Monday, December 1, 2014

meja

Dulu ada sisa sebuah meja, di mana kita berjaga*

Adalah Park Gae In, seorang desainer furniture dalam film Personal Taste. Dalam sebuah pameran furniture, Gae In memamerkan beberapa hasil karyanya, salah satunya adalah sebuah meja yang diberi nama "personal table". Salah satu sisi meja ini memiliki cermin, dengan asumsi bahwa cermin akan menggandakan bayangan.

Bagi Jeon Jin Ho, seorang arsitek dalam film yang sama, meja itu sangat egois. Pembuatnya adalah orang yang tidak pernah memasak untuk orang lain, juga tidak paham berkomunikasi dengan orang lain. Meja yang dikenal oleh Jin Ho adalah meja yang digunakan oleh sebuah keluarga untuk melepas keletihannya. Meja untuk berkomunikasi.

Kemudian Gae In menanggapi dengan ucapan yang membuat saya tertegun: di dunia ini ada banyak orang yang tak memiliki siapapun untuk diajak makan bersama.

Gae In memang membuat karya itu berdasarkan serpihan dirinya sendiri.

Dalam film The Heirs, Choi Yung Do, seorang anak muda dari keluarga kaya raya, sering makan ramen sendirian di sebuah toko (mirip indomaret di Indonesia). Alasan dia melakukan hal itu karena orang yang makan di sana sendirian tidak terlihat aneh. Berbeda jika orang makan sendirian di tempat lain.

Apa yang dilakukan oleh Choi Yung Do adalah gambaran konkret seperti yang dikatakan oleh Gae In.

Kim Na Na, dalam film City Hunter, punya memori yang kuat tentang meja. Ia tidak memindahkan meja di depan sofa karena ayahnya sering menggunakan meja itu untuk bekerja. Ia juga tidak mengganti alas meja makan karena itu adalah peninggalan ibunya.

Begitu banyak orang (meskipun hanya tokoh dalam film) yang mempunyai keterhubungan dengan sebuah meja.

***
Di keluarga saya, tidak ada yang spesial dengan meja (makan). Kami hampir tidak pernah memperlakukan meja makan sebagaimana fungsinya. Artinya, kami tidak pernah makan bersama di meja makan karena tindakan itu terasa aneh. Lagi pula, jadwal makan kami berbeda-beda. Jika pun kebetulan kami makan pada saat yang bersamaan, kami akan memilih tempat yang berbeda saat menyantap makanan: di depan tv, di ruang tamu, bahkan di dapur.

***
Di perpustakaan kampus saya, setidaknya ada dua jenis meja. Ada meja yang digunakan berbarengan, kolektif. Ada juga meja individual, ada sekat yang memisahkan dengan orang di meja sebelahnya. Pada meja yang kolektif, orang-orang berada pada satu meja yang sama, tetapi tidak saling berkomunikasi. Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing.

Di salah satu meja itu, saya pernah membuat bermacam coretan. Ada pesan yang saya buat untuk seseorang. Tapi mungkin seseorang itu tidak akan pernah menemukannya. Saya senang dengan meja yang riuh coretan. Ini menandakan meja itu disinggahi banyak orang. Orang-orang yang berbeda. Saya suka tersenyum geli melihat coretan-coretan di meja itu. Tapi itu dulu. Kini, di perpustakaan, hampir tidak ada meja yang penuh coretan. Bagaimana proses memudarnya coretan-coretan itu saya tidak tahu.

Ketika menulis ini, kebetulan saya berada di salah satu meja kolektif di perpustakaan. Saya tidak mengenal orang di depan saya. Sebelum saya datang, ia sudah duduk di kursi itu. Dengan tumpukan catatan di sebelah laptopnya. Orang di samping saya baru saja meninggalkan meja, tak lama kemudian digantikan oleh orang lain.

hmmm..saya tidak tahu apakah saya membutuhkan meja seperti yang dibuat oleh Park Gae In. Yang jelas, saya ingin segera duduk di balik meja ujian tesis :p

*digubah dari salah satu baris dalam sajak “Afterword” karya Goenawan Mohammad: Dulu ada sisa sebuah taman, di mana kita berdekapan.
**FYI>> dalam Affair, ada salah satu tulisan Seno Gumira Ajidarma yang menarik, yang berkaitan dengan meja, judulnya “Setengah Meja dan Kursi untuk Satu Orang”. Tulisan ini adalah pengamatan Seno tentang beberapa fungsi sosial dan individual meja, baik di restoran cepat saji maupun di warteg.

Monday, October 27, 2014

hai, kawan perpus(ku)

hai,

Rak-rak buku perpustakaan ini mau tidak mau mengingatkanku padamu. Ya..ya..buku-buku di perpustakaan ini membikinku malas cepat-cepat merampungkan studi. Kau tahu, salah satu kekhawatiranku ketika lulus adalah tidak lagi bisa membaca buku “sesukanya” seperti sekarang ini.

Aku sedang mendaftar buku-buku yang ingin kubaca (dan kubeli). Karena aku belum bisa membeli buku-buku itu, sebagian kucari di perpustakaan. Ada lebih dari sepuluh buku. (betapa aku sangat tamak). Kali ini bukan buku-buku yang berhubungan dengan sastra. Akhir-akhir ini aku sedikit kehilangan mood tentang sastra. Sastra, saat ini, tidak cukup menggairahkanku. Hahaha. Coba bayangkan, gimana rasanya kehilangan mood (sastra) saat sedang dikejar-kejar deadline tesis.

Sebenarnya, ada buku sastra yang ingin kubaca. Tapi buku itu sekarang sedang digemari banyak orang. Media sosial riuh membicarakannya, dan memujinya. Melihat fenomena itu, aku justru enggan membacanya. Entahlah, dalam berbagai hal, aku punya kecenderungan menghindari sesuatu yang sedang digemari banyak orang. Justru ketika sesuatu itu ditinggalkan, aku baru mendekatinya.

Aku sedang tertarik pada pemikiran Islam progresif. Hari-hari ini aku membaca beberapa buku dan mencermati kuliah-kuliah umum di youtube. Objek material tesisku memandang Islam dengan begitu “lugu”. Ini betul-betul membuatku bosan. Aku berhasrat untuk mendobraknya. Dan tidak ada orang lain yang lebih ingin kuajak diskusi selain kamu.

Sepulangmu ke kampung halaman, perpustakaan ini terasa hampa :p

Saturday, August 30, 2014

Surat untuk Nilam

Nilam yang baik,
Pertengahan Agustus saat tahu Oeyab akan melangsungkan resepsi pernikahan, aku langsung menyusun rencana. Aku akan datang ke acara resepsi itu. Aku pun mencari agen travel Jogja-Bojonegoro, mencari tahu berapa lama perjalanannya, dll. Tentu aku tidak akan berangkat pada hari H, tapi pada H-1 dan menginap di rumahmu. Jika rencana itu terlaksana dengan baik, hari itu jatuh pada 30 Agustus, hari ini, hari ulang tahunmu. Aku akan mengucapkan selamat ulang tahun langsung dari mulutku. Tidak dari telpon, sms, atau media sosial yg lain. Tapi, seperti yang sudah-sudah, aku hanya pandai berencana. Dan hanya tulisan ini sebagai hadiah ulang tahunmu. Apa boleh buat.

Nilam yang baik dan akan selalu baik,
Dari dulu aku tidak terlalu punya banyak teman. Aku sulit sekali mempercayai orang. Ada yang bilang, aku gunung rahasia. Ya, tidak mudah berteman dengan orang yang sukan main rahasia dan jarang bicara. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk sedikit demi sedikit menggerus sikapku itu. Selain pada Tuhan dan buku harian, aku mencoba untuk bercerita ke orang lain, ke beberapa teman. Tentang apa saja. Dan aku menyesal.

Aku mengalami apa yang disebut pengkhianatan. Tentang sesuatu yang baginya mungkin sepele, tapi bagiku sangat prinsipil. Rasanya sakit. Apa yang lebih menyakitkan daripada dihianati teman yang paling kamu percaya? Dalam waktu yang cukup lama, aku merawat dendam di hatiku. Aku tahu, aku sedang membuka pintu neraka dalam diriku sendiri. Ternyata aku adalah pendendam yang keras kepala. Keluarga Corleone dalam Godfather mengajarkan: tak ada ampun bagi penghianatan. Tapi kemudian aku diingatkan Parang Jati, salah satu tokoh novel favoritku: mungkin kita tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti.

Kini, dendam itu memang tak ada lagi, tapi aku kembali sulit mempercayai orang.

Nilam yang suka ngepoin timelineku,
Si penghianat itu jelas bukan kamu. Kamu adalah temanku yang baik, sangat baik. Aku tahu kmau punya rasa keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu. Tapi, Nil, jika ada hal-hal yang tidak kuceritakan padamu, bukan berarti aku tidak mempercayaimu. Mungkin aku berbeda dengan temanmu yang lain. Aku bukan orang yang jika sudah bercerita akan merasa lebih lega, aku justru sebaliknya. Makanya aku lebih sering memilih diam daripada merangkai berbagai alasan. Aku belum bisa jadi pembohong yang handal dan elegan seperti Shinichi Kudo. Hei, kamu pasti menangkap maksudku kenapa aku membicarakan ini.

Nilam yang punya bakat jadi detektif,
Ini adalah hari spesialmu. Kuberitahu satu rahasia. Di buku harianku yang tak berhasil kau temukan itu, (HAHAHAHAHA!) ada satu cerita. Ada momen dalam hidupku yang ingin kuulang. Suatu malam, saat mengantarku pulang, seorang kawan pernah mengucap hal yang begitu tulus padaku. Pada momen yang singkat itu, pada ketulusan itu, aku lupa bilang “terima kasih”. Momen itu tidak akan pernah terulang lagi dalam bentuk apapun karena dunia kami yang sudah berbeda. Hingga saat ini aku menanggung beban penyesalan. Nah, Nilam, aku tidak ingin penyesalan itu terulang lagi. Maka, sekarang, aku berterima kasih padamu karena sudah mau jadi temanku. Teman baikku.

Aku berterima kasih lebaran kemarin kamu nyempetin dateng ke rumahku, meski aku belum pernah ke rumahmu. Aku berterima kasih kamu udah nyempetin nengokin aku ke Jogja. Meski waktu aku ke Surabaya cuma bilang doang dan gak mampir. Hehe. Aku menyadari sepenuhnya aku bukan teman yang baik. Jarang pulang dan silaturrahmi ke kalian. Monkey D. Luffy, Winnetou-Old Shatterhand, semuanya mengajarkan tentang betapa berharganya persahabatan. Aku beruntung punya sahabat baik sepertimu. Sekali lagi terima kasih.

Aku senang kita kembali intens berkomunikasi. Bisa ngobrol sesukanya meski hanya lewat telpon dan media sosial. Mungkin kelak, ada saatnya ketika kamu butuh teman bicara atau pendengar, kamu harus bertanya dulu aku sibuk atau gak. Dan mungkin masing-masing dari kita lebih sibuk lagi, kamu dengan pekerjaaan muliamu sebagai guru dan aku entah sibuk dengan apa. Kelak, kita punya kehidupan masing-masing. Jika saat itu datang, tetaplah luangkan waktu untuk nelpon, gak usah ragu-ragu. Gak perlu khawatir aku lagi sibuk atau gak.

Aku berbahagia nasib melemparku jauh ke kota ini. Aku menikmati setiap detik prosesku, suka dukanya. Kuharap kamu juga demikian. Kotamu adalah kotanya para pekerja keras, manusia-manusia yang penuh daya hidup. semoga kamu mendapatkan jodohmu di kota ini :))))))))

Nil, tadinya aku mau bikin video. Tapi aku gak bisaaaaa. Dan dengan kata-kata yang panjang lebar ini sebenarnya aku cuma mau bilang: wes tambah tuwek Nil, ndang rabi. Ojo egois. Wkwkwkwkwkwk

P.S. sorry, kalau tulisan ini lebih banyak kata “aku”nya daripada “kamu”nya. Hmmm

Wednesday, August 27, 2014

Antara Lepas dan Lebur: tentang Cerpen “Otak” Karya Achmad Munjid*

oleh Anis Mashlihatin

Tulisan ini berusaha untuk menyelidiki perangkat literer yang digunakan pengarang, gagasan-gagasan yang dibangun, sekaligus kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh cerpen ini.
***
Cerpen “Otak” dibuka dengan keterkejutan Ben yang mendapati cairan putih amis yang berceceran ketika ia baru bangun dari tidurnya. Ternyata cairan itu adalah otaknya sendiri. Keterkejutan kemudian dialami oleh pembaca ketika menyadari bahwa Ben yang sudah kehilangan separuh otaknya itu masih bisa bergerak dan berpikir, masih bisa merasakan organ-organ tubuhnya yang sakit, bahkan Ben juga bisa menyadari bahwa cairan itu adalah otaknya sendiri. Luar biasa! Sejak paragraf pertama itu, kita tahu, pengarang telah menanamkan benih-benih surealis.

Cerpen-cerpen bergaya surealis seperti itu pernah marak dalam sastra Indonesia pada era 1990-an, seperti dapat dilihat pada beberapa cerpen Seno Gumira Ajidarma, kumpulan cerpen Danarto dalam Godlob dan kumpulan cerpen Memorabilia (1999) karya Agus Noor. Gaya surealisme biasanya dipilih oleh pengarang karena realisme seolah tak memberikan ruang yang cukup cair untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Surealisme mengeksplorasi hal-hal yang irasional dan psikologis. Dalam hal ini, pengarang berusaha mencapai “super-realisme”, tempat antara batas-batas mimpi dan kenyataan melebur.

Arief Budiman, dalam pengantarnya untuk cerpen pilihan Kompas 2002, mengatakan bahwa gaya surealis dipilih oleh pengarang dimungkinkan karena realitas yang terjadi begitu mengerikan sehingga jika diceritakan ulang akan menimbulkan rasa sakit. Oleh karena itu, lanjut Budiman, konflik-konflik sosial diceritakan dalam bungkus yang surealistis sehingga pesan ketidakadilan yang mau diucapkan bisa disamai, tapi kejadiannya tidak dibaca secara telanjang karena bisa menimbulkan kepedihan.
Peristiwa yang dialami Ben muskil terjadi di dunia nyata. Peristiwa keluarnya otak dari tempurung kepala sementara si empunya masih bisa berjalan kesana-kemari hanya mungkin terjadi dalam dunia angan-angan. Kemudian kita tahu bahwa cara ini digunakan oleh pengarang untuk menimbulkan kesan satir yang bertebaran di sekujur cerpen ini. Selain, menimbulkan kesan satir, pengarang juga menyuguhkan kritik sarkastik terhadap realitas sosial. Surealisme adalah perangkat yang tepat digunakan untuk mewujudkan hal itu.

***
Tidak hanya Ben yang mengalami persoalan dengan otak. Ben menemui banyak sekali orang yang memiliki masalah yang sama dengan dirinya; tua-muda, miskin-kaya, laki-laki dan perempuan. Mereka semua berjubel mengadukan persoalannya itu ke rumah sakit. Namun, tidak seperti Ben yang merasakan kekhawatiran dan kesakitan yang amat sangat, orang-orang yang ditemuinya justru sebaliknya. Orang-orang itu terlihat biasa-biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi suatu masalah serius atas diri mereka. Alih-alih khawatir, mereka justru gembira jika otaknya tak lagi bersarang di kepalanya.

Sikap orang-orang tersebut juga didukung oleh dokter. Dokter menganggap masalah otak yang dialami oleh orang-orang bukanlah masalah yang serius, bahkan lumrah. Diceritakan pula bahwa dokter lebih menyarankan pembuangan otak daripada mempertahankannya. Rumah sakit juga telah menyedikan seperangkat alat dan bahan untuk mengganti otak tersebut. Ini menunjukkan bahwa kejadian yang dialami oleh Ben bukanlah kejadian yang baru dan dahsyat, tetapi sudah banyak kasus serupa sehingga rumah sakit telah memiliki “solusi” untuk menanganinya. Operasi pembuangan otak telah disepakati oleh banyak orang.

Ketika masuk dalam kondisi ini, terjadi pergulatan dalam diri Ben. Persoalan yang dihadapi oleh Ben memang persoalan kolektif, tetapi kegelisahannya individual. Ini mengharuskannya untuk berkompromi dengan banyak hal. Namun, Ben ternyata memilih untuk tidak berkompromi. Ia dengan segala cara berusaha mempertahankan otaknya. Ketika berperan sebagai subjek yang bertahan seorang diri, Ben seolah menjadi orang asing di lingkungannya sendiri. Ben menjadi diri yang terasing. Lantas, apakah dengan demikian Ben menjadi subjek yang kalah?

Masyarakat dengan gaya modernis, menurut cerpen ini, tidak memerlukan otak untuk hidup karena fungsi otak telah digantikan oleh beragam teknologi yang canggih. Akibatnya, masyarakat semacam ini dimanjakan oleh teknologi yang menjadikan beban pikiran menjadi lebih ringan. Jika dulu kehidupan tak bisa berjalan tanpa otak, maka kini kehidupan tak bisa berjalan tanpa teknologi.
Jika bagi sebagian besar orang teknologi begitu membantu, lain halnya dengan Ben. Teknologi justru membuat kehidupan yang dijalani oleh Ben menjadi bising dan mengerikan. Televisi dan radio mengabarkan berita-berita yang menyakitkan. Berita-berita tentang kebahagiaan orang-orang yang memutuskan hidup tanpa otak membuatnya semakin tersiksa. Dengan demikian, bagi Ben, teknologi adalah musuh karena mengancam akal sehat. Teknologi hanya membahagiakan bagi orang yang hidup tanpa otak.

***
Ben mengalami keterguncangan karena terdapat paksaan untuk memahami keadaan yang tidak logis, yang tidak dapat diterima oleh akal sehat Ben. Ia tiba-tiba dihadapkan pada dunia yang ganjil yang tak dipahaminya. Sulit bagi Ben, yang dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai otak, untuk menerima dunia yang justru meremehkan otak dan menganggapnya sebagai beban. Karena bagi Ben, kebudayaan yang tinggi dan peradaban besar hanya mungkin dibangun oleh manusia-manusia yang mengedepankan nalar.
Di sinilah letak sinisme pengarang terhadap persoalan yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Suara pengarang, yang diwakili oleh Ben, mencibir apa yang dilakukan oleh masyarakat yang punya otak tapi tak menggunakan otaknya, tak mau berpikir. Bagi mereka, tindakan berpikir adalah tindakan yang membebani dan tak ada gunanya. Itulah mengapa mereka ingin menanggalkan otak itu dari kepalanya. Selain itu, terdapat sinisme pada produk-produk luar negri yang berjejalan di otak sebagain besar orang. Produk-produk yang digemari. Produk-produk itu ditanamkan dengan sengaja, dengan kesadaran penuh.

Di samping itu, terdapat kemungkinan lain. Kondisi yang terjadi dalam masyarakat tak lagi mampu dicerna oleh akal sehat sehingga tokoh-tokoh dalam cerpen ini memutuskan untuk mengeluarkan otaknya. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi, kenapa hampir semua hal yang ditemuinya kini tampak menjadi bukti telanjang bagi kemustahilan yang tetap tak bisa dicerna pikirannya? Setiap hari, para politisi berebut upeti untuk kantong sendiri di layar televisi dengan mengatasnamakan agama dan moralitas sambil menginjak-injak prinsip-prinsip yang disucikannya. Para intelektual meneriakkan kepalsuan sebagai kebenaran dalam istilah-istilah serba ganjil dan memberondongkannya kepada telinga siapa saja. Para seniman, rohaniawan, budayawan, lalu-lalang dalam kegaduhan seperti tukang-tukang jamu berjualan di pinggir-pinggir jalan. Anak-anak remaja dan orang-orang miskin saling bantai seperti kawanan binatang. Ayah memperkosa anak gadisnya, anak laki-laki menikam ibu kandungnya. Orang bicara, asal njeplak. Orang tertawa sambil menganiaya sesama. Orang berkelahi asal mereka suka. Segala peristiwa berjumpalitan tanpa logika.

Berbeda dengan yang dikatakan oleh Arief Budiman di muka, tampaknya pengarang memilih untuk mengungkapkan kepedihan secara gamblang pada apa yang tengah berlangsung. Kutipan di atas seolah menjadi jawaban mengapa banyak orang mengalami masalah otak. Selama ini, otak dipaksa untuk berpikir telalu keras mencerna hal-hal yang tak masuk akal. Barangkali karena tak sanggup menahan beban berat itu, otak akhirnya muncrat keluar. Ada banyak hal yang menurut Ben mustahil, tetapi toh terjadi juga. Para politisi yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat justru sibuk mengumpulkan upeti untuk kantongnya sendiri, bahkan sambil menginjak prinsip yang disucikannya. Begitu juga yang dilakukan oleh para intelektual.

Namun, ada yang membingungkan saya, seniman-rohaniawan-budayawan yang gaduh dianggap sama dengan tukang-tukang jamu. Menurut cerpen ini, tukang jamu yang gaduh adalah kewajaran, sedangkan seniman yang gaduh adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. “Tidak logis” dalam istilah cerpen ini. Demikian juga anggapan cerpen ini terhadap anak-anak remaja dan orang-orang miskin yang saling membantai. Itu adalah tindakan tak logis. Apakah orang dewasa/anak-anak dan orang kaya yang saling membantai itu logis? Barangkali bukan siapa pelakunya yang menjadi perhatian/fokus cerpen ini, tetapi tindakan biadab itulah yang dikritisinya.
Tidak hanya pengarang yang menggunakan surealisme sebagai perangkat literer, tetapi si tokoh juga mengalami kondisi yang surealis. Ia pun mengalami pergulatan yang dahsyat dalam dirinya.

Dari hari ke hari ia terus berharap, bahwa apa yang sedang dialaminya sekarang hanyalah sebuah mimpi. Ia yakin, pada suatu hari nanti dirinya akan terbangun kembali ke dalam dunia yang sebenarnya. Dunia di mana otak dan kesadaran pikiran adalah harta paling berharga yang dimiliki manusia. Tapi dari hari ke hari pula ia kian kecewa. Sampai-sampai ia mulai berpikir bahwa, dunia yang menghargai otak dan pikiran yang dulu dialaminya barangkali bukanlah dunia yang nyata. Mungkin justru dunia seperti itulah yang merupakan mimpi, bukan kenyataan yang ia kira.

Bagi Ben, dengan segala peristiwa ynag telah dialaminya, batas antara mimpi dan kenyataan menjadi kabur sehingga ia merasa dirinya menjadi gila. Ia tak dapat membedakan mana yang “nyata” dan mana yang mimpi. Ia pun mulai meragukan apa yang dipercayainya selama ini.

Jika demikian, masihkah perlu mempertahankan otak? Ben, sebagai orang yang mempertahankan otak, digambarkan sebagai laki-laki yang malang dan tampak usang, rapuh, dan tak berdaya. Ia merasa sia-sia karena digerogoti waktu dan keterasingan. Selain itu, ia juga hidup dalam lingkungan yang tidak nyaman. Kondisi yang terik sangat menyengat. Aspal jalanan panas terbakar. Jalan-jalan raya di kota yang seakan ular-ular hitam yang hendak mengibas-ngibaskan kawanan manusia yang saling tak peduli berlarian di atas kendaraan, melintas cepat di atas punggung sang ular seperti diburu setan. Sebaliknya, setidaknya menurut cerpen ini, orang yang menanggalkan otaknya justru “berbahagia”.

Ben menyadari sesuatu yang berbeda ketika semua otaknya (akhirnya) terlepas dari tempurung kepalanya. Ia semacam merasakan “kebebasan”, meskipun muncul keraguan. Dalam ketidakberdayaan menghadapi keadaan yang menekan dan mencengkeram, Ben terombang-ambing dalam kebingungannya: memilih lepas atau lebur. Lepas berarti lepas dari masyarakat yang melingkupinya, yaitu masyarakat yang lebih memilih untuk menanggalkan otaknya dan memanjakan diri dengan teknologi. Jika lepas, Ben akan selalu menjadi subjek yang asing dan resah. Ben harus siap dengan segala konskuensi itu. Akan tetapi, jika memutuskan untuk lebur di dalamnya, yaitu turut menanggalkan otak, itu berarti ia telah melanggar prinsip-prinsip yang telah dipegangnya, yang sangat dijunjung tinggi. Ini jelas bukan hal yang mudah bagi Ben. Sampai akhir cerita kita pun belum mendapat kepastian akan pilihan Ben. Ben belum dapat dikatakan lepas dari atau lebur dengan masyarakatnya karena ia masih memperlihatkan kebingungannya: apakah akan bisa hidup tanpa otak seperti orang-orang?

Di sini dapat diketahui bahwa ternyata Ben tidak berdaya dalam hal apapun, meskipun ia punya kehendak untuk mempertahankan sesuatu. Pertama, Ben tidak berdaya menghadapi kekuatan masyarakat, menghadapi sesuatu yang telah menjadi tren, life style. Kedua, Ben tidak berdaya menghadapi lingkungannya yang tidak nyaman, termasuk perkembangan teknologi seperti yang telah diurai di muka. Ketiga, ia bahkan tak berdaya menghadapi seekor anjing dan lalat. Anjing hanya menyeringai sambil memamerkan lidah dan gigi-giginya ketika Ben mencoba untuk memukulnya. Anjing itu kemudian berhasil menjilati otak Ben yang tercecer. Keempat, dan ini yang paling penting, Ben tak berdaya menghadapi dirinya sendiri. Ben menjadi orang yang resah dan ragu. Bukannya bertahan, Ben justru goyah. Keluarnya otak dari tempurung kepalanya juga mempertegas bahwa Ben tidak berdaya menghadapi apapun, termasuk bagian dalam dirinya.

***
Biasanya, cerita-cerita yang dibungkus dengan gaya suralisme mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan perasaan “mual/enek” dan sarkas yang bertujuan untuk memberikan teror. Barangkali kemualan inilah yang justru menarik dan layak diberi perhatian. Di awal cerita pembaca sudah disuguhi sajian yang memualkan, yaitu otak Ben yang tercecer dan menimbulkan bau amis. Di akhir cerita, hal itu pun kembali disajikan. Perhatikan kutipan berikut.

Tapi, kian sering dilihatnya benda itu, perutnya jadi kian terasa mual. Gumpalan itu rupanya mulai meleleh dan menebarkan bau anyir yang menusuk-nusuk lubang hidung hingga ke dasar lambungnya. Ratusan lalat-lalat hijau terbang-hinggap mengikuti langkah Ben. Dari jengkal ke jengkal lalat itu kian bertambah banyak dan terus mendengung-dengung bising. Sebagian lalat itu berputar-putar di atas kepala, bahkan beberapa ekor mulai menggerumut bagian ubun-ubunnya yang mungkin kini kembali terbuka.

Bau benda itu bertambah menusuk. Ribuan lalat-lalat hijau kini tampak berkerumun dan dengan ganas menghisapnya begitu ada kesempatan. Warna benda itu telah berubah amat pekat. Perut Ben kembali bergeronjal, seakan seluruh isinya terpompa hendak keluar.
Sebagai cerpen surealis, efek kemualan yang disajikan oleh cerpen ini masih “nanggung”. Cerpen ini masih memunculkan kata ‘mual’ untuk menciptakan efek mual. Yang terjadi memang bukan kegagalan, tetapi sesuatu yang dipaksakan.

Biasanya, tokoh-tokoh seperti Ben memilih untuk “bermain-main” dengan kondisinya. Namun, dalam cerpen ini, si tokoh sangat khawatir ketika otaknya hilang, padahal ia terbukti tidak terlalu menggunakannya. Cerpen ini akan terasa lebih “asyik” ketika si tokoh justru bermain-main dengan kondisinya itu. Misalnya, teror yang dihasilkan akan berbeda ketika si tokoh melihat takjub otaknya yang muncat dengan si tokoh yang ketakutan. Hal itu juga akan membuat nuansa satir dalam cerpen ini lebih kuat. Selain itu, karena tidak memilih untuk bermain-main, dalam cerpen ini si tokoh seolah tidak dapat bergerak bebas dan terlalu terbebani oleh gagasan pengarang.

***
Berdasarkan uraian di atas, cerpen ini menunjukkan bahwa realitas seringkali tak dapat diterima akal sehat. Secara keseluruhan, cerpen ini memotret kebiadaban yang tak dapat diterima akal sehat, meledek realitas yang tak masuk akal, dan melihat kenyataan-kenyataan yang jungkir balik. Karena jungkir balik, maka tidak dapat menggunakan logika biasa. Oleh karena itu, surealis adalah salah satu perangkat yang cocok untuk digunakan, dan cerpen ini (cukup) berhasil menggunakannya.[]

*tulisan singkat untuk diskusi sastra PKKH UGM, 25 Agustus 2014

pelajaran tentang ketulusan

di jogja, saya punya beberapa tempat yang saya sebut "surga kecil". dan salah satu surga kecil saya ada di jl. ngeksigondo no.5. di sana ada dua dua kamar yang saling berhadapan. yang satu menghadap ke utara dan satunya ke selatan. saya tidak akan membahas kamar yang menghadap ke utara, karena bagi saya sangat sakral, bukan untuk konsumsi publik.

baiklah, kamar yang menghadap ke selatan ini adalah jenis kamar berantakan dengan kamar mandi yang tak ada lampunya. mungkin karena penghuninya memiliki kasih yang tinggi pada binatang, ia pun membiarkan kamarnya itu jadi sarang katak. iya, katak! saya tertawa-tawa saat mengetahui hal itu, tapi saya betah berlama-lama di sana. bukan karena kamar itu ada kataknya, bukan, tapi karena si pemilik kamar adalah orang yang mampu membuat siapapun tertawa. ia punya sense humor yang tinggi, jarang mandi dan gosok gigi.

banyak sekali pelajaran yang saya serap darinya, tentu saja tanpa sepengatahuannya. ia adalah orang yang sangat piawai menggunakan topengnya. ia memilih untuk menjadi gembel meskipun ada banyak sekali kemuliaan dalam dirinya. dan yang terpenting, ia mengajari saya tentang kejujuran dan ketulusan. saya tidak akan menceritakan bagaimana detail kejadiannya hingga saya bisa menyerap pelajaran berharga itu.

sudah satu tahun lebih, dua kamar yang di jl. ngeksigondo itu ditinggal oleh penghuninya. yang satu pindah karena kebetulan kamar itu mau dipakai sendiri oleh ibu kos. yang lain, kamar yang menghadap selatan ini memang memutuskan untuk pindah, entah apa sebabnya. bulan mei lalu, ia menggegerkan dunia persilatan. ia menikah! dan seminggu yang lalu ia menggelar resepsi pernikahan di kampung halamannya.

selalu ada perasaan sentimentil setiap kali teman saya menikah, tapi saya sedang tak ingin berpanjang lebar mendeskripsikan perasaan sentimentil itu. singkat kata, selamat sibuk berbahagia, yes! gimana, kadonya udah dibuka? unyu kan? wkwkwkwkwk




Sunday, August 10, 2014

Kabar dari Kampung Halaman #1: Mbokde Cepik

“Cepik wes liwat?”

Itu adalah kalimat yang sering saya dengar, dulu, kira-kira lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, jika Tuan dan Puan singgah di kampung saya, Tuan dan Puan akan menemui seorang perempuan yang tak lagi muda, yang jalanannya sedikit bongkok karena beban di punggungnya. Ada bakul besar berisi segala macam bumbu dapur, lauk pauk, jajanan, juga obat-obatan. Sementara itu, tanganya yang satu menenteng bungkusan besar krupuk pertolo dan tangan yang lain membawa termos es yang berisi es lilin dan nanas potong.

Kami biasa memanggilnya Mbokde Cepik. Saat itu, ia memang dikenal sebagai seorang yang cukup kaya. Di rumahnya ia memiliki kelontong yang menjual berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Tak puas dengan hanya menjual di rumah, ia menjajakan dagangannya pada malam hari dengan berkeliling kampung.

Konon katanya, dirinya sudah berjualan keliling sejak budhe saya masih kecil. Anda bisa bertemu dengan perempuan ini selepas maghrib. Ia akan berkeliling kampung memanggil nama-nama si pemilik rumah dengan teriakan “gak butuh?”. Dan akan singgah jika ada yang menyahut teriakannya. Ia akan memanggil dengan suara lebih keras jika si pemilik rumah kebetulan punya hutang.

Setelah lima belas tahun, Ia jelas sudah terlihat jauh lebih tua dibandingkan dengan dirinya yang saya lihat dulu. Namun, saya cukup kaget mengetahui bahwa sampai hari ini ia masih menjajakan dagangannya dengan keliling kampung. Saya kagum akan kegigihan dan kekuatan tubuhnya. Di saat perempuan-perempuan sebayanya sudah banyak yang meninggal dan tak kuat berjalan jauh, dirinya masih begitu sehat.

Saya tidak tahu benar berapa jumlah semua anaknya. Yang saya tahu, dua anak perempuannya mengikuti jejaknya berdagang kebutuhan rumah tangga. Salah satunya berjualan berkeliling memakai sepeda. Ia telah berhasil mewariskan ilmu dagangnya pada anak-anaknya. Dan mereka berjualan di kampung yang sama. Betapa luar biasa!

Bagi saya, Mbokde Cepik adalah wujud nyata perempuan dalam sajak “Perempuan-Perempuan Perkasa” karya Hartoyo Andangdjaja. Ia tak mau pensiun, tak mau rubuh digilas roda zaman. Ia masih tegak berdiri meskipun pesaing-pesaingnya dari kampung lain berdatangan ke kampung kami.

Long life, Mbokde Cepik!

Sunday, June 29, 2014

remahan roti

di lorong-lorong perpustakaan yang lampunya mulai menyala satu-satu, pada pertemuan kita yang entah ke berapa itu, tiba-tiba kau bertanya, “kalau kita bertemu lagi, nanti, kira-kira kamu jadi apa?”. dan aku hanya menjawab: entahlah.

tapi barangkali aku tahu kita akan jadi apa nantinya: kita akan memerankan masing-masing tokoh di film itu. aku akan berperan sebagai si perempuan muda yang ceria, yang suka berlama-lama di toko buku. dan menemukanmu kembali di sana. kau sedang mempromosikan buku terbarumu, yag berkisah tentang perempuan petapa. aku datang ke acara itu karena melihat namamu tertera di poster yang diterbangkan angin, yang entah bagaimana prosesnya hingga bisa sampai juga di depan pintuku.

kita beradu pandang. agak ragu dan kaku. kemudian saling bertanya kabar dan diam-diam menginginkan percakapan yang lebih panjang.

Friday, June 13, 2014

when was the last time you disappeared?

when was the last time you disappeared?
from the life in the concrete jungles call cities,
from everyday conversations that have long repetitive,
and the rest of those regular scenes?

when was the last time you really had enough time to sense any of these?
the scent of the beach
the morning dew under your bare feet
the sunset hues
the orchestration of the nature?

when was the last time you floated across the line, over those walls,
and lost your sense of time?

why not now?


-float-

Sunday, April 13, 2014

hari minggu yang begitulah

harusnya, siang tadi saya pergi ke Tutup Ngisor, Magelang, atas undangan seorang kawan. dia bilang ada acara yang cukup asyik di sana. saya pun sebenarnya suda cukup kangen dengan desa itu. lama sekali tak ke sana. tapi, seperti undangan-undangan dia sebelumnya, saya tak memenuhinya. ada aja alasan yang saya buat. kali ini saya memberikan alasan kalau tulisan saya belum kelar, padahal besok saya janji bertemu pembimbing. dia memaklumi. dan saya merasa sangat payah.

ketika saya menulis ini pun, tulisan yang saya janjikan untuk pembimbing itu belum juga kelar. tapi sialnya saya malah tidak bergegas menyelesaikannya. otak rasanya sudah teramat penuh. bumpet. haha. maka, saya pun mencari pelampisan. yak! toko buku!

sebulan kemarin saya berhasil menahan diri gak ke toko buku. ada perasaan euforia ketika tadi saya masuk ke dalamnya. "haloooo akhirnya kita bertemu yaaaa". kira-kira seperti itulah. iya, ini berlebihan. niatnya saya cuma mau beli satu buku, buku terbaru Wimar Witoelar. tapi, seperti yang sudah bisa ditebak, saya tidak mungkin bisa mengabaikan buku lainnya yang minta dibeli. duh saya perempuan lemah -__-

dan, inilah akhirnya: Sweet Nothingness, buku keempat dari serial About Nothing karangan Wimar Witoelar. saya suka tulisan-tulisan Wimar yang mengajak kita melihat yang yang seolah remeh-remeh itu. ini bukunya para sidekick. haha. tidak tahan melihat ada wajah John Lennon di cover buku, tanpa pikir panjang buku ini langsung saya ambil. meskipun harganya cukup mahal. hoho. buku ini berisi surat-surat John Lennon yang dikumpulkan oleh Hunter Davies. bukunya asyik, banyak fotonya Lennon dan surat-suratnya yang ditulis tangan. pokoknya ini bakal jadi buku kesayangan. hehe. kemudian sebuah buku biografi Anies Baswedan, Melunasi Janji Kemerdekaan. saya sangat nge-fans sama orang satu ini. gagasannya, sepak terjangnya, benar-benar "membuka" mata saya. trus satu lagi buku yang ditulis oleh Rinandi Dinanta. setelah sukses menulis tentang Joko Widodo, kali ini dia menulis buku Ibu Risma Memimpin dengan Hati. tas belanjaan saya pun penuh. Tadinya mau beli kumpulan cerpen AS Laksana "Bidadari yang Mengembara", tapii...asudahlah! eh satu lagi, ada selembar kartu pos untuk dikirimkan ke Fitria Ambarwati.


ndak ngono kui perilaku konsumtif? :(

P.S. >> saya tadi menukarkan tiga buku untuk tiket nonton teater di LIP, Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta, dalam rangka 15 tahun Puthut EA berkarya. masih ada satu tiket nganggur nih. siapa mau?

P.S. lagi >> saya pagi tadi ngidam sayur asem, trus tiba2 temen sebelah kos sms kalo masak sayur asem lengkap dengan ikan asin dan sambel terasi. saya di suruh dateng. ini kebetulan?




Sunday, March 9, 2014

terima kasih, Guru :)

sebagaimana saya percaya bahwa buku itu jodoh, saya juga mempercayai bahwa guru juga demikian. guru akan datang ketika murid siap, begitu kata pepatah. tunggu tulisan saya tentang salah satu guru saya ini, Ajahn Brahm :)

Friday, January 10, 2014

cerita sebelum tidur untuk anak-anakku kelak

Setiap kali membaca buku, saya sering membayangkan kalau buku-buku yang saya baca ini kelak akan dibaca juga oleh anak-anak saya. Atau, buku-buku itu adalah bekal saya untuk mendongengi anak saya sebelum tidur. Saya jadi ingat salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma, judulnya “Dongeng Sebelum Tidur”. Cerpen itu menceritakan tentang seorang wanita, seorang ibu, yang sangat sibuk. Namun, sesibuk apapun wanita itu, dia selalu menyempatkan diri untuk menceritakan sebuah dongeng sebelum tidur untuk anaknya. Sampai suatu hari, setelah lima tahun bercerita, wanita itu betul-betul kehabisan cerita. Ia tak bisa menceritakan hal yang sama karena anaknya hafal dan otaknya merekam dengan detail cerita-cerita yang pernah disampaikan ibunya.

Barangkali, saya kelak akan membuat jadwal. Karena dalam satu minggu ada tujuh malam, saya akan membagi cerita menjadi tujuh kelompok. Hari Senin saya akan menceritakan tokoh-tokoh penggerak bangsa ini. Kepadanya saya akan bercerita tentang Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Soe Hok Gie, Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Gus Dur, Pramoedya Ananta Toer. Tidak lupa saya juga akan menceritakan Nelson Mandela, Dalai Lama, Bunda Teresa. Menjadi apapun anak saya kelak, ia tetap harus tahu dan mengenal orang-orang yang memilih jalan terjal dan menanggung segala risikonya itu. Agar tidak menjemukan dan terlalu berat, saya akan menggantinya dengan cerita fabel yang saya beri nama tokoh-tokoh itu. Misalnya, seekor singa bernama Tan Malaka…

Selasa, saya akan bercerita tentang berbagai legenda Nusantara dan hikayat. Tentang Hang Tuah, Si Kabayan, dan Raja-Raja Pasai. Karena ini legenda, saya membayangkan anak saya akan lebih cepat tidur. Agar dia tak jemu, saya akan menceritakan bagaimana bangsa ini tak pernah lelah melawan penjajahan dalam bentuk apapun. Rabu, saatnya berkisah tentang wayang. Sebagai pengenalan, saya akan menceritakan tentang Rahwana, Rama, Sinta, Pandawa Lima, Drupadi, Gatot Kaca, dan lain-lain dengan menunjukkan gambar-gambarnya. Buku-buku tentang wayang hanya beberapa yang saya baca, tapi saya rasa cukup.

Kamis, giliran kisah Rosul dan para sahabatnya, juga kisah para nabi. Bacaan saya tidak terlalu banyak tentang topik ini, hanya ingatan-ingatan yang mulai kabur dan angka-angka tahun yang mudah saya lupakan. Menjadi PR bagi saya untuk membaca ulang dan membaca lebih banyak. Jumat, saya barangkali akan menceritakan tokoh-tokoh dari dunia musik dan olahraga. Perbendaharaan saya tidak terlalu banyak tentang ini. Paling-paing saya akan menceritakan tentang John Lennon dan The Beatles, Deep Purple, Michael Jackson. Biarlah bagian ini menjadi tugas ayahnya. Hahaha.

Sabtu, saya akan menceritakan kisah-kisah petualangan. Tentu saya akan menceritakan petualangan kepala suku Apache Winnetou dan sahabatnya Old Shatterhand, juga tentang Tom Sawyer, Musashi, Three Musketeers, Gulliver, Robinson Crusoe, Pendekar Tanpa Nama, juga McCandless. Minggu saya akan menceritakan para intelektual islam. Mulai dari Ibnu Sina, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Syeh Abdul Qodir Jailani, dll. Nah, untuk ini saya perlu membaca ensiklopedia islam. Rekaman di otak saya masih terlalu sedikit tentang mereka-mereka ini.

Tentu, bercerita kepada anak tetap harus ada hubungan personal. Entah pada hari apa, saya akan menceritakan tentang sejarah orang-orang biasa, yang pernah saya baca dari feature-feature Sindhunata. Dia pun akan mendapatkan cerita tentang masa lalu ibunya, ayahnya, neneknya, buyutnya, juga guru-guru dan teman-teman ibu dan ayahnya.

Tenang saja, Nak, ibu tak akan kehabisan cerita. Untuk itu, hari ini ibumu sedang mempersiapkan cerita-cerita itu untukmu. Tidak semuanya cerita yang menyenangkan, ada beberapa yang getir. Karena, Nak, jauh-jauh hari kau harus tahu, hidup tak selamanya menyenangkan. Ibu tidak ingin kau menganggap ibu pembohong karena menceritakan hal-hal yang melulu manis. Tapi percayalah, ibu akan berusaha menceritakan yang tidak manis itu dengan baik. Jika toh ternyata suatu saat ibu sudah tidak bisa bercerita, dan jika usiamu sudah semakin dewasa, kau boleh membaca catatan harian ibu. Kau senang, bukan? :)

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...