Friday, January 29, 2010

Pagi Bening dan Segelas Teh Manis di Hall Teater Gadjah Mada

Kali ini saya kembali mengumpulkan sisa-sisa ingatan. Laptop yg sempat ngambek membuat semua data saya hilang. Termasuk beberapa catatan. Amat sayang rasanya jika apa yg saya alami tidak saya abadikan dalam sebuah catatan, meskipun singkat. Entah, sejak kapan saya jadi kecanduan membuat catatan semacam ini. Sangat mengasyikkan rasanya. Jika teman2 saya gemar mengabadikan perjalanannya dalam gambar digital, untuk saat ini saya lebih memilih kata-kata untuk mengabadikan setiap mozaik perjalanan saya. Kok jadi curhat.. ^_^

Setelah sekian lama gak nonton teater, saya dibuat tersenyum lebar oleh ajakan mbak Ima (kakak angkatan) untuk menyaksikan pertunjukan teater di TGM. Malam itu, 16 Desember 2009 kira2 pukul 19.45 kami tiba di lokasi. Kami disambut oleh beberapa lilin yg dinyalankan di sepanjang jalan menuju panggung. Hmm, romantis. Ternyata banyak juga teman saya yg datang. Karena belum membeli tiket, kami pun membelinya. Tiket berwarna hijau dengan gambar seorang wanita berbaju merah itu tampak sangat cantik, dan dijual dengan harga lima ribu rupiah saja.

Kemudian kami pun dipersilakan menuju tempat yg sudah disiapkan. Karena tempat duduk yg disediakan adalah lesehan, panitia menyiapkan semacam rak, agar sepatu dan sandal tidak berantakan. Hmm, mengagumkan. Sebelumnya saya belum pernah melihat pementasan lesehan yg ada rak sepatunya. Akibatnya sandal2 pun berantakan dan merusak pemandangan. Kami juga dipersilakan untuk mengambil minuman yg disediakan. Soft drink ala TGM. Teh dan jahe manis. Ada air mineral juga. Saya pun memilih teh manis.

Tampilan panggung cukup sederhana tapi memikat. Ada sebuah kursi taman berwarna putih dan sejumlah tanaman didalam pot. Yup! Latar yg ingin ditampilkan adalah sebuah taman di pagi hari. Oya, pementasan kali ini berjudul Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero yg diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.

Kira2 pukul 20.15 pementasan pun dimulai. Sebelumnya, ada pembawa acara yg bercas-cis-cus sebentar. Kemudian musik dibunyikan. Lighting menyala. Tampak seorang wanita tua bersama pembantunya memasuki panggung (taman). Wanita tua ini bernama Laura dan pembantunya adalah Petra. Kemudian Petra meninggalkan Laura yg tengah asyik bercakap dengan merpati-merpati yg memakan remahan roti. Kemudian masuklah seorang lelaki tua yg bernama Gonzalo dan pembantunya yg bernama Juantino yg mencari kursi kosong di taman. Juantino pun meninggalkan Gonzalo di taman. Kostum yg digunakan oleh para tokoh memperlihatkan bahwa settingnya adalah sebuah daerah di Spanyol.

Laura dan Gonzalo kemudian terlibat dalam sebuah pertengkaran kecil. Laura mengejek Gonzalo karena memakai kaca pembesar saat membaca sebuah syair. Percakapan pun mengalir hingga pada akhirnya mereka menceritakan kisah masing-masing. Tentang pertemuan pertama mereka di sebuah villa. Tentang wanita bagai perak. Padahal sebenarnya mereka menceritakan dirinya masing2. Permainan lighting mengantarkan penonton untuk mengetahui isi hati tokoh yg sebenarnya. Maklum, kedua tokoh diceritakan menutupi identitas masing2.

Mereka tidak mau jujur tentang keadaan yg sebenarnya. Dan memilih untuk membiarkan semua berlalu dalam kenangan tentang masa muda yg penuh gelora. Setelah sekian tahun lamanya terpisah, akhirnya mereka bertemu kembali di sebuah taman pada pagi yg bening. Mereka sangat menikmati pertemuan tersebut. Mereka pun berjanji setiap pagi akan datang ke taman untuk bertemu. Hmm, so sweet. Sebenarnya Laura dan Gonzalo tidak sadar bahwa mereka mengalami kisah dalam syair yg mereka bacakan. Pertemuan bahkan ucapan-ucapan mereka juga sama persis seperti dalam syair.

Drama komedi ini cukup menarik. Penonton pun terhanyut dalam humor segar yg dibawakan. Tapi sayang, pertujukan ini cuma sebentar. Dan berakhir dengan tepuk tangan riuh dari penonton. Kemudian MC memperkenalkan satu persatu para tokoh dan kru. Sayang sekali saya tidak ingat nama2 mereka. Sebelum para penonton pulang, diharuskan juga untuk mengisi semacam questioner tentang pementasan tadi. Sebagai dokumentasi, ada beberapa orang yg diminta pendapatnya untuk direkam.

Saya cukup senang dengan pementasan kali ini. Cukup menggigit. Saya pun tak sabar menunggu pementasan2 TGM selanjutnya.

Salam,
-Ann-

Monday, January 25, 2010

Suatu Hari Tentang W.S Rendra

Sebelum ingatan saya luntur, baiklah saya akan mencoba membuat semacam catatan seminar tentang Rendra beberapa waktu lalu di auditorium FIB UGM. Sebenarnya, cacatan ini bisa dibilang agak usang. Acaranya sudah berlangsung lebih dari dua bulan yg lalu. Maklum, data-data saya tentang seminar tersebut telah hilang disebabkan laptop saya yg sempat ngambek. Tapi untunglah, ada beberapa hal yg saya tulis di kertas. So, biar gak tambah lupa lagi, saya mencoba untuk mengumpulkan mozaik2 ingatan saya tersebut dalam bentuk catatan singkat. Barangkali suatu saat berguna.

Pada hari Sabtu tgl 14 November 2009, kira2 pukul tujuh pagi, di depan ruang auditorium FIB tampak sejumlah orang yg tengah melakukan beberapa aktivitas. Ada yg mempersiapkan meja tamu, ada yg mempersiapkan snack, ada juga yg menata buku (berjudul “Repertoire” yg akan dibagikan secara gratis untuk para tamu, tersedia dlm bhs Indonesia dan bhs Inggris). Di dalam ruangan, telah berderet dgn rapi sejumlah kursi untuk para tamu dan pembicara. Yup! hari ini akan diadakan sebuah seminar untuk mengenang wafatnya Rendra, yang kemudian disebut sebagai “bulan Rendra”. Seorang sastrawan besar yg sampai saat ini fotonya masih terpajang gagah di dinding kamar saya. Hehe.

Kira2 pukul sembilan, beberapa undangan telah datang dan menempati sejumlah kursi. Pak Dibyo dan Bu Ningrum juga sudah datang dari tadi. Tampak juga pak Bakdi Soemanto, yg nantinya akan jadi pembicara. Oya, yg akan jadi pembicara pada seminar kali ini selain pak Bakdi adalah pak Faruk H.T, pak Nugroho, dan M.H Ainun Nadjib alias Cak Nun. Wow, pasti seru!

Pukul 09.30 telah lewat, tapi acara belum juga dimulai. Ternyata masih nunggu pak Faruk yg belum datang. Kira2 pukul 09.45 Bu Novi, yg bertugas sebagai MC, mempersilakan para undangan untuk menempati kursi bagian depan karena acara akan segera dimulai. Sayang sekali, yg datang tidak begitu banyak. Masih banyak kursi yg kosong. Teman2 jg tidak banyak yg datang karena mengira acara ini tidak untuk umum.

Di podium telah duduk Cak Nun yg waktu itu memakai baju hitam, Pak Faruk, dan Pak Dibyo selaku moderator. Seminar kali ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah cak Nun dan pak Faruk. Pak Dibyo kemudian mempersilakan Cak Nun untuk berbicara terlebih dahulu. Cak Nun, yg selalu mendampingi Rendra pada saat2 terakhirnya, bercerita tentang bagaimana manusia Rendra. Jika Rendra telah banyak dibicarakan sebagai penyair dan dramawan, kali ini cak Nun hanya ingin bercerita tentang bagaimana keseharian Rendra. Bagaimana sikap hidup Rendra. Menurut cak Nun, saat ini masyarakat tidak dapat menghargai tokoh2 besarnya, mulai dari Habibie, Nur Kholis Madjid, dan Gus Dur. Nah, kehadiran Cak Nun adalah untuk mengakui orang2 besar itu, kelakarnya. Selanjutnya, cak Nun tak ingin Rendra dilupakan begitu saja. Beliau senang bahwa Rendra diperingati dimana2.

Rendra adalah pribadi yg sangat luhur. Di saat2 terakhirnya ia masih sempat memikirkan orang lain. Diceritakan oleh cak Nun bahwa saat menentukan satu orang yg akan ikut pada pengobatan Rendra di Singapura, Rendra memilih A. Tapi kemudian Rendra juga memilih B, C, dan D karena tidak mau mengabaikannya. Hmm, saya sangat terharu mendengarnya. Dilain kesempatan, Rendra adalah pemeluk agama yg kuat. Cak nun bercerita bahwa Rendra selalu menangis “ngguguk-ngguguk” jika mendengar asma Allah dan Rosulnya. Rendra juga menganggap bahwa islam adalah agama yg demokratis. Karena dengan syahadat ia bisa mengislamkan dirinya sendiri. Pengalaman spiritual Rendra ketika itu terjadi di pantai Parangtritis. Bagi cak Nun, tiga penyair besar Indonesia sampai saat ini adalah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, dan Rendra. Yup! saya setuju.

Pembicara selanjutnya adalah pak Faruk. Beliau berkelakar bahwa sebenarnya tidak tahu kenapa bisa duduk dipodium pada saat itu. Beliau merasa tidak begitu mengenal Rendra. Tapi akan mencoba berbicara tentang Rendra dari sisi akademik . Tapi seribu maaf, pembicaraan pak Faruk sama sekali tidak terekam dalam memori saya. Bahasannya agak berat. Otak saya gak siap. Hehe.

Dalam diskusi tersebut salah satu peserta mengutarakan pendapatnya. Bagaimana kalau Rendra dijadikan sebagai bapak teater modern Indonesia? Mengingat bahwa Usmar Ismail dijadikan sebagai Bapak perfilman Indonesia. Cak Nun menjawab bahwa sebenarnya Rendra telah menjadi bapak teater Australia. Tentang ide tersebut Cak Nun setuju, tapi kata ‘bapak’ perlu didiskusikan kembali. Pak Faruk malah gak setuju dengan adanya kata ‘bapak’ . “gak perlu lah yg gitu2an” katanya. “tapi kalau ‘anak’ saya setuju”. Hahaha…

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang keindahan, ketenangan, dan kebebasan Rendra. Cak Nun mengatakan bahwa Rendra adalah wakil keindahan Tuhan. Rendra itu menginformasikan kehidupan. Rendra itu keindahan. Dia adalah orang yg sangat cinta kepada Indonesia. Cak Nun bilang bahwa belum pernah menemukan nasionalisme seperti nasionalismenya Rendra pd seniman2 lain. Rendra mantap menjadi penyair adalah ketika bertemu dengan tukang arang. Kehidupan maju yg dibayangkan oleh tukang arang bukan menjadi orang yg kaya-raya. Cita2 si tukang arang adalah ingin bagaimana bisa membikin arang menjadi lebih baik. Sejak saat itulah Rendra menemukan ketenangan.

Pak Dibyo kemudian menyudahi diskusi sesi pertama tersebut dan mengucapkan terimakasih atas kesediaan Cak Nun untuk datang. Cak Nun malah bilang kalo dirinya sangat bersedia datang, asalkan waktunya dikonfirmasikan terlebih dahulu. “kalo dulu saya ditolak, itu karena zaman dulu dosen2nya isih pekok” kelakarnya. Hahahaha. Cak Nun pun meminta maaf karena tidak bisa mengikuti seminar hingga akhir.

Sesi kedua adalah pak Bakdi dan pak Nugroho. Pak Dibyo mempersilakan pak Nugroho, dosen Sastra Nusantara, untuk terlebih dahulu menyampaikan makalahnya. Karena pak Nug merasa hari2nya selalu diliputi wayang, wayang, dan wayang, maka apa boleh buat, ia pun berbicara soal Rendra dari segi pewayangan. Menurutnya, Rendra adalah seorang seniman besar yg tidak melupakan kebudayaan bangsanya. Salah satunya adalah pewayangan.

Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian nama terhadap anak-anaknya. Delapan anak Rendra selalu “diembel-embeli” dengan nama wayang. Daniel Seta, Clara Sinta, Yunus salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, …. Saraswati (yg ini saya lupa nama depannya), Isaias Sadewa, dan Maryam Supraba. Menurut pak Nug, nama2 tersebut tidak ada yg keliru, semua ditempatkan pada tempatnya secara benar. Tidak keliru antara laki-laki dan perempaun. Pak Nug menambahkan bahwa sebarat-baratnya Rendra, ternyata dalam hati kecilnya masih memikirkan Jawa.

Selanjutnya, Pak Bakdi akan berbicara tentang Rendra yg dilhat dari lakon drama Kereta Kencana. Kereta Kencana tumbuh menjadi ikon Rendra, dimainkan dimana-mana oleh Rendra dan Istrinya. Kereta Kencana adalah daptasi dari lakon The Chairs karya Iogene Ionesco, seorang dramawan Perancis. The Chairs dalam bahasa Perancis adalah Les Chaises yg berarti ‘kursi-kursi’. Pak Bakdi bercerita bahwa Lakon The Chairs adalah favorit Umar Kayam, tetapi Kayam agak terkejut ketika The Chairs diadaptasi oleh Rendra. Munculnya Kereta Kencana bersamaan ketika pementasan Bengkel Teater menyusut.

Awalnya, lakon Les Chaises menceritakan seorang profesor tua dan istrinya yg tinggal di sebuah pulau. Mereka tengah menunggu tamu-tamu untuk mendengarkan ceramah sang profesor. Ruang tamu mereka telah dipenuhi oleh kursi. Tapi tamu2 yg ditunggu tersebut tidak pernah datang. Suasana yg terbentuk pd lakon tersebut adalah hampa dan mencekam. Sepi. Ini adalah cerminan suasana pasca perang dunia II. Namun, Rendra telah mengubah segalanya! Tidak ada kursi-kursi di panggung Rendra, tapi dibayangkan ada. Yang paling penting adalah suasana sepi diubah Rendra menjadi puitis. Ruang yg kosong menjadi penuh dan berkebalikan dengan lakon Les Chaises. Disinilah letak kreaativitas Rendra.

Pak Bakdi membawakan makalahnya dengan sangat ekspresif. Sesekali beliau menirukan dialog2 lakon. Dan keren banget. Maklum, pak Bakdi juga adalah pemain teater yg handal. Bersama Rendra, beliau telah malang melintang di dunia perteateran. Menurut pak Bakdi, salah satu ciri Rendra adalah selalu menjaga daya hidup.

Kemudian, pak Dibyo pun membuka tanya jawab. Hmm, bayak juga pertanyaan yg disampaikan. Pertanyaan pertama disampaikan oleh Bu Ningrum (dosen dramaturgi). Drama Rendra yg manakah yg paling master piece? Dan sejauh mana Rendra membawa kontribusi terhadap teater Indonesia? Kemudian pak Bakdi menjawab bahwa sepulangnya dari Amerika, Rendra ingin membangun teater Indonesia yg pada waktu itu “masih begitu-begitu saja”. Pada waktu itu Rendra nonton pementasan Arifin C. Noer yg berjudul Caligula. Kemudian munculllah teater Mini Kata, yg oleh pak Bakdi dianggap paling berpengaruh. Meskipun pd setiap pementasan Rendra selalu ada pembaruan.

Pertanyaan selanjutnya adalah analogi Rendra dalam dunia pewayangan. Oleh pak Nug di jawab, karena mengingat kata Cak Nun bahwa Rendra adalah wakil keindahan, maka seandainya Rendra adalah tokoh wayang, yg sesuai dengannya adalah Arjuna. Arjuna adalah jago para dewa dengan keindahan fisiknya. Betul..betul..betul.

Kira2 pukul 12.45, pak Dibyo menyudahi diskusi kali ini. Dan Bu Novi pun menutup acara. Hmm, diskusi yg sangat menyenangkan. Bagaimanapun Rendra tak akan tergantikan. Ia akan selalu besar. Selalu dikenang. Selamat jalan Burung Merak..

Sebenarnya, acara tentang Rendra belum selesai. Malam harinya ada pementasan teater oleh Putu Wijaya, tentang Rendra juga. Dan sangat menarik. Tapi akan saya ceritakan dilain catatan saja. Takut catatan ini jadi terlalu panjang.

Salam,
-Ann-

Thursday, January 21, 2010

PADA SEBUAH STASIUN

Perjumpaan denganmu
Seperti mengeja anak-anak waktu,
Yang tak sempat kujadikan lagu

Masih ada kursi-kursi tua
Dan berpasang-pasang rel kereta

Matamu yang perak,
Bertanya tentang cinta

Barangkali sepasang rel kereta lebih mampu menjawabnya.



(Januari, 2010)
-Ann-

DARI HALTE KE HALTE

Dari halte ke halte,
Sebuah bus berjalan pelan-pelan sebelum petang
Kacanya menyerap hujan
dalam dialog yang panjang

Dari halte ke halte,
Beberapa pasang wajah bercerita
tentang lampu-lampu yang selalu terjaga
tentang pohonan yang menjadi suram tiba-tiba

Dari halte ke halte,
Angin mengabarkan berita
tentang malam-malam yang semakin asing
tentang jalanan yang kian bising

Dari halte-ke halte,
Sebuah bus berjalan pelan-pelan dalam hujan

Dan berhenti pada sebuah jam.


(Januari,2010)
-Ann-

Wednesday, January 20, 2010

Team IdeKita in Action: Pementasan Drama Titik-titik Hitam Karya Nasyah Djamin

Setelah melalui proses latihan selama dua bulan (tenane? Paling cuma dua minggu, hehe) akhirnya pada 16 Januari 2010, bersama dua team lainnya, awak kapal IdeKita Production mementaskan drama berjudul Titik-titik Hitam karya Nasyah Djamin. Tenang, akan saya ceritakan bagaimana aksi kami diatas panggung, tapi lebih afdholnya saya ceritakan dulu bagaimana proses kami selama latihan, nyiapin properti, ampe setting panggung, dan akhirnya pentas!

Awalnya adalah sebuah tugas. Mata kuliah dramatisir, eh dramaturgi dink, selain diwajibkan untuk bikin film pendek, para mahasiswa juga diwajibkan mementaskan sebuah drama. Maka terjadilah rapat besar-besaran oleh tim IdeKita untuk menentukan naskah mana yang akan dipentaskan. Dan terpilihlah Titik-titik Hitam karya Nasyah Djamin. Sejujurnya, naskah ini dipilih karena menyesuaikan jumlah anggota yg hanya lima orang. Empat putri cantik dan satu pangeran yg lumayan tampan, (sebenarnya agak berat mengucapkannya,hehe, piiiiss).

Titik-titik Hitam menceritakan kondisi keluarga yg diliputi permasalahan. Permasalahan yg sulit dipecahkan. Mereka saling menutupi kesalahan orang2 yg mereka cintai. Seorang ibu yg membenci menantunya (Adang) karena seri ng meninggalkan anaknya keluar kota. Seorang suami (Adang) yg mencintai istrinya (Hartati), tapi tidak dapat mencukupi kebutuhan batinnya. Istrinya tersebut selingkuh dengan adiknya sendiri (Trisno). Seorang wanita (Rahayu, adik Hartati) yg menggugurkan kandungannya. Kakak adik (Hartati dan Rahayu) yang memperebutkan orang yg sama (yaitu Trisno). Juga seorang dokter yg merasa berdosa karena pernah menggugurkan kandungan Rahayu. Dan puncaknya, Hartati meninggal karena tekanan batin. Apakah Anda bingung? Baguslah, ini memang membingungkan.hehe

Selanjutnya adalah penentuan peran. Setelah menimbang, memilih, akhirnya diputuskan: Muh. Rasyid Ridlo berperan (sebagai Adang), Riassa Maistyari (Rahayu), Inta F. Devi (ibu) , Srikandi Yuniar (dokter), dan karena gak ada yg laen terpaksa Anis Mashlihatin berperan sebagai suster. Hehe. Salah satu tokoh harus dihilangkan soalnya kekurangan SDM. Karena udah malang melintang di dunia per-teater-an, akhirnya si Ridlo dikenai hukuman jadi sutradara. Dan latihan2 pun dimulai. Kendala utama adalah menentukan jadwal latihan ditengah padatnya kuliah (dan pacaran,haha). Gedung Margono menjadi saksi bisu latihan2 kami tiap sore.

“menunggu” ternyata menjadi bagian dari proses kami. Menunggu teman yg telat, menunggu hujan reda, dan menunggu-menunggu yg lain. Saling evaluasi adalah hal yg sangat menyenangkan. Ternyata vokal menjadi masalah beberapa pemain. Ada yg gak bisa vokal keras, ada yg selalu menambah huruf “H” saat mengucapkan kata-kata berawalan huruf a-i-u-e-o, ada yg belepotan saat mengucapkan huruf “R”. Hmm, tapi kami terus belajar. Kami saling memberikan energi positif. Dan menghafal naskah adalah hal yg paling sulit. Dialognya panjang2. Si Ridlo susah menempatkan kata2 “sudah”, “cukup”, dan “diam”. Si Candy kesulitan menempatkan kata2 “tenang”, “sabar”, dan satunya lagi saya lupa.

Jujur, kawan. Sebenarnya kami baru benar-benar latihan saat seminggu sebelum hari H. Biasa, tekanan deadline. Hehe. Diantara paper2 yg harus dikerjakan untuk ujian semester, kami pun berusaha untuk latihan tiap sore. Semangat pun membara karena sadar belum menguasai peran dan dialog. Latihan pun diperpanjang. Dari siang ampe malam. Latian ampe jam sebelas malam udah jadi hal yang biasa. Kami tahu, kami sadar, ini bukanlah proses yg baik. Bukan latihan yg baik untuk sebuah pementasan drama. Barangkali jika suatu saat ada kesempatan lagi, kami akan berusaha lebih baik (ini bukan berarti kami pengen ngulang mata kuliah dramaturgi lhoo).

Oya, sebenarnya ada dua kelompok lagi, mereka menamakan diri sebagai kelompok JalanSenja dan Len’s. (Hmm, tentang pementasan dua kelompok ini akan saya ceritakan juga). Dari tiga kelompok ini, tim-tim kecil pun dibentuk untuk membagian tugas. Ada bagian publikasi, acara, konsumsi, perlengkapan, dan dokumentasi. Saya dan Icha bagian publikasi, tapi akhirnya yg desain pamflet si Ridlo.hehe. Kami sedikit bandel, sedikit nakal. Publikasi sengaja ditempel H-2 biar gak banyak yg liat. Biar gak banyak yg nonton. Sssssst, sebenarnya ini rahasia. Tapi gak papa, smua sudah berlalu jadi saya ceritakan saja. Hehe..

Tim idekita melaksanakan gladi bersih pada jumat malam di hall Teater Gadjah Mada (TGM). Oya, kami juga dibantu oleh dua makhluk super haibat dari TGM, yaitu si Erlin dan si Ari. Klo gak ada mereka, entah apa yg terjadi. Mereka selalu setia menemani kami. Dan banyak membantu masalah keaktoran dan musik. Penghargaan tertinggi untukmu wahai Erlin dan Ari.

Selanjutnya, kira2 pukul 20.30 kami bersiap untuk setting panggung di ruang C203 dan C204. Si Rifqi datang bareng Yudho dan si gendut (adek angkatan) buat ngangkut backdrop, kabel, ligthing, sound, dan beberapa peralatan lainnya dari TGM. Dan kami menyewa mobil pick-up untuk mengangkut peralatan2 tersebut. Banyak bgt je..

Untungnya, pak satpam bersedia membukakan gedung C. Dan kami pun langsung beraksi. Mengangkut semua peralatan dari lantai satu ke lantai dua. Menyingkirkan kursi2. Memasang backdrop, lighting, dan sound. Menjelang pukul dua belas malam wajah2 kelelahan, ngantuk, plus kelaparan pun mulai terlihat. Tapi kami masih semangat. Akhirnya, pekerjaan kami sudahi kira2 pukul satu pagi. Dan akan kami lanjutkan besok karena lighting belum terpasang sepenuhnya. Tapi backdrop, kabel2, dan sound sudah terpasang. Maklum, kekurangan SDM cowok..hehe

Sabtu, 16 januari 2010. Akhirnya hari ini datang juga. Kira2 pukul sembilan pagi beberapa orang tampak memasuki ruang C203. Yup! mereka adalah kelompok JalanSenja dan Len’s yg bersiap-siap melakukan gladi bersih dan menyiapkan beberapa properti. Saya bersama teman2 IdeKita juga mempersiapkan property. Property kami cukup banyak dan berat. Dan para wonder women pun beraksi. Dibantu oleh Edi (adik angkatan) mengangkat beberapa sofa dari jurusan satra Indonesia ke ruang C203. Fiuuh..cukup menguras tenaga juga ternyata. Dan hasilnya: tangan jadi kram dan biru2. Haha. Tak apalah, demi artistik yg dahsyat (ah, gak juga tuh...)

Kira2 pukul setengah satu siang, panggung pun telah siap. Semua lightingpun telah terpasang. Semua property juga telah selesai. Saatnya para pemain di make up. Saya mengucapkan terimakasih yg sebesar-besarnya kepada mbak Ima, mbak Tiwi, dan Dita yg telah bersedia me-make up-in kami. Gila! Make-upnya musti tebel bgt biar kelihatan karakternya.

Saya tidak tahu dengan jelas keadaan di luar karena sedang di make up juga. Yang pasti beberapa penonton telah berdatangan. 2000an paling, hehe. malahan ada yg rombongan satu keluarga dari luar kota lo.. siapa lagi kalo bukan keluarganya si Rifqi yg datang dari Solo. Salut2. Jadi terharu. Gak cuma itu, ternyata mas Maman, the man behind the cam, juga datang dengan membawa beberapa peralatan untuk merekam. Peralatannya lengkap bgt. Hmm, gak nyangka apresianya sangat besar. Sangat terharu saya.

Pukul 13.30 pementasan pun dimulai. IdeKita mendapat giliran pertama. Dag-dig-dug rasanya. Ternyata terjadi banyak improvisasi di panggung karena ada dialog yg salah, hehe. Kemudian disusul kelompok Len’s dengan drama berjudul Para Jahanam karya Zulkifli Sasma, dan JalanSenja dengan drama berjudul Terdakwa karya S.Hastuti. Yg jadi pembawa acara kali ini adalah mbak Dewi dan mas Kobe. Sebelum pentas, kami pun melakukan kosentrasi dan meditasi. Wah, demam panggung nih. Butuh obat turun panggung kayaknya.

Teman mas Maman (maaf saya tidak tahu namanya) dan si Erlin sedang sibuk merekam jalannya pementasan. Sementara si Ari sibuk mengatur lighting dan musik.

Pementasan drama Titik-titik Hitam kira2 berlangsung selama 40menit. Para Jahanam kira2 20menit, dan Terdakwa kira2 30menit. Para Jahanam menceritakan kehidupan kaum underdog. Dialog2 umpatan memenuhi drama ini. Karena kekurangan pemain cowok, cewek2 Len’s ini berdandan layaknya cowok. Sip2. Kalo Terdakwa menceritakan masalah hukum pada zaman Orde Baru. Disajikan dalam bentuk drama komedi. Sangat menyenangkan..

Dan pementasan pun diakhiri dengan tepuk tangan penonton. Juga sedikit komentar dan apresiasi dari Bu Ningrum, dosen tercinta kami. Sayang, mas Alvein (salah satu dosen dramaturgi spesialis film) gak bisa datang karena sedang menjalankan proyek di luar kota. Bu Ningrum cukup bangga dengan pementasan kami dan sedikit mengomentari beberapa adegan, juga artistik. Dilanjutkan juga dengan pertanyaan beberapa penonton tentang bagaimana kami berproses. Diskusi pun cukup seru..ditambah lagi dengan curhat dari ibunya si Rifqi. Hehe

Kira2 pukul 15.30 acara pun usai sudah. Dilanjutkan dengan sesi photo2. Saling jabat tangan antar pemain. Senyum puas terlihat dari semua kru. Usai sudah semuanya. Maka, dilanjutkanlah dengan membereskan semua peralatan. Hmm, musti menurunkan sofa lagi. Dan semua tertata rapi seperti sedia kala kira2 pukul 16.30.


Salam,
-Ann-

Sunday, January 10, 2010

MADYA HARI 2: SEPOTONG WORKSHOP DAN IKO UWAIS YANG MERANTAU

Jumat, 8 Januari 2010

Rasanya amat sayang kalau saya tidak membuat catatan workshop penulisan skenario yg diadakan MADYA. Meskipun saya hanya sempat mengikuti beberapa menit karena terlambat datang. Padahal ini adalah workshop yg saya tunggu2. Tapi tak apa, toh saya masih sangat beruntung, karena masih bisa menyaksikan pemutaran film MERANTAU. Ditambah lagi dengan diskusi asyik bareng Produser ama aktor utamanya. Oiya, ada pertujukan silat juga lho..Hmm, sangat mengasyikkan tentunya ^_^.

Kira2 pukul tiga sore saya tiba di ruang audio visual benteng Vredeburg. Ada beberapa orang yg diluar ruangan yg menjaga buku tamu. Ada juga mbak Ima yg menjaga buku2. Kemudian saya langsung masuk ruangan yg tengah berlangsung workshop penulisan skenario film oleh Seno Aji dari Art Film School. Saya hanya mengikuti kurang lebih tigapuluh menit, jadi hanya sedikit saja yg bisa saya catat. Diantaranya adalah tentang sekuens, dan tentang seberapa besar peranan skenario dalam pembuatan film? Kenapa pesan kadang tidak sampai kepada penonton?

Mas Seno yang sore itu memakai kaos warna hijau menjawab bahwa sebenarnya dia juga gak tahu. itu adalah permasalahan film, bukan skenario. Sebuah skenario akan dibedah sesuai dengan wilayahnya. Tapi sutradaralah yg memegang kendali. Ternyata, Skenario yg tidak baik juga macem2 jenisnya. Ada skenario yg dialognya apa adanya. Dan itu gak boleh. Karena akan banyak improvisasi di lapangan. Beliau juga bilang kalo penulis juga harus bisa memahami kondisi rumah produksi Indonesia. Bagaimana mereka memproduksi sebuah film. Sedikit Tips dari mas Seno: kalau temen2 punya cerita, ditulis atau diketik aja, apapun tulisannya jangan dihapus. Juga harus diberi nama atau tanggal.

Karena jam sudah menujukkan pukul setengah empat. Diskusi pun disudahi. MC mengambil alih acara. Selanjutnya, yang tak kalah menarik, adalah pemutaran film Merantau. Karena sebelumnya saya belum pernah menonton, saya pun cukup dibuat penasaran.

Pukul 15.30. Beberapa orang tengah menyiapkan dua proyektor dan pita seluloid. (Udah gak sabar nee pengen liat filmnya). Kemudian lampu dimatikan. Tapi sebelum liat filmnya, penonton disuguhin behind the scene-nya dulu. Produser film ini adalah Ario Sagantara. Sutradara sekaligus penulis skenarionya adalah Gareth Evans, seorang bule berkebangsaan Inggris. Tak lama kemudian film Merantau pun diputar. Suara berisik dari proyektor sedikit mengganggu, jadi musti pasang telinga dengan seksama.

Film dibuka dengan Yuda (Iko Uwais, aktor utama) yang sedang berlatih silat, dengan latar belakang suara ibunda Yudo (Christine Hakim) yang menerangkan tentang tradisi merantau di Minangkabau. Hmm,, adegan2 awal membuat saya terharu. Yuda yg menetapkan hati untuk keberangkatannya ke Jakarta dan ibunya yg mencoba merelakan kepergian anaknya (jadi ingat ketika saya memutuskan untuk kuliah di jogja,hoho). Adegan favorit saya adalah saat Yuda, Yayan, dan Ibunya makan bersama.

Entah apa yg dibayangkan Yuda. Hanya dengan bekal silatnya ia memutuskan untuk mencari penghidupan di kota metropolitan seperti Jakarta, yang konon kabarnya sangat kejam. Hehe. Beberapa kejadian kebetulan mengantarkan Yuda pada persoalan komplotan perdagangan wanita. Yup, Yuda pun bertarung dengan komplotan tersebut. Beberapa aksi laga pun dimulai. Yuda menujukkan kebolehannya dalam bersilat. Gila! Keren banget. Ia mampu menumpas beberapa orang hanya dengan tangan kosong. Konon, silat yang digunakan Yuda adalah silat harimau. Adegan silat di lift juga keren (agak mikir, gimana ya nyutingnya?hehe).

Diantara ketegangan melihat aksi Yuda, saya dikagetkan oleh sebuah suara yang memanggil nama saya. Eh, ternyata mas Maman. Beliau duduk dibelakang saya. Mas Maman yg sebelumnya udah nonton film Merantau di bioskop sedikit berkomentar. Beliau tertarik dengan adanya tiga hubungan persaudaraan dlm film ini. Yaitu, Yuda dengan Yayan, Astri dengan Adiet, dan dua tokoh bule (kalo gak salah namanya Ratger dan Luc). Beliau Juga kagum dengan kehebatan Yuda yg gak pernah makan selama pertarungan. Hehe, ada-ada aja.

Menjelang maghrib, film ini usai sudah. Dan diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari penonton. Hmm, sedikit komentar dech tentang film Merantau. Saya rasa film ini cukup berhasil jika dilihat dari penyajian aksi-aksi laganya. Apalagi dengan mengangkat pencak silat sebagai latar belakang. TOP banget . Tapi (harus ada kata “tapi” diar lebih afdhol, hehe), seandainya film ini juga dibingkai dengan cerita yang menarik, atau paling tidak dengan permainan alur pasti hasilnya lebih mantapp. Namun sayangnya hal itu tidak terjadi. Barangkali sang sutradara hanya berkosentrasi pada aksi laganya aja. Tapi secara keseluruhan, film ini patut diacungi jempol.

Diskusi dengan produser dan aktor utama film Merantau akan dimulai pukul tujuh. Kedatangan si lucu Zahra dan Zaskiya (kedua putri mas Alvein) sangat menyenangkan dan cukup mengisi kekosongan waktu. Saya pun mencoba meng-sms teman2 untuk datang pada diskusi. Tapi sayangnya mereka tidak bisa datang. Barangkali hujan cukup membuat malas. Aih, tampak beberapa laki-laki yg memakai kostum serba hitam dengan sedikit hiasan di kepalanya. Saya tidak tahu beliau2 ini berasal dari mana.

Jam sudah menujukkan pukul 19.30. MC pun membuka acara. Sebelum diskusi dimulai, penonton disuguhi dengan pertunjukan silat. Ternyata eh ternyata, beberapa orang dengan kostum serba hitam tadi mau silat toh. Hmm.. jadi penasaran. Beberapa saat kemudian sepasang pemain silat pun udah siap menggelar aksinya. Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana gerakan mereka. Yang jelas cukup menarik. Tapi cuma sebentar.

Dan diskusi pun dimulai. Di podium telah duduk produser film Merantau, Ario Sagantara, dan tokoh utamanya, Iko Uwais. Iko yg memakai kemeja merah hati tua, jeans, dan sepatu warna putih tampak guanteng ^_^. Juga duduk bapak perwakilan dari MADYA dan pencak silat tadi (maaf, saya lupa namanya).

Tentang diskusi yang menarik ini saya tidak mengikuti sepenuhnya. Kendala jam malam, huh :< . Jadi hanya sedikit saja yg bisa saya catat. Saat ditanya tentang ide pembuatan film Merantau ini, mas Ario mengungkapkan bahwa sudah saatnya perfilman Indonesia membangkitkan kembali geliat film laga, genre yg sudah lama tidak muncul. Film laga Merantau mengenalkan seni beladiri pencak silat. Ini juga menjadi semacam cara untuk mengenalkan budaya Indonesia go internasional. Namun amat disayangkan, kenapa ide mengangkat seni beladiri silat ini justru datang dari orang luar? Selanjutnya, mas Ario menambahkan kalau film Merantau ini juga “melahirkan” hero lokal. Setelah sekian lama kita “kehilangan” hero seperti si Pitung.

Iko, yang juga seorang atlet silat nasional, saat ditanya tentang pengalamannya terlibat dalam produksi film ini merasa sangat senang. Ia juga berharap melalui film Merantau, orang2 semakin tertarik dengan silat. Hmm, film Merantau juga sempat diputer di Festival film Korea Selatan lho.. Tampaknya, kehadiran film Merantau membawa angin segar bagi masa depan film laga Indonesia. Semoga.

Jam sudah menujukkan pukul 20.30. Sayang sekali saya harus pulang. Padahal diskusi belum selesai. Tapi tak apa, saya cukup senang. Kali ini, saya adalah satu2nya penumpang di bus trans Jogja jalur 2A.

Salam,

-Ann-

Friday, January 8, 2010

MADYA HARI 1: EPISODE PAMERAN DAN DISKUSI FOTO

Kamis, 7 Januari 2010

Wow… ditengah asyiknya UAS (asyik?? yg ada juga kebalikannya kalee), ternyata ada acara yg bikin nih otak jadi super fresh. Bagaikan oase ditengah gurun,hehe. Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) tengah menggelar beberapa acara di Benteng Vredeburg dalam rangka evaluasi pengelolaan warisan budaya di Indonesia thn 2009, sekaligus memperingati ultah MADYA yg pertama.

Pukul 13.45. Tepatnya di gedung audio visual benteng Vredeburg, tengah ada sejumlah orang (maaf, saya gak tau namanya, salah duanya adalah mbak Novita dan mas Alvein) yg mempersiapkan beberapa lembar foto yg akan di pajang. Siang ini ada pameran foto dengan tema warisan budaya. Hmm..foto2nya jelas Te Oo Pe Be Ge Te donk. Hasil jepretan fotografer2 muda yg handall. Tak lama kemudian beberapa pengunjung pun tampak dan mereka dipersilakan untuk mengisi buku tamu. Oiya, selain pameran foto, hari ini juga ada diskusi foto. Tenang, tentang diskusinya akan saya ceritakan juga.

Sembari menunggu acara diskusi dimulai, beberapa pengunjung tengah asyik mengagumi foto yg telah dipajang. Juga melihat2 buku yg di display (tentunya untuk dijual). Ada beberapa buku dari penerbit LKiS dan Resist book. Wah..buku2nya juga cukup menggoda.

Kira2 pukul 14.30. Beberapa panitia masih sibuk mempersiapkan acara dikusi. Ternyata ada sedikit masalah dengan LCD. Gambarnya gak muncul di screen. Gak tau juga, yang salah LCDnya ato laptopnya. Satu per satu laptop pun di coba, tapi gak ada yang berhasil. Barangkali ada masalah dengan kabelnya, yang kelihatannya sudah karatan. Tapi belum ada satu pun yang menampakkan wajah putus asa. Beberapa tangan masih terus mencoba mengotak-atik sejumlah tombol. Ternyata belum berhasil juga. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih. Eh, ada mas Maman, the man behind the cam. Datang dengan pakaian serba hitam dan nenteng tas yang kira2 isinya adalah kamera. Entah apa sebabnya saya tidak tahu, beberapa menit kemudian screen sudah menampakkan gambar. Alhamdulillah.

Kira2 pukul 16.09 acara diskusi dimulai. Diskusi kali ini bertema: warisan budaya dalam lensa kamera. MC mempersilakan peserta diskusi untuk menempati kursi bagian depan agar suaranya dapat didengar, soalnya sebelumnya emang gak pake pengeras suara. Peserta diskusi cukup banyak. Datang dari beberapa komunitas foto, LSM dll. Selanjutnya MC membuka acara dengan ucapan salam dan permohonan maaf karena acara dimulai agak telat. Permohonan maaf juga karena pengeras suaranya belum ada, jadi mesti pasang telinga lebar2 (emang gajah?hehe).

Sambutan pertama disampaikan mas Budi Laksono (smoga namany benar), yang menyampaikan beberapa hal mengenai pameran foto. Beliau juga memohon maaf atas keterlambatan dimulainya acara. Sambutan berikutnya adalah Bpk Mahfud selaku ketua panitia yang sekaligus membuka pameran dan diskusi foto.

Dan diskusi pun dimulai. Pembicara yg hadir adalah Bu Wiwid dan mas Brahmanatara dari pihak asosiasi Borobudur yg menyampaikan tentang “Dokumentasi dalam Pelestarian Benda Cagar Budaya”, dan mas Oblo yg menyampaikan tentang “peran media foto dalam karya jurnalistik”. Beberapa slide pun tampak menghiasi layar. Bu Wiwid membuka diskusi dengan beberapa pengantar mengenai unsur kebudayaan, pelestarian, dan benda cagar budaya. Kemudian mas Brahmantara pun mengenalkan sebuah alat canggih bantuan dari UNESCO, lacer scanning 3D. mas Bram pun menjelaskan cara kerja dan beberapa keunggulan alat tersebut, bisa melakukan foto 360⁰, menghasilkan gambar 2D dan 3D, mengetahui kemiringan, blablabla. Moderator kemudian mempersilakan 2 peserta untuk mengajukan pertanyaan.

(Dan mas Maman pun sibuk mengambil gambar. Sementara sie konsumsi mengedarkan minuman).

Penanya pertama adalah pemuda bernama Wisna, seorang blogger. Ia tanya kalo sebenernya motret2 candi tuh dibolehin gak sih? Atau ada prosedurnya? Ini kasusnya di candi Ijo. Karena bukan pihak yang berwenang di Candi Ijo, bu Wiwid gak bisa ngasih jawaban. Tapi beliau bilang kalo sekadar foto2 biasa (foto narsis maksudnya,hehe) dicandi Borobudur itu boleh kok, tapi kalo dipake bisnis sih lain soal, harus ada izinnya. Penanya kedua namanya mas Arif. Tanya apakah cara kerja Lacer sama gak dengan camera biasa? Singkat jawaban: sama (masalahnya saya gak mudeng dengan teknik kamera, jadi gak bisa ngejelasin).

Penanya ketiga masih tentang pengambilan gambar di Candi, kali ini di Ratu Boko. Ceritanya nih, satpam suka menghalangi wisatawan domestik yg mau ngambil gambar, tapi kalo yg dateng bule, eh..malah dipersilahkan. Apa nih maksudnya?. Bu Wiwid jawab kalo kasus semacam ini akan ditindak lanjuti demi kenyamanan bersama. Penanya keempat masalah pengabadian BCB, gimana kalo penyebarannya juga di desa2? Pertanyaan ini disambut antusias dan mendapat jawaban yg cukup memuaskan. Jika ada daerah yg ada BCBnya, silahkan membuat surat agar dapat diproses.

Diskusi sesi pertama udah kelar. Masih dilanjutin sesi berikutnya dengan pembicara mas Oblo. Beliau membuka dengan pernyataan bahwa jurnalis itu dituntut untuk kreatif dan tidak begitu saja percaya dengan omongan orang, ia juga musti riset. Beliau kemudian mengenalkan beberapa jenis foto jurnalistik. Diantaranya yg saya ingat adalah Spot News dan Feature News atau cerita dibalik berita. Mas Oblo kemudian menunjukkan beberapa slide yg berisi foto2. Bagus Euy,,,Selanjutnya beliau bilang kalau misalnya teman2 mau mengkomunikasikan karyanya, maka foto itu harus memiliki nilai lebih dan bisa menarik wartawan. Secara teknik harus bagus. Harus berkesinambungan dan harus berinteraksi lewat jaringan biar gak mandeg. Untuk mengkomunikasikan foto, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menyiarkan.

Moderator kembali membuka sesi tanya jawab. Penanya pertama adalah Rahmat, seorang mahasiswa Arkeologi. Ia bertanya bagaiamana caranya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian BCB. Jawaban dari Bu Wiwid adalah: kita musti bikin informasi yg menarik, jangan monoton, bahasa yg digunakan juga harus menarik, jadi orang yg membaca bisa tertarik. Kemudian tak kalah pentingnya adalah sosialisasi. Mas oblo menambahkan, kalo arkeolog bisa menyajikan dengan bahasa yg menarik, maka akan menjadi menarik pula,,

Pertanyaan berikutnya adalah tentang pencantuman ID pada foto. Apakah itu wajib? Trus bagaimana mempublish foto2 hobi? Bagaimana peluangnya, mas? Kemana foto ini akan disiarkan? Mas Oblo njawab: kalo itu foto kita ya wajib dikasih ID. Bahkan foto sekecil apapun harus ada. Alau masalah foto2 hobi, itu memang kendala di Indonesia. Ada yg namanya freelance foto jurnalis. Kita juga bisa menawarkan ke luar negri. Kan sekarang sudah ada internet,, kita juga mesti tahu berita/foto ini punya nilai lokal, nasional, atau internasional? Yang juga penting adalah kenal dengan editor foto.

Kira2 pukul 17.46 moderator menyudahi diskusi. Kemudian acara diserahkan kpd MC. Acara selanjutnya adalah pemberian kenang2an dari pihak MADYA kepada para pembicara. MC juga menginformasikan acara esok hari, yaitu workshop penulisan skenario dan pemutaran film Merantau. Pasti bakalan lebih seru!

Hmm.., diskusi kali ini memang cukup menarik. Cukup memompa semangat untuk terus berkarya. Saya senang sekali. Dan saya pulang dengan menikmati beberapa pasang wajah di bus Trans Jogja jalur 2A.

Salam,

-Ann-

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...