Wednesday, December 30, 2020

Memasak untuk Berdua

Semenjak pandemi, kemampuan saya dalam memasak meningkat tajam. Awalnya memang dipaksa keadaan yang tidak memungkinkan atau was-was keluar rumah demi sebungkus makanan. Gofood sesekali sih gak papa. Tapi kalau tiga kali sehari kan ya boros. Apalagi sampah bungkus makanannya. Hadeeeh. 

Daripada repot, lebih mudah kalau memasak sendiri. Belanja bumbu, lauk, dan sayuran seminggu sekali. Taruh lauk dan sayuran itu di food container, lalu masukkan kulkas. Bahan makanan akan tahan lebih dari seminggu. Aman. 

Dua minggu pertama memasak, saya sering sekali mantengin resep masakan di youtube. Kebanyakan masakan rumahan dan gak ribet. Selebihnya, saya eksplorasi sendiri, baik bahan maupun bumbu. Sering berhasil. Pernah gagal meski gak gagal banget. Hehe. 

Lama-lama, saya menikmati kegiatan memasak ini. Rasanya sangat ajaib mengolah bahan yang mentah menjadi matang. Apalagi kalau masakan kita dimakan dengan lahap oleh orang yang kita sayangi. Sampai sekarang jawara masakan saya masih dipegang oleh mie ayam. Bayangin, saya bisa bikin mie ayam enak (versi lidah saya)ala abang-abang gerobakan. Mantaplah pokoknya. 

Sekarang, setelah berumah tangga, saya jadi juru masak. Karena suami tidak bisa memasak, dia memilih mencuci piring dan peralatan dapur yang kotor. Sip. Adil. 

Kok saya merasa memasak untuk diri sendiri agak berbeda dengan memasak untuk orang lain, ya. Ada perasaan khawatir kalau-kalau masakan saya tak cocok untuk lidahnya. Lidah saya Jawa Timur sentris, sedangkan suami sih lebih adaptif. Seharusnya, tidak ada masalah. Awal-awal, saya agak nggak pede. Untungnya, suami selalu makan dengan lahap apa pun yang saya sajikan. Entah beneran enak, entah sekadar melapangkan hati saya. 

Tentu, ada makanan kesukaan saya yang ia tak suka. Begitu juga sebaliknya. Sayur asem dan asem-asem bandeng, misalnya. Saya sukaaaaaaa bangeet sayur asem jenis apa pun. Sedang suami kurang suka makanan yang rasanya asem. Padahal kan seger banget! Biasanya, kalau gak banyak kerjaan, saya akan masak dua menu. Sayur asem untuk saya dan cah kangkung untuknya. Dia suka sekali cah kangkung. Ada juga makanan yang awalnya saya gak suka, tapi karena suami ingin dan saya memasaknya, saya jadi ikutan suka. Jangan Lombok Ijo, misalnya. 

Selesai memasak, begitu saya bilang makanan siap, suami langsung menyiapkan nasi di piring dan menatanya di meja makan. Itu kebiasaannya. Terlebih dulu ia akan bertanya, “sedikit, lumayan, banyak?” Saya hampir selalu menjawab, “Lumayan banyak.” Saya senang melihatnya makan. Sambil makan, kami biasa mengobrol ringan. Tentang apa saja. Kadang saya juga minta komentar dan penilaian untuk masakan saya. 

“Besok mau dimasakin apa, Sayang?”

Sunday, December 27, 2020

Halo!

Lama sekali gak nulis di sini. Saya mengelola blog baru sih, jadinya jarang main ke sini. Hehe. Mau nulis di sini lagi ah! Yang ringan-ringan aja, seputar keseharian dan rumah tangga yang ada bahagianya, ada juga sedih-sedihnya. Seimbang. Well, semoga bisa nulis minimal sebulan sekali. Sampai jumpa lagi, ya 😊

Friday, July 3, 2020

Setelah Makan Malam dan Membaca Blog Teman


Saya baru saja makan malam dengan sambal terasi, lalapan kemangi, ikan tengiri goreng, kerupuk, dan sepiring nasi (tapi nambah lagi agak banyak). Sambil makan, saya nyambi membaca (oh kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan) blog teman lama. Saya senang membaca blog orang lain. Beberapa minggu lalu saya membaca hampir semua postingan di blog seorang pelukis hebat Indonesia. Lukisannya keren, tulisannya juga mengalir lancar. Bikin iri saja.

Saya tak sengaja mencari blog si teman lama. Awalnya dari caption instagramnya yang menautkan blognya. Iseng, saya mengklik. Jadilah saya membaca beberapa tulisan di sana. Sambil melalap sambal terasi kemangi. Nikmat di lidah bertambah-tambah ketika tulisan-tulisan yang saya baca cukup menghanyutkan. Dan karena tulisan-tulisannya itulah saya jadi ingin menulis di sini (setelah sekian lama tidak).

Blog itu ringan saja isinya: kisah hidup sehari-hari, sambatan, dan mimpi-mimpi yang berlalu. saya paling suka saat dia bercerita tentang pergulatannya sebagai single mom dengan tiga anak. Yang saya sukai, ia tidak menampilkan diri sebagai sosok yang harus selalu bersemangat dan bersyukur. Nein. Ia menulis apa adanya, ia sambat, ia merenung. Ia menceritakan kehidupannya sebagai ibu yang tidak sempurna, sebagai manusia yang selalu bertumbuh. Kadang bijak, kadang liar. Hehe.

Sebenarnya saya baru sekali bertemu dengannya. Kalau tidak salah, itu Sabtu sore di bonbin karena dulu saya punya rutinitas menghabiskan Sabtu di bonbin. Saya sudah agak lupa kami ngobrol apa saja. Yang masih saya ingat, waktu itu bercerita akan kembali ke Malang. Berat tapi harus. Apa sebabnya, saya tak tahu.

Setelah obrolan sore di bonbin itu, kami tak pernah bertemu lagi. Selanjutnya kami sesekali saling menyapa melalui media sosial. Saya tahu dia punya tiga anak pun dari akun media sosialnya.

Beberapa tulisannya sering membuat saya melongok relasi saya dengan ibu. Saya sering berbeda pendapat dengan ibu saya. Tapi sekuat tenaga saya tidak mendebat dengan sengak. Lebih sering saya mendebat dalam batin atau menjalankan aksi diam karena beliau penganut paham “membantah orang tua adalah durhaka dan durhaka jelas dosa besar”. Itu membuat saya berkukuh: kelak, jika punya anak, saya tidak ingin menjadi ibu seperti itu.

Dalam kebodohan dan pikiran gelap saya, saya sering menyalahkan ibu saya atas sifat-sifat yang berdiam dalam diri saya sampai saat ini. Sejak kecil saya pasti melihat, menyerap, dan mencontoh sikapnya dalam menghadapi berbagai hal. Apa yang terekam oleh indera saya itu pada akhirnya sedikit banyak membentuk karakter saya. Iya, setelah saya amat-amati, saya merasa beberapa karakter saya (yang saya benci) diturunkan oleh ibu saya. Atau, didikan beliaulah yang membuat luka masa kecil saya sulit hilang dan ketakutan-ketakutan masa lalu masih sering menghantui.
Membaca tulisan teman saya itu, saya jadi berpikir bolak-balik.

Saya paham bahwa menjadi ibu itu berat. Di luar percekcokan saya dengan ibu saya, saya bersyukur sekali punya ibu seperti ibu saya. Saya tahu, beliau sangat menyayangi saya. Beliau memperjuangkan dengan sungguh-sungguh pendidikan saya. Saya tidak menuntutnya menjadi ibu yang sempurna versi saya. Tidak. Apa-apa yang menjadi keputusannya pasti dilatarbelakangi juga oleh sejarah hidupnya. Beliau berhak mengambil sikap sesuai prinsip hidupnya.

Saya jarang sekali menceritakan keluarga dan relasi saya dengan mereka. Entah mengapa saya ingin menulis ini. Mungkin saya sekarang sedang merindukan ibu saya. Yang pasti, saya merindukan masakannya. Hehehe. Saya kerap membuat masakan yang beliau masak, tapi sial sekali rasanya tak pernah bisa sama. Mendekati pun tidak.






Wednesday, April 8, 2020

E.S. Ito


Sudah lama saya menunggu karya terbarunya. Dulu saya mendengar kabar kalau dia akan menulis novel tentang Nusantara awal abad 19 (?). Pasti menarik dan mendebarkan jika ia yang menuliskannya. Biasanya, saya tertarik pada sebuah cerita karena gaya bercerita si penulis, cara ia menuturkan kisah. Namun tak demikian pada E.S Ito. Jika dilihat dari gayanya bercerita, masih banyak penulis lain yang lebih bagus, meski Ito juga sering menyisipkan dialog-dialog cerdas.

Saya suka cerita-cerita E.S Ito karena tokoh-tokoh yang dihadirkan. Sejak buku pertama, Negara Kelima, dilanjut buku kedua, Rahasia Meede, selalu ada tokoh ideal yang saya rasa mewakili suara-suara dan idealisme Ito. Bukan tokoh tampan nan baik hati, tentu saja. Tapi rebel, jenius, dan prinsipil idealis. Dari dua novelnya itu, ia selalu terkonsentrasi pada persoalan militer, kebobrokan dan keruwetannya. Mungkin ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Kalau tidak salah, Ito lulusan Taruna Nusantara.

Maka, saya berbahagia sekali karena beberapa hari lalu tahu dari cuitan seseorang kalau Ito membuat sebuah film seri! Sebagai penggemar yang menunggu-nunggu karya terbarunya, saya menyesal karena baru tahu. Padahal film seri itu sudah sejak tahun lalu. Sebelumnya Ito juga pernah menulis skenario untuk film Republik Twitter. Dialog-dialognya asyik sekali.

Di filmnya kali ini, Brata, Ito kembali mengulik dunia yang tak jauh-jauh dari militer: kepolisian Republik Indonesia. Tentu saja ia memunculkan tokoh ideal seperti yang saya singgung. Rebel, jenius, prinsipil idealis. Bayangkan, polisi rebel sedikit arogan, nggak kenal kompromi. Apalagi diperankan Oka Antara. Sumpah bikin meleleh wkwkwkwkwkwk. Saya nggak suka polisi sih, tapi saya suka polisi yang diperankan Oka Antara itu. Kalau penonton film ini adalah juga pembaca novel-novel Ito, mereka tidak akan asing dengan sosok Brata. Ia mirip sekali dengan tokoh Timur Mangkuto dalam novel Negara Kelima.

Film ini punya bangunan cerita yang kukuh dan matang. Didukung juga oleh pemain-pemain yang mumpuni. Saya senang ada serial dengan mutu yang bagus seperti ini. Cukup mengurangi tekanan mental pada saat-saat seperti ini. Kalau lagi badmood tinggal mantengin sosok Brata. Dijamin senyum-senyum aja bawaannya hahahahaha.

Tuesday, April 7, 2020

Waras


Saat menulis ini, saya sedang duduk di belakang meja kerja saya yang nyaman. Petikan piano Yiruma menjadi latar belakang yang merdu. Seharusnya ini menjadi pagi yang sempurna. Pikiran masih fresh untuk diajak bekerja. Kebetulan banyak tugas mahasiswa yang belum saya periksa. Tapi, beberapa hari ini rasanya otak saya tidak mau diajak berpikir. Bahkan untuk menuliskan hal-hal sederhana pun rasanya malas sekali.

Hampir empat minggu sejak pihak kampus memberi kebijakan bekerja dari rumah, praktis saya nggak ke mana-mana dan memang tidak boleh ke mana-mana. Sebagai orang rumahan yang betah ngendon di kamar berhari-hari, bahkan sering malas bertemu manusia, saya menyambut kebijakan itu sebagai anugerah. Saya merasa lebih fokus dan produktif bekerja dari rumah. Tidak banyak distraksi seperti di kantor. Kuliah pun lancar. Saya menggunakan video conference zoom, webex, dan aplikasi google classroom. Nggak ada masalah. Saya juga jadi punya lebih banyak waktu untuk melamun dan merawat tanaman-tanaman saya.

Namun, musuh besar umat manusia adalah kebosanan.

Saya tidak tahu persis, mungkin karena disuruh, ada tekanan, atau entah apa, berdiam di rumah (lama-lama) tidak seindah yang saya bayangkan. Atau saya hanya butuh variasi? Sesekali pergi ke warung kopi? Mungkin tidak juga. Ini adalah hari-hari ketika pertanyaan "apa kabar" bukan sekadar basa-basi. Rasanya setiap hari adalah pms. Saya mudah murung dan pikiran-pikiran buruk mudah sekali menerobos. Saya mengkhawatirkan kondisi keluarga saya. Saya mencemaskan banyak hal.

Seharusnya sejak kemarin saya sudah memanggil tukang kunci. Saya lupa membawa kunci kamar kos yang saya taruh di saku jaket yang saya tinggal di rumah kekasih. Untuk bilang padanya kalau saya lupa membawa kunci dan memintanya mengantarkan pun rasanya malas. Saya lebih memilih keluar masuk kamar lewat jendela yang tidak saya kunci. Apakah saya hanya butuh variasi?

Semoga kita semua masih waras. Inhale-exhale~

Monday, January 13, 2020

Nenek Honiden

Saya sedang duduk-duduk di bonbin menghabiskan sore sambil nyedot es coffeemix. Di depan saya duduk seorang mahasiswi yang kalau dilihat dari tampangnya, ia seperti sedang bertarung dengan hormon menstruasi. Daripada mengajaknya ngobrol, saya rasa lebih aman kalau mendiamkannya saja.

Di belakang gadis itu, duduk seorang nenek. Sebotol minuman dan sebuah tas kecil merah jambu di mejanya. Pandangan matanya menyuntuki sebuah lagu india dari layar ponselnya. Mulutnya menggumam mengikuti lirik lagu yang diputar cukup keras itu.

Si nenek ini, jika kamu pernah menjadi mahasiswa FIB UGM tahun-tahun 2000-an awal, kamu pasti mengenalnya. Sejak awal saya memperhatikannya, rambutnya sudah putih semua. Dulu ia membawa serta cucunya. Ngapain? Ngambilin sampah di sekitar kampus.

Sampai 2020 ini, ia masih melakukan hal yang sama. Bedanya, ia tak lagi mengajak serta cucunya. Bedanya lagi, sekarang ia sudah memegang ponsel yang jauh lebih bagus dari ponsel saya. Bedanya lagi dan lagi, dia bisa mengendarai motor dengan seabrek sampah di depan belakang samping kiri kanannya. Saya? Boro-boro!

Saya sering mengimajinasikan ia sebagai jelmaan nenek Honiden, ibunya Matahachi, salah satu tokoh paling ngeyelan di novel Musashi karya Eiji Yoshikawa. Nenek yang satu ini memang ngeyelan sih. Tapi sudahlah..saya malas menceritakan apa sebabnya ia saya lekati label itu.

Awalnya saya juga tidak ingin menulis tentangnya. Tapi karena terpampang nyata di depan mata saya, ya mau gimana lagi.

Sampai sekarang ia masih asyik sekali menyimak tontonan di layar ponselnya. Masih lagu-lagu india. Ia sama sekali tak terganggu keadaan sekelilingnya. Orang-orang di sekitarnya juga sepertinya (pura-pura) tak begitu peduli apa yang dilakukannya. Kecuali saya, tentu saja.

Sunday, January 12, 2020

Membaca dan Mengulas Lagi

Sesibuk apa pun, selama ini saya selalu bisa membaca setidaknya lima puluh buku setiap tahunnya. Tidak ada keterpaksaan atau alasan demi konten. Saya cukup berbangga dengan habit itu. Saya membaca apa saja, buku yang super tebal atau yang tipis, buku yang memang saya ingin membacanya atau karena berhubungan dengan pekerjaan.

Namun, yang saya sayangkan, saya tidak bisa mengulas semua buku yang saya baca itu. maksud saya, ulasan yang serius dan mendalam. Padahal, menurut saya, itu adalah cara yang cukup ampuh untuk mengingat isi buku. Alhasil, saya memang membaca banyak buku, tapi hanya sebagian yang betul-betul saya ingat dan kuasai.

Nah, tahun ini, saya ingin membaca dengan pelan. Kalau bisa, satu bulan satu buku saja. Tapi saya ingin membacanya dengan serius dan teliti, juga mengulasnya dengan kritis. Saya juga tidak ingin banyak membeli buku. Tahun lalu, di Jogja, banyak sekali pameran buku, diskonnya lumayan. Buku-buku yang saya beli dari pameran itu belum semua saya baca. Membuat saya merasa bersalah.

Tahun ini saya ingin membaca buku-buku itu saja. Juga buku-buku di rak buku si pacar, sebagian besar hasil terjemahannya. Terjemahannya enak. Dia punya kepekaan bahasa di atas rata-rata. Dulu, sebelum pacaran dan sebelum kenal, saya pernah menyunting terjemahannya. Waktu itu, rasanya saya rela tidak digaji lantaran sudah bergembira membaca terjemahan yang bagus. Hehe hehe. Menurut saya, di Indonesia, dia nomor dua setelah Ronny Agustinus.

Friday, January 3, 2020

Buku yang Kubaca 2019

1. Kura-Kura Berjanggut (Azhari Aiyub)
2. Manjali dan Cakrabirawa (Ayu Utami)
3. A Guide To Health (Mahatma Gandhi)
4. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Mark Manson)
5. Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (Raudal Tanung Banua)
6. Museum Masa Kecil (Avianti Armand)
7. Tempat paling Liar di Muka Bumi (Theresia Rumthe dan Willy Johannes)
8. Sapiens (Yuval Noah Harari)
9. Kenang-Kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub (Claudio Orrego Vicana)
10. Bagaimana Aku Menulis (Gabriel Garcia Marquez)
11. Tango dan Sadimin (Ramayda Akmal)
12. Estetika Banal- Spiritualisme Kritis (Ayu Utami-Eric Prasetya)
13. Dalam Kobaran Api (Tahar Ben Jelloun)
14. 9 dari 10 Kata dalam Bahasa Indonesia Adalah Asing (Alif Danya Munsyi)
15. Kata-Kata Arab dalam Bahasa Indonesia (Syamsul Hadi)
16. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia (J.S. Badudu)
17. Anatomi Rasa (Ayu Utami)
18. Xenoglosofilia (Ivan Lanin)
19. Bidadari yang Mengembara (A.S. Laksana)
20. Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya (Dea Anugrah)
21. Masa Lampau Bahasa Indonesia (Harimurti Kridalaksana)
22. The Silk Worm (Robert Galbraith)
23. Career of Evil (Robert Galbraith)
24. O (Eka Kurniawan)
25. Senyap yang Lebih Nyaring (Eka Kurniawan)
26. Mata Angin dan Seekor Anjing (Faruk)
27. Lelaki dan Ilusi (Mohammad Qadafi)
28. 1Q84 Jilid I (Haruki Murakami)
29. 1Q84 Jilid II (Haruki Murakami)
30. 1Q84 Jilid III (Haruki Murakami)
31. Kisah-Kisah Kebebasan (Ben Okri)
32. Matinya Burung-Burung (Ronny Agustinus [Penerjemah])
33. Berguru pada Pesohor (Muhidin M. Dahlan dan Diana A.V Sasa)
34. Srimenanti (Joko Pinurbo)
35. Hikayat Kebo (Linda Christanty)
36. Seekor Burung Kecil Biru di Naha (Linda Christanty)
37. Bakat Menggonggong (Dea Anugrah)
38. Para Raja dan Revolusi (Linda Christanty)
39. Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (Marvin Harris)
40. Lethal White (Robert Galbraith)
41. Percakapan dengan Kafka (Gustav Janouch)
42. Vegetarian (Han Kang)
43. Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip [Ed.])
44. Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira (Iqbal Aji Daryono)
45. Aku Ini Binatang Jalang (Chairil Anwar)
46. Duka-Mu Abadi (Sapardi Djoko Damono)
47. Lelucon-Lelucon Ganjil Kiamat Kesusastraan (Roberto Bolano)
48. Orang-Orang Oetimu (Felix K. Nessi)
49. Tigris, Kumpulan Sajak (Goenawan Mohamad)
50. Kawan Lama Ayahmu (Henry Lawson)

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...