Friday, December 21, 2018

Sa!

Dia memanggil saya sa. Saya pun bertanya-tanya mengapa dipanggil demikian. Nama saya bukan Sasi, Sari, apalagi Saru.

Sa juga merujuk pada banyak kata. Untuk menyebut sedikit saja, ada kata Sayang, Sapi, Sakit. Sayang? Terlalu mesra dan nggak banget. Sapi? Tubuh saya terlalu kecil bahkan untuk ukuran anak sapi yang paling kurang gizi. Sakit? Mungkin. Mungkin saya terlihat sakit-sakitan atau sering disakiti. Tapi saya rasa dia tak setega itu.

Dari sekian banyak kemungkinan, sa paling masuk akal merujuk pada Nisa. Yang dia tahu, nama saya Nisa, bukan Anis. Jadi wajar jika dia memanggil saya sa. Suku kata kedua. Setelah dua tahun lebih saya tidak bertemu dengannya, pertama bertemu dia langsung memanggil saya sa, balik Jogja lagi?

Saya mulai mengenalnya sejak bonbin kedua. Tempat semi permanen di dekat parkiran FIB yang lama (kira-kira 2008?). Dia menjual aneka minuman. Semenjak di bonbin ketiga dia menjual jus dan salad buah. Saya biasanya memesan es jeruk. Siapa pun akan setuju bahwa es jeruk buatannya paling enak sebonbin raya. Dan biasanya dia sudah hafal pesanan saya.

“Mas, kayak biasanya, ya”
“Siap!”

Dia selalu mengucapkan “siap” dengan mengacungkan jempol dan tersenyum.

Selama kira-kira sepuluh tahun mengenalnya, sejak dia masih jomlo sampai punya tiga anak, yang tak berubah darinya adalah semangatnya bekerja. Saya tidak tahu apakah dia mencintai pekerjaannya atau tidak, tapi yang bisa saya lihat dia sangat antusias dengan apa yang dilakukannya. Saya senang sekali melihat orang yang seperti itu.

Dan, tadi pagi, saya mendapat kabar bahwa dia meninggal.

Deg.

Setiap mendapat kabar mendadak semacam itu, reaksi pertama saya adalah tak percaya. Saya pun kroscek ke beberapa teman. Saya mendapat kiriman foto screenshoot sebuah akun yang membenarkan bahwa dia telah berpulang.

Ya Allah, baru kemarin kami papasan dan dia menyapa saya. Sa!

Rasanya ada gerowong.

Agak siang saya ke bonbin. Agak sepi. Kiosnya kosong. Penjual yang lain masih berjualan. Mereka tampak biasa. Tapi saya yakin mereka sedang tidak biasa-biasa saja. Beberapa penjual dan teman-teman cowok hendak takziah. Saya memilih tidak ikut. Saya sedang rentan. Saya khawatir tidak bisa mengendalikan diri.

Mas Bodong, matur nuwun ya, mas. Sugeng tindak. Kami semua kehilangan. Sangat kehilangan. Akan kangen. Sangat kangen.



Kok aku rasane kelangan banget ya :’(

Tuesday, March 13, 2018

Rindu Membubung ke Langit Ketujuh

:untuk yang merindukan Bangbang Wetan

Sebelas Maret 2018. Malam yang saya nantikan.

Kira-kira pukul 20.30 saya tiba di halaman Balai Pemuda. Indra pendengaran saya menangkap lantunan surat At-taubah. Di tenda utama, di panggung yang tak tinggi, terlihat gamelan dan beberapa alat musik lain. Di sisi kanan kiri tenda, tergantung banner itu: Yang dinanti-nanti akan muncul dari timur. Untuk menguak rahasia bangun dari tidur. Matahari memancar dari timur. Orang-orang perlu berkumpul di timur.

Depan gerbang selatan pintu masuk, dijajar buletin maiyah beserta kotak infaqnya. Karena renovasi, sisi kanan halaman Balai Pemuda ini dikelilingi seng yang berhiaskan mural bernada kritik. Beberapa orang berkerumun di Pojok Ilmu. Beberapa duduk-duduk di selasar gedung sebelah kiri dan di gelaran di bawah tenda utama. Saya memilih duduk di ubin yang tak beralas. Di sebelah kanan dan kiri saya screen didirikan. Para penjual kopi dan air mineral mondar-mandir menawarkan dagangannya.

Beberapa menit kemudian, sebuah suara mengejutkan saya. Mbak Harum datang bersama ajudannya.
“Udah lama, Nis?” sang ajudan menyapa.
“Baru sepuluh menitan sih, mas”
“Maksudku, udah lama sendiriannya?”
Bajiguuuuuuuur! Seketika mulut ini mengeluarkan umpatan kasar disertai tawa ngakak. Dasar ajudan kampretos. Mereka berdua lalu duduk di samping saya.

Orang semakin berdatangan. Memenuhi tempat-tempat yang sebelumnya masih lengang. Mata saya terpaku pada seorang remaja berambut gondrong yang mengenakan kaos bergambar Portgas D. Ace.

Bacaan surat At-taubah pun usai dan berganti dengan sholawat yang diikuti semua jamaah. Mahallul qiyaam. Salam rindu untuk Kanjeng Nabi melingkupi udara Balai Pemuda dan pelan-pelan naik ke langit. Di depan saya, seorang bapak menggendong anaknya sambil melantunkan sholawat. Pemandangan yang seperti ini selalu berhasil membuat mata saya basah.

Lalu, Mas Amin dan Mas Rio membuka acara. Mengantarkan pada tema malam ini. Etnotalenta. Tapi, sebelum acara diskusi dimulai, grup Padhang Howo dari Pasuruan menampilkan beberapa lagu dan sholawat. Grup ini seperti gamelan kiai kanjeng. Suara vokalisnya enak banget di telinga.

Setelah usai, beberapa orang diminta maju ke depan panggung untuk berdiskusi. Yang saya ingat, salah satunya adalah siswa SMA 8 Surabaya. Saya senang ada (dan mungkin banyak) anak sekolah yang datang dalam acara-acara seperti ini. Mereka kritis dan bergelora.

Gerimis tipis. Sebagian besar jamaah berpindah ke selasar kiri, termasuk saya. Sebagian yang lain memilih untuk bermesraan dengan air langit yang lembut itu.

Sementara itu, Mas Amin dan Mas Rio masih melanjutkan berdiskusi. Tak semuanya terekam di kepala karena saya sambi ngobrol dengan Mbak Harum. Tapi, kira-kira begini isi diskusi itu: pilihan-pilihan penjurusan anak-anak SMA itu rata-rata bukan karena keinginannya. Tapi karena keinginan orang tuanya. Sistem pendidikan di sekolah seringkali justru membunuh karakter dan bakat siswa. Lalu, nasihat Mas Rio: jadilah ahli dalam keahlian masing-masing. Karena, kadang, talenta kita hadir tanpa kita sadari. Konsistenlah di keahlian masing-masing dan bergembiralah dengannya.

Gerimis berhenti. Orang-orang kembali lagi mengisi tempat yang tadi ditinggalkannya. Saya malas beranjak. Di depan saya, dua orang anak kecil asyik bermain-main, tapi di mata orang dewasa mungkin mereka terlihat sednag berantem.

Mas Didit dari Sanggar Alang-Alang hadir di tengah-tengah diskusi. Beliau dulu pengasuh salah satu program di TVRI. Sanggar Alang-Alang adalah sebuah sanggar tempat belajar anak-anak jalanan. Oh ya, Mas Didit menolak istilah “anak jalanan”, yang benar bagi beliau adalah “anak negeri”. Masih ingat grup Klanting di acara Indonesia mencari bakat dulu itu? Yup! Klanting adalah salah satu jebolan Sanggar Alang-Alang.

Mas-mas berambut gondrong memakai baju kotak-kotak--yang saya gak tahu namanya--menginformasikan form piagam maiyah yang bisa didownload di twitter atau di web bangbang wetan.

Kira-kira pukul 23.30 Padhang Howo kembali memainkan musiknya. Sebuah lagu berjudul Kun Anta yang sempat viral karena pernah dinyanyikan cewek cantik sholihah. Suasa jadi semakin bergairah. Dan satu lagu lagi yang sekaligus mengiringi kedatangan Sabrang idolaque, Pak Suko, dan Mas Joko Susanto.

Saya mbatin, kok Pak Muzammil gak datang? Saya kangen kyai jenaka itu. Tapi beberapa menit kemudian beliaupun naik ke panggung.

Mas Joko mengawali diskusi dengan memberi penilaian tentang tema-tema Bangbang Wetan yang menurutnya semakin komprehensif. Lalu, dengan gaya bicaranya yang seperti mendeklamasikan puisi, Mas Joko mulai membahas China dan Amerika. China memiliki kemampuan emigrasi, tetapi kurang dalam imigrasi. Sebaliknya dengan Amerika. Amerika memiliki kemampuan nggelar kloso untuk orang asing (yang pintar). Amerika bisa besar karena mengumpulkan orang-orang terbaik di seluruh dunia. Mengekspor dolar, mengimpor orang pintar.

Bahasa adalah pengejawantahan hidup, begitu kata Mas Joko. Lalu dia membeberkan bahwa orang Jawa lebih banyak memiliki kosakata jatuh daripada bangkit. Sabrang yang kemudian mendapat giliran bicara, mengkritisi kosa kata jatuh dan bangkit itu. “Orang sering jatuh itu kan berarti karena terbiasa di atas”. Ya juga ya. Suaranya terasa nyess di dada. Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya langsung menampar perspektif dan logika. Itulah dia. Ehem.

Sementara itu, gerimis mendadak rapat dan deras. Orang-orang kembali mencari tempat berteduh. Mas-mas di samping saya menawari wafer tango rasa vanila dan mulai ngajak ngobrol.

Sabrang, yang malam itu mengenakan baju biru dongker garis-garis lengan pendek, menyitir perkataan Mbah Nun tentang manusia ruang dan perabot. Manusia perabot saling berebut eksistensi dalam suatu ruang, sedangkan manusia ruang memberikan tempat sehingga manusia lainnya memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Indonesia adalah manusia ruang, semuanya diterima, sampai-sampai lupa akan dirinya sendiri.

Manusia Indonesia adalah manusia yang luar biasa kreatif, lanjut Sabrang. Pembuat instagaram tak pernah menyangka bahwa akan ada orang yang jualan follower, misalnya. Lalu kreativitas itu harusnya tak hanya untuk memakai, tetapi juga membuat. Yang jelas, outputnya adalah untuk membangun bersama. Maka, jadilah ahli dalam bidangmu sendiri. Lalu menciptakan sistem yang saling menunjang keahlian masing-masing. Peradaban Indonesia sedang pada tahap menganalisis dan tandang.

Setelahnya, Sabrang menyanyikan Permintaan Hati yang diiringi musik Padhang Howo. Para jamaah ikut menyanyikannya, minimal rengeng-rengeng. Kamera handphone turut merekam. Kemudian disambung lagu Ruang Rindu. Kali ini, jamaah serempak mengikuti. Uuuuh! Rasanya kerinduan nonton konser Letto sedikit terobati.

Kira-kira pukul 01.00 Mbak Harum dan ajudannya pamit pulang duluan.

Lalu giliran Kyai Muzammil yang lucu itu memberikan paparannya. Dengan kata-kata yang sebentar-sebentar diiringi tawa jamaah, beliau berfokus pada identitas manusia Jawa, manusia Indonesia yang jangan sampai mau didikte ideologi-ideologi asing. Yang membuat para jamaah bertepuk tangan adalah ketika beliau berkata, harmoni adalah membiarkan bunga-bunga tumbuh dengan warnanya masing-masing.

Tapi, ada beberapa pernyataan Kyai Muzammil yang kemudian direvisi Sabrang. Perihal matematika. Matematika bukanlah produk Barat, tapi produk dunia. Seperti yang sering dikatakan Sabrang, matematika adalah ilmu yang paling bersih. Manusia tak ada yang bisa ikut campur. Matematika adalah bahasa logika. Berbeda dengan ilmu yang lain, sains sangat senang jika disalahkan karena dia akan berpacu untuk membuktikan yang lebih benar sehingga dirinya menjadi lebih baik.

Suasana pun semakin gayeng karena guyonan saling ejek antara Pak Suko dan Kyai Muzammil. Meski jamaah sudah banyak yang pulang duluan, termasuk mas-mas wafer tango tadi.

Kurang lebih pukul 02.00 diskusi dibuka. Ada enam pertanyaan. Dijawab Kyai Muzammil, Mas Joko, dan Sabrang. Kira-kira begini ringkasannya. Kyai Muzammil menjawab pertanyaan tentang etimologi Islam. Mas Joko: kita sedang berada di zaman post truth. Zaman ketika semua mencari pembenaran, bukan kebenaran. Sabrang: orang harus memiliki misi dan tujuan hidup agar tidak bingung ketika dia berapa pada level apapun. Sebab, orang yang banyak drama adalah orang yang tidak memiliki tujuan hidup.

Demikianlah…kira-kira pukul 03.15 diskusi disudahi. Acara ditutup dengan bacaan sholawat dan doa oleh Kyai Muzammil. Tenang dan khusyuk.

Setelahnya, para jamaah saling bersalaman. Mas Amin meminta tolong agar sampah-sampah dibuang di tempat sampah yang disediakan.

Di kejauhan, saya melihat Sabrang disalami beberapa jamaah. Inginku menyalaminya juga. Ia lalu buru-buru menuju mobil yang sudah menunggunya di dekat gerbang.

Saya berjalan menuju masjid As-Sakinah yang dipindah di gedung Merah Putih. Menunggu subuh.




Monday, February 26, 2018

Pembaca dan Penulis Sama-Sama (harus) Bertumbuh

Beberapa jam yang lalu saya baru saja selesai membaca Ubur-Ubur Lembur, buku kesekiannya Raditya Dika. Meski banyak yang bilang tulisan-tulisan Radit receh remeh, saya gak peduli. Saya masih tetap membacanya. Wahai, cintaku, bukankah kebijaksanaan seringkali menyelinap dalam keremehan? Sejak berkenalan dengan buku pertamanya, sampai sekarang saya selalu mengikuti “pertumbuhan” tulisan-tulisan Raditya Dika.

Yang saya suka, dia gak ngikutin apa maunya pembaca yang sebagian besar mungkin berharap bakal ketawa ngakak setelah mbaca tulisan-tulisannya. Tapi, dia mau pembacanya ikut bertumbuh bersamanya.

Radit gak memaksakan diri untuk menjadi penulis seperti waktu dia nulis Kambing Jantan. Yang humornya memang kentel banget. Konyolnya parah banget.

Sejak Manusia Setengah Salmon, porsi kontemplatifnya lebih banyak daripada humornya. Atau gini, dia lebih bisa menertawakan kepahitan hidup dengan cara yang lebih elegan. Lebih dewasa. Bukan berarti semakin dewasa jadi kehilangan sense humor sih. Enggak gitu juga. Masih ada sisi-sisi konyolnya juga kok. Cuma..apa ya? Lebih bijak aja sih ngerasanya~

Gak niat muluk-muluk. Tapi setidaknya, tulisan-tulisan Raditya Dika mencoba mengingatkan: pembaca dan penulis sama-sama (harus) bertumbuh.

Hibernasi

halo! kangen?

iya sama.

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...