Tuesday, June 5, 2012

pulang

*Maap yak, lagi gak ada ide buat nulis nih. Ini tulisan zaman dahulu kala banget. Tapi gak semuanya tak posting sih. Tak ‘bersambungin’ ajah. Hehe. Oh ya, ini dimaksudkan sebagai cerpen. Tapi kok ya seperti ini ya..ah mbuh lah..


Empat tahun, berlalu begitu saja. Sudah banyak yang berubah. Jalanan semakin lebar dan halus. Tidak seperti dulu waktu aku masih SD. Hujan menjadi musibah besar karena kami harus bertelanjang kaki dan baru memakai sepatu ketika tiba di sekolah. Takut sepatu kami kotor karena lumpur. Tapi sekarang aku yakin tak ada anak-anak yang bertelanjang kaki ketika pergi ke sekolah. Dan tak ada kolong meja penuh rontokan tanah yang menempel di sepatu.


Pohon-pohon besar di pinggir jalan itu sudah musnah. Banyak bangunan baru. Ada warung baru. Ada rumah baru. Rumah-rumah yang dulu mau ambruk sekarang sudah berdiri menjulang. Rumah yang dulu paling megah sekarang tidak ada apa-apanya, kalah dimakan usia. Mushola bercat hijau itu kini masih berdiri tegak. Meskipun dindingnya mulai retak. Masih ada bahkan semakin banyak coretan di dinding itu. Coretan tangan kreatif anak-anak yang mengaji. Ada gambar hati, panah, juga tidak jarang coretan dengan huruf arab. Entah apa artinya.


Samar-samar terdengar nadhoman imriti dilagukan, aku hanya bisa tersenyum. Dulu aku dan kawan-kawanku belajar mati-matian menghafal tiap nadhoman. Was-was kalau ditanya dan tidak bisa menjawab. Imbasnya akan fatal, ustadz kami tidak akan berhenti menasihati, mengoceh lebih tepatnya. Beberapa umpatan ringan akan singgah di telinga kami. Sekarang, hafalan-hafalan itu lenyap, tak berbekas.


Aku pulang.


Jika pulang selalu dikaitkan dengan rumah, maka aku tidak masuk dalam kategori itu. Karena aku tidak punya rumah. Jika pulang juga selalu dikaitkan dengan ayah ibu yang menunggu, maka aku sudah lama tidak melaksanakan ritual itu.


Aku masih tertunduk. Aku tidak ingin berlama-lama menjadi pemandangan yang asing. Meskipun hanya ada beberapa lampu di jalan, tapi kupikir orang masih bisa mengenali wajahku. Maka kututup sebagian wajahku dengan ujung kerudung. Aku membiarkan sekian mata yang bertanya-tanya. Dan kadang kudengar orang menyebut-nyebut namaku. Tapi aku diam saja. Langkah kupercepat.


Aku sudah tahu kemana harus pergi. Paling ujung jalan ini ada sebuah bangunan berbentuk kotak yang semoga saja masih bisa kukenali. Tiba-tiba langkahku gemetaran. Aku ingin berbelok dan berlari menjauh dari sini. Mungkin harusnya aku memang tidak pernah kembali lagi. Tapi nyatanya aku tidak bisa. Ada perasaan yang mendesak-desak untuk sekadar melihat masa lalu.


Dan, ya, kini aku telah sampai di sebuah bangunan yang dulu kusebut sebagai rumah. Yang kini lebih mirip kuburan. Muram. Aku menghela nafas panjang. Aku mengucap beberapa kali kalimat salam, tapi tidak ada jawaban. Aku masuk ke dalam. Tidak ada suara. Aku masuk semakin dalam. Dan kutemukan kakek. Lelaki tua itu. Masih seperti dulu. Aku menghampirinya. Mencium tangannya.


Mataku terasa panas.


Bersambung..


No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...