Monday, October 31, 2016

Oleh-oleh dari Graha Pena Jawa Pos: Diskusi Orang-Orang Bloomington bersama Budi Darma

Sebenarnya, diskusi buku Orang-Orang Bloomington dengan Pak Budi Darma ini sudah agak lama. Bulan Agustus lalu. Diskusi ini dilaksanakan di Ruang Semanggi gedung Graha Pena Jawa Pos pada Sabtu siang yang baik. Ruang diskusi, dengan deretan kursi merahnya, tertata dengan rapi dan terasa kesejukan yang bersumber dari AC. Saya mengambil posisi duduk di deretan paling depan sebelah kiri dengan tujuan khusus: supaya bisa melihat Pak Budi Darma lebih dekat. Maklum, itu pertama kalinya saya bertemu beliau. Dan, Ya Tuhan, ternyata beliau adalah orang yang sangat tenang dan teduh, seperti para petapa.

Saya menyusun catatan ini dari catatan sebelumnya yang saya tulis di buku. Saya memang berencana mengetiknya dan mempostingnya di blog ini. Tapi seperti yang kalian tahu, saya adalah pemalas kelas wahid. Jadilah catatan itu ngendon terlalu lama. Namun, karena diskusinya sangat berkesan buat saya, hari ini saya memaksa diri gak tidur lagi setelah subuhan lalu mengetik ini untuk dibagi ke kalian. Adakah di antara kalian yang sudah membaca Orang-Orang Bloomington atau mengidolakan Pak Budi Darma?

***

Orang-Orang Bloomington pertama kali terbit pada tahun 1980. Cerita-cerita di dalamnya ditulis pada akhir tahun 70-an ketika Pak Budi Darma menyelesaikan studi Amerika Serikat. Sebelum membahas kumpulan cerpennya, terlebih dahulu Pak Budi Darma bercerita tentang latar historis di Inggris pada abad ke-17. Cerita tersebut berkaitan erat dengan orang-orang Bloomington.

Pada abad ke-17, di Inggris, terdapat gerakan besar puritanisme. Orang-orang Kristen puritan merasa diri mereka adalah orang-orang Kristen tulen yang bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, orang lain selain Kristen puritan, adalah kafir. Mereka melakukan tindakan ekstrem terhadap orang-orang Kristen di luar pahamnya. Akibatnya, terjadi bals dendam yang berujung pada perang saudara. Orang-orang Kristen puritan diperangi oleh kristen lainnya sehingga mereka terdesak keluar dari Inggris.

Terdapat tiga kapal yang melakukan pelayaran. Salah satu di antara ketiga kapal itu ada yang sampai di tanah baru, yang diberi nama New England yang kini berkembang menjadi Massachusets. Di tanah baru ini, mereka memerangi suku Indian hingga muncul rencana membunuh suku Indian tersebut dengan jalan menyebarkan penyakit cacar.

Kemudian datang gelombang pendatang berikutnya yang mencintai perdamaian. Mereka mencari kota yang lain hingga menemukan sebuah tanah dengan bunga-bunga yang bermekaran (blooming flowers), yang kemudian disebut dengan Blooming Town. Negara bagiannya disebut Indiana karena mereka bisa berdamai dengan suku Indian. Mereka tidak suka menyakiti dan tidak suka diganggu.

Latar belakang historis itu menjadi bibit sikap orang-orang Bloomington yang sangat menjaga privasi. Sampai tahun 70-an, orang-orang bloomington asli masih ada. Mereka takmau mengganggu dan takmau diganggu. Semua orang menjaga privasi dengan ketat. Akibatnya, timbul alienasi. Mereka hidup bersama tapi taksaling mengenal karena terlalu mengagungkan privasi. Kehidupan orang-orang Bloomington itu memang berjalan sangat tenang tanpa ada yang mengusik.

Untuk menggambarkan betapa tenangnya kota itu, Pak Budi Darma memberikan contoh seorang lelaki tua yang mengendarai mobilnya hanya untuk membeli satu barang di nimimarket. Kemudian lelaki tua itu pulang. Ia lalu pergi lagi untuk membeli satu barang yang lain di tempat yang sama. Tak ada kemacetan. (Di Surabaya sini boroboro bisa hidup kayak gitu? Gak jadi daging gosong di jalan aja udah alhamdulillah). Namun, ketenangan yang terlalu justru sering menimbulkan persoalan. Jika dulu konflik fisik, sekarang konflik batin.

Itulah Bloomington pada tahun 70-an. Tahun ketika cerita-cerita dalam Orang-Orang Bloomington ditulis. Ketujuh cerita yang ada di kumpulan cerpen itu keberadaannya sangat erat. Jika kamu sudah membaca kumpulan cerpen itu, kamu akan paham mengapa Ny. MacMillan, Ny. Nolan, dan Ny. Casper bersikap tak acuh pada orang-orang di sekitarnya, mengapa Ny. Elberhart suka curigaan. Kamu juga akan memaklumi mengapa ada tokoh “saya” yang sungguh kepo dan usil itu. (Oke, kamu yang belum mbaca buku ini, silakan penasaran lalu cari bukunya dan bacalah. Saya gak suka ngasih sinopsis).

Lantas, bagaimana kondisi Bloomington setelah tahun 70-an? Sesudah tahun 70-an, di Bloomington terdapat perusahaan penebangan. Dalam setiap tahun selalu ada perubahan di kota itu. Konflik keluarga menjadikan penambahan jumlah rumah sehingga dalam waktu singkat, kota Bloomington sudah cukup padat.

Selain Pak Budi Darma, ada pembicara lain, seorang dosen dari Unesa: Pak Shoim Anwar. Menurutnya, tidak terdapat jarak kebahasaan dalam cerpen-cerpen Budi Darma. Saya sepakat. Meskipun cerpen-cerpen itu ditulis 36 tahun silam, masih tetap renyah dibaca hari ini. Tak terperangkap dalam satu ruang dan waktu. Berbeda misalnya ketika kita membaca karya-karya Marah Rusli atau Armijn Pane.

Analisis yang dilakukan Pak Shoim ala akademisi banget. Menurutnya, tokoh saya adalah tokoh yang selalu mengalami kegagalan. Kegagalan itu dihitung satu per satu. Dan ternyata, tiap cerita, kegagalan tokoh mencapai puluhan. (Pak Budi Darma ternyata penulis kejam, ya). Konflik terjadi akibat perbenturan antara dunia soliter dan dunia solider. Orang yang super kepo berjumpa dengan orang yang gak pengen dikepoin.

***

Oke, itulah hasil diskusi Orang-orang Bloomington. Saya sudah capek ngetik. Haha.

Saturday, October 29, 2016

surat yang tak terkirim #2

Sore tadi, seusai pelajaran, seorang siswa mendatangiku. Dia menyodorkan ponsel pintarnya lalu menunjukkan sebuah sajak milik W.S Rendra, berjudul "Khotbah".

Dia sedikit bingung mengapa ada ca ca ca dan ra ra ra dalam beberapa bait. Kami lalu mendiskusikan sajak itu sembari kuceritakan pertemuanku dengan sang penyair saat dirinya dulu menerima Doctor Honoris Causa di kampus. Siswa itu tampak kecewa mengapa sang penyair keburu meninggal.

Ngomong-ngomong soal Rendra, aku jadi teringat diriku sendiri di masa lalu. Ada suatu masa ketika dinding kamarku penuh foto Rendra. Lalu tibalah masa ketika beberapa foto Rendra itu terpaksa diturunkan karena diganti foto Nicholas Saputra.

Akupun jadi ingat kau. Sependek ingatanku, kau sangat mengidolakan sastrawan besar itu. Ya sajak-sajaknya, ya drama-dramanya.

Hei, kau. Mengapa pesan yang kukirim hanya centang satu?

Aku meyakinkan diriku bahwa kau tak mungkin memblokir nomorku. Semoga kau hanya tak sempat menyentuh ponselmu. Semoga kau sedang sangat sibuk. Sibuk berbahagia.

Friday, October 14, 2016

Pispotnya Hamsad Rangkuti

Banyak cerpen yang membekas di ingatan saya. Bahkan memengaruhi hidup saya. Tapi, dari yang banyak itu, saya tidak akan bertele-tele dengan menyebutnya satu persatu. Saya akan langsung pada sasaran tulisan ini, yaitu cerpen “Pispot” karya Hamsad Rangkuti.

Saya berkenalan dengan cerpen ini tahun 2012. Tergolong amat sangat lambat mengingat cerpen ini ditulis tiga puluh tahun sebelumnya. Waktu itu kami sedang belajar tentang realisme magis. Nah, sebelum mempelajari lebih jauh tentang realisme magis, terlebih dahulu kami harus tahu apa itu realisme. Untuk itu, pengajar saya menyodorkan cerpen “Pispot” itu untuk dianalisis.

Kami diminta menganalisis apakah cerpen ini beraliran realis atau bukan. Berdasarkan karakteristik umum realisme, saya menyimpulkan bahwa cerpen ini termasuk cerpen realis. Bagi kamu yang belum membaca cerpen ini, maafkan saya karena saya tidak akan memberikan sinopsisnya. Silakan membacanya di kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti yang berjudul Maukah Kau Menghapus Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu. Diterbitkan oleh DivaPress. (Btw, kenapa harga buku terbitan DivaPress mahal-mahal sih?).

Cerpen ini, entah mengapa, menimbulkan efek “nyeri” pada diri saya. Seperti ada yang tiba-tiba sakit di ulu hati saya. Berkali-kali saya membaca cerpen ini, efek itu masih tetap terasa.

Si tokoh digambarkan sebagai orang yang benar-benar tidak punya kuasa, tidak berdaya. Pertama, dia tidak berdaya menghadapi massa yang mengeroyoknya (di pasar). Kedua, dia tidak berkuasa terhadap kekuasaan polisi yang menginterogasinya, yang memaksanya meminum obat pencahar dan mengeluarkan kotoran sampai tubuhnya lemas. Ketiga, dia tidak kuasa menghadapi dokter “yang meminta banyak”. Keempat, ia tak berdaya terhadap dirinya sendiri sehingga akhirnya memutuskan menjadi penjambret.

Saya tahu “Pispot” bukan satu-satunya cerpen yang mengangkat persoalan ketidakberdayaan kaum marginal. Tapi dengan caranya yang sederhana, Hamsad mampu memberikan efek “nyeri” itu. Mungkin efek yang seperti itu tidak dialami oleh pembaca yang lain. Mungkin saya-nya saja yang terlalu masuk ke dalam cerita itu. Atau entah karena apa. Saya tidak tahu. Saya juga merasakan efek yang sama, bahkan lebih parah, pada cerpen “Parmin” karya Jujur Prananto. Selain membaca “Pispot”, saya sarankan kamu juga membaca “Parmin”. Suatu saat saya akan membahas cerpen itu secara khusus.

***
Sama seperti yang dilakukan oleh pengajar saya waktu itu, saya menyodorkan cerpen “Pispot” pada murid-murid saya untuk materi prosa fiksi. Selain untuk keperluan praktis menjelaskan konflik, penokohan, dan lain-lainnya, sebenarnya saya punya tujuan lain mengapa membagi cerpen itu untuk mereka. Yaitu, membagi kisah itu sendiri.

Saya tidak tahu apakah efek yang saya rasakan juga mereka rasakan. Tujuan saya menyodorkan cerpen itu tentu bukan agar mereka merasakan efek “nyeri” yang sama. Mungkin mereka akan segera melupakan cerpen itu. Toh di antara mereka ada juga yang membacanya dengan ogah-ogahan. Tapi yang jelas, sedikit atau banyak, saya yakin kisah itu akan menempel di dinding ingatan mereka.

Mungkin nanti di antara mereka ada yang menjadi dokter, dan tiba-tiba mereka mengingat kisah itu, mereka jadi lebih berbelas kasih pada orang sakit yang datang kepadanya. Mungkin di antara mereka ada yang akan menjadi polisi, mereka akan menjadi lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka kriminal. Tapi semoga di antara mereka, dengan segala kondisinya, tidak ada yang menjadi penjambret.

Siswa-siswa yang saya ajar adalah dari—katakanlah—kelas sosial atas, sementara tokoh yang ada dalam cerpen itu dari golongan kelas sosial bawah. Setidaknya mereka jadi tahu bahwa ada berbagai alasan mengapa orang melakukan tindak kriminal. Dalam hal moralitas, cerpen “Pispot” (dan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti yang lain) tidak menghakimi tokoh-tokohnya, tidak memandang hitam putih kebaikan dan kejahatan, tidak memberi cap siapa yang pahlawan dan siapa yang pecundang.

Oke, selamat membaca cerpen “Pispot”, ya. Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakan pengalaman membacamu pada saya.

minggu sore di dbl dan kenangan yang singgah sebentar

Minggu sore. Setelah hujan deras, langit masih menyisakan awan mendung. Jalanan basah dan banyak genangan air. Lalu lalang kendaraan menciptakan cipratan-cipratan. Saya bersama seorang teman berangkat menuju DBL. sore itu, Kami akan menyaksikan pertandingan basket antarSMP.

Gedung DBL yang gagah itu tampak dipenuhi para abg. Betapa cuaca yang membikin orang ingin berselimut itu seolah tak berpengaruh pada hasrat mereka untuk menyaksikan pertandingan. Ramai. Mereka mengenakan kaos yang menjadi lambang identitas masing-masing sekolah. Biru toska. Merah marun. Beberapa remaja putri mengenakan pakaian super minim warna warni, berdandan super manis. Betapa kontras dengan warna langit sore itu.
Ruangan itu riuh oleh yel-yel. Tak berapa lama kemudian kedua tim memasuki arena dan pertandingan pun dimulai.

Yang kemudian terjadi adalah ingatan saya yang terbang menuju belasan tahun lalu. Saat itu saya kelas 2 SMP, menempati ruang kelas 2A bersama teman-teman paling keren di seluruh dunia. Kelas 2A termasuk kelas yang beruntung. Ruang kelas kami terpisah dari ruang kelas yang lain karena kami menempati gedung baru. Selain bangunannya yang bagus, gedung itu memiliki lapangan yang sangat luas, salah satunya adalah lapangan basket. Nah, dalam hal perbasketan, kelas 2A adalah tim andalan.

Minggu sore itu, ketika saya menyaksikan anak-anak SMP mendrible bola, saya seperti menyaksikan Wahid, Fani, Majid, Aang, Nashir sedang asyik berebut bola basket saat pelajaran olahraga atau jam istirahat. Kenangan itu tiba-tiba muncul di depan saya seperti potongan-potongan adegan film. Begitu dekat, begitu nyata. Saya seperti bisa melihat bagaimana mereka berlari, menangkap dan mendrible bola, kemudian memasukkan ke dalam ring. Di barisan penonton, saya bahkan bisa melihat dengan jelas ekspresi mereka. Juga keringat yang menetes-netes di wajah mereka.

Saya senyum-senyum sendiri mengingat kenangan indah yang berseliweran itu.

Saya tidak berusaha menggali kenangan itu lebih dalam. Saya biarkan saja apa adanya. Tapi mungkin waktu itu suasananya memang sangat mendukung kenangan-kenangan itu memenuhi kepala saya lagi. Dan tak ada yang kuasa menolak kenangan yang menyeruak tiba-tiba.

Yang kemudian saya lihat adalah anak-anak di usia belasan awal yang sumringah karena bel istirahat berbunyi. Mereka langsung menuju lapangan basket depan kelas. Saya melihat mereka sudah berkumpul di lapangan dan tak menghiraukan teriknya matahari. Siang itu, saya rasa mereka tak peduli dengan aturan permaian basket yang sesungguhnya. Yang penting bagi mereka adalah mendrible dan memasukkan bola ke dalam ring. Apa yang mereka lakukan di lapangan itu tidak bisa tidak menarik perhatian anak-anak perempuan untuk menonton, sambil minum teh botol. Tapi sayangnya jam istirahat itu terasa begitu pendek untuk permainan mereka yang seru.

Peluit wasit menarik saya lagi ke alam kini. Set pertama di menangkan oleh SMP Muh 5. Kemudian para remaja putri yang berpakaian warna-warni tadi bersiap mempertontonkan keahlian mereka meliuk-liukkan tubuh.

Saya sulit mendeskripsikan perasaan saya atas kenangan yang tiba-tiba muncul itu. Ada semacam perasaan suwung karena saya sudah begitu berjarak dengan masa-masa SMP yang menyenangkan itu. Tapi ya, sudahlah ya. Ketika kepala saya dengan asyik tiduran di gumpalan-gumpalan awan, saya harus memastikan bahwa kaki saya tetap menapak di bumi. Saya tidak menginginkan umat manusia bisa menciptakan mesin waktu yang memungkinkan saya bisa kembali ke masa-masa itu. Tidak. Saya sudah cukup berbahagia mereka datang kembali, meski hanya di alam kenangan.

Pertandingan sore itu dimenangkan oleh SMP Muh 5. Di luar, langit mendung lagi. Lalu gerimis tipis.

Ucapan Terima Kasih

Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...