



Surabaya, 18 Juli 2017

kartu pos bergambar matahari

Salah satu scene dalam film Lucy memperlihatkan Lucy, dengan matanya yang berkaca-kaca, sedang meminta maaf dan bilang “I love you” kepada ibunya. Tindakan Lucy itu bukan tanpa alasan. Ia mendapat kekuatan tertentu sehinga bisa melihat masa lalu, termasuk ketika ia masih balita. Dan ia melihat bahwa kasih sayang ibunya kepada dirinya ketika masih balita (dan untuk selamanya) begitu besar.

Saya senang melihat bayi-bayi lucu yang seliweran di timeline. Saya senang melihat ibu-ibu muda yang terlihat begitu menyayangi dan membanggakan bayi-bayinya itu. Dikit-dikit difoto, lalu diunggah ke media sosial. Mereka begitu senang untuk hal-hal sederhana seperti melihat anaknya tersenyum, tertidur pulas, belajar berjalan, atau sekadar berhasil menghabiskan makanannya.

Saya sering berpikir, begitu jugakah ibu saya dulu? Sesayang itukah beliau pada saya? Mengingat beliau adalah jenis makhluk yang mampu membaca pikiran saya hanya dengan mendengar suara saya diujung telpon, saya yakin beliau amat menyayangi saya.

Mengapa kita tak bisa menjangkau ingatan saat masih balita? Mengapa yang memiliki ingatan itu hanya para orang tua? Andai, andai saja, kita bisa mengingat saat-saat kita disuapi bubur dan diayun dalam gendongan, atau saat tahu bagaimana orang tua kita berupaya sekreatif mungkin agar kita mau makan, apa yang akan terjadi?

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...