Saturday, September 7, 2013

tentang yang berkali-kali ditonton

"apa gunanya punya pikiran sendiri kalau selalu percaya sama pikiran orang?" (Ambar, 3 Hari untuk Selamanya)

Ada film-film tertentu yang kalau ditonton berkali-kali hasilnya malah lebih bagus dan gak ngebosenin. 3 Hari untuk Selamanya adalah salah satu film yang kalau ditonton berulang-ulang jadi semakin asyik, setidaknya menurut penilaian saya. Sudah enam tahun yang lalu film ini diluncurkan, dan tak terhitung berapa kali saya sudah menontonnnya, sampai hafal dialog-dialognya.

Film ini mungkin akan membosankan bagi yang suka dengan jenis film yang bergerak cepat dan penuh suspens. Selama kurang lebih satu setengah jam, film ini diisi oleh dua orang yang ngobrol dalam sebuah perjalanan Jakarta-Jogja. Perjalanan mereka bukan perjalanan yang penuh tantangan dan hambatan. Malahan, perjalanan mereka termasuk biasa-biasa saja, tapi mereka bertemu dengan banyak orang yang aneh tapi unik.

Apa yang membuat film ini menarik, bagi saya, adalah obrolan antara Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Ardinia Wirasti). Keduanya berhasil membangun chemistry sehingga obrolan-obrolannya pun menyenangkan untuk diikuti. Asyik. Mereka mewakili remaja berusia 19-an yang beranjak dewasa dan sedang gelisah menatap masa depan. Yusuf dan Ambar dihadirkan sebagai remaja yang suka dugem, nge-drugs, tapi toh senakal-nakalnya mereka, mereka tetep peduli dengan kehidupannya di masa yang akan datang.

Obrolan mereka yang paling saya suka adalah tentang usia 27. Yusuf bilang, “pas lo umur 27, lo akan mengambil sebuah keputusan yang penting yang akan ngubah hidup lo". Kemudian dia mendaftar orang-orang besar yang meninggal pada usia itu, juga orang-orang yang mengambil keputusan besar pada usia itu. Ini adalah sebagian kecil obrolan mereka yang saya suka.

Ada lagi film yang berkali-kali saya tonton. Juga hampir mirip jenisnya dengan 3 Hari untuk Selamanya, apalagi kalau bukan Before Sunrise dan dua sekuelnya. Hampir sepanjang film, isinya adalah dua orang yang asyik ngobrol. Obrolan Celine dan Jesse dalam Before Sunrise memang lebih berat jika dibandingkan dengan obrolan Yusuf dan Ambar, tapi seperti keduanya juga berhasil menciptakan chemistry yang mampu dipertahankan sampai Before Midnight. Asyik, asyik banget. Meskipun kadang obrolannya juga bikin nyesek, seperti ini:

“People can lead their life as a lie. My grandmother, she was married to this man, and I always thought she had a very simple, uncomplicated love life. But she just confessed to me that she spent her whole life dreaming about another man she was always in love with. She just accepted her fate. It's so sad.” (Celine, Before Sunrise)

Entah sih ya, saya cenderung suka film jenis beginian. Dua orang, berjalan, ngobrol. Dari obrolan yang paling ringan, gak mutu, sampai yang bikin dahi berkerut. Dari yang bikin ngakak-ngakak sampai yang bikin sesak nafas. Dan saya menyetujui bahwa punya teman yang bisa diajak ngobrol seperti itu sungguh menyenangkan, tapi jenis orang yang seperti itu juga sangat langka.

Mungkin ini terlalu dini untuk dibicarakan, tapi saya berharap jodoh saya nanti adalah orang yang bisa diajak ngobrol ini itu sebelum tidur. Termasuk hal-hal yang nggak penting sekalipun :p *ujung-ujungnya kok jadi begini..

Wednesday, September 4, 2013

setelah sembilan tahun..

Sudah terhitung sembilan tahun sejak saya lulus dari bangku sekolah menengah pertama. Rasanya baru kemarin kami saling mengolok nama orang tua, nongkrong di kantin saat jam kosong, melakukan berbagai perlombaan saat class meeting, dan berbaris di halaman untuk melakukan olahraga pagi, mengkerut di hadapan Pak Rahmadi yang terkenal killer dari zaman ke zaman itu. Waktu bergerak begitu cepatnya.

Dan, kemarin sore, kami membuat sebuah reuni kecil di food court UGM. Rosi, Andi, dan saya. Kami sekelas selama dua tahun, 2A dan 3C di MTsN Model Babat.

Andi datang duluan, saya menyusul, baru kemudian Rosi datang belakangan. Kalimat pertama yang dilontarkan Rosi saat bertemu Andi adalah “kok Andi bisa gedhe sih?”. Yap, Andi sembilan tahun yang lalu adalah Andi yang tubuh dan tingginya seukuran saya dan Rosi, kecil mungil, bahkan mungkin lebih kecil. Tapi kini dia menjulang tinggi, sedangkan saya dan Rosi seolah terhenti pertubuhan badannya. Sial. Sebenarnya ini bukan untuk pertama kalinya saya bertemu Andi. Tahun kemarin dan beberapa tahun yang lalu Andi sudah mengunjungi saya saat kebetulan dia ada di Jogja. Tidak jauh berbeda dengan reaksi Rosi, waktu itu saya juga dibuat kaget oleh penampakan Andi yang bongsor.

Beberapa tahun terakhir ini Andi sedang bergulat dengan dunia petualangan. Dia terlihat sangat menikmati dunianya. Sepertinya sudut-sudut Indonesia yang paling terpencil sekalipun sudah dia kunjungi. Kalau ditanya tentang kesibukan, dia pasti jawab: sibuk jalan-jalan. Kalau ditanya tentang pekerjaan, dia bilang belum minat kerja. Nyebelin gak sih? Lebih tepatnya, bikin iri gak sih? Ya, Andi yang dulu pernah merebut diary saya dan membacanya keras-keras di kamar mandi itu kini seorang backpacker sejati. Hidup dari truk ke truk, dari terminal ke terminal. Dan beberapa hari ke depan ini dia mau ke Flores. Uh!

Tahun ini Rosi resmi menjadi mahasiswa UGM. Dia mengambil program pascasarjana kedokteran. Sebelumnya dia kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Selain kuliah, beberapa bulan ini dia sudah ngajar di Stikes (saya lupa namanya) di Jogja. Setelah sembilan tahun, di mata saya, tidak banyak yang berubah pada Rosi, selain tubuhnya yang lebih kurus dan kacamata berbingkai hitam di wajahnya. Rosi bilang, selain wedges, kacamata itu dipakai agar dia tampak lebih dewasa di hadapan mahasiwanya. Haha. Sepertinya ini tips yang layak dicoba.

Maka, sore itu pun kami mengenang banyak hal. Guru-guru kami yang ajaib. Pak Purnomo sang guru matematika paling baik sedunia, Pak Zanuar guru biologi yang asyik, Pak Nur Sodiq, juga Pak Harmadji yang menginspirasi saya masuk jurusan sastra. Saya pun jadi teringat Pak Zainul yang kerap memanggil saya “si mungil”.

Kami juga membicarakan teman-teman: Bayu yang masih di Surabaya, Fani yang kini menjadi ustadz alim, Dedik yang gondrong, Ali yang jadi perangkat desa, Soqi yang jadi bidan dan istri kepala desa, Luqman yang mulai bisa ‘ngomong’, Laili yang menjadi guru, Muhaimin yang menghilang, Nashir, Wahid, Ilham, Awen, Beni, Aang (musuh bebuyutan saya), Majid, Weni, Nevi, Ida Anisa, Indri, Fatim, Muslikhah, Wiwin, grup M3RUW (hahaha), Himatul, Zulfa, dan beberapa teman yang bisa-bisanya saya lupa namanya :’(

Berbagai kenangan datang berkelebatan, banyak kekonyolan-kekonyolan yang membuat kami tertawa-tawa, cinta monyet ala anak smp, persaingan kelas, dan lain sebagainya, dan lain sebagianya yang akhirnya membuat kami bersepakat bahwa masa-masa MTs itu lebih berkesan daripada masa SMA! :p

Selama sembilan tahun itu, kami berproses dengan cara masing-masing. Di antara kami bertiga, sepertinya hanya Rosi yang tumbuh menjadi manusia ‘normal’. Dia, layaknya gadis yang berusia 20an, sudah merencanakan rumahtangga alias ingin cepat-cepat menikah. Dia pun tak ingin jauh-jauh dari kota kelahiran sekaligus kediaman orang tuanya, Bojonegoro. Setelah lulus S2, Rosi sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di sana. Sementara itu, Andi bisa dikatakan memiliki keinginan yang berkebalikan dari Rosi. Dan saya, barangkali sintesis dari keduanya :p

Selepas maghrib kami pun menyudahi pertemuan. Saya pun berdoa dalam hati: semoga, suatu saat, nasib baik mempertemukan kami dengan teman-teman yang lain. Amin.

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...