selasa, 17 mei 2011. senja kali ini kita duduk berdua di pantai. melihat ombak yang berkali-kali pecah dan pasir dingin menjadi alas duduk kita. kemudian kita bercakap dan saling melontarkan tanya. hingga berhenti pada sebuah keputusan.
“baiklah, mari kita jalani saja. bersama.”
baiklah, kita lupakan yang telah lalu. sesekali boleh diingat, tapi jangan lagi, jika itu membuat kita sakit. mari melangkah menuju tangga berikutnya, sayang. perjalanan kita masih sangat panjang. mari menyusuri waktu. kita selesaikan satu demi satu.
dan kita berjalan di bibir pantai. kenyang bermain ombak yang membuatku basah kuyup dan kedinginan. tapi, andai kau tahu, saat ini hatiku begitu hangat.
matahari mulai tenggelam, dan kita pulang. meninggalkan pantai yang perlahan menjadi gelap. lihat, dari arah timur bulan begitu sempurna. langit begitu cerahnya. bayangan pohon tampak nyata di tanah. hmm, tampaknya perjalanan kita direstui alam semesta.
tidak tahu masa depan akan membawaku ke mana. yang ku tahu, yang sekarang ada adalah kamu. di sini. saat ini. nyata.
tidak perlu mengubah apa pun jadi 180 derajat. aku mencintaimu begini adanya.
hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu…
Monday, May 30, 2011
Tuesday, May 17, 2011
DIA 3
Yang kamu tunggu datang juga. Kamu bertemu dengannya. Kamu sudah bisa menatap matanya. Kamu juga tertawa-tawa dengannya.
Pada saat itulah kamu memutuskan untuk berhenti memikirkannya. Cukup, katamu. Entah apa yang membuatmu berkeputusan seperti itu. Namanya telah kamu masukkan dalam daftar kegiatanmu: tidak mendesak dan tidak penting.
Tapi kamu juga tidak tahu apa yang akan kamu lakukan setelah kamu memutuskan itu. Barangkali kamu akan mengubur namanya dalam sebuah kotak berwarna biru. Menutupnya rapat-rapat. Dan tidak akan membuka-bukanya lagi. Atau entah apa.
Yang jelas, kamu ingin semua berjalan seperti biasa. Kamu masih akan berbuat baik padanya. Masih akan membantu sebisamu. Masih akan mengaguminya seperti pertama kali bertemu. Masih akan menghormatinya seperti yang sudah-sudah. Tidak peduli apa yang dilakukannya di belakangmu.
Dan kamu akan membuka pintu-pintu yang selama ini kamu tutup. Membuka ruang-ruang yang kamu biarkan kosong.
Kamu telah berjanji pada sahabatmu.
Pada saat itulah kamu memutuskan untuk berhenti memikirkannya. Cukup, katamu. Entah apa yang membuatmu berkeputusan seperti itu. Namanya telah kamu masukkan dalam daftar kegiatanmu: tidak mendesak dan tidak penting.
Tapi kamu juga tidak tahu apa yang akan kamu lakukan setelah kamu memutuskan itu. Barangkali kamu akan mengubur namanya dalam sebuah kotak berwarna biru. Menutupnya rapat-rapat. Dan tidak akan membuka-bukanya lagi. Atau entah apa.
Yang jelas, kamu ingin semua berjalan seperti biasa. Kamu masih akan berbuat baik padanya. Masih akan membantu sebisamu. Masih akan mengaguminya seperti pertama kali bertemu. Masih akan menghormatinya seperti yang sudah-sudah. Tidak peduli apa yang dilakukannya di belakangmu.
Dan kamu akan membuka pintu-pintu yang selama ini kamu tutup. Membuka ruang-ruang yang kamu biarkan kosong.
Kamu telah berjanji pada sahabatmu.
DIA 2
Akhirnya kamu bertemu dengannya. Di bawah pohon. Dia memakai baju ungu. Tidak banyak percakapan di antara kalian. Kecuali jabat tangan dan pertanyaan tentang waktu luang. Kemudian dia pergi. Menaiki tangga. Membiarkanmu sendirian. Dia sibuk.
Begitulah, ketika kamu tidak berharap banyak bisa bertemu dengannya, ternyata alam berkata lain.
Dan kamu menunggu-nunggu hari Sabtu. Hari yang dijanjikan. Kalian akan bertemu di suatu tempat. Membicarakan banyak hal. Termasuk agenda-agenda yang tertunda. Dan agenda selanjutnya. Barangkali kamu akan lebih banyak bertemu dengannya. Lagi.
Sekarang ini senyummu pasti mengembang.
Tapi tiba-tiba kamu ingat. Kamu telah membocorkan rahasia. Kamu bercerita. Kepada seorang sahabat yang bahkan sudah tau sebelum kamu berkata. Kamu merasa tidak bisa menyimpannya sendirian. Perasaan yang begitu menggebu. Meluap. Kamu butuh telinga untuk mendengar. Kamu butuh hati yang bisa mengerti. Ah..
Begitulah, ketika kamu tidak berharap banyak bisa bertemu dengannya, ternyata alam berkata lain.
Dan kamu menunggu-nunggu hari Sabtu. Hari yang dijanjikan. Kalian akan bertemu di suatu tempat. Membicarakan banyak hal. Termasuk agenda-agenda yang tertunda. Dan agenda selanjutnya. Barangkali kamu akan lebih banyak bertemu dengannya. Lagi.
Sekarang ini senyummu pasti mengembang.
Tapi tiba-tiba kamu ingat. Kamu telah membocorkan rahasia. Kamu bercerita. Kepada seorang sahabat yang bahkan sudah tau sebelum kamu berkata. Kamu merasa tidak bisa menyimpannya sendirian. Perasaan yang begitu menggebu. Meluap. Kamu butuh telinga untuk mendengar. Kamu butuh hati yang bisa mengerti. Ah..
Wednesday, May 11, 2011
DIA
Kata “sudahlah” memang telah keluar berkali-kali dari mulutmu. Tapi tidak dari hatimu. Buktinya, kamu masih belum bisa berhenti menyebut-nyebut namanya. Belum bisa berhenti memandangi fotonya yang telah berbulan-bulan bertengger di meja dekat tempat tidurmu. Sekali waktu kamu pernah membalik foto di balik pigura berwarna kuning itu, tapi setelah bangun tidur kamu pun membaliknya lagi. Belum cukup. Kamu pun menyingkirkan fotonya. Menaruhnya dalam sebuah kotak berwarna biru. Tapi belum ada dua puluh empat jam, kamu mengeluarkannya lagi. Memajangnya di tempat semula. Berkali-kali seperti itu. Dan setiap kali kamu bangun tidur, tidak bisa tidak kamu melihatnya.
Benar kan, kamu tidak bisa melupakannya.
Buktinya, diam-diam kamu menangis. Sekali waktu ketika rindumu tak tahu waktu, tak tahu malu. Kamu pun tidak sabar menunggu pagi. Tidak sabar ingin melihatnya. Tidak sabar ingin tersenyum padanya. Ingin menghirup bau rokoknya. Tidak peduli dia bilang apa, kamu akan mengejarnya. Tapi itu tidak pernah kamu lakukan. Kamu hanya bisa memendam rindumu. Hmm.
Jari-jarimu kemudian memencet beberapa tombol yang ada di ponselmu. Merangkai beberapa kata. Tapi berhenti begitu saja. Kamu tidak pernah berani memilih kata “kirim” di layar ponselmu. Dan kamu memilih untuk selalu berdebar saat ponselmu bergetar. Berharap ada namanya di bawah amplop kecil berwarna kuning. Dan kamu sangat kecewa karena yang muncul adalah nama tetangga kamarmu. Berkali-kali seperti itu.
Dan kamu akan begitu saja rela menunggu. Berjam-jam. Sekadar memastikan baju yang dia pakai. Biru atau ungu. Dan ketika kamu telah berhasil melihat punggungnya dalam hitungan detik, kamu sudah sangat puas. Karena kamu tentu saja tidak berani melihat wajahnya. Tidak berani menatap matanya, seperti dulu.
Begitulah, kamu tidak bisa berhenti memikirkannya.
Kamu berusaha melupakannya. Kamu pun berusaha mencari solusi dengan membaca buku-buku. Menonton film. Makan sebanyak-banyaknya. Membersihkan apa saja. Juga belanja. Tapi tetap saja, jawabnya adalah tidak bisa.
Tidak bisa, meskipun kamu tahu dia telah menyakitimu. Meskipun kamu sadar dia tidak begitu mempedulikan perasaanmu. Terlalu banyak yang harus dia pikirkan. Terlalu banyak yang butuh perhatiannya. Ia punya kehidupan lain.
Tidak bisa, meskipun kamu menganggap bahwa perasaanmu adalah perasaan terkonyol yang pernah kamu alami. Sikapmu adalah sikap bodoh yang tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya. Dan kamu selalu bilang: aku baik-baik saja.
Ada gelisah yang tak mau pergi. Kamu tahu itu. Tapi kamu sudah berjanji tidak akan bercerita.
Kamu berharap cintamu bukan kembang api di malam tahun baru. Yang menggebu. Meledak. Menyala-nyala. Lantas hilang. Lantas kosong. Bukan, bukan itu yang kau mau.
Andai dia tahu.
-Ann-
Benar kan, kamu tidak bisa melupakannya.
Buktinya, diam-diam kamu menangis. Sekali waktu ketika rindumu tak tahu waktu, tak tahu malu. Kamu pun tidak sabar menunggu pagi. Tidak sabar ingin melihatnya. Tidak sabar ingin tersenyum padanya. Ingin menghirup bau rokoknya. Tidak peduli dia bilang apa, kamu akan mengejarnya. Tapi itu tidak pernah kamu lakukan. Kamu hanya bisa memendam rindumu. Hmm.
Jari-jarimu kemudian memencet beberapa tombol yang ada di ponselmu. Merangkai beberapa kata. Tapi berhenti begitu saja. Kamu tidak pernah berani memilih kata “kirim” di layar ponselmu. Dan kamu memilih untuk selalu berdebar saat ponselmu bergetar. Berharap ada namanya di bawah amplop kecil berwarna kuning. Dan kamu sangat kecewa karena yang muncul adalah nama tetangga kamarmu. Berkali-kali seperti itu.
Dan kamu akan begitu saja rela menunggu. Berjam-jam. Sekadar memastikan baju yang dia pakai. Biru atau ungu. Dan ketika kamu telah berhasil melihat punggungnya dalam hitungan detik, kamu sudah sangat puas. Karena kamu tentu saja tidak berani melihat wajahnya. Tidak berani menatap matanya, seperti dulu.
Begitulah, kamu tidak bisa berhenti memikirkannya.
Kamu berusaha melupakannya. Kamu pun berusaha mencari solusi dengan membaca buku-buku. Menonton film. Makan sebanyak-banyaknya. Membersihkan apa saja. Juga belanja. Tapi tetap saja, jawabnya adalah tidak bisa.
Tidak bisa, meskipun kamu tahu dia telah menyakitimu. Meskipun kamu sadar dia tidak begitu mempedulikan perasaanmu. Terlalu banyak yang harus dia pikirkan. Terlalu banyak yang butuh perhatiannya. Ia punya kehidupan lain.
Tidak bisa, meskipun kamu menganggap bahwa perasaanmu adalah perasaan terkonyol yang pernah kamu alami. Sikapmu adalah sikap bodoh yang tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya. Dan kamu selalu bilang: aku baik-baik saja.
Ada gelisah yang tak mau pergi. Kamu tahu itu. Tapi kamu sudah berjanji tidak akan bercerita.
Kamu berharap cintamu bukan kembang api di malam tahun baru. Yang menggebu. Meledak. Menyala-nyala. Lantas hilang. Lantas kosong. Bukan, bukan itu yang kau mau.
Andai dia tahu.
-Ann-
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...