Thursday, June 14, 2012

kota yang gagal dikenang

Membaca keempat sajak Indrian Koto tentang kota, saya tidak ingin menganalisisnya dari teori puisi yang rumit, yang tentu saja sudah saya lupakan. Saya ingin melihatnya justru dari sisi arsitektur. Karena, membaca sajak-sajak Koto seperti membaca pengalaman dan kegelisahan Avianti Armand yang ditulis dalam buku Arsitektur yang Lain.

Jika dibagi dalam tataran waktu, keempat sajak Koto bisa dirangkum dalam masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu dalam sajak-sajak ini terkesan begitu harmoni. Dalam sajak “Yogyakarta: Kelahiran Kedua”, awalnya kota menjadi tempat yang nyaman dengan bermacam grafiti di tembok-temboknya. Perasaan-perasaan akan keindahan muncul layaknya remaja yang jatuh cinta. Betapa jatuh cinta saat remaja adalah hal yang sulit dijelaskan keindahan serta kegembiraannya.

Namun, masa kini dalam sajak ini diwakili oleh gempa yang telah mengubah suasana harmoni tersebut menjadi konflik. Barangkali karena banyaknya jalan yang retak dan rumah yang ambruk, bangunan-bangunan baru pun menjamur. Kebangkitan dari ‘keretakan’ dan ‘keambrukan’ itu ternyata over dosis. Kota yang sunyi tiba-tiba berubah menjadi padat. Berbanding lurus dengan kegelisahan. Si aku menjadi diri yang asing, yang lain. Bangunan-bangunan tersebut gusar dan saling bersaing. Tidak saling melengkapi.

Si aku berhadapan dengan ruang yang semakin menyempit. Berdesakan. Jalan yang sunyi dan daun gugur hanya tinggal kenangan yang dirindukan. Namun, kenangan itu gagal dihidupkan karena terdesak oleh bangunan-bangunan baru yang mengepung. Bangunan-bangunan lama hanya tinggal nama. Seperti bioskop tua yang terpaksa gulung layar. Hanya romantisisme tentangnya yang masih bergaung.

Namun seperti kekasih aku pun enggan melepasmu. Ia mencintai kota dengan segala kecintaan yang nanar. Meskipun Ia lahir kembali bukan di sebuah tempat yang sunyi. Tetapi penuh teror kecemasan. Awalnya ia memandang kota dengan mata yang takjub. Namun, masa kini tidak mengizinkan ketakjuban itu berulang. Sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang kota pun bermunculan. Kegelisahan yang menggebu.
Masa kini menjadi semakin sesak. Jalan-jalan sempit/ kendaraan penuh dan saling menjepit/. Di mana kepadatan kuantitas sebuah kota tidak diimbangi dengan kualitatifnya. Sehingga di sini aku nyaris tak mengenal kami lagi. Sehingga hari depan menjadi begitu meresahkan.

Gedung baru dan lampu yang berpijar tidak mampu memberikan kenyamanan awal yang dirasakan oleh si aku. Justru hal-hal tersebutlah yang menggusur kenyamanannya. Kota yang diimpikan oleh si aku adalah kota yang sunyi dengan daun gugur di jalanan yang sepi. Juga sungai Code yang alami seperti perawan yang sedang tumbuh ketika subuh.Hal ini mengingatkan saya pada lagu “Resah”nya Payung Teduh. Aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur. Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.

Ketika berada dalam kondisi kota yang terbelenggu dalam politik identitas, yang bergerak untuk menuju yang lebih 'megah', si aku hanya bisa mengutuk sambil menghidupkan lagi kenangan. Namun, sayangnya, kenangan tak mampu dihidupkan kembali. Ia terdesak oleh lahan parkir dan kampus yang berdiri angkuh. Kegelisahan-kegelisan tersebut berlanjut ketika si aku dihadapkan pada rumah-rumah susun, pinggiran kali, dan kecemasan para penganggur. Yang paradoks dengan mini market 24 jam dan kedai makan impor. Kedai dengan kaca-kaca transparan tempat bersarangnya modal. Bangunan-bangunan tersebut tersuguhkan dalam suasana kota yang hiruk pikuk.

Sapen, yang dulu adalah kampung penyamun, yang masih sunyi, kini pun telah berubah. Menjadi lain. Menjadi asing. Hutan dan belukar berubah kampung dan kamar-kamar/ kegelapan berubah kampus, berubah hotel, berubah pusat perbelanjaan/ masa depan ditanam, kampung digusur, orang-orang berebut datang/ siapa peduli masa lalu kampung ini/ mereka membutuhkan warung makan, laundry, kios pulsa dan sewa murah/.

Bangunan-banguna baru, apa pun bentuknya itu, menjadikan diri semakin asing, bahkan di tanah sendiri. Warnet, rental komputer, dan fotokopi telah menjadi kebutuhan primer orang-orang yang berebut datang itu. Tak ada lagi ruang sosial yang hangat. Semua bertekuk lutut pada modal. Dan jejak masa lalu terabaikan. Ya, siapa yang mau ambil pusing. Harusnya, diantara bangunan yang ramai tersebut, diri menjadi riang, namun sayangnya sepi justru mengoyak. Dan Chairil mencibir, “mampus kau dikoyak-koyak sepi”.

Namun, apa pun itu, ia merasa dilahirkan kembali. Dilahirkan dengan segala kondisi yang melingkupi kota “yang baru”. Dilahirkan untuk mengakrabi dan bergelut dengan kota “baru tersebut”. Berebut tempat dengan kecemasan. Bukan kota “yang dulu” yang membuatnya seperti remaja yang jatuh cinta. Kini Ia telah dewasa dan merasakan patah hati.

Kembali ke masa lalu pun, ke Langgai, ia terkejut oleh keadaan yang sudah berubah. Tak lagi lengang. Si aku menjadi semakin asing. Sebab masa depan terpancang pada antena para bola dan seragam sekolah. Si aku kembali ditempatkan pada ruang ‘realitas’ yang membuatnya gusar.

Dalam “Sosrodipuran” si aku berhadapan dengan rumah dan pintu yang terbuka. Rumah semacam simbol tempat diri berpulang. Namun, ia pun kembali dihadapkan pada kenangan dan kegelisahan. Mengenang yang singkat, mengabaikan yang telah/ dan akan terus berjalan. Seperti tubuhmu, pohon/ kecil yang merangkak jadi remaja/.

Namun, rumah memang tak selamanya mampu menjaga. Ini seperti yang dikatakan oleh Avinati Armand, bahwa rumah telah menjadi semacam ruang transit. “Rumah, juga kota, telah jadi sangat cair, di mana ruang-ruang antah-berantah mengambil bentuk yang spontan, sebuah kepulauan urban dalam mana “ruang-ruang tinggal” adalah pulau-pulau dalam lautan luas yang dibentuk oleh “ruang-ruang pergi” (Armand, 2011: 12).

Kegelisahan akan kota yang telah menjadi hiruk pikuk dan berdesakan tersebut juga dapat dilihat dalam tulisan Avianti yang berjudul “Sembarang Kota”. Adalah tentang pertahanan kota terhadap kapitalisme. Ya, tak satu kotapun yang mampu bertahan. Satu demi satu kota terperangkap pada jaring-jaring kapitalisme. Bandung, yang dulu sempat punya satu mal dan wisatawannya masih senang makan batagor, kini sudah banjir mal, restoran, juga distro. Masjid tua Banten pun mengalami nasib yang sama, sekeliling masjid telah dipenuhi orang berjualan ini itu. Tak ada lagi keagungan masa lalu dan juga kesakralannya. Begitu pula Cirebon dan Palembang.

Dan Yogyakarta, persis seperti yang disajakkan oleh Koto, juga mulai ikut tergerus dalam jaring-jaring tersebut. Di daerah kos saya, baru-baru ini sudah lebih dari tiga restoran dan satu hotel berbintang muncul. Pusat perbelanjaan di seberang jalan itu juga ujug-ujug ada di sana. Sampai-sampai saya lupa bangunan sebelumnya itu apa.

Namun, berbeda dengan Koto, Avianti melihat (atau menemukan?) resistensi di antara keterbatasan ruang yang dikuasai modal. Homo Jakartensis, merujuk pada istilah Seno Gumira Ajidarma, mampu mengisi ruang kosong yang memungkinkan untuk menghirup udara. Sedangkan si aku dalam sajak-sajak Koto larut kedalamnya. Ia tidak sempat (atau tidak bisa?) melakukan apa pun terhadap keadaan kota yang semakin menekan mendesak tersebut.

Entahlah, barangkali si aku memang lebih memilih untuk terus mengenang. Meskipun akan sangat panjang jalannya setelah ini. Meskipun kota itu tak lagi sunyi. Ah, seberapa sunyi kah kamu?

No comments:

Post a Comment

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...