Sunday, June 3, 2012

KOLONIALISME DALAM BEBERAPA WAJAH

Judul Asli: Dalam Bayang-Bayang Kolonialisme, Filologi dan Studi Sastra
Penulis : Sudibyo
Penerbit : Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tebal : 301 Halaman


Sejatinya, kolonialisme di Indonesia belumlah berakhir, hanya berganti wajah. Masyarakat pascakolonial di negara-negara bekas jajahan dihadapkan pada kondisi yang serba ambigu. Di satu sisi mereka hidup dalam warisan sistem kolonial yang terlanjur mengakar, tetapi di sisi lain mereka ingin resisten.

Hal ini pulalah yang ingin dikemukakan oleh Sudibyo dalam bukunya yang dibagi menjadi dua belas bab dalam enam bagian besar ini. Kedua belas bab ini sebenarnya adalah mozaik terpisah, tetapi kemudian disatukan oleh satu tema pokok, yaitu kolonialisme. Adapun yang menjadi konsentrasi Sudibyo dalam pembahasan kolonialisme tersebut adalah persoalan-persoalan dalam bidang filologi dan sastra.

Ideologi Kolonialisme dan Pertemuan Kolonial
Kita tahu, filologi di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam tradisi orientalisme. Pada masa itu, para filolog membuat batasan yang tegas antara Barat dan Timur sehingga filologi seringkali digunakan sebagai mesin hasrat kolonial. Menghadapi hal tersebut, menurut Sudibyo, diperlukan adanya upaya kartografi hasil kajian filologi serta mempertimbangkan ulang tradisi suntingan teks atau kritik teks. Dengan kata lain, dekolonisasi metode penelitian filologi mendesak untuk dilakukan.


Selanjutnya, pertemuan-pertmuan antara pihak penjajah dan terjajah mememunculkan berbagai wacana kolonial. Dalam hal i, Sudibyo melihatnya dalam beberapa tokoh yang terlibat dengan “tuan-tuan” kolonial, misalnya, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Rafles; Ranggawarsita dan C.F. Winter; dan beberapa Raja Nusantara pada penguasa Eropa yang kesemuanya menggambarkan hubungan antara “diri” dan “liyan”.

Selain itu, Sudibyo juga memaparkan wacana kekuasaan dan negara yang diambil dari Babad Tanah Jawi, Hkayat Raja-Raja Pasai, dan Hikayat Hang Tuah yang ketiganya membentuk wacana tunggal, yaitu, Raja sebagai penguasa yang memiliki kesaktian luar biasa. Baik di Jawa maupun Melayu.

Masih dalam bidang filologi, Sudibyo kemudian menjelaskan fenomena pernaskahan dan perteksan dalam tradisi sastra Melayu klasik. Naskah-naskah tersebut antara lain Hikayat Banjar, Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat Sri Rama, Hikayat Indraputra, dan Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam naskah-naskah tersebut dapat dilihat bahwa proses transmisi mutlak diperlukan guna memahami fenomena pernaskahan dan perteksan itu sendiri.

Wacana Kolonial dalam Sastra
Wacana kolonial hampir selalu bersinggungan dengan subjek terjajah. Dalam hal ini, kaum bumiputra selalu dihadapkan pada posisi itu. Di bagian ini ada laporan perjalanan Van Goens yang dinilai berat sebelah karena terlahir dari prasangka-prasangka stereotipe. Dalam banyak hal, laporan-laporan perjalanan inilah yang seringkali menjadi acuan Barat untuk mendeskripsikan Timur. Bahkan, laporan perjalanan merupakan cikal bakal munculnya cerita-cerita perjalanan yang bertumbuh dari tradisi sastra Eropa.

Selain laporan perjalanan tersebut, karya sastra juga memegang kendali. Bab Citra Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen Karya Madelon Szekely-Lulofs menghadirkan analisis yang tajam mengenai komunitas diaspora kulit putih yang disandingkan dengan nasib para kuli atau orang-orang yang terpinggirkan. Ketiga novel ini menambah daftar panjang karya sastra Hindia-Belanda yang menjustifikasi eksploitasi dan kekuasaan.

Yang juga tak luput dari pandangan Sudibyo adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam tetralogi ini, Sudibyo menitikberatkan pada persoalan nasionalisme. Tetralogi Buru dianggap sebagai novel bildungsroman. Selain itu, Tetralogi Buru pun berhasil mengungkap persoalan bangsa dan antarbangsa secara kuat.

Selain novel, salah satu cerpen Y.B Mangunwijaya juga menjadi perhatian Sudibyo. Cerpen Saran “Groot Mayor” Prakoso mengungkap pola hubungan hegemoni dan resistensi masyarakat pascakolonial. Melalui cerpen tersebut terlihat bagaimana Mangunwijaya secara konsisten melakukan asketisme intelektual. Menurut Sudibyo, Mangunwijaya mampu menciptakan distansi dan bersikap kritis terhadap situasi. Ia mampu keluar dari segala keterikatan serta segala dominasi sosial terhadap dirinya.

Buku ini merupakan salah satu referensi yang bagus dalam studi-studi kolonialisme dan poskolonialisme. Sudibyo menggali secara mendalam dan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap persoalan-persoalan sastra dan filologi. Menariknya, dalam buku ini daftar pustaka dihadirkan per bab. Namun, sayangnya, dalam buku ini masih begitu banyak kata maupun tanda baca yang luput dari perhatian editor sehingga cukup mengganggu. Sayangnya lagi, buku ini hanya dicetak terbatas sehingga kekayaan pengetahuan Sudibyo mengenai persoalan kolonialisme dan poskolonialisme pun agak sulit dijangkau.

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...