tujuh desember dua ribu tiga belas, usia saya genap dua puluh empat tahun. dan rasanya biasa saja.
saya mengawali hari ini dengan mendownload data yang harus saya edit, buku tentang kretek pada masa kolonial. kemudian menonton film Last Tango in Paris. mulai ngedit. tidur sebentar. baru kemudian mandi, sudah terdengar adzan dhuhur. beberapa sms masuk mengucapkan selamat dan memanjatkan doa-doa. perut keroncongan minta diisi: sarapan yang tak pernah tepat waktu. lalu ke toko buku. membeli tiga buku, satu komik, dua kartu pos, dan satu VCD. mampir sebentar ke perpustakaan. baru kemudian beli ice cream dan bahan makanan. dan hp berdering, ibu menelpon mengucapkan selamat ulang tahun. beliau berpesan, "dewasalah dalam berpikir dan bertindak".
saya tidak tahu apa nasib waktu. saya tidak mungkin bisa meminta masa lalu paling manis itu kembali lagi, betapapun saya sangat menginginkannya. yang sudah pergi biarlah pergi. hari-hari ke depan saya tidak ingin membuat rencana yang muluk-muluk. saya hanya tidak ingin kemrungsung dan arogan dalam menanggapi setiap persoalan. tidak ingin marah-marah. semoga hari-hari ke depan saya bisa lebih banyak membaca dan menulis. lebih rajin membuat catatan harian. lebih peduli dengan lingkungan sekitar. lebih sering berkomunikasi dengan keluarga. lebih sering meluangkan waktu untuk ngopi dan berkumpul dengan teman-teman. lebih sering bercakap-cakap dengan Tuhan. lebih sering merapikan kamar dan membersihkan kamar mandi. dan menyelesaikan tesis! haha.. semoga ini bukan "keinginan" yang berlebihan.
:')
*eh, akhir-akhir ini saya sering bertanya-tanya: mengapa orang-orang terlalu takut menjadi tua?
Saturday, December 7, 2013
Tuesday, November 19, 2013
istirah
ketika menulis ini, saya seharusnya berada di depan kelas, menemani mahasiswa yg hari ini jadwalnya presentasi. tapi saya malah berselimut dan memangku laptop. beberapa hari ini tubuh saya terasa sangat lemah. bagaimanapun tubuh akan protes dan mneuntut haknya jika berhari-hari diforsir diluar kemampuannya. tubuh saya pun demikian.
sebenarnya saya hanya kangen menulis di sini. sudah sebulan lebih rasanya saya gak berkunjung di sini. lebih tepatnya, sudah sangta lama saya tidak melakukan aktivitas "duduk tenang di depan laptop dan menulis", apalagi membaca satu buku sampai tuntas. saya benar-benar tidak punya waktu untuk melakukan itu semua.
kepada beberapa teman, saya sering berkata, "secepat mungkin aku akan berhenti dari ini semua. ini yang terakhir". dan saya rasa mereka sudah bosan dengan janji-janji saya itu. nyatanya saya masih melakukan pekerjaan itu juga. hingga akhirnya saya tercenung ketika lebih dari tiga orang yang intinya mereka mengatakan "kok tiap liat kamu, kamu gak ceria gitu sih?". saya harus jawab gimana coba? inilah saat di mana saya menyadari bahwa saya butuh dan harus istirah.
maaf ya, lama gak nulis, sekalinya nulis malah mengeluh. hehe. mungkin beberapa waktu lagi tulisan ini akan saya hapus. jadi, beruntunglah kamu yang sempat melihat postingan ini :p
sore nanti, kalau tubuh saya mulai membaik, saya berencana beli kartu pos. haha random sekaliii.
sebenarnya saya hanya kangen menulis di sini. sudah sebulan lebih rasanya saya gak berkunjung di sini. lebih tepatnya, sudah sangta lama saya tidak melakukan aktivitas "duduk tenang di depan laptop dan menulis", apalagi membaca satu buku sampai tuntas. saya benar-benar tidak punya waktu untuk melakukan itu semua.
kepada beberapa teman, saya sering berkata, "secepat mungkin aku akan berhenti dari ini semua. ini yang terakhir". dan saya rasa mereka sudah bosan dengan janji-janji saya itu. nyatanya saya masih melakukan pekerjaan itu juga. hingga akhirnya saya tercenung ketika lebih dari tiga orang yang intinya mereka mengatakan "kok tiap liat kamu, kamu gak ceria gitu sih?". saya harus jawab gimana coba? inilah saat di mana saya menyadari bahwa saya butuh dan harus istirah.
maaf ya, lama gak nulis, sekalinya nulis malah mengeluh. hehe. mungkin beberapa waktu lagi tulisan ini akan saya hapus. jadi, beruntunglah kamu yang sempat melihat postingan ini :p
sore nanti, kalau tubuh saya mulai membaik, saya berencana beli kartu pos. haha random sekaliii.
Saturday, September 7, 2013
tentang yang berkali-kali ditonton
"apa gunanya punya pikiran sendiri kalau selalu percaya sama pikiran orang?" (Ambar, 3 Hari untuk Selamanya)
Ada film-film tertentu yang kalau ditonton berkali-kali hasilnya malah lebih bagus dan gak ngebosenin. 3 Hari untuk Selamanya adalah salah satu film yang kalau ditonton berulang-ulang jadi semakin asyik, setidaknya menurut penilaian saya. Sudah enam tahun yang lalu film ini diluncurkan, dan tak terhitung berapa kali saya sudah menontonnnya, sampai hafal dialog-dialognya.
Film ini mungkin akan membosankan bagi yang suka dengan jenis film yang bergerak cepat dan penuh suspens. Selama kurang lebih satu setengah jam, film ini diisi oleh dua orang yang ngobrol dalam sebuah perjalanan Jakarta-Jogja. Perjalanan mereka bukan perjalanan yang penuh tantangan dan hambatan. Malahan, perjalanan mereka termasuk biasa-biasa saja, tapi mereka bertemu dengan banyak orang yang aneh tapi unik.
Apa yang membuat film ini menarik, bagi saya, adalah obrolan antara Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Ardinia Wirasti). Keduanya berhasil membangun chemistry sehingga obrolan-obrolannya pun menyenangkan untuk diikuti. Asyik. Mereka mewakili remaja berusia 19-an yang beranjak dewasa dan sedang gelisah menatap masa depan. Yusuf dan Ambar dihadirkan sebagai remaja yang suka dugem, nge-drugs, tapi toh senakal-nakalnya mereka, mereka tetep peduli dengan kehidupannya di masa yang akan datang.
Obrolan mereka yang paling saya suka adalah tentang usia 27. Yusuf bilang, “pas lo umur 27, lo akan mengambil sebuah keputusan yang penting yang akan ngubah hidup lo". Kemudian dia mendaftar orang-orang besar yang meninggal pada usia itu, juga orang-orang yang mengambil keputusan besar pada usia itu. Ini adalah sebagian kecil obrolan mereka yang saya suka.
Ada lagi film yang berkali-kali saya tonton. Juga hampir mirip jenisnya dengan 3 Hari untuk Selamanya, apalagi kalau bukan Before Sunrise dan dua sekuelnya. Hampir sepanjang film, isinya adalah dua orang yang asyik ngobrol. Obrolan Celine dan Jesse dalam Before Sunrise memang lebih berat jika dibandingkan dengan obrolan Yusuf dan Ambar, tapi seperti keduanya juga berhasil menciptakan chemistry yang mampu dipertahankan sampai Before Midnight. Asyik, asyik banget. Meskipun kadang obrolannya juga bikin nyesek, seperti ini:
“People can lead their life as a lie. My grandmother, she was married to this man, and I always thought she had a very simple, uncomplicated love life. But she just confessed to me that she spent her whole life dreaming about another man she was always in love with. She just accepted her fate. It's so sad.” (Celine, Before Sunrise)
Entah sih ya, saya cenderung suka film jenis beginian. Dua orang, berjalan, ngobrol. Dari obrolan yang paling ringan, gak mutu, sampai yang bikin dahi berkerut. Dari yang bikin ngakak-ngakak sampai yang bikin sesak nafas. Dan saya menyetujui bahwa punya teman yang bisa diajak ngobrol seperti itu sungguh menyenangkan, tapi jenis orang yang seperti itu juga sangat langka.
Mungkin ini terlalu dini untuk dibicarakan, tapi saya berharap jodoh saya nanti adalah orang yang bisa diajak ngobrol ini itu sebelum tidur. Termasuk hal-hal yang nggak penting sekalipun :p *ujung-ujungnya kok jadi begini..
Ada film-film tertentu yang kalau ditonton berkali-kali hasilnya malah lebih bagus dan gak ngebosenin. 3 Hari untuk Selamanya adalah salah satu film yang kalau ditonton berulang-ulang jadi semakin asyik, setidaknya menurut penilaian saya. Sudah enam tahun yang lalu film ini diluncurkan, dan tak terhitung berapa kali saya sudah menontonnnya, sampai hafal dialog-dialognya.
Film ini mungkin akan membosankan bagi yang suka dengan jenis film yang bergerak cepat dan penuh suspens. Selama kurang lebih satu setengah jam, film ini diisi oleh dua orang yang ngobrol dalam sebuah perjalanan Jakarta-Jogja. Perjalanan mereka bukan perjalanan yang penuh tantangan dan hambatan. Malahan, perjalanan mereka termasuk biasa-biasa saja, tapi mereka bertemu dengan banyak orang yang aneh tapi unik.
Apa yang membuat film ini menarik, bagi saya, adalah obrolan antara Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Ardinia Wirasti). Keduanya berhasil membangun chemistry sehingga obrolan-obrolannya pun menyenangkan untuk diikuti. Asyik. Mereka mewakili remaja berusia 19-an yang beranjak dewasa dan sedang gelisah menatap masa depan. Yusuf dan Ambar dihadirkan sebagai remaja yang suka dugem, nge-drugs, tapi toh senakal-nakalnya mereka, mereka tetep peduli dengan kehidupannya di masa yang akan datang.
Obrolan mereka yang paling saya suka adalah tentang usia 27. Yusuf bilang, “pas lo umur 27, lo akan mengambil sebuah keputusan yang penting yang akan ngubah hidup lo". Kemudian dia mendaftar orang-orang besar yang meninggal pada usia itu, juga orang-orang yang mengambil keputusan besar pada usia itu. Ini adalah sebagian kecil obrolan mereka yang saya suka.
Ada lagi film yang berkali-kali saya tonton. Juga hampir mirip jenisnya dengan 3 Hari untuk Selamanya, apalagi kalau bukan Before Sunrise dan dua sekuelnya. Hampir sepanjang film, isinya adalah dua orang yang asyik ngobrol. Obrolan Celine dan Jesse dalam Before Sunrise memang lebih berat jika dibandingkan dengan obrolan Yusuf dan Ambar, tapi seperti keduanya juga berhasil menciptakan chemistry yang mampu dipertahankan sampai Before Midnight. Asyik, asyik banget. Meskipun kadang obrolannya juga bikin nyesek, seperti ini:
“People can lead their life as a lie. My grandmother, she was married to this man, and I always thought she had a very simple, uncomplicated love life. But she just confessed to me that she spent her whole life dreaming about another man she was always in love with. She just accepted her fate. It's so sad.” (Celine, Before Sunrise)
Entah sih ya, saya cenderung suka film jenis beginian. Dua orang, berjalan, ngobrol. Dari obrolan yang paling ringan, gak mutu, sampai yang bikin dahi berkerut. Dari yang bikin ngakak-ngakak sampai yang bikin sesak nafas. Dan saya menyetujui bahwa punya teman yang bisa diajak ngobrol seperti itu sungguh menyenangkan, tapi jenis orang yang seperti itu juga sangat langka.
Mungkin ini terlalu dini untuk dibicarakan, tapi saya berharap jodoh saya nanti adalah orang yang bisa diajak ngobrol ini itu sebelum tidur. Termasuk hal-hal yang nggak penting sekalipun :p *ujung-ujungnya kok jadi begini..
Wednesday, September 4, 2013
setelah sembilan tahun..
Sudah terhitung sembilan tahun sejak saya lulus dari bangku sekolah menengah pertama. Rasanya baru kemarin kami saling mengolok nama orang tua, nongkrong di kantin saat jam kosong, melakukan berbagai perlombaan saat class meeting, dan berbaris di halaman untuk melakukan olahraga pagi, mengkerut di hadapan Pak Rahmadi yang terkenal killer dari zaman ke zaman itu. Waktu bergerak begitu cepatnya.
Dan, kemarin sore, kami membuat sebuah reuni kecil di food court UGM. Rosi, Andi, dan saya. Kami sekelas selama dua tahun, 2A dan 3C di MTsN Model Babat.
Andi datang duluan, saya menyusul, baru kemudian Rosi datang belakangan. Kalimat pertama yang dilontarkan Rosi saat bertemu Andi adalah “kok Andi bisa gedhe sih?”. Yap, Andi sembilan tahun yang lalu adalah Andi yang tubuh dan tingginya seukuran saya dan Rosi, kecil mungil, bahkan mungkin lebih kecil. Tapi kini dia menjulang tinggi, sedangkan saya dan Rosi seolah terhenti pertubuhan badannya. Sial. Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya saya bertemu Andi. Tahun kemarin dan beberapa tahun yang lalu Andi sudah mengunjungi saya saat kebetulan dia ada di Jogja. Tidak jauh berbeda dengan reaksi Rosi, waktu itu saya juga dibuat kaget oleh penampakan Andi yang bongsor.
Beberapa tahun terakhir ini Andi sedang bergulat dengan dunia petualangan. Dia terlihat sangat menikmati dunianya. Sepertinya sudut-sudut Indonesia yang paling terpencil sekalipun sudah dia kunjungi. Kalau ditanya tentang kesibukan, dia pasti jawab: sibuk jalan-jalan. Kalau ditanya tentang pekerjaan, dia bilang belum minat kerja. Nyebelin gak sih? Lebih tepatnya, bikin iri gak sih? Ya, Andi yang dulu pernah merebut diary saya dan membacanya keras-keras di kamar mandi itu kini seorang backpacker sejati. Hidup dari truk ke truk, dari terminal ke terminal. Dan beberapa hari ke depan ini dia mau ke Flores. Uh!
Tahun ini Rosi resmi menjadi mahasiswa UGM. Dia mengambil program pascasarjana kedokteran. Sebelumnya dia kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Selain kuliah, beberapa bulan ini dia sudah ngajar di Stikes (saya lupa namanya) di Jogja. Setelah sembilan tahun, di mata saya, tidak banyak yang berubah pada Rosi, selain tubuhnya yang lebih kurus dan kacamata berbingkai hitam di wajahnya. Rosi bilang, selain wedges, kacamata itu dipakai agar dia tampak lebih dewasa di hadapan mahasiwanya. Haha. Sepertinya ini tips yang layak dicoba.
Maka, sore itu pun kami mengenang banyak hal. Guru-guru kami yang ajaib. Pak Purnomo sang guru matematika paling baik sedunia, Pak Zanuar guru biologi yang asyik, Pak Nur Sodiq, juga Pak Harmadji yang menginspirasi saya masuk jurusan sastra. Saya pun jadi teringat Pak Zainul yang kerap memanggil saya “si mungil”.
Kami juga membicarakan teman-teman: Bayu yang masih di Surabaya, Fani yang kini menjadi ustadz alim, Dedik yang gondrong, Ali yang jadi perangkat desa, Soqi yang jadi bidan dan istri kepala desa, Luqman yang mulai bisa ‘ngomong’, Laili yang menjadi guru, Muhaimin yang menghilang, Nashir, Wahid, Ilham, Awen, Beni, Aang (musuh bebuyutan saya), Majid, Weni, Nevi, Ida Anisa, Indri, Fatim, Muslikhah, Wiwin, grup M3RUW (hahaha), Himatul, Zulfa, dan beberapa teman yang bisa-bisanya saya lupa namanya :’(
Berbagai kenangan datang berkelebatan, banyak kekonyolan-kekonyolan yang membuat kami tertawa-tawa, cinta monyet ala anak smp, persaingan kelas, dan lain sebagainya, dan lain sebagianya yang akhirnya membuat kami bersepakat bahwa masa-masa MTs itu lebih berkesan daripada masa SMA! :p
Selama sembilan tahun itu, kami berproses dengan cara masing-masing. Di antara kami bertiga, sepertinya hanya Rosi yang tumbuh menjadi manusia ‘normal’. Dia, layaknya gadis yang berusia 20an, sudah merencanakan rumahtangga alias ingin cepat-cepat menikah. Dia pun tak ingin jauh-jauh dari kota kelahiran sekaligus kediaman orang tuanya, Bojonegoro. Setelah lulus S2, Rosi sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di sana. Sementara itu, Andi bisa dikatakan memiliki keinginan yang berkebalikan dari Rosi. Dan saya, barangkali sintesis dari keduanya :p
Selepas maghrib kami pun menyudahi pertemuan. Saya pun berdoa dalam hati: semoga, suatu saat, nasib baik mempertemukan kami dengan teman-teman yang lain. Amin.
Dan, kemarin sore, kami membuat sebuah reuni kecil di food court UGM. Rosi, Andi, dan saya. Kami sekelas selama dua tahun, 2A dan 3C di MTsN Model Babat.
Andi datang duluan, saya menyusul, baru kemudian Rosi datang belakangan. Kalimat pertama yang dilontarkan Rosi saat bertemu Andi adalah “kok Andi bisa gedhe sih?”. Yap, Andi sembilan tahun yang lalu adalah Andi yang tubuh dan tingginya seukuran saya dan Rosi, kecil mungil, bahkan mungkin lebih kecil. Tapi kini dia menjulang tinggi, sedangkan saya dan Rosi seolah terhenti pertubuhan badannya. Sial. Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya saya bertemu Andi. Tahun kemarin dan beberapa tahun yang lalu Andi sudah mengunjungi saya saat kebetulan dia ada di Jogja. Tidak jauh berbeda dengan reaksi Rosi, waktu itu saya juga dibuat kaget oleh penampakan Andi yang bongsor.
Beberapa tahun terakhir ini Andi sedang bergulat dengan dunia petualangan. Dia terlihat sangat menikmati dunianya. Sepertinya sudut-sudut Indonesia yang paling terpencil sekalipun sudah dia kunjungi. Kalau ditanya tentang kesibukan, dia pasti jawab: sibuk jalan-jalan. Kalau ditanya tentang pekerjaan, dia bilang belum minat kerja. Nyebelin gak sih? Lebih tepatnya, bikin iri gak sih? Ya, Andi yang dulu pernah merebut diary saya dan membacanya keras-keras di kamar mandi itu kini seorang backpacker sejati. Hidup dari truk ke truk, dari terminal ke terminal. Dan beberapa hari ke depan ini dia mau ke Flores. Uh!
Tahun ini Rosi resmi menjadi mahasiswa UGM. Dia mengambil program pascasarjana kedokteran. Sebelumnya dia kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Selain kuliah, beberapa bulan ini dia sudah ngajar di Stikes (saya lupa namanya) di Jogja. Setelah sembilan tahun, di mata saya, tidak banyak yang berubah pada Rosi, selain tubuhnya yang lebih kurus dan kacamata berbingkai hitam di wajahnya. Rosi bilang, selain wedges, kacamata itu dipakai agar dia tampak lebih dewasa di hadapan mahasiwanya. Haha. Sepertinya ini tips yang layak dicoba.
Maka, sore itu pun kami mengenang banyak hal. Guru-guru kami yang ajaib. Pak Purnomo sang guru matematika paling baik sedunia, Pak Zanuar guru biologi yang asyik, Pak Nur Sodiq, juga Pak Harmadji yang menginspirasi saya masuk jurusan sastra. Saya pun jadi teringat Pak Zainul yang kerap memanggil saya “si mungil”.
Kami juga membicarakan teman-teman: Bayu yang masih di Surabaya, Fani yang kini menjadi ustadz alim, Dedik yang gondrong, Ali yang jadi perangkat desa, Soqi yang jadi bidan dan istri kepala desa, Luqman yang mulai bisa ‘ngomong’, Laili yang menjadi guru, Muhaimin yang menghilang, Nashir, Wahid, Ilham, Awen, Beni, Aang (musuh bebuyutan saya), Majid, Weni, Nevi, Ida Anisa, Indri, Fatim, Muslikhah, Wiwin, grup M3RUW (hahaha), Himatul, Zulfa, dan beberapa teman yang bisa-bisanya saya lupa namanya :’(
Berbagai kenangan datang berkelebatan, banyak kekonyolan-kekonyolan yang membuat kami tertawa-tawa, cinta monyet ala anak smp, persaingan kelas, dan lain sebagainya, dan lain sebagianya yang akhirnya membuat kami bersepakat bahwa masa-masa MTs itu lebih berkesan daripada masa SMA! :p
Selama sembilan tahun itu, kami berproses dengan cara masing-masing. Di antara kami bertiga, sepertinya hanya Rosi yang tumbuh menjadi manusia ‘normal’. Dia, layaknya gadis yang berusia 20an, sudah merencanakan rumahtangga alias ingin cepat-cepat menikah. Dia pun tak ingin jauh-jauh dari kota kelahiran sekaligus kediaman orang tuanya, Bojonegoro. Setelah lulus S2, Rosi sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di sana. Sementara itu, Andi bisa dikatakan memiliki keinginan yang berkebalikan dari Rosi. Dan saya, barangkali sintesis dari keduanya :p
Selepas maghrib kami pun menyudahi pertemuan. Saya pun berdoa dalam hati: semoga, suatu saat, nasib baik mempertemukan kami dengan teman-teman yang lain. Amin.
Thursday, August 29, 2013
serangkaian perpindahan
sekali lagi saya harus mengamini apa yang pernah dikatakan oleh Raditya Dika bahwa hidup adalah serangkaian perpindahan. Seperti bulan-bulan sebelumnya, bulan ini pun banyak yang pindah dari Jogja menuju kota berikutnya.
Demi mengejar artis cilik yang sekarang telah tumbuh menjadi gadis cantik, Tasya, seorang laki-laki telah memutuskan untuk menjadi homo-jakartensis. Alasan lain yang menguatkan dirinya untuk berpindah ke kota itu adalah agar lebih dekat dengan kiprah sang gubernur idola. Saya hampir yakin bahwa alasan studi hanyalah untuk menutupi tujuan sebenarnya itu. Hahaha. Apapun itu, semoga dia menikmati prosesnya di kota yang nyaman itu. Semoga dia punya cerita yang manis, bukan cerita ruwet dan sumpek seperti yang didengungkan orang-orang. Dia akan menimba ilmu dari orang-orang keren yang hanya bisa saya baca tulisan-tulisannya. Gimana ya rasanya diajar Seno Gumira? baru ngebayangin aja saya udah ndredeg :p
Ada seorang lagi yang meninggalkan Jogja, dia kembali ke kampung halamannya di Cirebon. Pilihan untuk kembali ke kampung halaman setelah bergulat cukup lama di kota ini saya rasa bukan pilihan yang gampang. Dia tidak bercerita banyak apa yang akan dilakukannya di kampungnya itu. Yang jelas, tugas utamanya di rumah adalah membantu dan menjaga orang tuanya yang sudah sepuh. Semoga orang tuanya bahagia memiliki anak seperti dia.
Hmm..semakin banyak yang meninggalkan Jogja. Mungkin suatu saat saya juga akan meninggalkan kota ini, berpindah ke tempat dan ruang berikutnya. Entah menuju kemana saya pun tak tahu. Segalanya hanya menunggu giliran. Tapi bagaimanapun, setiap kali ada yang pergi, entah sementara entah selamanya, tetap saja meninggalkan gerowong.
Meminjam kata-kata Ipang, ada yang hilang dari perasaanku... duh!
Demi mengejar artis cilik yang sekarang telah tumbuh menjadi gadis cantik, Tasya, seorang laki-laki telah memutuskan untuk menjadi homo-jakartensis. Alasan lain yang menguatkan dirinya untuk berpindah ke kota itu adalah agar lebih dekat dengan kiprah sang gubernur idola. Saya hampir yakin bahwa alasan studi hanyalah untuk menutupi tujuan sebenarnya itu. Hahaha. Apapun itu, semoga dia menikmati prosesnya di kota yang nyaman itu. Semoga dia punya cerita yang manis, bukan cerita ruwet dan sumpek seperti yang didengungkan orang-orang. Dia akan menimba ilmu dari orang-orang keren yang hanya bisa saya baca tulisan-tulisannya. Gimana ya rasanya diajar Seno Gumira? baru ngebayangin aja saya udah ndredeg :p
Ada seorang lagi yang meninggalkan Jogja, dia kembali ke kampung halamannya di Cirebon. Pilihan untuk kembali ke kampung halaman setelah bergulat cukup lama di kota ini saya rasa bukan pilihan yang gampang. Dia tidak bercerita banyak apa yang akan dilakukannya di kampungnya itu. Yang jelas, tugas utamanya di rumah adalah membantu dan menjaga orang tuanya yang sudah sepuh. Semoga orang tuanya bahagia memiliki anak seperti dia.
Hmm..semakin banyak yang meninggalkan Jogja. Mungkin suatu saat saya juga akan meninggalkan kota ini, berpindah ke tempat dan ruang berikutnya. Entah menuju kemana saya pun tak tahu. Segalanya hanya menunggu giliran. Tapi bagaimanapun, setiap kali ada yang pergi, entah sementara entah selamanya, tetap saja meninggalkan gerowong.
Meminjam kata-kata Ipang, ada yang hilang dari perasaanku... duh!
Tuesday, August 27, 2013
catatan kecil dari balkon kost 857 Sagan
Selama enam tahun di Jogja, saya bertempat tinggal di daerah Sagan. Yang pertama di Asrama Putri Ratnaningsih UGM, Jl. Kartini No 2. Enam tahun yang lalu, tepatnya awal-awal saya di Jogja, di depan asrama itu banyak warung makan, mulai dari penyetan sampai burjo. Dari salah satu warung itu ada yang es tehnya sangat enak. Dua tahun kemudian, warung-warung itu lenyap dan bergantilah bangunan mewah yang kemudian di beri nama Bumbu Desa. Beberapa warung kecil itu masih ada yang meninggalkan jejaknya di daerah Sagan, tapi yang lainnya entah pergi kemana.
Di depan pagar asrama sebelah timur ada warung soto yang menjadi langganan anak-anak asrama. Saya adalah pelanggan yang setia mulai dari 3000 rupiah/porsi sampai 8000 rupiah. Penjualnya bernama Pak Toni. Ada sebuah bangunan tidak permanen di sebelahnya. Disitu tinggal seorang perempuan dari Bojonegoro yang biasanya menjual minuman dan gorengan untuk melengkapi soto pak Toni. Orangnya sangat supel, untuk tidak mengatakannya berisik. Tapi sudah setahunan ini saya tidak melihat perempuan itu. Kini, bangunan non permanen itu telah berubah menjadi semi permanen, dengan penghuni yang berbeda. Mereka adalah yang dulu berjualan esteh enak yang tadi saya bilang.
Tiga tahun saya tinggal di asrama nyaman itu, hingga akhirnya saya harus pindah. Kepindahan saya ternyata tidak jauh-jauh dari asrama, hanya di belakangnya saja. Haha. Sebuah kos-kosan berbentuk leter U yang dihuni oleh 30 orang. Kenyamanannya memang jauh berbeda jika dibandingkan dengan asrama. Tapi kos ini cukup istimewa kok. Meskipun tak senyaman balkon asrama, balkon di kos saya juga cukup menyenangkan. Saya bisa membunuh sepi di sana dengan membaca buku sambil minum teh atau kopi.
Banyak hal kecil yang menjadi kegembiraan saya di salah satu sudut Sagan ini. Dari balkon kost, saya bisa melihat sepasang orang tua, suami istri, yang selalu berjalan beriringan untuk sholat jamaah ke masjid. Anak-anak kecil di sini setiap malam selalu berkumpul dan bermain. Saya suka sekali dengan logat Jogja mereka jika sedang bertengkar. Setiap Selasa sore, ada puji-pujian (doa) kepada Tuhan dari orang-orang yang selalu berkumpul di rumah tetangga depan. Syahdu sekali.
Banyak hal-hal remeh yang diam-diam saya nikmati: sapaan riang si ibu yang jualan penyetan sewaktu saya pulang kampus. Mbak-mbak bercelana pendek yang mencari sedikit ruang di jalan raya agar bisa main badminton. Lampu kuning di salah satu gang tempat mangkal bapak penjual bakmi jawa. Suara adzan dari masjid sagan yang fals. Lorong-lorong kecil menuju kos sahabat-sahabat saya di 809. Suara Mbak Teni menawarkan jajanan pasarnya, dia hafal makanan favorit saya. sebuah jalan di samping SMA 9 juga sangat menyenangkan. Sepi dan banyak pohon besar. Juga anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar lapangan yang kini sedang direncanakan untuk pembangunan SD.
Apalah artinya saya tanpa keberadaan warung-warung di sekitar kost ini. Semenjak di asrama, saya menjadi pelanggan penyetan Pak Djum, mulai dari yang bikin sambel mas-mas tinggi yang pendiam, mas-mas imut yang supel, sampai mas-mas yang gak imut tapi juga supel. Dalam hitungan saya, setidaknya sudah lima kali warung penyetan itu ganti karyawan. Meskipun tidak yakin, mungkin suatu saat saya akan merindukan makanan yang gak jelas rasanya di warung Srikandi, atau makanan yang kurang bumbu di warung Bagus.
Kini sudah 3 tahun saya tinggal di kos ini. Beberapa bulan yang lalu saya merencanakan untuk pindah, saya sudah mencari kos-kosan di daerah yang lain. Tapi saya tidak pernah benar-benar “niat” mencari kost. Akhirnya keinginan untuk pindah itu pun menguap begitu saja. Sampai kapan saya akan bertahan di kost ini saya pun tak tahu.
Di depan pagar asrama sebelah timur ada warung soto yang menjadi langganan anak-anak asrama. Saya adalah pelanggan yang setia mulai dari 3000 rupiah/porsi sampai 8000 rupiah. Penjualnya bernama Pak Toni. Ada sebuah bangunan tidak permanen di sebelahnya. Disitu tinggal seorang perempuan dari Bojonegoro yang biasanya menjual minuman dan gorengan untuk melengkapi soto pak Toni. Orangnya sangat supel, untuk tidak mengatakannya berisik. Tapi sudah setahunan ini saya tidak melihat perempuan itu. Kini, bangunan non permanen itu telah berubah menjadi semi permanen, dengan penghuni yang berbeda. Mereka adalah yang dulu berjualan esteh enak yang tadi saya bilang.
Tiga tahun saya tinggal di asrama nyaman itu, hingga akhirnya saya harus pindah. Kepindahan saya ternyata tidak jauh-jauh dari asrama, hanya di belakangnya saja. Haha. Sebuah kos-kosan berbentuk leter U yang dihuni oleh 30 orang. Kenyamanannya memang jauh berbeda jika dibandingkan dengan asrama. Tapi kos ini cukup istimewa kok. Meskipun tak senyaman balkon asrama, balkon di kos saya juga cukup menyenangkan. Saya bisa membunuh sepi di sana dengan membaca buku sambil minum teh atau kopi.
Banyak hal kecil yang menjadi kegembiraan saya di salah satu sudut Sagan ini. Dari balkon kost, saya bisa melihat sepasang orang tua, suami istri, yang selalu berjalan beriringan untuk sholat jamaah ke masjid. Anak-anak kecil di sini setiap malam selalu berkumpul dan bermain. Saya suka sekali dengan logat Jogja mereka jika sedang bertengkar. Setiap Selasa sore, ada puji-pujian (doa) kepada Tuhan dari orang-orang yang selalu berkumpul di rumah tetangga depan. Syahdu sekali.
Banyak hal-hal remeh yang diam-diam saya nikmati: sapaan riang si ibu yang jualan penyetan sewaktu saya pulang kampus. Mbak-mbak bercelana pendek yang mencari sedikit ruang di jalan raya agar bisa main badminton. Lampu kuning di salah satu gang tempat mangkal bapak penjual bakmi jawa. Suara adzan dari masjid sagan yang fals. Lorong-lorong kecil menuju kos sahabat-sahabat saya di 809. Suara Mbak Teni menawarkan jajanan pasarnya, dia hafal makanan favorit saya. sebuah jalan di samping SMA 9 juga sangat menyenangkan. Sepi dan banyak pohon besar. Juga anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar lapangan yang kini sedang direncanakan untuk pembangunan SD.
Apalah artinya saya tanpa keberadaan warung-warung di sekitar kost ini. Semenjak di asrama, saya menjadi pelanggan penyetan Pak Djum, mulai dari yang bikin sambel mas-mas tinggi yang pendiam, mas-mas imut yang supel, sampai mas-mas yang gak imut tapi juga supel. Dalam hitungan saya, setidaknya sudah lima kali warung penyetan itu ganti karyawan. Meskipun tidak yakin, mungkin suatu saat saya akan merindukan makanan yang gak jelas rasanya di warung Srikandi, atau makanan yang kurang bumbu di warung Bagus.
Kini sudah 3 tahun saya tinggal di kos ini. Beberapa bulan yang lalu saya merencanakan untuk pindah, saya sudah mencari kos-kosan di daerah yang lain. Tapi saya tidak pernah benar-benar “niat” mencari kost. Akhirnya keinginan untuk pindah itu pun menguap begitu saja. Sampai kapan saya akan bertahan di kost ini saya pun tak tahu.
Thursday, July 25, 2013
poskolonialisme di dinding kamar Dany
“enak’e aku skripsi opo yo, Nis?”
“poskolonialisme oye lho, Dan.”
“ho’o po?”
Obrolan singkat di bonbin itu membuat Dany resmi terperosok di jurang poskolonialisme yang tak berujung. Pada saat obrolan itu terjadi, kira-kira satu setengah tahun yang lalu, saya sedang selo. Saya pun menyanggupi Dany untuk membantu penelitiannya. Saya juga memeberi beberapa masukan tentang objek material apa yang cocok untuk dikaji dengan teori itu. Penelitian Dany memang tidak berangkat dari masalah, tapi dari teori. Ini salah kaprah memang. Tapi tak apalah.
Beberapa bulan kemudian Dany pun seminar proposal. Objek material yang dia gunakan adalah novel Glonggong karya Junaedi Safei. Seperti pada seminar-seminar proposal pada umumnya, setidaknya di FIB UGM, Dany pun mendapatkan beberapa pertanyaan dan masukan untuk penelitiannya. Intinya, tahap seminar sudah terlewati. Berlanjutlah ke tangga selanjutnya...
Beberapa kali Dany meminta bertemu dan ngobrol dengan saya. Tapi sial memang, saya sudah tak selo lagi. Pada saat itu saya sedang ikut membantu menyelenggarakan acara simposium internasional Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dan persiapan kuliah lagi. Dany-pun sering saya beri harapan palsu. Saya sering hanya berjanji untuk ketemuan buat ngobroloin penelitiannya, sesering itu pulalah saya tiba-tiba membatalkan. Kami hanya berkomunikasi lewat email. Dany mengirimkan tulisannya, saya membaca dan memberikan masukan.
Waktu pun berlalu demikian cepat. Tak ada kabar dari Dany. Saya pun meng-sms-nya. Jawabannya singkat dan padat: mumet. Duh. Saya merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya. Tulisannya yang terakhir yang dikirimkannya pun belum sempat saya baca. Bertumpuk-tumpuklah rasa bersalah saya. Apalagi saya mendengar dari seorang teman kalau Dany disuruh ngulang nulis dari bab 1, padahal dia sudah sampai di bab 3.
Hingga pada suatu kesempatan yang tak direncanakan, saya berkunjung ke kos Dany. Saya dibuat tercengang dengan kondisi kamarnya. Lumayan rapi untuk kategori cowok. Tapi ada yang lebih membuat saya takjub. Di hampir seluruh dinding kamarnya, ada tempelan-tempelan tentang teori poskolonialisme. Mulai dari orientalisme, kolonialisme, resistensi, dan lain sebagainya. Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak kagum.
“biar gampang belajarnya, Nis,” katanya.
Meskipun tidak begitu dekat, saya mengenal Dany sejak semester satu, tahun 2007. Kebetulan juga Dany satu DPS dengan saya. Sang DPS pun sering menanyakan tentang kuliah Dany kepada saya kalau sedang musim KRS. Oleh sang DPS, Dany memang dipandang lain karena termasuk dalam komplotan 4 serangkai yang tergolong malas kuliah.
Tapi malam itu, apa yang tertempel di dinding-dinding kaar Dany seolah meruntuhkan anggapan sang DPS. Dany telah membuktikan kesungguhannya. Barangkali Dany memang bukan jenis mahasiswa rajin dan pintar di kelas. Tapi ia adalah orang yang mau berusaha dan mau belajar. Mungkin saya berlebihan. Tapi melihat riwayat Dany selama kuliah, itu adalah hal yang menakjubkan. Ah ternyata saya dulu beranggapan sama dengan sang DPS dalam menilai Dany. Uh!
Selang dua bulan, Dany pun bertanya gimana caranya bikin intisari. Saya pun mengirimkan skripsi saya yang berbentuk pdf untuk dijadikan contoh. Tak lama kemudian, Dany meng-sms jadwal ujian skripsinya. Saya waktu sangat gembira.
Dan di lorong gedung C itu dany duduk sendirian menunggu dipanggil dosen penguji. Dia bilang jantungnya mau copot. Tak lama kemudian Dany dipanggil dan tak lama juga Dany keluar lagi. Wajahnya pucat, tapi terkesan lega. Hingga diumumkannya kelulusan itu. Wajahnya yang bahagia sungguh tak bisa disembunyikan. Meskipun ada beberapa yang harus direvisi dari penelitian yang telah diujikan itu.
Melalui tulisan ini, sebenarnya saya hanya ingin meminta maaf kepada Dany atas segala harapan palsu yang saya berikan. Juga atas segala komentar kejam dan postingan “ngoyak-ngoyak skripsi” di wall facebook-nya. Selamat ya, Dany yang lucu dan lugu! Sebagai teman aku merasa bangga atas kerja kerasmu..
“poskolonialisme oye lho, Dan.”
“ho’o po?”
Obrolan singkat di bonbin itu membuat Dany resmi terperosok di jurang poskolonialisme yang tak berujung. Pada saat obrolan itu terjadi, kira-kira satu setengah tahun yang lalu, saya sedang selo. Saya pun menyanggupi Dany untuk membantu penelitiannya. Saya juga memeberi beberapa masukan tentang objek material apa yang cocok untuk dikaji dengan teori itu. Penelitian Dany memang tidak berangkat dari masalah, tapi dari teori. Ini salah kaprah memang. Tapi tak apalah.
Beberapa bulan kemudian Dany pun seminar proposal. Objek material yang dia gunakan adalah novel Glonggong karya Junaedi Safei. Seperti pada seminar-seminar proposal pada umumnya, setidaknya di FIB UGM, Dany pun mendapatkan beberapa pertanyaan dan masukan untuk penelitiannya. Intinya, tahap seminar sudah terlewati. Berlanjutlah ke tangga selanjutnya...
Beberapa kali Dany meminta bertemu dan ngobrol dengan saya. Tapi sial memang, saya sudah tak selo lagi. Pada saat itu saya sedang ikut membantu menyelenggarakan acara simposium internasional Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dan persiapan kuliah lagi. Dany-pun sering saya beri harapan palsu. Saya sering hanya berjanji untuk ketemuan buat ngobroloin penelitiannya, sesering itu pulalah saya tiba-tiba membatalkan. Kami hanya berkomunikasi lewat email. Dany mengirimkan tulisannya, saya membaca dan memberikan masukan.
Waktu pun berlalu demikian cepat. Tak ada kabar dari Dany. Saya pun meng-sms-nya. Jawabannya singkat dan padat: mumet. Duh. Saya merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya. Tulisannya yang terakhir yang dikirimkannya pun belum sempat saya baca. Bertumpuk-tumpuklah rasa bersalah saya. Apalagi saya mendengar dari seorang teman kalau Dany disuruh ngulang nulis dari bab 1, padahal dia sudah sampai di bab 3.
Hingga pada suatu kesempatan yang tak direncanakan, saya berkunjung ke kos Dany. Saya dibuat tercengang dengan kondisi kamarnya. Lumayan rapi untuk kategori cowok. Tapi ada yang lebih membuat saya takjub. Di hampir seluruh dinding kamarnya, ada tempelan-tempelan tentang teori poskolonialisme. Mulai dari orientalisme, kolonialisme, resistensi, dan lain sebagainya. Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak kagum.
“biar gampang belajarnya, Nis,” katanya.
Meskipun tidak begitu dekat, saya mengenal Dany sejak semester satu, tahun 2007. Kebetulan juga Dany satu DPS dengan saya. Sang DPS pun sering menanyakan tentang kuliah Dany kepada saya kalau sedang musim KRS. Oleh sang DPS, Dany memang dipandang lain karena termasuk dalam komplotan 4 serangkai yang tergolong malas kuliah.
Tapi malam itu, apa yang tertempel di dinding-dinding kaar Dany seolah meruntuhkan anggapan sang DPS. Dany telah membuktikan kesungguhannya. Barangkali Dany memang bukan jenis mahasiswa rajin dan pintar di kelas. Tapi ia adalah orang yang mau berusaha dan mau belajar. Mungkin saya berlebihan. Tapi melihat riwayat Dany selama kuliah, itu adalah hal yang menakjubkan. Ah ternyata saya dulu beranggapan sama dengan sang DPS dalam menilai Dany. Uh!
Selang dua bulan, Dany pun bertanya gimana caranya bikin intisari. Saya pun mengirimkan skripsi saya yang berbentuk pdf untuk dijadikan contoh. Tak lama kemudian, Dany meng-sms jadwal ujian skripsinya. Saya waktu sangat gembira.
Dan di lorong gedung C itu dany duduk sendirian menunggu dipanggil dosen penguji. Dia bilang jantungnya mau copot. Tak lama kemudian Dany dipanggil dan tak lama juga Dany keluar lagi. Wajahnya pucat, tapi terkesan lega. Hingga diumumkannya kelulusan itu. Wajahnya yang bahagia sungguh tak bisa disembunyikan. Meskipun ada beberapa yang harus direvisi dari penelitian yang telah diujikan itu.
Melalui tulisan ini, sebenarnya saya hanya ingin meminta maaf kepada Dany atas segala harapan palsu yang saya berikan. Juga atas segala komentar kejam dan postingan “ngoyak-ngoyak skripsi” di wall facebook-nya. Selamat ya, Dany yang lucu dan lugu! Sebagai teman aku merasa bangga atas kerja kerasmu..
Wednesday, July 24, 2013
selamat menjalani petualangan selanjutnya, Rio!
Namanya Vita Victoria Gumilar, tapi dia lebih akrab dipanggil Rio. Saya pertama kali berkenalan dengannya ketika masuk Asrama Putri Ratnaningsih. Menjadi mahasiswa baru. Dia, entah bagaimana ceritanya, terjerumus di jurusan sastra Arab. Sepanjang pertemanan dengannya, dia adalah sosok yang sederhana dan kalem di luar, tapi ganas di dalam. Hohoho.
Dia selalu bergerak. Gadis magelang ini adalah seorang petualang yang sangat nekat! Saya percaya bahwa dalam tubuh Rio mengalir darah “cah mbolang”. Dia selalu mengambil kesempatan yang datang yang memungkinkannya untuk bisa berpetualang. Itulah mengapa ia selalu mencari pekerjaan yang bisa membuatnya kesana kemari. Setelah lulus kuliah, Rio bergabung dengan lembaga survey yang membuatnya bisa mengunjungi pulau-pulau di Indonesia. Dan saya pikir Rio sangat senang dengan pekerjaannya itu.
Banyak hal-hal menyenangkan saya habiskan dengannya. Kalau sedang suntuk, kamar Rio di kosnya yang dingin-dingin empuk itu sering saya jajah. Kami sempat menjadi panitia penyelenggara beberapa event di asrama dan melakukan perjalanan-perjalanan kecil. Perjalanan kami yang lumayan seru adalah ketika kami ke Bali. Waktu itu kami masih muda. Berempat, saya, Rio, Elok, dan Fatim berencana untuk ke Bali. Apapun yang terjadi kami harus berangkat. Dan berangkatlah kami malam itu dengan kereta. Ah sebenarnya perjalanan ini adalah untuk mengantarkan Rio menemui kekasih simpanannya. Hahaha. Selama di Bali, kami menginap di rumah “kekasih simpanan” itu.
Saya lupa berapa hari kami di Bali. Catatan saya tentang perjalanan menyenangkan itu raib bersama dokumen-dokumen yang lain. Yang jelas kami mengunjungi beberapa tempat wisata yang menjadi andalan di Bali. Alhamdulillah-nya kami sempat berkenalan dengan mas sopir yang ganteng nan baik hati bernama Mas Untung Sinar Budi. Kalau ada jenis pejantan beginian, entah mengapa melekat terus di ingatan. Hehe. Dialah yang mengantarkan kami mengarungi Bali sambil bercerita kesana kemari. Sialnya, saya yang dikejar pekerjaan pada waktu itu, harus pulang ke Jogja lebih dulu. Sendirian. Sial!
Tapi saat-saat itu sudah menjadi kenangan..
Setelah sekian lama tak bertemu dan tiada kabar, angin mengabarkan bahwa Rio akan menikah. Benar saja, beberapa hari kemudian Rio meng-sms saya. Dia ngajak ketemuan. Pertama kali mendapat kabar rencana pernikahannya, saya sempat shock. Selain mengingat kisah-kisah percintaannya, juga tentang keinginan-keinginannya. Kisah percintaannya, yang tentu saja tidak akan saya ceritakan di sini, tergolong luar biasa (pahitnya). Hahaha. Meskipun tidak banyak keinginan, yang saya tahu Rio masih ingin selalu bertualang.
Mungkin saya akan biasa-biasa saja jika kabar rencana menikah itu datang dari orang lain. Toh pernikahan adalah hal yang wajar-wajar saja. Tapi ketika kabar itu datang dari Rio, saya agak mengerutkan kening. Ada apa dengan anak ini? Apalagi ditambah dengan si lelaki yang tak disangka-sangka. Hmm. Yah tapi mungkin jodoh emang gak bisa disangka-sangka dari mana datangnya.
Menikah, itu berarti Rio harus ikut suaminya yang bekerja sebagai guru di Tasikmalaya. Ia harus menghentikan pekerjaannya di lembaga survey itu. Dan, ya, hasrat berpetualang harus diredam. Dia sempat menceritakan ini beberapa minggu sebelum pernikahannya. Dia bercerita panjang lebar tentang bagaimana akhirnya dia memutuskan untuk menikah.
Pada 6 Juli kemarin, Rio, si Bolang itu, menikah dengan lelaki sekampungnya. Dan karena suatu keadaan, saya tidak bisa datang. Padahal sudah mempersiapkan ini itu. Saya hanya bisa berdoa, dari jauh, untuk kebahagiaannya :)
Selamat berpetualang di sungai telaga rumah tangga, Rio! Semoga petualanganmu seru!
Dia selalu bergerak. Gadis magelang ini adalah seorang petualang yang sangat nekat! Saya percaya bahwa dalam tubuh Rio mengalir darah “cah mbolang”. Dia selalu mengambil kesempatan yang datang yang memungkinkannya untuk bisa berpetualang. Itulah mengapa ia selalu mencari pekerjaan yang bisa membuatnya kesana kemari. Setelah lulus kuliah, Rio bergabung dengan lembaga survey yang membuatnya bisa mengunjungi pulau-pulau di Indonesia. Dan saya pikir Rio sangat senang dengan pekerjaannya itu.
Banyak hal-hal menyenangkan saya habiskan dengannya. Kalau sedang suntuk, kamar Rio di kosnya yang dingin-dingin empuk itu sering saya jajah. Kami sempat menjadi panitia penyelenggara beberapa event di asrama dan melakukan perjalanan-perjalanan kecil. Perjalanan kami yang lumayan seru adalah ketika kami ke Bali. Waktu itu kami masih muda. Berempat, saya, Rio, Elok, dan Fatim berencana untuk ke Bali. Apapun yang terjadi kami harus berangkat. Dan berangkatlah kami malam itu dengan kereta. Ah sebenarnya perjalanan ini adalah untuk mengantarkan Rio menemui kekasih simpanannya. Hahaha. Selama di Bali, kami menginap di rumah “kekasih simpanan” itu.
Saya lupa berapa hari kami di Bali. Catatan saya tentang perjalanan menyenangkan itu raib bersama dokumen-dokumen yang lain. Yang jelas kami mengunjungi beberapa tempat wisata yang menjadi andalan di Bali. Alhamdulillah-nya kami sempat berkenalan dengan mas sopir yang ganteng nan baik hati bernama Mas Untung Sinar Budi. Kalau ada jenis pejantan beginian, entah mengapa melekat terus di ingatan. Hehe. Dialah yang mengantarkan kami mengarungi Bali sambil bercerita kesana kemari. Sialnya, saya yang dikejar pekerjaan pada waktu itu, harus pulang ke Jogja lebih dulu. Sendirian. Sial!
Tapi saat-saat itu sudah menjadi kenangan..
Setelah sekian lama tak bertemu dan tiada kabar, angin mengabarkan bahwa Rio akan menikah. Benar saja, beberapa hari kemudian Rio meng-sms saya. Dia ngajak ketemuan. Pertama kali mendapat kabar rencana pernikahannya, saya sempat shock. Selain mengingat kisah-kisah percintaannya, juga tentang keinginan-keinginannya. Kisah percintaannya, yang tentu saja tidak akan saya ceritakan di sini, tergolong luar biasa (pahitnya). Hahaha. Meskipun tidak banyak keinginan, yang saya tahu Rio masih ingin selalu bertualang.
Mungkin saya akan biasa-biasa saja jika kabar rencana menikah itu datang dari orang lain. Toh pernikahan adalah hal yang wajar-wajar saja. Tapi ketika kabar itu datang dari Rio, saya agak mengerutkan kening. Ada apa dengan anak ini? Apalagi ditambah dengan si lelaki yang tak disangka-sangka. Hmm. Yah tapi mungkin jodoh emang gak bisa disangka-sangka dari mana datangnya.
Menikah, itu berarti Rio harus ikut suaminya yang bekerja sebagai guru di Tasikmalaya. Ia harus menghentikan pekerjaannya di lembaga survey itu. Dan, ya, hasrat berpetualang harus diredam. Dia sempat menceritakan ini beberapa minggu sebelum pernikahannya. Dia bercerita panjang lebar tentang bagaimana akhirnya dia memutuskan untuk menikah.
Pada 6 Juli kemarin, Rio, si Bolang itu, menikah dengan lelaki sekampungnya. Dan karena suatu keadaan, saya tidak bisa datang. Padahal sudah mempersiapkan ini itu. Saya hanya bisa berdoa, dari jauh, untuk kebahagiaannya :)
Selamat berpetualang di sungai telaga rumah tangga, Rio! Semoga petualanganmu seru!
Sunday, July 21, 2013
keluarga yang selamanya saya kagumi dan saya rindukan
Akhir-akhir ini banyak kawan saya yang meninggalkan Jogja, kota kecil yang perlahan menjadi ruwet ini. Ada gerowong dalam hati saya dan menimbulkan perasaan yang teramat sedih. Sedih yang bertahan lama dan tak sanggup saya jelaskan.
Saya mengenal keluarga ini sejak semester lima, itu berarti sekitar tahun 2009. Waktu itu, Mas Alvein Damardanto adalah pengajar mata kuliah dramaturgi bagian film. Pertama kali bertemu, beliau masih terlihat muda, mungkin hanya beberapa tahun di atas saya, pikir saya waktu itu. Namun, dugaan saya itu tidak bertahan lama kebenarannya karena Bu Ningrum (pengampu dramaturgi) cepat-cepat memberitahu pada kami bahwa beliau sudah menikah dan sudah punya anak. Dan jarak “beberapa” tahunnya itu ternyata jauh. Tapi saya masih tidak percaya.
Mas Alvein mengajar dengan pembawaan yang santai dan menyenangkan. Beliau sering menceritakan hal-hal seru. Pengalaman-pengalamannya membuat film dan mengikuti berbagai festival. Dan kemudian, pada pertemuan-pertemuan berikutnya Mas Alvein kerap membawa kedua putrinya, Zahra dan Zaskia, ke kampus. Pada saat itulah saya baru benar-benar percaya kalau beliau sudah menikah, dan punya 4 anak. Ya, empat!
Beberapa obrolan membuat hubungan kami tidak sekadar mahasiswa dan dosen, tapi teman. Ada beberapa buku yang sama-sama kami baca. Ini menyenangkan. Mas Alvein juga sering bercerita tentang persoalan rumah tangganya. Hmm. Hingga beliau mengundang saya untuk datang ke ulang tahun Zahra, entah ulang tahun yang ke berapa, saya lupa. Saya pun akhirnya bertemu dengan si kembar, Aya dan Acha. Keempat anaknya adalah anak-anak yang mudah dekat dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Saya senang bisa bertemu dengan mereka.
Di antara keempat saudara-saudaranya, Zahra-lah satu-satunya yang mirip mas Alvein. Hampir semua giginya keropos. Hehe. Zaskia, putri kedua. Biasa dipanggil Kia. Sama kayak Zahra, gigi Kia juga keropos. Kia punya kebiasaan menggemaskan. Dia suka menaik-naikkan alis kirinya sambil senyum-senyum. Dia juga sempat beberapa hari dirawat di rumah sakit. Di antara saudara-saudaranya, dia yang paling sering masuk rumah sakit. Kalau si kembar Aya dan Acha, saya sering banget salah manggil, mana Aya, mana Acha. Dan biasanya mereka sering ngambek kalau namanya salah dipanggil. Mereka tergolong pemalu jika dibandingkan dengan kedua kakaknya. Baru akhir-akhir ini saja sebenarnya mereka berdua mau “nempel” sama saya.
Di acara ulang tahun Zahra itulah untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan istri Mas Alvein, Mbak Nia, Kuniati Winduni. Seorang perempuan muda berwajah ayu. Mbak Nia lebih muda delapan tahun dari Mas Alvein. Mbak Nia menikah dengan Mas Alvein pada usia yang sangat belia, 17 tahun. Bagi saya, seorang perempuan yang mengambil keputusan untuk menikah pada usia muda itu adalah sebuah pilihan yang hebat. Saya yakin telah terjadi negosiasi yang panjang dalam dirinya sebelum memutuskan itu. Dalam kemudaannya, dia harus merelakan dunianya “menyempit” dan “meluas” sekaligus. Dia sudah tidak bisa seenaknya seperti remaja seumurannya. Ada hal lain yang menuntut tanggung jawabnya, keluarga. Betapa hebatnya!
Mbak Nia adalah sosok perempuan yang selamanya saya kagumi. Mengurus dan mendidik empat anak yang masih kecil-kecil bukanlah hal yang mudah, belum lagi ia harus mengurus persoalan rumah tangga yang lain. Seringkali Mbak Nia sendirian di rumah bersama keempat anaknya jika Mas Alvein sedang motret di luar kota. Sepanjang yang saya kenal, Mbak Nia adalah seorang yang begitu sabar. Sabar dalam arti yang sesungguhnya. Kalaupun dia pernah marah dengan keadaan, bagi saya itu adalah kemarahan yang wajar. Sekarang ini Mbak Nia sedang hamil lagi, calon anak kelima. Semoga selalu sehat, Mbak.
Beberapa kali saya berkunjung ke rumah kontrakannya di daerah Wirobrajan. Mas Alvein sering mengundang kami untuk makan empek-empek dan tekwan. Saya pun jadi semakin dekat dengan anak-anak. Pada waktu itu sudah timbul rasa kangen jika lama tak bertemu mereka. Mereka senang jika ditemani menggambar dan selalu menagih choki-choki jika pada saya ^.^
Dan sore itu saya berangkat ke stasiun Lempuyangan. Dua hari sebelumnya Mas Alvein mengabarkan kalau mereka sekeluarga akan pindah ke Palembang. Dalam dua hari itu saya tidak bisa berkunjung ke rumahnya. Padahal sudah lama saya tidak bertemu anak-anak. Dan saya sangat kangen pada mereka. Tahu-tahu mereka sudah akan pindah. Sebenarnya sudah jauh-jauh hari mereka memberitahukan rencana kepindahannya. Tapi tetap saja, rasanya terlalu cepat.
Setelah sampai di Lempuyangan, saya sms Mas Alvein. Dan ternyata keberangkatan kereta di stasiun Tugu. Saya pun kesana bersama abang becak yang sumpah jalannya pelan banget. Kampretos. Saya was-was kalau-kalau tidak bisa bertemu mereka. Tapi akhirnya saya sampai di stasiun Tugu di pintu barat, dan ternyata Mas Alvein berencana lewat pintu timur. Saya pun melewati jalan yang memungkinkan saya untuk sampai kesana dengan cepat. Dan sedemikian rupa sehingga saya bisa masuk peron tanpa membawa tiket. Haha.
Saya pun mondar-mandi di peron itu. Menunggu tepat di puntu masuk petugas yang mengecek tiket. Nengok sana nengok sini. Tapi Mas Alvein dan keluarganya tak kunjung datang. Saya ngecek jadwal keberangkatan kereta Gajah Wong menuju Jakarta. Tinggal sebentar lagi berangkat dan saya belum melihat tanda-tanda Mas Alvein datang. Sudah pukul 6. Saya resah. Berkali-kali memastikan jadwal. Hingga saya pun bertanya pada petugas. Dan ternyata...kereta sudah berangkat! Saya cuma bisa bengong. Banyak yang berkelebat dalam pikiran saya. Jangan-jangan Mas Alvein ketinggalan kereta. Jangan-jangan..ah!
Beberapa sms saya tidak berbalas.
Beberapa saat kemudian Mas Alvein baru membalas sms, meminta maaf. Dia sudah berada di dalam kereta. Jadi, ceritanya, Mas Alvein salah ngeliat jadwal kereta. Dikiranya jam setengah tujuh. Uh! Mereka masuk lewat pintu barat. Pantas saja tidak ketemu. Dia bilang kalau mereka semua lari-lari ngejar kereta. Teriak-teriak. “Anak-anak nangis semua, gue ngerasa jadi orang paling bego sedunia, Nis.” katanya. Saya membaca sms-nya antara sedih dan senyum-senyum.
Bayangan saya tentang perpisahan dengan keempat anak-anak lucu itu seketika runtuh. Tadinya saya pengen gendong-gendong mereka. Cipika-cipiki. Tapi bahkan melihat saja saya tidak sempat. Padahal sudah sangat lama tidak bertemu. Huhu. Pada saat itulah perasaan sedih dimulai. Ada yang hilang dan terasa menyesakkan. Saya juga gak ngerti kenapa bisa segitunya. Saya sedih kalau tidak bisa bertemu mereka lagi.
Bagi saya mereka adalah keluarga yang sangat hebat. Mas Alvein dan Mbak Nia adalah guru bagi saya. Orang tua yang menyangi anak-anaknya tanpa memanjakannya. Orang tua yang selalu bertahan dalam kondisi apapun. Dan anak-anak itu, adalah anak-anak yang didewasakan oleh keadaan dan orang tua hebat. Semoga kelak menjadi anak yang hebat pula. Ah, saya sangat merindukan mereka semua :(
*Saat menulis ini, saya baru saja menerima sms dari Mas Alvein. Dia bilang, “aku kehilangan...mu”. Saya kebingungan gimana membalasnya.
Saya mengenal keluarga ini sejak semester lima, itu berarti sekitar tahun 2009. Waktu itu, Mas Alvein Damardanto adalah pengajar mata kuliah dramaturgi bagian film. Pertama kali bertemu, beliau masih terlihat muda, mungkin hanya beberapa tahun di atas saya, pikir saya waktu itu. Namun, dugaan saya itu tidak bertahan lama kebenarannya karena Bu Ningrum (pengampu dramaturgi) cepat-cepat memberitahu pada kami bahwa beliau sudah menikah dan sudah punya anak. Dan jarak “beberapa” tahunnya itu ternyata jauh. Tapi saya masih tidak percaya.
Mas Alvein mengajar dengan pembawaan yang santai dan menyenangkan. Beliau sering menceritakan hal-hal seru. Pengalaman-pengalamannya membuat film dan mengikuti berbagai festival. Dan kemudian, pada pertemuan-pertemuan berikutnya Mas Alvein kerap membawa kedua putrinya, Zahra dan Zaskia, ke kampus. Pada saat itulah saya baru benar-benar percaya kalau beliau sudah menikah, dan punya 4 anak. Ya, empat!
Beberapa obrolan membuat hubungan kami tidak sekadar mahasiswa dan dosen, tapi teman. Ada beberapa buku yang sama-sama kami baca. Ini menyenangkan. Mas Alvein juga sering bercerita tentang persoalan rumah tangganya. Hmm. Hingga beliau mengundang saya untuk datang ke ulang tahun Zahra, entah ulang tahun yang ke berapa, saya lupa. Saya pun akhirnya bertemu dengan si kembar, Aya dan Acha. Keempat anaknya adalah anak-anak yang mudah dekat dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Saya senang bisa bertemu dengan mereka.
Di antara keempat saudara-saudaranya, Zahra-lah satu-satunya yang mirip mas Alvein. Hampir semua giginya keropos. Hehe. Zaskia, putri kedua. Biasa dipanggil Kia. Sama kayak Zahra, gigi Kia juga keropos. Kia punya kebiasaan menggemaskan. Dia suka menaik-naikkan alis kirinya sambil senyum-senyum. Dia juga sempat beberapa hari dirawat di rumah sakit. Di antara saudara-saudaranya, dia yang paling sering masuk rumah sakit. Kalau si kembar Aya dan Acha, saya sering banget salah manggil, mana Aya, mana Acha. Dan biasanya mereka sering ngambek kalau namanya salah dipanggil. Mereka tergolong pemalu jika dibandingkan dengan kedua kakaknya. Baru akhir-akhir ini saja sebenarnya mereka berdua mau “nempel” sama saya.
Di acara ulang tahun Zahra itulah untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan istri Mas Alvein, Mbak Nia, Kuniati Winduni. Seorang perempuan muda berwajah ayu. Mbak Nia lebih muda delapan tahun dari Mas Alvein. Mbak Nia menikah dengan Mas Alvein pada usia yang sangat belia, 17 tahun. Bagi saya, seorang perempuan yang mengambil keputusan untuk menikah pada usia muda itu adalah sebuah pilihan yang hebat. Saya yakin telah terjadi negosiasi yang panjang dalam dirinya sebelum memutuskan itu. Dalam kemudaannya, dia harus merelakan dunianya “menyempit” dan “meluas” sekaligus. Dia sudah tidak bisa seenaknya seperti remaja seumurannya. Ada hal lain yang menuntut tanggung jawabnya, keluarga. Betapa hebatnya!
Mbak Nia adalah sosok perempuan yang selamanya saya kagumi. Mengurus dan mendidik empat anak yang masih kecil-kecil bukanlah hal yang mudah, belum lagi ia harus mengurus persoalan rumah tangga yang lain. Seringkali Mbak Nia sendirian di rumah bersama keempat anaknya jika Mas Alvein sedang motret di luar kota. Sepanjang yang saya kenal, Mbak Nia adalah seorang yang begitu sabar. Sabar dalam arti yang sesungguhnya. Kalaupun dia pernah marah dengan keadaan, bagi saya itu adalah kemarahan yang wajar. Sekarang ini Mbak Nia sedang hamil lagi, calon anak kelima. Semoga selalu sehat, Mbak.
Beberapa kali saya berkunjung ke rumah kontrakannya di daerah Wirobrajan. Mas Alvein sering mengundang kami untuk makan empek-empek dan tekwan. Saya pun jadi semakin dekat dengan anak-anak. Pada waktu itu sudah timbul rasa kangen jika lama tak bertemu mereka. Mereka senang jika ditemani menggambar dan selalu menagih choki-choki jika pada saya ^.^
Dan sore itu saya berangkat ke stasiun Lempuyangan. Dua hari sebelumnya Mas Alvein mengabarkan kalau mereka sekeluarga akan pindah ke Palembang. Dalam dua hari itu saya tidak bisa berkunjung ke rumahnya. Padahal sudah lama saya tidak bertemu anak-anak. Dan saya sangat kangen pada mereka. Tahu-tahu mereka sudah akan pindah. Sebenarnya sudah jauh-jauh hari mereka memberitahukan rencana kepindahannya. Tapi tetap saja, rasanya terlalu cepat.
Setelah sampai di Lempuyangan, saya sms Mas Alvein. Dan ternyata keberangkatan kereta di stasiun Tugu. Saya pun kesana bersama abang becak yang sumpah jalannya pelan banget. Kampretos. Saya was-was kalau-kalau tidak bisa bertemu mereka. Tapi akhirnya saya sampai di stasiun Tugu di pintu barat, dan ternyata Mas Alvein berencana lewat pintu timur. Saya pun melewati jalan yang memungkinkan saya untuk sampai kesana dengan cepat. Dan sedemikian rupa sehingga saya bisa masuk peron tanpa membawa tiket. Haha.
Saya pun mondar-mandi di peron itu. Menunggu tepat di puntu masuk petugas yang mengecek tiket. Nengok sana nengok sini. Tapi Mas Alvein dan keluarganya tak kunjung datang. Saya ngecek jadwal keberangkatan kereta Gajah Wong menuju Jakarta. Tinggal sebentar lagi berangkat dan saya belum melihat tanda-tanda Mas Alvein datang. Sudah pukul 6. Saya resah. Berkali-kali memastikan jadwal. Hingga saya pun bertanya pada petugas. Dan ternyata...kereta sudah berangkat! Saya cuma bisa bengong. Banyak yang berkelebat dalam pikiran saya. Jangan-jangan Mas Alvein ketinggalan kereta. Jangan-jangan..ah!
Beberapa sms saya tidak berbalas.
Beberapa saat kemudian Mas Alvein baru membalas sms, meminta maaf. Dia sudah berada di dalam kereta. Jadi, ceritanya, Mas Alvein salah ngeliat jadwal kereta. Dikiranya jam setengah tujuh. Uh! Mereka masuk lewat pintu barat. Pantas saja tidak ketemu. Dia bilang kalau mereka semua lari-lari ngejar kereta. Teriak-teriak. “Anak-anak nangis semua, gue ngerasa jadi orang paling bego sedunia, Nis.” katanya. Saya membaca sms-nya antara sedih dan senyum-senyum.
Bayangan saya tentang perpisahan dengan keempat anak-anak lucu itu seketika runtuh. Tadinya saya pengen gendong-gendong mereka. Cipika-cipiki. Tapi bahkan melihat saja saya tidak sempat. Padahal sudah sangat lama tidak bertemu. Huhu. Pada saat itulah perasaan sedih dimulai. Ada yang hilang dan terasa menyesakkan. Saya juga gak ngerti kenapa bisa segitunya. Saya sedih kalau tidak bisa bertemu mereka lagi.
Bagi saya mereka adalah keluarga yang sangat hebat. Mas Alvein dan Mbak Nia adalah guru bagi saya. Orang tua yang menyangi anak-anaknya tanpa memanjakannya. Orang tua yang selalu bertahan dalam kondisi apapun. Dan anak-anak itu, adalah anak-anak yang didewasakan oleh keadaan dan orang tua hebat. Semoga kelak menjadi anak yang hebat pula. Ah, saya sangat merindukan mereka semua :(
*Saat menulis ini, saya baru saja menerima sms dari Mas Alvein. Dia bilang, “aku kehilangan...mu”. Saya kebingungan gimana membalasnya.
Saturday, June 15, 2013
pelajaran tentang melepas
Sebelumnya saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencacah-cacah karya sang musisi. Selera musik saya buruk dan kemampuan audio saya tak bisa diandalkan. Tulisan ini pun tak diniatkan untuk menilai baik buruknya. Ini hanyalah usaha mengurai simpul-simpul sembari memetik pelajaran darinya.
Mendengar lagu ini, saya seperti dibawa pada perasaan-perasaan ambang. Antara resah, lega, sesal, tapi juga hanyut. Sayangnya saya tidak tahu cara menaruh link lagunya. hehe. Silakan cari sendiri di soundcloud ya. Tapi, setelah saya dengarkan berulang-ulang, kira-kira beginilah lirik yang bisa saya dengar.
Bersandar Pada Ruang Hampa Udara
pada antara yang kau punya
lupakan pesona di sana
dunia yang semula kau hasratkan dahulu
degup dan laju berirama
hingga sadar berganti warna
memutarkan semua yang kau rasakan dulu
dan waktu kupaksa ia menunggu
dan waktu kupaksa ia menunggu
dan waktu kupaksa ia menunggu
dan waktu kupaksa ia menunggu
Lagu ini berjudul “Bersandar Pada Ruang Hampa Udara”. Akan tetapi, seperti yang bisa kita lihat, dalam liriknya tidak ada sepatah katapun yang merujuk pada judul. Judul lagu seperti ini seketika mengingatkan saya pada sebuah film komedi romantis Suckseed. Di dalam film tersebut, terdapat kompetisi cipta lagu tentang cinta, tetapi judul lagu maupun liriknya tidak boleh menggunakan kata “cinta”.
Yang bisa saya bayangkan dari ruang hampa udara adalah sebuah ruang tanpa udara, kosong dari materi apapun. Tidak ada senyawa yang bisa dihirup oleh manusia. Ruang semacam ini biasanya ada di luar angkasa. Jika tidak menggunakan peralatan khusus, manusia yang berada di ruangan ini tidak akan bisa bertahan hidup karena tidak ada oksigen. Dengan kata lain, ia akan menjadi tersiksa, sakit. Bersandar berarti menyerahkan beban tubuh pada sesuatu di luar diri. Membagi setengah atau bahkan menyerahkan seluruh beban pada sesuatu tersebut. Lantas, apa yang dimaksudkan dengan bersandar pada ruang hampa udara? Bisakah kita bersandar pada kehampaan? Ruang yang justru membuat kita kesakitan? Mari kita lihat ke dalam ceruk liriknya.
Pada antara yang kau punya. Si kau sedang berada pada wilayah antara. Antara masa lalu dan masa kini, antara masa kini dan masa depan. Antara yang kekal dan yang fana. Antara kenangan dan harapan. Banyak sekali kemungkinan. Wilayah ini dibangun oleh dua wilayah yang lain. Itu berarti bahwa kau sedang berpijak pada satu titik yang memungkinkannya untuk melihat dua titik yang lain, pada jarak tertentu. Di luar kau, ada aku. Di sini, keberadaan aku masih samar-samar. Aku adalah persona yang berada di luar kau, yang menganjurkannya untuk lupakan pesona di sana pada dunia yang semula kau hasratkan dahulu.
Pada waktu yang telah lalu itu ada berbagai hasrat, keinginan, cita-cita, dunia yang lain, yang bagaimanapun memesonanya, tetap harus dilupakan. Berucap selamat tinggal pada dunia yang dulu dihasratkan. Wilayah antara di sini berperan sebagai ruang refleksi. Kilas balik terhadap yang telah lalu.
Bagi saya, ada yang kurang tepat pada penggunaan kata lupakan. Harusnya tidak perlu dilupakan. Melupakan adalah tindakan yang membutuhkan energi. Bahkan, terdapat kecenderungan semakin melupakan, ingatan akan semakin bermunculan. Itu akan semakin menambah rasa sakit. Lupakan juga termasuk hasrat, keinginan. Harusnya biarkan saja ingatan mengalir. Namun, lupakan juga bisa merujuk pada tindakan telah melupakan. Jika demikian, ia telah tersenyum pada yang telah lalu. Kata lupakan ini kemudian menjadi kata kunci lagu ini. Memang, lagu ini dibangun atas kedwimaknaan kata lupakan.
Dalam proses melupakan tersebut, degup dan laju berirama hingga sadar berganti warna. Memutarkan semua yang kau rasakan dulu. Gedup dan laju, gairah masa muda, berkelebatan seperti potongan film yang mendesak ingin diputar ulang. Dalam pada itu, terdapat kesadaran bahwa tak ada yang tak berubah. Semua telah berganti warna.
Setelah larik ini, petikan gitarnya sungguh ciamik. Menciptakan melodi dan suasana yang mengalir-menjauh.
Dan waktu kupaksa ia menunggu. Kalimat ini sangat ambigu. Ia memiliki beberapa kemungkinan pengertian. Pertama, yang dipaksa menunggu adalah waktu. Ini berarti si aku berada di luar waktu, bahkan melampaui waktu. Yang bergerak adalah si aku, bukan waktu. Meminjam kata-kata Sapardi Djoko Damono: yang fana adalah waktu, kita abadi. Barangkali seperti itu. Kemungkinan kedua, yang dipaksa mengunggu adalah ia. Pada larik ini si aku dan si ia tiba-tiba muncul dengan jelas. Kita pun jadi tahu bahwa sebenarnya si aku berbicara dengan dirinya sendiri. Kau seolah orang luar, padahal bukan. Pada kemungkinan yang kedua ini, kata waktu sejajar dengan saat atau ketika, bukan waktu yang merujuk pada kala. Larik ini diulang-ulang hingga empat kali. Ini bisa berarti penyesalan atau justru penekanan. Penekanan bahwa si aku menyesal? Atau si aku telah melupakan?
Secara keseluruhan, dalam lagu ini, masa depan tidak terlalu dominan. Waktu hanya terkosentrasi pada masa lalu dan masa kini. Dan si aku lebih berpijak atau memilih kekinian.
Lalu, apa hubungannya larik-larik tersebut dengan bersandar pada ruang hampa udara? Dalam konsep ajaran Budha, ada yang dinamakan dengan "memeluk lembut rasa sakit". Jika dihadapkan pada konsep tersebut, bersandar pada ruang hampa udara berarti bersandar pada kesakitan, pada ruang yang membuatnya tercekik sekalipun. Bukan menghindar darinya. Terdapat kepasrahan di balik bersandar. Kemudian memeluk lembut kesakitan sehingga yang diperoleh adalah kearifan dan kasih sayang. Telah melupakan mengindikasikan bahwa diri telah melepas segala pesona, segala hasrat.
Kalau ruang hampa udara diartikan sebagai ruang kosong, itu berarti si aku bersandar pada kekosongan. Mengembalikan diri dan semesta pada kekosongan, pada Yang Maha Kosong. Karena sifatnya yang kosong, Ia justru bisa menampung segalanya. Itulah mengapa Ia adalah sebaik-baik tempat bersandar.
*Selamat berulang tahun, pelantun Hot Chocolate di cafe malam itu. Selamat berkarya. Kutunggu karyamu selanjutnya yes! :')
Mendengar lagu ini, saya seperti dibawa pada perasaan-perasaan ambang. Antara resah, lega, sesal, tapi juga hanyut. Sayangnya saya tidak tahu cara menaruh link lagunya. hehe. Silakan cari sendiri di soundcloud ya. Tapi, setelah saya dengarkan berulang-ulang, kira-kira beginilah lirik yang bisa saya dengar.
Bersandar Pada Ruang Hampa Udara
pada antara yang kau punya
lupakan pesona di sana
dunia yang semula kau hasratkan dahulu
degup dan laju berirama
hingga sadar berganti warna
memutarkan semua yang kau rasakan dulu
dan waktu kupaksa ia menunggu
dan waktu kupaksa ia menunggu
dan waktu kupaksa ia menunggu
dan waktu kupaksa ia menunggu
Lagu ini berjudul “Bersandar Pada Ruang Hampa Udara”. Akan tetapi, seperti yang bisa kita lihat, dalam liriknya tidak ada sepatah katapun yang merujuk pada judul. Judul lagu seperti ini seketika mengingatkan saya pada sebuah film komedi romantis Suckseed. Di dalam film tersebut, terdapat kompetisi cipta lagu tentang cinta, tetapi judul lagu maupun liriknya tidak boleh menggunakan kata “cinta”.
Yang bisa saya bayangkan dari ruang hampa udara adalah sebuah ruang tanpa udara, kosong dari materi apapun. Tidak ada senyawa yang bisa dihirup oleh manusia. Ruang semacam ini biasanya ada di luar angkasa. Jika tidak menggunakan peralatan khusus, manusia yang berada di ruangan ini tidak akan bisa bertahan hidup karena tidak ada oksigen. Dengan kata lain, ia akan menjadi tersiksa, sakit. Bersandar berarti menyerahkan beban tubuh pada sesuatu di luar diri. Membagi setengah atau bahkan menyerahkan seluruh beban pada sesuatu tersebut. Lantas, apa yang dimaksudkan dengan bersandar pada ruang hampa udara? Bisakah kita bersandar pada kehampaan? Ruang yang justru membuat kita kesakitan? Mari kita lihat ke dalam ceruk liriknya.
Pada antara yang kau punya. Si kau sedang berada pada wilayah antara. Antara masa lalu dan masa kini, antara masa kini dan masa depan. Antara yang kekal dan yang fana. Antara kenangan dan harapan. Banyak sekali kemungkinan. Wilayah ini dibangun oleh dua wilayah yang lain. Itu berarti bahwa kau sedang berpijak pada satu titik yang memungkinkannya untuk melihat dua titik yang lain, pada jarak tertentu. Di luar kau, ada aku. Di sini, keberadaan aku masih samar-samar. Aku adalah persona yang berada di luar kau, yang menganjurkannya untuk lupakan pesona di sana pada dunia yang semula kau hasratkan dahulu.
Pada waktu yang telah lalu itu ada berbagai hasrat, keinginan, cita-cita, dunia yang lain, yang bagaimanapun memesonanya, tetap harus dilupakan. Berucap selamat tinggal pada dunia yang dulu dihasratkan. Wilayah antara di sini berperan sebagai ruang refleksi. Kilas balik terhadap yang telah lalu.
Bagi saya, ada yang kurang tepat pada penggunaan kata lupakan. Harusnya tidak perlu dilupakan. Melupakan adalah tindakan yang membutuhkan energi. Bahkan, terdapat kecenderungan semakin melupakan, ingatan akan semakin bermunculan. Itu akan semakin menambah rasa sakit. Lupakan juga termasuk hasrat, keinginan. Harusnya biarkan saja ingatan mengalir. Namun, lupakan juga bisa merujuk pada tindakan telah melupakan. Jika demikian, ia telah tersenyum pada yang telah lalu. Kata lupakan ini kemudian menjadi kata kunci lagu ini. Memang, lagu ini dibangun atas kedwimaknaan kata lupakan.
Dalam proses melupakan tersebut, degup dan laju berirama hingga sadar berganti warna. Memutarkan semua yang kau rasakan dulu. Gedup dan laju, gairah masa muda, berkelebatan seperti potongan film yang mendesak ingin diputar ulang. Dalam pada itu, terdapat kesadaran bahwa tak ada yang tak berubah. Semua telah berganti warna.
Setelah larik ini, petikan gitarnya sungguh ciamik. Menciptakan melodi dan suasana yang mengalir-menjauh.
Dan waktu kupaksa ia menunggu. Kalimat ini sangat ambigu. Ia memiliki beberapa kemungkinan pengertian. Pertama, yang dipaksa menunggu adalah waktu. Ini berarti si aku berada di luar waktu, bahkan melampaui waktu. Yang bergerak adalah si aku, bukan waktu. Meminjam kata-kata Sapardi Djoko Damono: yang fana adalah waktu, kita abadi. Barangkali seperti itu. Kemungkinan kedua, yang dipaksa mengunggu adalah ia. Pada larik ini si aku dan si ia tiba-tiba muncul dengan jelas. Kita pun jadi tahu bahwa sebenarnya si aku berbicara dengan dirinya sendiri. Kau seolah orang luar, padahal bukan. Pada kemungkinan yang kedua ini, kata waktu sejajar dengan saat atau ketika, bukan waktu yang merujuk pada kala. Larik ini diulang-ulang hingga empat kali. Ini bisa berarti penyesalan atau justru penekanan. Penekanan bahwa si aku menyesal? Atau si aku telah melupakan?
Secara keseluruhan, dalam lagu ini, masa depan tidak terlalu dominan. Waktu hanya terkosentrasi pada masa lalu dan masa kini. Dan si aku lebih berpijak atau memilih kekinian.
Lalu, apa hubungannya larik-larik tersebut dengan bersandar pada ruang hampa udara? Dalam konsep ajaran Budha, ada yang dinamakan dengan "memeluk lembut rasa sakit". Jika dihadapkan pada konsep tersebut, bersandar pada ruang hampa udara berarti bersandar pada kesakitan, pada ruang yang membuatnya tercekik sekalipun. Bukan menghindar darinya. Terdapat kepasrahan di balik bersandar. Kemudian memeluk lembut kesakitan sehingga yang diperoleh adalah kearifan dan kasih sayang. Telah melupakan mengindikasikan bahwa diri telah melepas segala pesona, segala hasrat.
Kalau ruang hampa udara diartikan sebagai ruang kosong, itu berarti si aku bersandar pada kekosongan. Mengembalikan diri dan semesta pada kekosongan, pada Yang Maha Kosong. Karena sifatnya yang kosong, Ia justru bisa menampung segalanya. Itulah mengapa Ia adalah sebaik-baik tempat bersandar.
*Selamat berulang tahun, pelantun Hot Chocolate di cafe malam itu. Selamat berkarya. Kutunggu karyamu selanjutnya yes! :')
Monday, June 10, 2013
hey hey hey :)
hey...apa kalian masih mengunjungi blog ini? praktis sebulan saya gak nulis sama sekali di sini. huhuhu. maapken ya bagi yang nunggu-nunggu tulisan terbaru (wahahahaha..pede maksimal!)
tapi gak perlu cemas, saya masih akan tetep nulis di sini kok. tunggu aja. sering-sering aja buka blog ini biar tau tulisan terbaru :p
ketoane aku lagi stress berat ki cah :|
tapi gak perlu cemas, saya masih akan tetep nulis di sini kok. tunggu aja. sering-sering aja buka blog ini biar tau tulisan terbaru :p
Monday, April 29, 2013
melawan kapitalisme dalam bentuknya yang sederhana
“kita gak bisa hidup tanpa kapital. kapitalisme itu hanya bisa diselingkuhi,” begitu kata seorang kawan. dan menurut saya, tetap ada berbagai cara menentang hegemoni kapitalisme itu. ada cara-cara sederhana (tapi mungkin gak mudah) untuk mengubah kebiasaan kita yang secara tak sadar telah digerakkan oleh jaring-jaring kapitalisme. dan mengubah kebiasaan adalah tindakan politis yang berguna untuk melawan suatu hegemoni. oke, ini sangat berhubungan dengan konsumsi.
inilah kesepakatan kami:
“tidak berbelanja barang-barang kebutuhan pokok di minimarket-minimarket, carrefour, hypermart; tidak makan ayam di KFC-KFC, McD; tidak nonton film di xxi-xxi yang berselera hollywood. sebagai gantinya, memilih berbelanja di pasar tradisional, di pasar rakyat, di pasar malam; membajak film hollywood sebanyak-banyaknya (haha) dan nonton film-film yang gak mesti hollywood; memilih makan ayam di warung-warung lesehan yang bertebaran di jalan-jalan.”
kalau belum bisa sepenuhnya, maka kurangi frekuensinya. karena preferensi dan selera itu ideologis. hehe :D
*tapi ada dilemanya. di mal-mal itu, di hypermart, dan di warung cepat saji itu ada para buruh: ada petugas cleaning service, waitress, dan lainlain yang bergantung pada agen. hemm. tapi tunggu dulu lah, perlu kita ukur prosentasenya. kedatangan kita ke sana itu lebih menguntungkan agen atau buruh? nah!
inilah kesepakatan kami:
“tidak berbelanja barang-barang kebutuhan pokok di minimarket-minimarket, carrefour, hypermart; tidak makan ayam di KFC-KFC, McD; tidak nonton film di xxi-xxi yang berselera hollywood. sebagai gantinya, memilih berbelanja di pasar tradisional, di pasar rakyat, di pasar malam; membajak film hollywood sebanyak-banyaknya (haha) dan nonton film-film yang gak mesti hollywood; memilih makan ayam di warung-warung lesehan yang bertebaran di jalan-jalan.”
kalau belum bisa sepenuhnya, maka kurangi frekuensinya. karena preferensi dan selera itu ideologis. hehe :D
*tapi ada dilemanya. di mal-mal itu, di hypermart, dan di warung cepat saji itu ada para buruh: ada petugas cleaning service, waitress, dan lainlain yang bergantung pada agen. hemm. tapi tunggu dulu lah, perlu kita ukur prosentasenya. kedatangan kita ke sana itu lebih menguntungkan agen atau buruh? nah!
Saturday, March 9, 2013
electronic mail
:kepada seorang kawan yang bercerita tentang desa dan keluarganya, pada sebuah percakapan di beranda malam itu
sajak Amarzan Ismail Hamid (Amarzan Lubis)
Boyolali
I
Boyolali!
kembali suatu nama
dihujamkan dengan darah
ke jantung kaum tani
Menggigillah langit
menggigillah sawah dan ladang
padi di lumbung
ikan-ikan di kolam
sebab angin telah mengantarkan
berita busuk itu
kaum tani ditembaki
tiangprajangga kehidupan
--ditembaki:
Jumari
Partodikromo
Sonowiredjo
tiga dari jutaan bintang
Barisan tani
rebah berdarah di atas tanah
kampung halaman
II
Boyolali!
kembali teladan indah
dinukilkan dalam sejarah
barisan tani
dan pahit bagai empedu
angin menyampaikan kabar berita
ke kota dan desa nusantara
telah ditembakkan senjata lagi
ke jantung kita
ke jantung ibu bapak kita
bergetar udara
menaruh kemarahan yang tersimpan
bergetar kenangan
ke tahun empat lima
ke desa dan lembah gunung
ke kaum tani yang menyongsong
menghangatkan dan menghidupi
revolusi!
Ditembaki!
ya, ditembaki!
lalu kemana kemerdekaan
kemana revolusi disembunyikan?
Jangan titikkan airmata, kawan!
inilah ujian sejarah
zaman yang menepis dari kandungannya
kawan dan lawan
III
Boyolali!
tembang mencatat
di malam sepi
kalau burung di dahan
sapi di kandang
bahkan harimau di hutan rimba
kenali ibunya yang memberi makan
siapakah sesungguhnya kalian
hei, tangan berdarah?
yang telah nengacungkan senjata
menghunjamkan peluru
ke jantung ibu bapak sendiri
tenggelam malam dalam kesepian yang menekan
tapi pelita-pelita digubuk
unggun-unggun api di pematang ladang
tak habisnya menyaksikan
berita itu disampaikan
tak habis-habisnya menyaksikan
teladan itu dibangkitkan
dan tanah air
kau pun tak akan luput menyaksikan
suatu hari
--pembebasan!
1964
sajak Amarzan Ismail Hamid (Amarzan Lubis)
Boyolali
I
Boyolali!
kembali suatu nama
dihujamkan dengan darah
ke jantung kaum tani
Menggigillah langit
menggigillah sawah dan ladang
padi di lumbung
ikan-ikan di kolam
sebab angin telah mengantarkan
berita busuk itu
kaum tani ditembaki
tiangprajangga kehidupan
--ditembaki:
Jumari
Partodikromo
Sonowiredjo
tiga dari jutaan bintang
Barisan tani
rebah berdarah di atas tanah
kampung halaman
II
Boyolali!
kembali teladan indah
dinukilkan dalam sejarah
barisan tani
dan pahit bagai empedu
angin menyampaikan kabar berita
ke kota dan desa nusantara
telah ditembakkan senjata lagi
ke jantung kita
ke jantung ibu bapak kita
bergetar udara
menaruh kemarahan yang tersimpan
bergetar kenangan
ke tahun empat lima
ke desa dan lembah gunung
ke kaum tani yang menyongsong
menghangatkan dan menghidupi
revolusi!
Ditembaki!
ya, ditembaki!
lalu kemana kemerdekaan
kemana revolusi disembunyikan?
Jangan titikkan airmata, kawan!
inilah ujian sejarah
zaman yang menepis dari kandungannya
kawan dan lawan
III
Boyolali!
tembang mencatat
di malam sepi
kalau burung di dahan
sapi di kandang
bahkan harimau di hutan rimba
kenali ibunya yang memberi makan
siapakah sesungguhnya kalian
hei, tangan berdarah?
yang telah nengacungkan senjata
menghunjamkan peluru
ke jantung ibu bapak sendiri
tenggelam malam dalam kesepian yang menekan
tapi pelita-pelita digubuk
unggun-unggun api di pematang ladang
tak habisnya menyaksikan
berita itu disampaikan
tak habis-habisnya menyaksikan
teladan itu dibangkitkan
dan tanah air
kau pun tak akan luput menyaksikan
suatu hari
--pembebasan!
1964
Saturday, February 9, 2013
sekali lagi, Pramoedya
: selamat berulang tahun, Pram. sayang sekali, kita gagal makan siang bersama.
Tidak terasa hampir delapan tahun negeri ini ditinggalkan oleh penulis besar Pramoedya Ananta Toer (Pram). Namun, Pram seperti tak lelah-lelahnya dibicarakan. Ia terus-menerus ditulis, diteliti, didiskusikan, serta diapresiasi dalam berbagai sisi dan bentuk. Berbagai penghargaan dari luar negeri, bahkan kandidat nobel pun disandangnya.
Ratusan buku yang telah terbit banyak membahas karya, proses kreatif, bahkan hal-hal yang paling pribadi dari seorang Pramoedya. Buku-buku tersebut kebanyakan justru ditulis oleh peneliti-peneliti berkebangsaan asing. Memang, Pram dicintai di negeri lain, tetapi disingkirkan dari negeri sendiri. Berita baiknya, tiga tahun terakhir buku-buku tentang Pram sudah banyak ditulis oleh orang-orang dalam negeri. Meskipun belum ada penelitian serius mengenai karya-karyanya dan keterlibatannya dengan berbagai rezim. Buku-buku tersebut seringkali hanya berupa hasil wawancara atau semacam testimoni dari keluarga dekatnya. Jarangnya penelitian (apalagi di tingkat akademis) tersebut dapat dipicu oleh kondisi politik di Indonesia yang tidak memungkinkan seorang peneliti untuk bersentuhan lebih akrab dengan karya-karya Pram, yang hingga kini izin pelarangannya belum dicabut.
Dari sekian banyak hal, keterlibatan Pram dengan Lekra dan tuduhan sebagai komunislah yang mendapat banyak sambutan. Ada yang membela, tak sedikit yang menghujat. Perkara tuduhan komunis itu pula, ia dibuang bersama puluhan ribu tahanan politik ke Pulau Buru. Karya-karyanya pun sering dianggap “berbahaya”. Tapi di mata saya Pram dalah penulis “yang suka cari perkara, tetapi berani mengambil risiko”. Bagi saya pula, inilah yang kemudian menjadikannya sebagai pribadi yang begitu menarik. Asyik.
Segala milik Pram telah dirampas: naskah, hidup, dan masa muda. Sebagian besar naskahnya hilang dan dibakar. Namun, Pram tak pernah menyerah. Untuk sebagian naskah-naskahnya, Pram membuat salinan dan bahkan diceritakan secara lisan agar naskahnya ada yang bisa diselamatkan. Bahkan sebagian besar karyanya disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Delapan belas tahun hidupnya dihabiskan dan menjalani sebagian besar masa kreatifnya di penjara. Tiga tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru tanpa proses pengadilan. Walaupun pada 21 Desember 1979 Pram mendapat surat pembebasan tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S/PKI, tetapi ia tetap dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, hingga 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama dua tahun.
Tak perlu diragukan, Pram adalah seorang penulis yang memiliki wawasan luas mengenai sejarah Indonesia. Bahkan melalui kebiasaan mengklipingnya, Pram berencana membuat ensiklopedi sejarah Indonesia. Sayangnya keinginan tersebut belum terealisasi. Ia pun melahirkan novel sejarah. Dalam novel-novelnya, sejarah mendapatkan alur dan bentuk. Di tangannya, sejarah dikaji ulang sehingga menjadi sejarah yang “baru”. Ia seolah membuat sejarah tandingan. Sebut saja roman Arus Balik dan Arok Dedes.
Apa yang dilakukannya tersebut dianggap tugas nasional. Baginya, menulis tidak hanya sebagai usaha untuk menolak lupa, tetapi juga melawan. Ia melawan dengan menulis karena ia sadar betul bahwa “jika tak menulis, kamu akan disingkirkan dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dan yang membuat karya-karyanya selalu fenomenal adalah adanya unsur nation dan pembangunan karakter bangsa, yang gamblang terlihat dalam Tetralogi Bumi Manusia.
Pram menyeru dengan lantang: kebenaran tidak datang dari langit, ia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar. Dan setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. Pram menulis untuk melawan. Ia berani mengambil segala risiko atas tindakan yang dilakukannya itu. Keberaniannya tersebut jelas terlihat dalam sikap-sikapnya ketika menulis karya. Sehingga dalam pahitnya kekalahan, Pram masih bisa berkata, “kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik baiknya, sehormat-hormatnya.”
Keberaniannya tersebut sebenarnya bermula dari kehidupan keluarganya. Ia terlahir dari orang-orang hebat yang berperan kuat dalam pribadinya dan dididik dalam keluarga nasionalis. Ibunya adalah seorang wanita yang lembut dan tegas, yang diceritakan Pram dalam Cerita dari Blora. Ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, adalah seorang pendiri sekolah Boedi Oetomo. Seorang pendidik yang keras, meski Pram kecil terkadang membenci ayahnya. Pram kecil selalu merasa rendah diri karena selalu dianggap bodoh. Pram yang telah dewasa kemudian mengambil keputusan-keputusan yang bisa membahayakan kehidupan dirinya dan keluarganya. Adik-adiknya banyak yang dipenjara hanya karena menyandang nama “Toer”.
Barangkali, yang bisa membuat Pram tetap gigih adalah harapan terhadap angkatan muda. Ia percaya bahwa angkatan muda mampu melahirkan sejarah. Barangkali pula, angkatan muda sekarang tidak banyak yang mengenal Pram secara langsung, tetapi melalui karya-karyanya dapatlah diketahui bagaimana essensi jiwa Pram terwujud. Dalam karya-karyanya, Pram selalu menampilkan tokoh muda yang revolusioner. Sebut saja Minke, Larasati, Wiranggaleng, dan Hardo yang begitu gigihnya memperjuangkan keadilan. Kepada angkatan muda pun ia berseru “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin dan jangan jadi ternak saja yang sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi.”
Dengan karya-karyanya --yang sudah diterjemahkan dalam lebih dari 40 bahasa asing, termasuk bahasa etnis di India-- Pram tak lagi menjadi miliknya pribadi, ia telah menjadi warga dunia. Karya-karyanya merupakan pembelaan terhadap orang-orang kecil, orang-orang yang tidak didengarkan. Sejarah orang kecil tersebut diabadikan dalam cerpen-cerpennya, misalnya dalam antologi Cerita dari Jakarta, Percikan Revolusi, dan Subuh. Ia selalu berguru pada kehidupan, karenanya ia tak pernah percaya pada penguasa yang berjarak jauh dengan keadilan. Baginya, keindahan adalah perjuangan untuk kemanusiaan.
Terakhir, semoga karya-karya Pram tak hanya berakhir pada bacaan, tetapi menjadi percikan revolusi subuh. Wahai anak-anak dan cucu-cucuku, kalian boleh tidak tahu The Beatles. Tapi ketahui dan kenalilah Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah manusia besar dari bangsamu sendiri.
Saturday, February 2, 2013
teori pascakolonialisme Homi K. Bhabha: ontologi dan epistemologinya
:sebuah penjelajahan awal
Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jacques Lacan juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh seperti Franz Fanon dan Edward W. Said [1]. Beberapa konsep teori pascakolonialisme Bhabha, antara lain: stereotipe, mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.
Dalam kajiannya, Bhabha mengkritisi model oposisi biner tentang hubungan-hubungan kolonial seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dan Franz Fanon. Said berfokus pada wacana penjajah, sedangkan Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara konsep-konsep Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi [2].
Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah dalam konsep time-lag-nya (yang pertama kali muncul pada tahun 1990), yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.
Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga” [3].
Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas [4]. Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.
Hibriditas di lingkungan kolonial dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas drai ortodoksi rezim kolonial maupun identitas-identitas nasionalis bayagan yang harus menggantikannya. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial [5].
Strategi hibriditas ini dapat ditempuh dengan cara mimikri [6]. Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas penjajah di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Tindakan mimikri ini kemudian dapat dipahami sebagai akibat dari retakan-retakan dalam wacana kolonial. Baik bagi penjajah maupun terjajah, tindakan mimikri ini menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif.
Oleh karena itu, identitas hibrida dari tindak mimikri ini tidak pernah benar-benar terkendali atau dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial karena terdapat ambivalensi dalam wacana kolonial. Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus pascakolonial, ambivalensi berkembang menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan-pilihan yang ditawarkan pada subjek-subjek kolonial bagi pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.
Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat keambiguan wacana kolonial. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai subjek terjajahnya dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam, bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah kepada penjajahnya.
Pada level tertentu, tindakan mimikri tersebut dapat pula menjadi suatu olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen ketika di satu pihak membangun persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura (bahkan sambil berbohong) diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan almost the same, but not quite.
Selanjutnya, dalam upaya untuk mengalihkan fokus dari analisis wacana kolonial ke dalam formasi identitas, efek psikis yang mempengaruhi dan beroperasi dari bawah sadar, Bhabha menggunakan konsep Lacan. Bagi Bhabha, identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude melalui prinsip displacement dan diferensiasi.
Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi kolonial salah satunya dapat dilihat dari kerja stereotipe kolonial. Stereotipe adalah representasi dan penilaian yang pasti dan tanpa kompromi terhadap orang lain. Ia adalah bentuk representasi kultural yang kaku dan menciptakan jarak di antara manusia. Stereotipe ini mencakup idealisasi yang selektif terhadap liyan. Stereotipe dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki sedikit kekuasaan dan status dalam masyarakat. Pihak yang menjadi objek penstereotipan kemudian berfungsi sebagai kambing hitam bagi perasaan frustasi, tidak senang, dan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Lebih lanjut, stereotipe adalah dasar legitimasi penguasa kolonial. Penstereotipan adalah muara dari struktur tata kelola yang penuh prasangka dan diskriminatif.
Bhabha berfokus pada upaya menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe. Bhabha menafsir rezim stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respons-respons psikis yang kontadiktif terhadap liyan yang terjajah.
“The Other Question” bermula dari pengamatan terhadap ketergantungan wacana kolonial pada konsep fiksitas dalam representasi atas identitas yang tidak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya. Misalnya, stereotipe mengenai lustful Turk atau noble savage. Akan tetapi, bagi Bhabha, terdapat efek bertentangan dalam ekonomi stereotipe sejauh apa yang seharusnya sudah diketahui ternyata harus secara terus-menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini menegaskan adanya kekuarangan (lack) dalam jiwa penjajah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar ontologis konsep-konsep pascakolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement dan kondisi rupture. “Keterpecahan-keterpecahan” wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.
Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar epistemologis konsep-konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha. Metode ini beroperasi setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya yang mungkin bertentangan dan dapat menunda dan membuat asumsi-asumsi dasar itu ruptured (terpecah). Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.
[1] Berdasarkan tulisan-tulisan Bhabha yang terkumpul dalam The Location of Culture (1994), Bart Moore-Gilbert dalam Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics (1997) membagi dua fase besar dalam karier Bhabha. Pertama, sekitar tahun 1980—1988 Bhabha berfokus pada analisis wacana kolonial. Berbeda dengan Said yang berfokus pada Timur Tengah, Bhabha –seperti Spivak- berfokus pada pertukaran budaya dalam sejarah pemerintahan Inggris di India. Kedua, sejak tahun 1988 Bhabha lebih memberikan perhatian pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antara wacana pascakolonialis dan postmodernisme.
[2] Akan tetapi, resistensi tidak lantas berarti tindak oposisional atau negasi yang murni. Pada dasarnya, resistensi tidak pernah dengan mudah dapat dijelaskan karena ia bersifat khusus, tidak lengkap, dan ambigu. Hal inilah yang kemudian menjadikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah.
[3] Ruang ketiga ini dianalogikan oleh Bhabha (2007: 5) seperti karakter arsitektur tangga-hubung karya Reene Green yang memiliki roda yang mengalir antara ruang atas dan ruang bawah.
[4] Bhabha kembali pada Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminalitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Bagi Fanon, trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.
[5] Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh Robert J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional. Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam “Postcolonial Theory: Possibilities and Limitation” (1998) membagi hibriditas menjadi tiga, yaitu: hibriditas terkooptasi, hibriditas tersembunyi, dan hibriditas intensional.
[6] Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask (1952) yang mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.
Bahan Bacaan:
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Moore-Gilbert, Bart. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics. London, New York: Verso.
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indoensia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jacques Lacan juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh seperti Franz Fanon dan Edward W. Said [1]. Beberapa konsep teori pascakolonialisme Bhabha, antara lain: stereotipe, mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.
Dalam kajiannya, Bhabha mengkritisi model oposisi biner tentang hubungan-hubungan kolonial seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dan Franz Fanon. Said berfokus pada wacana penjajah, sedangkan Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara konsep-konsep Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi [2].
Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah dalam konsep time-lag-nya (yang pertama kali muncul pada tahun 1990), yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.
Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga” [3].
Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas [4]. Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.
Hibriditas di lingkungan kolonial dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas drai ortodoksi rezim kolonial maupun identitas-identitas nasionalis bayagan yang harus menggantikannya. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial [5].
Strategi hibriditas ini dapat ditempuh dengan cara mimikri [6]. Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas penjajah di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Tindakan mimikri ini kemudian dapat dipahami sebagai akibat dari retakan-retakan dalam wacana kolonial. Baik bagi penjajah maupun terjajah, tindakan mimikri ini menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif.
Oleh karena itu, identitas hibrida dari tindak mimikri ini tidak pernah benar-benar terkendali atau dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial karena terdapat ambivalensi dalam wacana kolonial. Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus pascakolonial, ambivalensi berkembang menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan-pilihan yang ditawarkan pada subjek-subjek kolonial bagi pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.
Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat keambiguan wacana kolonial. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai subjek terjajahnya dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam, bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah kepada penjajahnya.
Pada level tertentu, tindakan mimikri tersebut dapat pula menjadi suatu olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen ketika di satu pihak membangun persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura (bahkan sambil berbohong) diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan almost the same, but not quite.
Selanjutnya, dalam upaya untuk mengalihkan fokus dari analisis wacana kolonial ke dalam formasi identitas, efek psikis yang mempengaruhi dan beroperasi dari bawah sadar, Bhabha menggunakan konsep Lacan. Bagi Bhabha, identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude melalui prinsip displacement dan diferensiasi.
Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi kolonial salah satunya dapat dilihat dari kerja stereotipe kolonial. Stereotipe adalah representasi dan penilaian yang pasti dan tanpa kompromi terhadap orang lain. Ia adalah bentuk representasi kultural yang kaku dan menciptakan jarak di antara manusia. Stereotipe ini mencakup idealisasi yang selektif terhadap liyan. Stereotipe dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki sedikit kekuasaan dan status dalam masyarakat. Pihak yang menjadi objek penstereotipan kemudian berfungsi sebagai kambing hitam bagi perasaan frustasi, tidak senang, dan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Lebih lanjut, stereotipe adalah dasar legitimasi penguasa kolonial. Penstereotipan adalah muara dari struktur tata kelola yang penuh prasangka dan diskriminatif.
Bhabha berfokus pada upaya menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe. Bhabha menafsir rezim stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respons-respons psikis yang kontadiktif terhadap liyan yang terjajah.
“The Other Question” bermula dari pengamatan terhadap ketergantungan wacana kolonial pada konsep fiksitas dalam representasi atas identitas yang tidak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya. Misalnya, stereotipe mengenai lustful Turk atau noble savage. Akan tetapi, bagi Bhabha, terdapat efek bertentangan dalam ekonomi stereotipe sejauh apa yang seharusnya sudah diketahui ternyata harus secara terus-menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini menegaskan adanya kekuarangan (lack) dalam jiwa penjajah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar ontologis konsep-konsep pascakolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement dan kondisi rupture. “Keterpecahan-keterpecahan” wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.
Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar epistemologis konsep-konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha. Metode ini beroperasi setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya yang mungkin bertentangan dan dapat menunda dan membuat asumsi-asumsi dasar itu ruptured (terpecah). Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.
[1] Berdasarkan tulisan-tulisan Bhabha yang terkumpul dalam The Location of Culture (1994), Bart Moore-Gilbert dalam Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics (1997) membagi dua fase besar dalam karier Bhabha. Pertama, sekitar tahun 1980—1988 Bhabha berfokus pada analisis wacana kolonial. Berbeda dengan Said yang berfokus pada Timur Tengah, Bhabha –seperti Spivak- berfokus pada pertukaran budaya dalam sejarah pemerintahan Inggris di India. Kedua, sejak tahun 1988 Bhabha lebih memberikan perhatian pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antara wacana pascakolonialis dan postmodernisme.
[2] Akan tetapi, resistensi tidak lantas berarti tindak oposisional atau negasi yang murni. Pada dasarnya, resistensi tidak pernah dengan mudah dapat dijelaskan karena ia bersifat khusus, tidak lengkap, dan ambigu. Hal inilah yang kemudian menjadikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah.
[3] Ruang ketiga ini dianalogikan oleh Bhabha (2007: 5) seperti karakter arsitektur tangga-hubung karya Reene Green yang memiliki roda yang mengalir antara ruang atas dan ruang bawah.
[4] Bhabha kembali pada Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminalitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Bagi Fanon, trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.
[5] Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh Robert J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional. Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam “Postcolonial Theory: Possibilities and Limitation” (1998) membagi hibriditas menjadi tiga, yaitu: hibriditas terkooptasi, hibriditas tersembunyi, dan hibriditas intensional.
[6] Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask (1952) yang mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.
Bahan Bacaan:
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Moore-Gilbert, Bart. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics. London, New York: Verso.
Foulcher, Keith dan Tony Day. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indoensia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Ucapan Terima Kasih
Saya menulis ucapan terima kasih yang cukup panjang di skripsi saya, di bagian kata pengantar. Ucapan sepanjang lima halaman itu saya tujuka...
-
: sebuah penjelajahan awal Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Miche...
-
Tuhanku yang super oke, aku minta maaf. lagi-lagi aku mengeluh. bisakah patah hati ini ditunda? rasanya sangat sakit. aku ingin menang...
-
Entah kenapa saya selalu merasa tenang kalau melihat air yang mengalir. Dan sore tadi, dengan kepala yang rasanya nyutnyut, dari belakang ka...