lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa menilai lebih bijaksana
Itu adalah penggalan lagu Sherina yang berjudul “Lihatlah Lebih Dekat” yang masih sering saya dendangkan. Dan banyak hal yang jika dilihat lebih dekat, memang terasa menakjubkan.
Kadang, kita(?) hanya melihat sesuatu sambil lalu. Tanpa mencoba untuk memahami. Lalu terburu-buru menilai. Padahal, banyak hal tersembunyi disana. Yang layak untuk ditengok, dan dihayati.
Nah, mungkin hal-hal yang terlihat sepintas itu adalah hal-hal yang “seharusnya” menurut masyarakat umum. Harusnya begini dan harusnya begitu. Namun, dibalik yang “seharusnya” itu ada “yang lebih penting” sih menurut saya.
Daaaan..menurut saya, berdasarkan pengalaman nyata, ada yang lebih penting dari sekadar
... keuntungan yang banyak
Saya punya seorang teman. Dia adalah direktur di penerbitnya. Sebuah penerbit yang mungkin tidak begitu populer.
Suatu kali si teman ini menjual buku-buku diskonan, yang harganya jadi benar-benar anjlok dari harga pasar. Untuk itu dia membikin rak buku di kamarnya. Jadilah dinding itu dak dok dak dok selama dua hari. Saya turut serta dalam proses itu. Mulai dari inventaris buku-buku sampai nempelin harga, saya juga turut serta. Seharian. Sampai-sampai saya hafal di mana letak buku, covernya, dan harganya melebihi si teman.
Oya, selain menjadi direktur, dia adalah sekretaris sekaligus bendahara. Haha. Intinya, dia memegang sendiri penerbitannya itu. Kok bisa? Buktinya bisa. Sudah puluhan buku yang terbit. Dan penerbit ini memang tidak membatasi satu jenis buku tertentu. Apa aja dibabat. Mulai dari sastra sampai buku doa untuk anak-anak. Nah, itulah mengapa saya sering terlibat dalam acara rekap merekap itu.
Suatu kali seorang teman lain bertanya, “ngapain sih kamu jualan buku kayak ginian? Untungnya apa? Buang-buang tenaga.”
Memang si teman direktur ini nggak bakalan kekurangan uang meskipun tiap hari dia cuma duduk leyeh-leyeh sambil fesbukan dan minum susu beruang kesukaannya. Dan memang kalau dilihat-lihat, apa yang dilakukannya adalah tindakan yang buang-buang waktu dan tenaga.
Terhadap pertanyaan tadi itu, dia nggak njawab. Cuma senyum.
Tapi suatu ketika, dia bilang pada saya, “aku ngelakuin kayak gini tuh jangan dilihat keuntungannya. Kalau masalah untung, mungkin gak cukup buat makan, mungkin malah rugi. Coba liat berapa orang yang mau bekerja jadi sales buku. Mereka pernah meminta pekerjaan, jadinya aku bikin kayak ginian. Seneng rasanya kalau mereka mau bekerja.”
Seperti halnya dia, saya hanya senyum mendengar. Tidak bisa berkata-kata. Heeem. Di saat semua orang berkutat dengan untung rugi dan tunduk pada permainan pasar, dia masih memikirkan orang lain. Dan memang kebanyakan buku yang diterbitkan oleh penerbit miliknya itu adalah untuk menolong teman-teman yang punya karya tetapi nggak punya duit. Penerbit miliknya tidak memiliki karyawan tetap, setiap orang digaji sesuai dengan kerja yang dilakukannya.
Dan saya hanya menggumam dalam hati “Masih ada ya orang kayak gini. Ternyata.”
*oh ya, dia juga seorang dosen di sebuah universitas swasta di Jogja
... mempertahankan hubungan
Apa gunanya seseorang di sampingmu, tetapi hatinya tidak? Tapi kamu matian-matian mempertahankannya, berjuang untuknya. Hingga pada satu titik kamu pun kelelahan, tapi tak mau mengakui penyesalan.
Baiklah, mungkin kamu sedang berusaha untuk meyakinkan dirimu bahwa ‘dia akan berubah menjadi lebih baik’. Aku mengamini itu.
Tapi saat aku bertanya, “kamu bahagia?” matamu sungguh tidak bisa bohong. Dan pandangan matamu dipertegas dengan lisanmu. Kamu merasa dihianati. Berkali-kali dihianati. Kamu merasa berjuang sendirian dan tidak dipedulikan. Tapi lagi-lagi ini adalah pilihanmu. Keputusanmu, yang kamu bilang benar-benar matang. Tak mengenal kompromi. Tapi menurutku, kamu sedang diperbudak egomu.
Dan sekarang, kamu memutuskan untuk bertahan. Mempertahankan hubungan yang sudah terlanjur menjadi ikatan resmi. Tidak ada jalan lain, katamu.
Melepas. Adalah satu kata yang memang tidak pernah ada dalam kamus hidupmu. Itu kesimpulanku selama berkawan denganmu. Kamu selalu “harus” mencapai apa yang kamu inginkan. Dalam segala hal. Tidak peduli apa pun. Dan kali ini pun aku mencoba maklum.
Ah, sekali lagi, “apakah kamu bahagia?” Tapi sepertinya itu adalah pertanyaan yang cukup membebanimu.
Harusnya, kamu layak berbahagia. Maaf, kali ini aku mungkin sedang tidak bijak menilaimu.
*kepada seorang kawan
... lulus cepat
Siapa yang tak suka lulus cepat, hingga terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyebalkan seperti “skripsi udah nyampek mana?” “kok lambat banget sih, ngapain aja?” “kapan ujian” “kapan lulus?” “eh, seangkatan cuma kamu aja ya yang belum lulus?”. Orang yang nanya gitu disetiap kesempatan berpapasan pasti belum pernah tau rasanya digampar. Yakin.
Ada banyak hal yang sebenarnya bisa dinikmati, dipelajari, dihayati, dalam proses panjang berskripsi. Misal, berkumpul dengan sesama penderita skripsi adalah hal yang sangat bergizi. Seringkali kita bisa tahu hal-hal yang tak terduga. Memahami orang dari sisi lainnya. Hingga berujung sering maen ke kosnya. Haha.
Mengenal lebih banyak adik angkatan adalah kelezatan yang lain lagi. Ini bisa bikin kita lebih muda. Dan biasanya adik angkatan ini lebih jago kalau nggosip tentang dosen. Apalagi adik angkatan yang juga lagi skripsi. Wuih, jiwa raganya pasti lagi dipenuhin tentang si dosen pembimbing, dan seorang ini menyenangkan untuk diajak ngobrol.
Biasanya, kita juga jadi akrab dengan teman se-dosen pembimbing atau se-teori. Merasa senasib. Beban rasanya sedikit berkurang. Bisa sharing ini itu. Dan seringnya ini menjadi obrolan yang berkualitas. Ini penting! Karena teman yang kayak gini bisa di-sms tengah malem sekadar nanya teori yang bikin insomnia. Dan pasti sms itu berbalas. Dan berlanjut pada sms-sms yang melenceng jauh dari si teori tadi. Hohoho..
Saya kok yakin ya, kalau hal-hal kayak gini gak pernah dialami mereka yang lulus cuepat. Kebanyakan orang yang lulus cepat, apalagi kecepetan, itu ujung-ujungnya kesepian. Soalnya temen-temennya masih pada enjoy. Hehe. Gak kenal temen. Soalnya udah melesat pergi entah kemana. Mbuh nding :p
*mudah-mudahan ini bukan menjadi pembelaan dan kambing hitam
Nah nah, gak harus untung besar, mempertahankan hubungan, dan lulus cepet kan? Ada yang lebih penting dari itu.
Tapi terserah kamu jugak sih.. enjoy!
Thursday, May 31, 2012
Wednesday, May 30, 2012
tantangan saya terima!
Pembaca budiman, ini berita penting. Selama lima belas hari kedepan blog ini akan update. Ini adalah proyek sok-sokan teman saya untuk menulis tiap hari di blog. Tulisan boleh apa aja. Apa aja boyeh. Tapi syaratnya adalah tiap hari harus ada postingan. Tiap hari! Oh betapaaaa
Yang menang boleh makan mie sepuasnya. Hahaha. Gak penting sih, tapi yoi!
Oke, tantangan saya terima! Itung-itung ngisi waktu selo (yang tidak selo) yang amat lezat dan sebentar lagi usai..
*Dinyatakan menang ketika gak pernah absen nulis/posting. Enjoy!
Yang menang boleh makan mie sepuasnya. Hahaha. Gak penting sih, tapi yoi!
Oke, tantangan saya terima! Itung-itung ngisi waktu selo (yang tidak selo) yang amat lezat dan sebentar lagi usai..
*Dinyatakan menang ketika gak pernah absen nulis/posting. Enjoy!
Sunday, May 27, 2012
Ngawur Karena Benar ala Sujiwo Tedjo
Tadinya saya mau nulis tentang buku yang menurut saya sangat ciamik. Tentang kritik arsitektur oleh Avianti Armand. Tapi berhubung saya belum selesai membaca buku itu, jadinya terpostinglah ini. Tulisan ini sebenarnya hanya mengumpulkan ingatan biar nggak tercecer sia-sia aja sih.
Bersama seorang kawan, semalem saya dateng di acara bedah buku Ngawur Karena Benar-nya sang Presiden Jancukers alias Sujiwo Tedjo di Djendelo cafe. Kira-kira pukul 18.30 tikar yang disediakan panitia sudah penuh manusia, hampir tidak ada celah. Tapi alhamdulillah karena tubuh saya kecil, saya bisa ndresel-ndresel dan duduk dengan nyaman.
Tak berapa lama kemudian Sujiwo Tedjo (Mbah Tedjo) datang dengan dandanan khasnya: topi koboi, jaket kulit hitam, sarung, dan selop. Ada alasannya mengapa si Mbah mengenakan itu semua. Konon, topi koboi ini adalah hadiah seseorang waktu si Mbah manggung di Australia, memakai sarung biar nggak kejepit resleting, dan selop adalah bukti kecerdasan manusia Indonesia yang memodifikasi sepatu yang datangnya dari budaya Eropa. Dan ternyata wajah beliau lebih muda dari yang saya bayangkan. Entah sih ya, kenapa semakin berumur, lelaki justru semakin keren sih. Haha. Lupakan!
Si Mbak MC sekaligus moderator yang kalau gak salah namanya Ajeng membuka acara dengan suara yang renyah. Kaos dan kerudungnya yang merah membikin suasana malam itu jadi bersemangat. Setelah berbasa-basi sebentar tentang buku dan penulisnya, akhirnya tibalah giliran Mbah Tedjo memberikan pengantar terhadap bukunya.
Oke, biar tulisan ini gak terlalu bertele-tele dan saya juga harus membagi waktu untuk nyetrika, saya persingkat saja tulisan ini. Setidaknya, diskusi dengan si Mbah Tedjo bisa dirangkum dalam tiga poin. Tuhan, cinta, dan bangsa.
Tuhan
Semalam, topik tentang Tuhan menjadi perbincangan yang hangat. Mbah Tedjo percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah direncanakan oleh Tuhan. Kita hanya menjalankan skenario. Kita hanya berperan sesuai dengan skenario yang sudah ditulis tersebut. Dan yang menggerakkan segala pilihan kita adalah Tuhan.
Tokoh panakawan yang disebut-sebut oleh Mbah Tedjo adalah Semar. Semar adalah panakawan yang manunggal dengan Tuhan. Segala gerak geriknya adalah bentuk ibadahnya kepada Tuhan, termasuk ngupil dan melirik perempuan. Iya juga sih ya, bukankah kenikmatan Tuhan itu begitu luar biasa dalam segala hal. Dalam konteks melirik, bukankah kita bisa bersyukur telah diberikan mata sehingga bisa ngeliat makhluk Tuhan yang kinclong nan mempesona.
Bahwa segala sesuatu itu ada maksudnya yang kadang kita terlalu bebal untuk bisa mengerti. Semisal, demo kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu. Coba liat berapa pedagang asongan yang bisa makan karenanya. Segala sesuatu harus terjadi untuk segala sesuatu yang lain. Ini sebenarnya ada hubungannya dengan Sastra Jendra, tapi sayangnya saya tidak bisa menjelaskan lebih tentang itu.
Oya, menurut si Mbah, harusnya Tuhan itu tidak maha Esa, tapi maha kosong. Karena kekosongan bisa menampung semuanya. Di sini kosong, dan bukan nol. Karena nol itu angka yang punya nilai, tapi kosong bukan angka. Nol ada dalam kosong. *sambil nginget2 pelajaran matematika waktu smp
Cinta
Tapi ini adalah topik yang paling menarik menurut saya. Ya, segala hal yang menyangkut cinta-cintaan itu selalu menarik. Hehe. Kebanyakan dari kita sering bilang kalau “cinta itu butuh pengorbanan”. Bener? Nah, menurut Mbah Tedjo, kalau kita udah ngerasa berkorban, itu udah bukan cinta lagi. Kadar kecintaan kita udah berkurang dan perlu dipertanyakan. Gini nih maksudnya, kalau kita melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai, jangan merasa berkorban, tapi asyik-asyik aja. Mau hujan-hujanan, mau nunggu sampe karatan juga kalau alasannya cinta gak usah merasa berkorban. Enjoy aja ngejalaninnya. Biarin orang lain menilai berkorban, tapi kita nggak usah merasa berkorban.
Hal lain tentang cinta adalah kisah Rama dan Sinta. Kata si Mbah, sebenarnya Sinta tuh nggak cinta sama Rama. Dan sebenernya Sinta yang pingin diculik sama Rahwana. Alkisah, Sinta bosan sama Rama yang nggak ada cacat-cacatnya, yang lurus-lurus aja, ganteng dan nggak pernah selingkuh. Ibarat di sinetron peran itu dimainkan oleh Dude Herlino, yang kata temen saya, dialah cowok paling absurd sedunia.
Si mbah bilang, pada dasarnya, perempuan tuh gak suka lelaki yang lulus-lurus aja. Gak ada sensasinya katanya.(Halah2, sok tau wae si Mbah ki sebenere). Nah, jatuh cintalah Sinta dengan Rahwana yang slengekan itu. Tapi kalau mau dirunut, menurut salah satu versi, nggak salah juga kenapa Rahwana menculik Sinta. Sebeneranya Rahwana pernah bertapa selama 50000 tahun untuk memenggal kepalanya yang sepuluh. Ketika kepalanya tinggal satu, dewa turun dan menggagalkan rencana bunuh diri Rahwana. Karena dengan kematiannya, dunia ini nggak bakalan jalan. Harus ada yang berperan menjadi jahat untuk mengimbangi yang baik. Karena kesediaannya, Rahwana dijanjikan dua hal, yaitu kesaktian tiada tara dan perempuan paling cantik sedunia alias Dewi Widowati. Dewi Widowati inilah yang menitis ke Sinta.
Nah, bukankah Rahwana hanya menjemput cintanya? Asemlah kenapa tiba-tiba muncul kata menjemput cinta gini.
Bangsa
Yang perlu diluruskan adalah Indonesia bukan 350 tahun dijajah. Si Mbah Tedjo menawarkan diksi ‘350 tahun melawan’. Menurut saya ini benar, bukankah yang dijajah hanya para raja yang bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial guna melanggengkan kekuasaanya? Bukankah rakyat tetap melawan? Diksi “dijajah” inilah yang seringkali menimbulkan sikap inferior. Buku-buku sejarah di sekolah sudah selayaknya dirombak. Oh ya, dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah karangan G.J Resink disebutkan bahwa sebenarnya Indonesia hanya(?) 40 tahun dijajah, waktu 310 tahun digunakan oleh Belanda untuk mencari strategi menaklukan bangsa Indonesia. Ajib kan..
Pernyataan Mbah Tedjo yang menurut saya menarik adalah, manusia Indonesia yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun ini mustahil bisa dijajah. Mungkin yang dijajah adalah fisiknya, tapi hatinya nggak mungkin bisa ditembus. *manggut2*
Bahwa dunia digerakkan oleh perempuan, si Mbah Tedjo menyetujui itu. Segala macam perang, industri, dan politik terjadi akibat persaingan antarperempuan. Hahaha.
Sebenernya masih banyak hal yang diungkapkan Mbah Tedjo dalam perbincangan kurang lebih dua jam itu. Ada soal hukum, etika, politik, tentang panakawan, blablabla. Tapi berhubung memori saya tidak terlalu bagus untuk menampung semuanya, dan saya yag udah nggak tahan ngeliat tumpukan baju yang berantakan, jadinya saya sudahi saja ya tulisan kali ini. Enjoy!
Eh, tapi saya belum menjelaskan kenapa itu judul bukunya Ngawur karena Benar, ya? Dan mengapa bukan Benar karena Ngawur? Oke, dikit aja tapi ya. Biar Anda membaca bukunya langsung.
Ngawurisme sebenarnya adalah istilah yang digunakan si Mbah Tedjo untuk membobol kesopanan yang dibuat-buat, munafik. Ngawur ini cenderung pada urakan, tapi bukan kurang ajar. Urakan mengacu pada pelanggaran aturan, juga pikiran, karena tidak sesuai dengan hati nurani. Kurang ajar mengacu pada pelanggaran oleh dorongan nafsu sesaat. Hati nurani ini beda dengan perasaan. Perasaan sering membohongi, tapi hati nurani adalah ketika kita bisa merasakan ketulusan atau tidak.
Ah..wes yaa..setrikaku wes panass...
Bersama seorang kawan, semalem saya dateng di acara bedah buku Ngawur Karena Benar-nya sang Presiden Jancukers alias Sujiwo Tedjo di Djendelo cafe. Kira-kira pukul 18.30 tikar yang disediakan panitia sudah penuh manusia, hampir tidak ada celah. Tapi alhamdulillah karena tubuh saya kecil, saya bisa ndresel-ndresel dan duduk dengan nyaman.
Tak berapa lama kemudian Sujiwo Tedjo (Mbah Tedjo) datang dengan dandanan khasnya: topi koboi, jaket kulit hitam, sarung, dan selop. Ada alasannya mengapa si Mbah mengenakan itu semua. Konon, topi koboi ini adalah hadiah seseorang waktu si Mbah manggung di Australia, memakai sarung biar nggak kejepit resleting, dan selop adalah bukti kecerdasan manusia Indonesia yang memodifikasi sepatu yang datangnya dari budaya Eropa. Dan ternyata wajah beliau lebih muda dari yang saya bayangkan. Entah sih ya, kenapa semakin berumur, lelaki justru semakin keren sih. Haha. Lupakan!
Si Mbak MC sekaligus moderator yang kalau gak salah namanya Ajeng membuka acara dengan suara yang renyah. Kaos dan kerudungnya yang merah membikin suasana malam itu jadi bersemangat. Setelah berbasa-basi sebentar tentang buku dan penulisnya, akhirnya tibalah giliran Mbah Tedjo memberikan pengantar terhadap bukunya.
Oke, biar tulisan ini gak terlalu bertele-tele dan saya juga harus membagi waktu untuk nyetrika, saya persingkat saja tulisan ini. Setidaknya, diskusi dengan si Mbah Tedjo bisa dirangkum dalam tiga poin. Tuhan, cinta, dan bangsa.
Tuhan
Semalam, topik tentang Tuhan menjadi perbincangan yang hangat. Mbah Tedjo percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah direncanakan oleh Tuhan. Kita hanya menjalankan skenario. Kita hanya berperan sesuai dengan skenario yang sudah ditulis tersebut. Dan yang menggerakkan segala pilihan kita adalah Tuhan.
Tokoh panakawan yang disebut-sebut oleh Mbah Tedjo adalah Semar. Semar adalah panakawan yang manunggal dengan Tuhan. Segala gerak geriknya adalah bentuk ibadahnya kepada Tuhan, termasuk ngupil dan melirik perempuan. Iya juga sih ya, bukankah kenikmatan Tuhan itu begitu luar biasa dalam segala hal. Dalam konteks melirik, bukankah kita bisa bersyukur telah diberikan mata sehingga bisa ngeliat makhluk Tuhan yang kinclong nan mempesona.
Bahwa segala sesuatu itu ada maksudnya yang kadang kita terlalu bebal untuk bisa mengerti. Semisal, demo kenaikan BBM beberapa waktu yang lalu. Coba liat berapa pedagang asongan yang bisa makan karenanya. Segala sesuatu harus terjadi untuk segala sesuatu yang lain. Ini sebenarnya ada hubungannya dengan Sastra Jendra, tapi sayangnya saya tidak bisa menjelaskan lebih tentang itu.
Oya, menurut si Mbah, harusnya Tuhan itu tidak maha Esa, tapi maha kosong. Karena kekosongan bisa menampung semuanya. Di sini kosong, dan bukan nol. Karena nol itu angka yang punya nilai, tapi kosong bukan angka. Nol ada dalam kosong. *sambil nginget2 pelajaran matematika waktu smp
Cinta
Tapi ini adalah topik yang paling menarik menurut saya. Ya, segala hal yang menyangkut cinta-cintaan itu selalu menarik. Hehe. Kebanyakan dari kita sering bilang kalau “cinta itu butuh pengorbanan”. Bener? Nah, menurut Mbah Tedjo, kalau kita udah ngerasa berkorban, itu udah bukan cinta lagi. Kadar kecintaan kita udah berkurang dan perlu dipertanyakan. Gini nih maksudnya, kalau kita melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai, jangan merasa berkorban, tapi asyik-asyik aja. Mau hujan-hujanan, mau nunggu sampe karatan juga kalau alasannya cinta gak usah merasa berkorban. Enjoy aja ngejalaninnya. Biarin orang lain menilai berkorban, tapi kita nggak usah merasa berkorban.
Hal lain tentang cinta adalah kisah Rama dan Sinta. Kata si Mbah, sebenarnya Sinta tuh nggak cinta sama Rama. Dan sebenernya Sinta yang pingin diculik sama Rahwana. Alkisah, Sinta bosan sama Rama yang nggak ada cacat-cacatnya, yang lurus-lurus aja, ganteng dan nggak pernah selingkuh. Ibarat di sinetron peran itu dimainkan oleh Dude Herlino, yang kata temen saya, dialah cowok paling absurd sedunia.
Si mbah bilang, pada dasarnya, perempuan tuh gak suka lelaki yang lulus-lurus aja. Gak ada sensasinya katanya.(Halah2, sok tau wae si Mbah ki sebenere). Nah, jatuh cintalah Sinta dengan Rahwana yang slengekan itu. Tapi kalau mau dirunut, menurut salah satu versi, nggak salah juga kenapa Rahwana menculik Sinta. Sebeneranya Rahwana pernah bertapa selama 50000 tahun untuk memenggal kepalanya yang sepuluh. Ketika kepalanya tinggal satu, dewa turun dan menggagalkan rencana bunuh diri Rahwana. Karena dengan kematiannya, dunia ini nggak bakalan jalan. Harus ada yang berperan menjadi jahat untuk mengimbangi yang baik. Karena kesediaannya, Rahwana dijanjikan dua hal, yaitu kesaktian tiada tara dan perempuan paling cantik sedunia alias Dewi Widowati. Dewi Widowati inilah yang menitis ke Sinta.
Nah, bukankah Rahwana hanya menjemput cintanya? Asemlah kenapa tiba-tiba muncul kata menjemput cinta gini.
Bangsa
Yang perlu diluruskan adalah Indonesia bukan 350 tahun dijajah. Si Mbah Tedjo menawarkan diksi ‘350 tahun melawan’. Menurut saya ini benar, bukankah yang dijajah hanya para raja yang bersedia bekerja sama dengan pemerintah kolonial guna melanggengkan kekuasaanya? Bukankah rakyat tetap melawan? Diksi “dijajah” inilah yang seringkali menimbulkan sikap inferior. Buku-buku sejarah di sekolah sudah selayaknya dirombak. Oh ya, dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah karangan G.J Resink disebutkan bahwa sebenarnya Indonesia hanya(?) 40 tahun dijajah, waktu 310 tahun digunakan oleh Belanda untuk mencari strategi menaklukan bangsa Indonesia. Ajib kan..
Pernyataan Mbah Tedjo yang menurut saya menarik adalah, manusia Indonesia yang selalu tersenyum dalam keadaan apapun ini mustahil bisa dijajah. Mungkin yang dijajah adalah fisiknya, tapi hatinya nggak mungkin bisa ditembus. *manggut2*
Bahwa dunia digerakkan oleh perempuan, si Mbah Tedjo menyetujui itu. Segala macam perang, industri, dan politik terjadi akibat persaingan antarperempuan. Hahaha.
Sebenernya masih banyak hal yang diungkapkan Mbah Tedjo dalam perbincangan kurang lebih dua jam itu. Ada soal hukum, etika, politik, tentang panakawan, blablabla. Tapi berhubung memori saya tidak terlalu bagus untuk menampung semuanya, dan saya yag udah nggak tahan ngeliat tumpukan baju yang berantakan, jadinya saya sudahi saja ya tulisan kali ini. Enjoy!
Eh, tapi saya belum menjelaskan kenapa itu judul bukunya Ngawur karena Benar, ya? Dan mengapa bukan Benar karena Ngawur? Oke, dikit aja tapi ya. Biar Anda membaca bukunya langsung.
Ngawurisme sebenarnya adalah istilah yang digunakan si Mbah Tedjo untuk membobol kesopanan yang dibuat-buat, munafik. Ngawur ini cenderung pada urakan, tapi bukan kurang ajar. Urakan mengacu pada pelanggaran aturan, juga pikiran, karena tidak sesuai dengan hati nurani. Kurang ajar mengacu pada pelanggaran oleh dorongan nafsu sesaat. Hati nurani ini beda dengan perasaan. Perasaan sering membohongi, tapi hati nurani adalah ketika kita bisa merasakan ketulusan atau tidak.
Ah..wes yaa..setrikaku wes panass...
Friday, May 25, 2012
kepada Bapak dan Ibu terkasih
Sebenernya, saya pengen nulis proses panjang selama mengerjakan si skripsi, atau memposting kata pengantar yang sempet-sempetnya di coret-coret si dosen. Tapi entah mengapa saya justru nulis ini.
Saya nggak tau ini tulisan efek nonton film korea atau apa, yang ceritanya tentang hubungan orang tua-anak melulu. Atau efek hipnotis si mas-mas bergitar di LIP tadi yang sungguh sangar tapi ibarat sambel dia kurang pedes. Haha.
Alkisah, Bapak saya, lelaki berambut gondrong itu, beberapa hari yang lalu menelpon.
“Ann, lagi lapo? Wes maem? (Ann, lagi ngapain? Udah makan?)” Suara di seberang sana. “Ann” adalah panggilan kesayangan beliau kepada saya.
“Wes, Bapak. Saiki lagi moco-moco wae sih nang ngarep leptop. (udah, Bapak. Sekarang lagi mbaca-mbaca aja sih di depan leptop)” Terkutuklah saya karena tidak pernah boso pada orang tua sendiri.
“Penggawean kok mocooo ae (kerjaan kok mbacaa mulu),” ucapnya sambil terkekeh. Dan saya hanya menjawab dengan “hehehe”.
Kemudian obrolan berlanjut pada hal inti. Yang untuk inilah Bapak saya menelpon. Dan obrolan dengan orang tua seputar mau ngapain setelah lulus kuliah itu sungguh uh uh uh!
Iya, saya ditanya panjang lebar seputar setelah lulus mau ngapain. Kerja atau sekolah? Kalau kerja mau kerja apa? Kalau sekolah lagi udah siap belum? Mau sekolah di mana? Untungnya opsi ‘menikah’ tidak turut serta. Haha.
Dan sungguh sangat berat menjawab pertanyaan ini.
“Pengene kerjo ndisek sih, tapi gak ngerti, ijek bingung, (pengennya kerja dulu sih, tapi belum tahu, masih bingung)” jawab saya asal. Dan betapa obrolan ini sungguh kaku.
“Cah cilik iso kerjo opo? (anak kecil bisa kerja apa?)” Suara Bapak saya terkekeh lagi. Ah, sial! Saya masih selalu dianggap sebagai gadis kecilnya yang suka ngemut choki-choki. Padahal sampe sekarang juga masih iya sih. Hehe.
“Nek ijek pengen sekolah, yo sekolah wae. Mumpung durung akeh tanggungan (kalau masih pengen sekolah, ya sekolah aja. Mumpung belum banyak tanggungan).”
Dan saya hanya bisa menjawab “hemmhemmhemm” sambil senyum-senyum najong.
Memutuskan untuk sekolah lagi itu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang saya pertimbangkan. Saya masih pengen maen-maen. Pengen ngelakuin ini itu. Pengen kesana-kemari. Tapi suatu saat saya juga pengen sekolah lagi. Ah!
Sedikit banyak saya tahu, alasan apa yang membuat Bapak saya secara tersirat menyuruh saya untuk sekolah lagi. Tidak lain tidak bukan adalah senang melihat anaknya bisa sekolah. Lantaran Bapak dan Ibu saya tidak pernah mengenyam bangku sekolah seperti saya. Beliau berdua hanya lulusan SMP. Soal apalagi kalau bukan soal ekonomi.
Beliau berdua tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Umberto Eco, apalagi Foucault. Tapi beliau senang setiap kali melihat anaknya membaca buku, bercerita tentang tokoh ini itu. Dulu sekali, kalau listrik lagi padam dan saya sedang belajar, Bapak selalu mengusahakan penerangan, agar saya nyaman belajarnya.
Saya bersyukur punya beliau berdua yang tidak pernah mempersoalkan nilai akademik. Sejak kecil saya tidak pernah disuruh belajar, malah sering dilarang-larang. Gak pernah dimarahin gara-gara nilai. Tapi beliau juga seneng kalau saya telpon dan ngabarin IP cumlaude, meskipun beliau gak ngerti cumlaude itu apa.
Nah, mendengar mereka menginginkan saya sekolah lagi itu terasa sangat menyenangkan. Beliau berdua menyekolahkan saya juga dengan kerja keras tentunya. Beliau tidak pernah protes saya milih jurusan apa dan di mana. “Terserah, sing penting tanggung jawab, (terserah, yang penting tanggung jawab)” kata beliau. Saya masih ingat pesan ketika saya mau berangkat ke Jogja waktu itu. “kuliah itu diniatin nyari ilmu. Gak usah pengen jadi ini atau itu.” Dan ini sungguh so sweet menurut saya.
Apa yang bisa dibanggakan dadari anak konyol seperti saya. Saya tidak pernahercita-cita menjadi orang besar. Menjadi tokoh atau apalah yang selalu disorot. Dari dulu saya lebih senang menjadi orang di balik layar. Padahal, orang tua saya mungkin senang jika kelak saya memiliki profesi yang prestisius. Yang selalu berada di depan. Sayangnya saya tidak bisa dan tidak suka, maafkan.
Ah, entahlah..
Itulah mengapa saya mengurungkan niat untuk tidak berwisuda. Terasa sangat egois dan jahat ketika saya merenggut kebanggaan beliau yang ingin melihat saya bertoga. Sesuatu yang tidak pernah beliau alami.
Intermezo sebentar, ada satu momen yang sangat saya ingat bersama Bapak. Waktyu itu saya masih TK. Malam hari, purnama, Bapak memboncengkan saya di sepeda. Kami melewati sebuah kuburan. Dan kala itu saya bertanya, “Bapak, kenopo toh mbulane kok melu terus? (Bapak, kenapa sih bulannya kok ngikutin terus?) Dan dengan suara menahan tawa, Bapak saya cuma bilang, “engko nek sampean wes gedhe yo ngerti dewe (nanti kalau kamu sudah besar juga tahu sendiri).” Entah kenapa itu adalah momen yang sungguh tak terlupakan bagi saya. Mungkin itu sebabnya setiap melihat bulan selalu ada romantisme tersendiri. Mungkin itu pula sebabnya saya pernah bercita-cita pergi ke bulan. Hahaha
Mungkin beliau berdua tidak membaca ini. Jelas tidak karena tidak bisa menggunakan internet. Tapi melalui catatan sederhana ini saya hanya ingin berucap terima kasih. Bapak, Ibu, di manapun kalian berada sekarang, terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan kepada saya. Saya belum bisa dan mungkin tidak bisa membalas segala kebaikan dan cinta kasih kalian. Doakan selalu anakmu yang masih terlalu manja diusianya yang sudah 22 tahun ini, yang dengan surat keterangan lulus entah akan berbuat apa.
Kita memang tidak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa dan hidup di keluarga mana, tapi saya bersyukur terlahir dari rahim ibu saya dan menjadi bagian dari mereka ^____^
*ditulis dengan mengulang-ulang lagu “hanya satu”nya Mocca di playlist
Saya nggak tau ini tulisan efek nonton film korea atau apa, yang ceritanya tentang hubungan orang tua-anak melulu. Atau efek hipnotis si mas-mas bergitar di LIP tadi yang sungguh sangar tapi ibarat sambel dia kurang pedes. Haha.
Alkisah, Bapak saya, lelaki berambut gondrong itu, beberapa hari yang lalu menelpon.
“Ann, lagi lapo? Wes maem? (Ann, lagi ngapain? Udah makan?)” Suara di seberang sana. “Ann” adalah panggilan kesayangan beliau kepada saya.
“Wes, Bapak. Saiki lagi moco-moco wae sih nang ngarep leptop. (udah, Bapak. Sekarang lagi mbaca-mbaca aja sih di depan leptop)” Terkutuklah saya karena tidak pernah boso pada orang tua sendiri.
“Penggawean kok mocooo ae (kerjaan kok mbacaa mulu),” ucapnya sambil terkekeh. Dan saya hanya menjawab dengan “hehehe”.
Kemudian obrolan berlanjut pada hal inti. Yang untuk inilah Bapak saya menelpon. Dan obrolan dengan orang tua seputar mau ngapain setelah lulus kuliah itu sungguh uh uh uh!
Iya, saya ditanya panjang lebar seputar setelah lulus mau ngapain. Kerja atau sekolah? Kalau kerja mau kerja apa? Kalau sekolah lagi udah siap belum? Mau sekolah di mana? Untungnya opsi ‘menikah’ tidak turut serta. Haha.
Dan sungguh sangat berat menjawab pertanyaan ini.
“Pengene kerjo ndisek sih, tapi gak ngerti, ijek bingung, (pengennya kerja dulu sih, tapi belum tahu, masih bingung)” jawab saya asal. Dan betapa obrolan ini sungguh kaku.
“Cah cilik iso kerjo opo? (anak kecil bisa kerja apa?)” Suara Bapak saya terkekeh lagi. Ah, sial! Saya masih selalu dianggap sebagai gadis kecilnya yang suka ngemut choki-choki. Padahal sampe sekarang juga masih iya sih. Hehe.
“Nek ijek pengen sekolah, yo sekolah wae. Mumpung durung akeh tanggungan (kalau masih pengen sekolah, ya sekolah aja. Mumpung belum banyak tanggungan).”
Dan saya hanya bisa menjawab “hemmhemmhemm” sambil senyum-senyum najong.
Memutuskan untuk sekolah lagi itu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang saya pertimbangkan. Saya masih pengen maen-maen. Pengen ngelakuin ini itu. Pengen kesana-kemari. Tapi suatu saat saya juga pengen sekolah lagi. Ah!
Sedikit banyak saya tahu, alasan apa yang membuat Bapak saya secara tersirat menyuruh saya untuk sekolah lagi. Tidak lain tidak bukan adalah senang melihat anaknya bisa sekolah. Lantaran Bapak dan Ibu saya tidak pernah mengenyam bangku sekolah seperti saya. Beliau berdua hanya lulusan SMP. Soal apalagi kalau bukan soal ekonomi.
Beliau berdua tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Umberto Eco, apalagi Foucault. Tapi beliau senang setiap kali melihat anaknya membaca buku, bercerita tentang tokoh ini itu. Dulu sekali, kalau listrik lagi padam dan saya sedang belajar, Bapak selalu mengusahakan penerangan, agar saya nyaman belajarnya.
Saya bersyukur punya beliau berdua yang tidak pernah mempersoalkan nilai akademik. Sejak kecil saya tidak pernah disuruh belajar, malah sering dilarang-larang. Gak pernah dimarahin gara-gara nilai. Tapi beliau juga seneng kalau saya telpon dan ngabarin IP cumlaude, meskipun beliau gak ngerti cumlaude itu apa.
Nah, mendengar mereka menginginkan saya sekolah lagi itu terasa sangat menyenangkan. Beliau berdua menyekolahkan saya juga dengan kerja keras tentunya. Beliau tidak pernah protes saya milih jurusan apa dan di mana. “Terserah, sing penting tanggung jawab, (terserah, yang penting tanggung jawab)” kata beliau. Saya masih ingat pesan ketika saya mau berangkat ke Jogja waktu itu. “kuliah itu diniatin nyari ilmu. Gak usah pengen jadi ini atau itu.” Dan ini sungguh so sweet menurut saya.
Apa yang bisa dibanggakan dadari anak konyol seperti saya. Saya tidak pernahercita-cita menjadi orang besar. Menjadi tokoh atau apalah yang selalu disorot. Dari dulu saya lebih senang menjadi orang di balik layar. Padahal, orang tua saya mungkin senang jika kelak saya memiliki profesi yang prestisius. Yang selalu berada di depan. Sayangnya saya tidak bisa dan tidak suka, maafkan.
Ah, entahlah..
Itulah mengapa saya mengurungkan niat untuk tidak berwisuda. Terasa sangat egois dan jahat ketika saya merenggut kebanggaan beliau yang ingin melihat saya bertoga. Sesuatu yang tidak pernah beliau alami.
Intermezo sebentar, ada satu momen yang sangat saya ingat bersama Bapak. Waktyu itu saya masih TK. Malam hari, purnama, Bapak memboncengkan saya di sepeda. Kami melewati sebuah kuburan. Dan kala itu saya bertanya, “Bapak, kenopo toh mbulane kok melu terus? (Bapak, kenapa sih bulannya kok ngikutin terus?) Dan dengan suara menahan tawa, Bapak saya cuma bilang, “engko nek sampean wes gedhe yo ngerti dewe (nanti kalau kamu sudah besar juga tahu sendiri).” Entah kenapa itu adalah momen yang sungguh tak terlupakan bagi saya. Mungkin itu sebabnya setiap melihat bulan selalu ada romantisme tersendiri. Mungkin itu pula sebabnya saya pernah bercita-cita pergi ke bulan. Hahaha
Mungkin beliau berdua tidak membaca ini. Jelas tidak karena tidak bisa menggunakan internet. Tapi melalui catatan sederhana ini saya hanya ingin berucap terima kasih. Bapak, Ibu, di manapun kalian berada sekarang, terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan kepada saya. Saya belum bisa dan mungkin tidak bisa membalas segala kebaikan dan cinta kasih kalian. Doakan selalu anakmu yang masih terlalu manja diusianya yang sudah 22 tahun ini, yang dengan surat keterangan lulus entah akan berbuat apa.
Kita memang tidak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa dan hidup di keluarga mana, tapi saya bersyukur terlahir dari rahim ibu saya dan menjadi bagian dari mereka ^____^
*ditulis dengan mengulang-ulang lagu “hanya satu”nya Mocca di playlist
Wednesday, May 9, 2012
jadi, Nis, kamu yang melupakan waktu, atau waktu yang justru melupakanmu?
demi waktu,
dari subuh hingga maghrib,
dari maghrib hingga subuh lagi,
dan detik-detik yang semakin menderas
aku lupa berucap syukur
aku malu
ampuni aku
kini terimalah aku,
di sajadahMu
"lalu waktu bukan giliranku," kata Amir Hamzah
dari subuh hingga maghrib,
dari maghrib hingga subuh lagi,
dan detik-detik yang semakin menderas
aku lupa berucap syukur
aku malu
ampuni aku
kini terimalah aku,
di sajadahMu
"lalu waktu bukan giliranku," kata Amir Hamzah
Sunday, May 6, 2012
Saturday, May 5, 2012
perbincangan diri #2
#ah, hubungan antar manusia, mengapa bisa begitu kompleks?
bagaimanapun, kita tidak akan pernah bisa benar-benar paham tentang seorang manusia. beratus-ratus buku ditulis, seminar dan diskusi diselenggarakan, tapi tidak ada keputusan final tentang masalah satu itu. nah, justru disitulah menariknya. kalau manusia bisa dikonsepkan, bisa dirumuskan, apa bedanya dengan konstruksi sebuah bangunan?
hati, nona, yang membedakannya. dan hati manusia, siapa yang tahu kedalamannya?
setiap orang, siapa pun itu, yang meninggalkan jejaknya di hidupmu, jangan pernah dilupakan. jangan lantas menganggap keberadaan mereka tidak pernah berarti. bahwa semuanya terjadi tidak begitu saja terjadi. ada maksudnya. ada jalinan cerita selanjutnya. lihatlah lebih dalam lagi. aku pikir benar, bahwa kehadiran seseorang tidak akan pernah bisa digantikan seseorang yang lain. manusia diciptakan sebegitu spesifiknya.
kejadian-kejadian, dan segala macam hubungan yang pernah kamu alami, seraplah, terimalah dengan lapang. serupa mozaik, potongan-potongan partikel itu akan melengkapi hidupmu. kalau salah satu kamu buang, bukankah menjadi tidak seimbang?
teruslah bertumbuh dan berproses, nona. butuh waktu, memang.
*semoga semua makhluk berbahagia. selamat waisak, teman-teman :)
bagaimanapun, kita tidak akan pernah bisa benar-benar paham tentang seorang manusia. beratus-ratus buku ditulis, seminar dan diskusi diselenggarakan, tapi tidak ada keputusan final tentang masalah satu itu. nah, justru disitulah menariknya. kalau manusia bisa dikonsepkan, bisa dirumuskan, apa bedanya dengan konstruksi sebuah bangunan?
hati, nona, yang membedakannya. dan hati manusia, siapa yang tahu kedalamannya?
setiap orang, siapa pun itu, yang meninggalkan jejaknya di hidupmu, jangan pernah dilupakan. jangan lantas menganggap keberadaan mereka tidak pernah berarti. bahwa semuanya terjadi tidak begitu saja terjadi. ada maksudnya. ada jalinan cerita selanjutnya. lihatlah lebih dalam lagi. aku pikir benar, bahwa kehadiran seseorang tidak akan pernah bisa digantikan seseorang yang lain. manusia diciptakan sebegitu spesifiknya.
kejadian-kejadian, dan segala macam hubungan yang pernah kamu alami, seraplah, terimalah dengan lapang. serupa mozaik, potongan-potongan partikel itu akan melengkapi hidupmu. kalau salah satu kamu buang, bukankah menjadi tidak seimbang?
teruslah bertumbuh dan berproses, nona. butuh waktu, memang.
*semoga semua makhluk berbahagia. selamat waisak, teman-teman :)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...