Friday, June 8, 2012

ruang, dan hal-hal yang melingkupinya

Selalu ada yang menarik dalam pembicaraan mengenai ruang, bangunan, kota, desa, dan segala hal yang melingkupinya. Saya bahkan mempercayai bahwa sebuah bangunan memiliki jiwa. Ia merekam jejak, merekam memori.

Saat menonton film, seringkali yang saya perhatikan adalah bangunan yang muram, lampu-lampu kota yang kuning, lorong-lorong panjang, juga jalan yang sering kali hiruk pikuk namun tiba-tiba sepi. Masih ingat film Before Sunrise? Selain obrolannya yang menyenangkan, dalam film ini penghadiran tentang sebuah kota juga sungguh memesona. Tapi mungkin ini dipengaruhi oleh Paris sebagai latarnya.

Pembicaraan menarik tentang kota dan para penghuninya pernah saya baca dalam Affair Obrolan tentang Jakarta karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam bukunya tersebut, Seno melihat secara kritis apa-apa yang menghidupi kota. Dari gang sempit, jalan buntu, ruang tunggu, Ali Oncom, sampai buntil. Sisi-sisi romantiknya, juga kepalsuan-kepalsuannya.

Dan dua minggu yang lalu saya pun dipertemukan dengan buku berjudul Arsitektur yang Lain karya Avianti Armand. Jujur saya baru tahu kalau Avianti adalah seorang arsitek. Saya lebih mengenal namanya sebagai cerpenis. Beberapa cerpennya memang luar biasa. Dan membicarakan bukunya tentang arsitektur ini bagi saya tidaklah mudah. Saya begitu jatuh cinta pada buku ini.

Buku ini semacam kumpulan tulisan lepas. Tentang rumah, jendela, kosong, monumen, air, kitsch, dan lain sebagainya. Setidaknya ada 27 tulisan dalam buku ini yang ditulis dengan gaya puitis nan filosofis. Menurut saya, yang membuat menarik dalam buku ini adalah Avianti tidak hanya membicarakan bangunan dari sisi fisiknya. Ia menggali lebih dalam. Jejak dan memori diikutsertakan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi, guna, dan nilai pun tak luput dari perhatiannya.

Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membicarakan semuanya. Selain tulisan ini akan menjadi sangat panjang dan berkelok, karena keterbatasan waktu saya merasa tidak sanggup membahasnya secara keseluruhan.

Rumah
Buku ini mengawali pembicaraannya tentang sebuah rumah. Saya pikir, rumah memiliki definisinya sendiri bagi setiap orang. Namun, rumah selalu memberikan “rasa” tersendiri bagi saya. Perasaan-perasaan sentimentil selalu muncul setiap kali membicakan tentang hal satu itu. Bagi saya, dan mungkin sebagian orang, rumah adalah penerimaan. Maka tak jarang memilih pendamping hidup seringkali dianalogikan memilih rumah atau yang bisa menjadi rumah.

Nah, menurut Avianti, yang terjadi pada kaum urban, rumah kini telah bergeser sekadar menjadi ruang transit. Persinggahan. Orang dipaksa untuk keluar rumah dan terpental-pental dalam pergolakan waktu. Meminjam kalimat Avianti, kini rumah telah kehilangan batas definitifnya dan menjadi sangat elastis. Tidak ada lagi tempat yang kita kenali dan cintai. Dan seringkali orang membutuhkan momen, benda, bahkan seseorang untuk mengikat ingatan dan manjadikan rumah sebagai tempat yang intim.

Barangkali rumah memang tidak selalu ruang. Saya masih selalu teringat pada Old Shutterhand dalam Winnetou yang tidak pernah betah tinggal dalam sebuah ruang. Ia selalu merasa sesak dan tidak bisa bergerak. Karena, baginya, rumah adalah padang rumput.

Rumah bahkan meluas pada rumah Tuhan. Saya pikir, yang ingin ditekankan oleh Avianti adalah adanya keterjabakan pada hal-hal simbolik yang sering terjadi pada “rumah Tuhan”. Kubah, barangkali adalah simbol utama untuk mengenali sebuah masjid. Namun, jika tidak ada kubah, apakah lantas tidak bisa disebut masjid? Demikian halnya dengan tanda salib.

Arsitek dan Tanggung Jawab Sosial
Di samping persoalan fisik bangunan, harusnya, seorang arsitek memiliki tanggung jawab sosial. Ia tidak hanya memikirkan konstruksi bangunan, keindahan serta kemegahannya, tata letak, dan lain sebagainya. Namun, lingkungan, manusia, dan masyarakat secara umum harus pula dipikirkan, diikutsertakan.

Hal ini, salah satunya, bisa merujuk pada perkampungan pinggiran kali Code Yogyakarta yang adalah karya Y.B Mangunwijaya. Perkampungan yang lorong-lorong dan kali-nya memiliki jejak tersendiri dalam memori saya. Romo Mangun, sang sastrawan merangkap arsitek itu, “menyelamatkan” warga Code yang waktu itu hampir tergusur karena tanahnya akan digunakan untuk pembangunan waduk Kedung Ombo. Ruang tinggal mereka akhirnya menjadi hunian yang indah, bahkan proyek ini dianugerahi Aga Khan Award for Architecture pada 1992.

Selain itu, ada Eko Prawoto yang membantu para korban gempa di Yogyakarta pada 2006. Dia membuat proyek sosial untuk membangun rumah di Desa Ngibikan. Dia memberdayakan masyarakat setempat untuk proyek tersebut. Arsitek ini juga kerap disebut-sebut sebagai murid Romo Mangun.

***
Begitulah, sebuah ruang atau tempat, kota ataupun desa, bahkan sintetis antara keduanya, selalu menyimpan jejak. Selayaknya, seorang arsitek pun bisa mengetahui bangunan yang mewakili penghuninya. Tidak harus merujuk pada kekinian. Prestis. Keuntungan. Tapi bagaimana sebuah bangunan bisa menjadi bagian diri penghuninya. Hingga tak ada lorong kampus yang lebih mirip ruang tunggu di rumah sakit. Juga kantin di kampus saya yang beberapa tahun belakangan tidak lagi “nyastra”. Tapi gedung tinggi di depan itu sungguh ekonomi, dan tempat yang asoy untuk bunuh diri.

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...