Tuesday, December 31, 2019

Tiga Puluh


Seharusnya tulisan ini saya posting tepat pada hari saya berulang tahun yang ketiga puluh, tahun ini. Entah mengapa saya merasa berkeharusan untuk menulis “sesuatu”. Sialnya, apa yang sebaiknya ditulis itu tak kunjung muncul di benak.

Saya, sejujurnya, gamang menyandang usia kepala tiga.

Pramoedya pernah bilang, usia adalah aniaya bagi perempuan. Biasanya, semakin tua fisik perempuan, ia tidak lagi menarik. Keriput dan kendor di sana-sini. Sungguh bukan persoalan itu yang membuat saya risau. Saya akan membantah apa yang dibilang Pram itu dengan ucapan Nawal el Saadawi: aku bangga dengan keriput-keriputku, setiap kerutan di wajahku mengisahkan cerita hidupku. Buat saya, itu sikap diri perempuan yang keren sekali!

Tiga puluh tahun. Lama juga saya hidup. Dulu saya menganggap orang berusia tiga puluh itu sudah matang, untuk tidak menyebutnya tua. Ternyata, setelah saya menjalaninya sendiri, nggak juga. Sikap saya masih sering kekanak-kanakan. Masih labil dan jauh dari bijaksana.

Selama tiga puluh tahun menghirup oksigen, apa yang sudah saya lakukan? Rasanya saya belum melakukan sesuatu yang besar. Masih berapa lama lagi saya diberi kesempatan hidup? Saya tidak tahu.

Dalam rentang tiga dekade ini, banyak hal terjadi. Sebagian berlalu begitu saja, sebagian bertahan lama dalam ingatan. Ingatan-ingatan itu kadang menghangatkan, menyelamatkan pada saat-saat berada di titik rendah, tapi tak jarang juga membikin ngilu.

Saya lupa saat-saat saya masih balita, sepertinya itu kenangan yang khusus hanya bisa dimiliki orang tua saya. Keluarga kami tidak begitu sadar dokumentasi. Saya hanya ingat pernah melihat foto saya saat masih bayi: tengkurap, memakai celana pendek bermotif bintang. Entah kemana perginya foto itu sekarang. Saya tak pernah melihatnya lagi.

Ingatan saya saat TK hanya lamat-lamat. Saya ingat jawaban saya atas pertanyaan guru TK, ikan makan apa? Saya jawab duri ikan. Saya tumbuh dengan pengetahuan itu sebab jika ada kucing di rumah, kakek atau ibu saya memberi bagian duri, tak pernah dagingnya. Daging ikan terlalu berharga untuk dibagi dengan kucing.

Saat sekolah dasar, saya sering digendong bapak ke sekolah kalau hari hujan lantaran saya (dan bapak) tak mau sepatu saya kotor. Saat-saat sekolah menengah pertama saya lalui dengan kerja keras tapi rasanya waktu itu asyik-asyik saja. Musim hujan masih menjadi kekhawatiran tersendiri karena itu tandanya saya harus mendorong sepeda di jalanan yang berlumpur.

Banyak orang bilang SMA adalah masa-masa paling indah. Rasanya itu tak berlaku bagi saya. Saya merasa SMA adalah masa yang sedikit suram. Yang tergambar di ingatan saya adalah suasana sore hari yang mendung di depan ruang teater, daun-daun pohon angsana kering dan rontok. Rasa-rasanya saya pernah jatuh cinta pada orang yang jauh lebih tua dari saya, tapi saya lupa bagaimana persisnya. Itu adalah tahun-tahun ketika saya sering tidur di kelas dan malas sekali belajar. Tapi juga tahun ketika saya mulai menulis puisi, dan pernah juara.

Sebentar, kok saya jadi bikin rangkuman perjalanan hidup gini, sih? Hmmm.

Baiklah. Masa-masa itu rasanya sudah lama berlalu. Kenangan-kenangan yang semoga tetap bertahan dan menghangatkan.

Biasanya, di hari ulang tahunnya, orang akan mengucapkan terima kasih. Seberantakan apa pun hidupnya. Saya pun akan melakukan hal itu.

Saya berterima kasih sudah diberi kehidupan. Tidak mudah bertahan hidup selama tiga puluh tahun ini. Hahaha. Harus mengalami banyak luka dan cinta, menanggung berbagai risiko, juga mengambil keputusan-keputusan sulit dengan sok berani. Alhamdulillah, sejauh ini saya masih diberi keselamatan.

Saya juga berterima kasih karena dilimpahi kasih sayang dari orang-orang yang juga sangat saya sayangi. Tanpa kasih sayang mereka, entah apa jadinya saya. Agak terkesan menye-menye sih, tapi saya termasuk manusia yang percaya pada kekuatan cinta dan kasih sayang. Saya selalu takjub pada kekuatan hati manusia. Saya pernah menyangka hati saya sudah sekeras batu, mati rasa. Tapi nyatanya, hati saya masih bisa meleleh lagi (oleh hati manusia lain). Memang ada hal-hal yang menyedihkan, yang hanya dengan mengingatnya rasanya seperti mengulanginya lagi, tapi banyak juga hal yang membahagiakan.

Kendati begitu, bohong besar kalau ada hal-hal yang tidak saya sesali dalam tiga puluh tahun saya hidup. Saya merasa melakukan banyak kekeliruan. Keputusan-keputusan yang saya ambil dengan gegabah, sering tidak memperhitungkan perasaan orang lain lebih dalam. Saya juga kadang punya pikiran-pikiran buruk pada orang lain. Saya pernah berkeinginan agar orang yang menyakiti saya mengalami hal yang lebih menyakitkan daripada yang pernah saya rasakan, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Saya merasa egois dan jahat. Berlarut-larut menyalahkan diri sendiri. Tapi, bagaimanapun, saya harus menerimanya sebagai sesuatu yang sudah berlalu. Sebagai bagian dari perjalanan hidup saya.

Saya harus bisa memaafkan diri saya sendiri. Ada satu kalimat yang terasa begitu hangat dari Ajahn Brahm: apa pun yang kamu lakukan, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu. Saya pernah mengucapkan kalimat itu untuk orang lain. Meski tak saya ucapkan secara langsung, hanya tekad kuat dalam hati. Kalau dipikir-pikir, rasanya saya keliru. Harusnya saya mengucapkan itu untuk diri saya sendiri, sebelum melakukannya untuk orang lain.
Sekarang, saya ingin bilang pada diri saya sendiri: tidak apa-apa berbuat kesalahan, tidak apa-apa mengulang kebodohan, tidak apa-apa bersedih, tidak apa-apa patah hati berkali-kali pada orang yang sama. Tidak perlu menendang kesedihan. Tidak semestinya menggenggam kebahagiaan. Wahai diri, apa pun yang kamu lakukan, seburuk apa pun kesalahan yang pernah kamu perbuat, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.

Kepada orang-orang yang pernah berpapasan dalam hidup saya dan tersakiti oleh sikap saya, semoga semua dalam lindungan dan kasih sayang Tuhan, penuh ketenangan batin dan pikiran. Meski tak lagi saling menyapa, semoga semuanya baik-baik saja. Amin.

Selamat menyongsong tiga puluh tahun, Anis Mashlihatin :)

Tuesday, December 10, 2019

Antasida, Ia, dan Kekasihnya

Ia masih sangat kesal pada kekasihnya. Ia pun ngopi sendirian di kedai kopi langganannya. Sewaktu hendak pulang, ia melihat plang K24. Barangkali karena kesal itulah, ia justru selalu teringat kekasihnya. Kakinya mengarahkannya masuk ke apotek itu, membuka pintunya yang selalu berdenting jika dibuka. Lalu ia membeli sebotol antasida. Ia ingat, terakhir bertemu, kekasihnya mengeluhkan lambungnya yang perih. Dulu ia sering membeli antasida itu untuk meredakan asam lambungnya yang parah.

Ia kesal, tapi ia masih mengkhawatirkan kekasihnya.

Ketika menyadari itu, ia menangis lama sekali.

Tuesday, December 3, 2019

Riuh


Jika sedang diliputi amarah, lelah pikiran dan badan, saya kerap membayangkan padang rumput luas yang teduh zonder suara mesin dan manusia. Sinar matahari tidak terik, bahkan cenderung mendung dan saya bisa berbaring di rerumputan itu dengan nyaman. Saya terbaring di sana dengan kedua tangan menyangga kepala. Saya mengenakan pakaian yang longgar dan nyaman sehingga udara sejuk leluasa masuk ke pori-pori saya. Tidak ada orang lain selain saya, juga tak ada binatang yang dikategorikan buas. Saya akan berlama-lama menatap langit. Menggambar gumpalan awan sebentuk hewan-hewan lucu atau wajah-wajah orang yang saya sayangi.

Kenyataannya, suasana menenangkan semacam itu jauh sekali dari jangkauan saya. Saya harus menerima bahwa saya sedang berada di ruangan sempit nan panas dan suara mesin dan manusia bergemuruh, membuat saya ingin menangis.

Ruangan dengan udara yang panas itu masih bisa saya toleransi, tapi tidak dengan keriuhan, keberisikan. Jika sedang lelah, rasa-rasanya indra pendengar saya lebih peka berkali-kali lipat. Rasanya semua gemuruh menyerbu telinga saya.

Saya paling sebal dengan orang-orang yang memutar video dari ponselnya keras-keras ketika berada di warung makan. Saya benci setengah mati dengan sekumpulan cewek (iya, spesifik cewek!) yang nyerocos dengan suara cempreng dan sama sekali tak peduli kalau kecemprengannya mengganggu indra pendengar orang lain. Jika menemui yang seperti itu, saya pasti buru-buru pergi.

Suatu kali, ketika saya dan pacar sedang nongkrong di warkop, kursi di sebelah kami diduduki seorang perempuan yang menelpon dengan suara keras sekali. Pacar saya paham betul, mood saya akan ambyar jika terus-terusan terpapar suara itu. Dengan sigap ia pun mengeluarkan ponsel, memutar musik, dan menyematkan earphone, lalu menyodorkannya kepada saya. Hati saya lumer. Bukan karena earphone yang nyantol di telinga saya, tapi karena tingkahnya yang uwuwu itu. Hehehe.

Saya tidak terlalu suka menyumpal telinga dengan earphone, sebenarnya. Tapi belakangan earphone sering nyantol di telinga saya. Saya memutar lagu-lagu yang slow. Lalu, tanpa sengaja telinga saya tertambat pada sebuah lagu yang tidak hanya nyaman di telinga, tapi juga liriknya sungguh aduhai. Rasanya saya tersedot ke suatu momen sunyi dan lagu itu dinyanyikan hanya untuk saya seorang.

The Sound of Silence, judul lagu itu. Musiknya sederhana. Diciptakan dan dinyanyikan Simon and Garfunkel. Sudah ditulis sekira 50-an (atau 60-an) tahun yang lalu, tapi rasanya masih sangat relevan untuk kondisi saat ini. Saya pertama kali mendengar nama Simon and Garfunkel dari pacar saya sewaktu saya memberitahunya tentang Kings of Convenience. Tapi waktu itu saya tak langsung mencari lagu-lagu mereka.

Lagu itu berputar-putar sepanjang hari di telinga saya. Mendengarkan lagu itu, rasanya saya dibawa pada suasana di padang rumput yang saya gambarkan di awal tulisan ini. Sebuah protes, tapi elegan dan teduh.

Hello darkness, my old friend.
I’ve come to talk with you again.
~


Saya tahu, saya tidak boleh bergantung pada earphone atau pada lagu-lagu. Saya harus berdamai dengan segala keriuhan. Karena ketenangan letaknya bukan di suatu tempat di luar diri, tapi dalam diri. Kejengkelan dan mood saya yang anjlok ketika mendengar suara-suara keras (dan cempreng) itu bukti bahwa saya belum bisa berdamai. Batin saya masih kemrungsung. Saya tahu. Saya akan berlatih pelan-pelan.

Thursday, November 28, 2019

Cormoran Strike

Saya sudah membaca keempat seri buku-buku tebal karangan Robert Galbraith alis J.K Rowling. Keempat buku itu saya pinjam dari teman saya. Buku pertama saya pinjam dari Nilam sewaktu saya masih di Surabaya, ketiga buku yang lain saya pinjam dari Mas Napek yang saya tidak menyangka ternyata dia punya lengkap.

Gabraith mencipta cerita detektif yang digerakkan oleh satu sosok sentral, Cormoran Strike. Sejak buku pertama, sosok ini sudah menarik perhatian saya.

Strike pincang. Kakinya diamputasi karena ledakan bom sewaktu dia masih bergabung dengan militer. Ia mengakhiri kisah cintanya yang sengit setelah menjalin hubungan asmara selama 16 tahun dengan kekasihnya yang aristokrat: Charlotte. Belakangan, mantan tunangannya itu menikah dengan sesama aristrokat dan tengah hamil anak kembar. Setelahnya, ia menjalin hubungan dengan beberapa perempuan, meski tak lama. Belum ada yang sanggup mengaduk-aduk perasaannya seperti yang pernah dilakukan Charlotte.

Strike ditawari berbagai pekerjaan kantoran oleh teman-temannya. Sejenis pekerjaan kantoran yang masih berkaitan dengan dunia militer. Ia menolak. Ia memilih mendirikan biro detektifnya sendiri dari nol. Benar-benar dari nol.

Seperti diakui Robin, partnernya di bironya, Strike mandiri dan tabah, sanggup menyerap trauma dan maju terus meski timpang, siap menghadapi apa pun yang dilontarkan kehidupan ke arahnya tanpa berjengit, tanpa membuang muka. Menolak menyerah pada kesulitan apa pun yang menghadangnya dan siap menanggung risiko.

Strike tak bisa mengabaikan dorongan dirinya untuk memecahkan kasus-kasus di lapangan. Ambisinya sangat besar. Perfeksionis. Tak bisa dibikin penasaran. Tak bisa tenang jika ada kasus yang belum sanggup dituntaskan, meski itu tak begitu penting. Dan memang ia sangat jenius.

Sosok Strikelah yang membuat saya bertahan merampungkan cerita itu sampai halaman terakhir. Belakangan saya menyadari, yang membikin saya tertarik bukan teka-teki kriminalnya, melainkan bagaimana proses Strike memecahkan masalah itu.

Thursday, November 21, 2019

Musikalisasi Puisi, Ia, dan Kekasihnya

Ia menyukai musikalisasi puisi, kekasihnya tidak. Kekasihnya sering menggerutu karena menurutnya, musikalisasi puisi “merusak” puisi. Ia tentu saja membantah. Toh musikalisasi puisi lebih mudah disebarluaskan, diingat, dan disukai. Di mana letak perusakannya?

Hari-hari berlalu. Perdebatan itu tak pernah sengit. Ia, seperti biasanya, masih mendengarkan dan menikmati musikalisasi puisi.

Suatu malam setelah melakukan perjalanan dan masih enggan kembali ke kos, ia dan kekasihnya memutuskan mampir ke toko buku. Kekasihnya ingin membeli buku puisi pertama Sapardi Djoko Damono, “Duka-Mu Abadi”, yang dicetak ulang.

Kebetulan di depan toko buku itu ada bangku di pingir jalan. Mereka membacanya di sana. Kekasihnya mengecek ingatannya pada puisi-puisi di buku itu. Hanya beberapa yang masih lekat. Membuka-buka buku puisi itu. Ia menggerutu pada desain isinya yang dianggapnya tak bersimpati pada pohon-pohon.

Selanjutnya, ia tercenung sebelum akhirnya mengumpat-ngumpat sialan. Ia menghafal beberapa puisi Sapardi itu dari musikalisasi puisi Ari-Reda. Dan malam itu ia baru menyadari, banyak hal yang diabaikannya. Ia pun mengerti mengapa kekasihnya sering menganggap musikalisasi merusak puisi.

Ia memang hafal puisi-puisi, tetapi lebih sebagai lirik. Sama seperti lagu-lagu lainnya. Akan sangat kecil kemungkinan orang yang sudah nyaman mendengarkan musikalisasi puisi untuk mencari tahu bentuk puisi aslinya. Akibatnya, aspek-aspek topografi, penggunaan huruf kapital, pembubuhan tanda baca, pemenggalan baris, mutlak diabaikan. Padahal, semua itu adalah aspek signifikan dalam puisi. Penyair membikinnya bukan tanpa perhitungan.

Semua pemahamannya malam itu ia sampaikan pada kekasihnya. Kekasihnya tersenyum, sedikit mengejek dan seolah berkata “Kok bisa kamu nggak menyadari itu dari dulu?”

Mau tak mau pandangannya pada musikalisasi puisi pun berubah. Namun, ia tak lantas membenci musikalisasi. Tidak. Ia masih menikmatinya sampai sekarang.


Saturday, October 19, 2019

Puisi-Puisi, Ia, dan Kekasihnya

Hari ketika ia dilanda murung lantaran datang bulan, kekasihnya mencoba menghibur dengan mengajaknya bermain tebak-tebakan puisi. Kekasihnya mengucapkan satu baris puisi, ia melanjutkan. Begitu seterusnya. Bergantian sampai baris terakhir.

Kekasihnya memulainya dengan “Cemara menderai sampai jauh”.

Tebak-tebakan itu romantis sekaligus menantang. Ia—dan kadang kekasihnya—membutuhkan beberapa detik untuk mengingat baris selanjutnya. Yang melakukan kesalahan dihukum. Meski itu hukuman yang menyenangkan, ia dan kekasihnya tak mau sengaja menyalah-nyalahkan.

Ia dan kekasihnya agak menyesal mendapati diri mereka melupakan beberapa baris puisi yang dulu mereka hafal di luar kepala. “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Kepada Kawan”, dan yang lainnya. Bagaimana bisa mereka lupa? Tidak sebenar-benarnya lupa memang, tetapi kenyataan bahwa mereka tersendat-sendat mengucapkannya itu sudah kemunduran luar biasa.

Ia dan kekasihnya mencoba puisi-puisi yang lain, puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo, misalnya. Sama saja. “Di Beranda ini Angin Tak Kedengaran Lagi”, “Asmaradana”, “Dingin tak Tercatat”. Mereka terbata-bata.

Lalu mereka merenung-renung. Sejak kapan itu terjadi? Barangkali sejak mereka digerus rutinitas. Tenggelam dalam kerja. Ditambah lagi seringnya mengandalkan mesin pencari di internet. Ingatan pun semakin melemah.

Itu tak bisa dibiarkan. Mereka bertekad belajar lagi dan tak memanjakan diri pada mesin pencari. Mereka paham betul, puisi memang tak untuk dihapalkan, tapi dirasakan. Dan mungkin masih bisa dirasakan kendati baris-barisnya banyak yang terlupakan. Namun, keduanya sudah bertekad. Jika sudah demikian, tak ada yang mampu menghalangi.

Dan suatu hari ia dan kekasihnya akan memainkan tebak-tebakan itu lagi.

Saturday, August 24, 2019

1Q84, Ia, dan Kekasihnya

1Q84 adalah tiga jilid novel karya Haruki Murakami yang dibacanya bersama kekasihnya. Sepertinya baru pertama kali ini ia punya partner membaca yang sungguh-sungguh. Ia senang dan tertantang. Novel jilid pertama didapatnya dari penerbit, bingkisan suatu perlombaan. Didorong rasa penasaran akan kelanjutan ceritanya, jilid kedua dibelinya di toko buku di Kota Baru. Lalu kekasihnya membeli jilid yang ketiga, di toko buku yang sama.

Ia dan kekasihnya membaca secara bergantian. Kadang ia duluan, kadang kekasihnya duluan. Peraturan yang mereka sepakati adalah tak boleh menyinggung isi buku ketika salah satu di antara mereka belum selesai membaca. Meski kadang kesepakatan itu sering dilanggar. Dalam hal kecepatan membaca, ia kalah telak dari kekasihnya. Kekasihnya punya daya baca yang melebihi dirinya. Jika ia mudah sekali teralihkan fokusnya, kekasihnya tidak demikian. Tapi bukan itu yang membuatnya jengkel.

Dalam proses pembacaan ketiga jilid novel itu, ia dan kekasihnya sering berdiskusi atau berdebat: mengapa satu tokoh melakukan ini dan bukan itu, mengapa sudut pandangnya sering tidak konsisten, dan lain-lain. Kekasihnya adalah lawan debat yang mumpuni. Itu membuatnya bergairah. Tak hanya itu, kekasihnya punya daya jangkau yang jauh pada logika cerita. Kekasihnya, misalnya, bisa menebak suatu peristiwa kunci yang ada dalam jilid tiga padahal mereka baru membaca jilid pertama. Hampir semua tebakan kekasihnya pada tokoh dan alur, tak meleset.

Itulah yang membuatnya jengkel. Ia belum punya jangkauan sejauh itu. Selama ini ia baru menyadari, ia hanya sebagai penikmat cerita dan sedikit mengkritik jika diperlukan. Ia memang pengingat yang baik pada detail dan punya kecermatan pada logika cerita, tapi ia harus mengakui, jangkauannya masih belum jauh. Sepertinya, dalam hal membaca, ia memang harus belajar banyak dari kekasihnya. Ia harus naik level, kuantitas dan kualitas.

Novel itu memang bukan novel Murakami pertama yang ia dan kekasihnya baca. Namun, Ia dan kekasihnya terkesan pada beberapa tokoh dalam novel itu. Juga terkesan pada cara bercerita Murakami yang sederhana tapi memikat. Ada kalimat-kalimat dalam novel yang sampai sekarang masih mendengung di benak keduanya.

Karena itu, ia dan kekasihnya akan melanjutkan membaca novel-novel Haruki Murakami yang lain. Sip.

Sunday, May 19, 2019

Momen Puitik

Kejadian ini sudah bertahun-tahun lalu, sebenarnya. Tapi beberapa peristiwa atau kejadian sepertinya punya cara sendiri untuk bertahan lama di ingatan. Mungkin karena kejadian ini tak hanya berkesan buat saya, tapi juga bermakna dalam.

Hari itu jelas weekend. Karena hanya pada weekendlah kami bisa pergi bersama-sama. Kami pergi ke Magelang untuk silaturahmi ke rumah teman yang habis lahiran. Kami naik motor rame-rame. Perjalanan lancar jaya. Tapi tak disangka-sangka hujan pun turun. Cukup deras. Padahal gak mendung sama sekali. Kami pun memutuskan untuk berteduh. Kalau gak salah itu di bangunan kosong dan terbengkalai. Jumlah kami waktu itu cukup banyak sehingga kami pun rada berisik.

Nah, di sana ternyata sudah ada seorang penjual eskrim keliling yang juga berteduh. Sambil nunggu hujan reda, kami pun beramai-ramai beli eskrim itu. Hujan dan nyemil eskrim bukanlah kombinasi yang buruk. Saya masih ingat, kami menghabiskan eskrim itu sambil foto-foto. Tak berapa lama, hujan pun reda. Kami melanjutkan perjalanan.

Namun, tak ada seratus meter hari tempat kami berteduh tadi, tak ada bekas-bekas turunnya hujan. Jalanan kering kerontang. Padahal hujan di sana tadi cukup deras. Oke, hujan lokal memang biasa saja. Saya sering mengalaminya. Tapi hari itu saya tersenyum dan ada yang menghangat di hati saya.

Kenapa? Tentu saya jadi teringat penjual eskrim yang berteduh tadi. Hujan yang buat kami—katakanlah—halangan, buat penjual eskrim adalah berkah.
Kami berteduh dan membeli dagangannya. Rasa-rasanya hujan itu sengaja diturunkan hanya agar kami membeli dagangannya. Puitik sekali.

Sejak saat itu, saya meminimalisasi prasangka buruk terhadap segala yang mungkin saya pikir sebagai halangan. Orang-orang bijak sering bilang, segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan. Itu klise memang. Tapi, seberapa sering hal-hal klise justru menampar kita?

Sunday, May 5, 2019

Meleleh

Beberapa teman dekat sering bilang kalau saya itu orangnya tatag menghadapi banyak hal, tangguh menghadapi berbagai persoalan dan patah hati. Jarang sekali menangis di depan orang. Mungkin itu tidak salah, tapi tidak utuh. Yang tidak mereka tahu (dan gak harus tahu juga sih) adalah sebenarnya saya mudah sekali mewek kalau….melihat hewan-hewan. Iya, hewan-hewan yang lucu maupun yang buluk. Melihat dengan mata kepala sendiri maupun dari video-video di media sosial. Entah ya, pada hewan-hewan itu seperti ada jiwa yang begitu murni, mata yang meminta dielus-elus.

Mungkin terdengar naif, tapi saya tidak percaya ada hewan yang jahat, meskipun saya pasti akan lari ketakutan kalau melihat ular tak berbisa sekalipun (kata Yuval Noah Harari sih itu karena dari nenek moyang kita pun udah takut kalau ngelihat ular. Genetis gitu jadinya). Seringnya, manusia yang jahat pada hewan-hewan. Itulah sebabnya, jika saya melihat kebaikan manusia pada hewan, mata saya langsung meleleh. Apalagi manusia-manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk melindungi hewan-hewan langka. Bersahabat dan berbagi hidup dengan mereka. Pernah gak sih merasakan kebaikan orang lain sampai membuatmu begitu terharu? Nah, kurang lebih begitulah rasanya. Hangat di hati juga di mata.

Hmm..tapi saya bukan vegetarian juga. Artinya, saya masih makan daging hewan. Dalam kepercayaan agama saya, hewan-hewan yang disembelih atas nama Allah akan masuk surga. Mereka senang hidupnya berguna untuk manusia. Semoga itu benar. Sebab saya belum bisa meninggalkan sate klathak atau rawon atau ayam geprek dan makanan enak lainnya. Parang Jati, tokoh yang saya kagumi, tidak memakan daging hewan yang disembelih. Ia hanya makan daging hewan yang diburu. Tapi saya agak lupa apa alasannya.

Fyi, film yang membuat saya nangis kejer adalah Hachiko. Tentang persahabatan manusia dan seekor anjing. Lalu si manusia itu meninggal, si anjing dengan setia menunggu kedatangan sahabatnya. Meskipun tak pernah datang lagi. Saya masih mengingat rasa sedih ketika saya menangisi si hachiko. Tatapan matanya. Gerak tubuhnya. Kalau gak salah, saya nonton film itu dua kali. Sama-sama nangis kejer. Saya belum punya keberanian lagi untuk menonton ketiga kalinya.

Semoga semua hewan-hewan di dunia ini berbahagia :’)

Friday, May 3, 2019

Ayam Geprek

Ini sumpah gak penting. Tapi gak papa lah.

Jadi gini, tadi saya pengen makan siang ayam geprek di kantin kampus (bonbin). Nah, saya gak langsung menuruti keinginan saya karena saya harus ke kantor pos dulu buat ngirim-ngirim buku.

Lalu, selepas dari kantor pos, saya mampir ke ruang mahasiswa. Mau nyelesein beberapa pekerjaan. Baru setelah itu makan ayam geprek. Bertemulah saya dengan teman lama. Karena kebaikan hati dan ketampanannya dan kecerdasannya, dia jadi idola cewek-cewek seangkatan, termasuk saya dong. Yaudahlah kami basa-basi tanya kabar dan kegiatan masing-masing. Trus dia bilang mau beranjak duluan dari ruang mahasiswa itu.

Beberapa menit kemudian dia datang lagi dong. Naruh ayam geprek kemasan di meja saya sambil bilang, “ini buat makan sore”. Saya berterima kasih sambil terbengong-bengong. Kok bisa ya? Kan tadi saya gak mbahas sedikit pun tentang makanan, apalagi ayam geprek. Emang rezeki penggemar sholihah wkwkwkwkwk :p

Gak penting ya? Iya. Tapi bodo ah. Saya sudah terlalu banyak kehilangan momen-momen sederhana nan bermakna yang nggak saya tulis. Minimal, saya menuliskan kebaikan orang lain. Dia memang baik ke semua orang. Dan semoga akan selalu baik selama-lamanyaaaaaaa


Dan semoga dia gak baca ini Ya Allaah~



Tuesday, April 30, 2019

27 Steps of May: Berjihad Melawan Trauma*

May, aku menyapamu kemarin sore. Ngelangut dan sakitnya masih kurasakan sampai hari ini. Kemarin itu, di deretan kursi paling belakang, aku sesenggukan. Orang-orang di sebelahku rasanya tidak seketerlaluan aku.

Aku mungkin tidak mengalami apa yang menimpamu, May. Tapi tak sulit bagiku untuk turut merasakan hal-hal traumatik itu. Sakit itu. Kau akan menolak apa pun, warna juga nuansa, yang mengingatkanmu pada kejadiaan itu. Kau akan menolak manusia untuk terlibat dalam zona nyaman yang semakin kau persempit. Kau akan berlindung dalam diam. Memutus komunikasi sama sekali. Karena bercerita adalah siksaan sekali lagi. Kau, mungkin, akan menyalahkan dirimu sendiri dan rasanya ingin mati saja. Orang-orang yang menyayangimu akan menyalahkan dirinya sendiri juga, karena tak mampu melindungimu.

May, konon katanya, melawan rasa sakit hanya akan menyakiti batin. Yang bisa kita lakukan adalah menerima rasa sakit itu. Aku bukan ingin sok menasihati, May. Tentang rasa sakit itu kaulah yang paling tahu. Aku mungkin tak bisa setabah dan sekuat kau. Aku ingin mendekapmu. Mendekap rasa sakit yang kau simpan sendiri bertahun-tahun.

May, yang sedang berjihad melawan trauma, seluka dan sesakit apa pun, jangan berhenti percaya pada kebaikan hati manusia. Maafkan dirimu. Beri ampun pada masa lalu.


*Frasa “berjihad melawan trauma” diambil dari baris puisi Joko Pinurbo, “Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma”.

Monday, April 29, 2019

Aku Ingin Menyapamu Lebih Sering

Aku ingin menyapamu lebih sering. Menceritakan hal-hal yang tidak selalu menakjubkan. Yang mungkin justru remeh-temeh dan tidak mengesankan. Potongan-potongan kecil dari kegiatan sehari-hari. Pertanyaan-pertanyaan klise.

Meski tak menyenangkan, harus kuakui, ruang sebelah lebih menyita waktuku karena yaa..memperlihatkan (terlalu banyak) gambar Reino Barack warna-warni, juga video-video Reino Barack dalam durasi lima puluh sembilan detik. Dan, sialnya itu membuatku malas membikin paragraf-paragraf panjang. Barangkali sebentar lagi aku akan menonaktifkannya saja. Dengan begitu, masukan yang tiap hari menyerbu otakku akan berkurang. Barangkali hari-hari akan jadi lebih ringan.

Aku ingin menyapamu lebih sering, dengan tulisan yang sederhana dan enteng-enteng saja. Seperti dulu saat kita awal-awal berkenalan.

Sunday, April 7, 2019

Sekelebatan

Beberapa lama tidak menulis di buku harian. Beberapa lama tidak sempat nonton film. Tapi sempat membaca buku-buku bagus yang dibeli dengan murah. Tapi juga sempat kecewa—mungkin lebih tepat menaruh harapan terlalu tinggi—pada sebuah buku agak mahal yang ditulis oleh orang terkenal. Sempat ingin ngechat seseorang ketika membaca sebuah buku yang mengingatkan pada masa silam tapi lalu diurungkan dan lanjut baca sampai tuntas. Masih sempat megganti air akuarium dan ikan-ikan pun senang. Membersihkan cangkir-cangkir dari noda bekas teh dan kopi yang mengerak dengan baking soda yang sungguh ajaib cangkirnya jadi cling lagi. Beberapa kali membuat es kopi susu hasil nyontek resep di instagram yang ternyata rasanya juara dan jika ditotal harganya hanya sepertiga dari harga kopi susu di warkop langganan. Ingin menghapus semua postingan di instagram tapi jempolnya capek juga. Beberapa tanaman mati dan harus diganti media tanam. Mulai memikirkan bagaimana agar tanaman tetap terkucupi kebutuhan airnya karena bakal ditinggal mudik selama lebaran. Sempat memetiki tanaman kering yang indah dalam perjalanan pulang dari kampus lalu menempelnya di dinding bersama tanaman kering lainnya. Sempat menggambar dengan water color lalu menempelnya di dinding. Masih sempat rekaman podcast meski ogah-ogahan. Nemu lagu bagus di spotify lalu diputar berulang-ulang. Ngrekam latihan gitar tidak disiplin dan hasilnya sungguh ambyar~

Friday, February 8, 2019

Surat untuk Parang Jati


Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit : 2018 (Cet. 2)


Parang Jati,
Kutulis surat ini untuk menghibur diriku sendiri, sebenarnya. Sebab aku kerap membayangkan kau masih ada di sini dan aku bisa sesekali berbincang denganmu di Goa Hu. Betapa akan menyenangkan. Aku bisa bercerita apa pun padamu kan? Meski aku tak terlalu suka banyak bicara. Aku lebih suka mendengarkan. Tapi, baiklah. Biar kini giliranku bercerita padamu.

Jati, banyak yang terjadi setelah kepergianmu. Bilangan Fu—ruang pertama aku berkenalan dengan pemikiran-pemikiranmu—dicetak ulang setelah sepuluh tahun. Mengapa sepuluh dan bukan dua belas atau tiga belas? Aku tak tahu. Mungkin tak penting juga kita memikirkan itu dan tidak semua hal harus kita tahu. Aku sudah cukup senang bahwa terbuka kemungkinan pembaca-pembaca baru akan mengenal dan mengagumi pemikiranmu.

Jati, Sandi Yuda dan Marja masih bersedih atas kepergianmu. Marja tak bisa tak menyalahkan Yuda yang dianggapnya membuka pintu bagi kepergianmu: militer. Militer, Jati, kau yang tak bisa kompromi dengan segala hal yang berbau militer akan punya banyak kesempatan menambah daftar panjang dosa-dosanya. Biar kuceritakan sedikit.

Belum lama ini mereka menyita referensi-referensi kiri karena dianggap sebagai “hantu” yang menakutkan, lebih menakutkan daripada hantu Kabur bin Sasus. Perbuatan yang hanya mencerminkan ketakutan penguasa sekaligus mengekang hak politik warga negaranya. Jati, negeri yang minat bacanya belum tinggi ini harus dikerdilkan dan dimiskinkan pemikirannya. Lagi dan lagi.

Di hari-hari ketika agama dijadikan sebagai alat politik ini, barangkali kau akan semakin yakin bahwa ajaran-ajaranmu, aliran kepercayaanmu, sangat sangat relevan untuk dijalani. Laku kritis. Laku spiritual yang selalu kritis pada kebenaran yang dipanggulnya. Kritis, bukan skeptis. Kritis, bukan anti.

Jati, pemuda Kupu-Kupu seperti berkembang biak tak terkendali. Sama seperti pemuda Kupu, mereka mengatasnamakan agama dan menganggap diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar. Mereka begitu kukuh memperjuangkan kebenarannya, bukan memanggul kebenaran agar tak jatuh hari ini. “Kebenaran yang jatuh hari ini akan menjelma kekuasaan”. Itu yang selalu kau tekankan, bukan?

Oh ya, seperti si Kupu-Kupu, mereka juga berkostum. Tapi sayangnya bukan harajuku seperti si Kupu. Oplosan kostum Samurai X dan Pangeran Diponegoro, menurut deskripsi Yuda. Aku selalu tak bisa menahan tawa atas gambaran itu di kepalaku. Andai mereka mengenakan kostum itu, pasti akan semakin lucu.

Tahu kau apa yang lebih buruk, Jati? Mereka menolak segala penghormatan pada bumi. Sedekah laut pun dilarang. Laku orang-orang yang ingin berterima kasih pada alam dicap sebagai musyrik. Di sinilah, Jati, orang perlu diajari pentingnya hormat pada pohon, laut, tebing, gunung, alam raya. Semata-mata mencintai alam tanpa takut dan menguasai. Jika kita menghormati alam, niscaya kita tak akan menghancurkannya, bukan?

Jati, apakah kau baik-baik saja di sana? Yang entah di mana? Atau kau masih di sini? Meski kau bersemayam di lautan, aku kerap membayangkan kau kembali hidup sebagai sebatang pohon yang kukuh dan teduh.

Kau yang begitu menghormati ibu bumi barangkali akan berang jika melihat banyak sekali persoalan alam. Tak jauh beda dengan di Sewugunung, daerah di sekitar Pegunungan Kendeng hendak dibangun pabrik semen, Jati. Akibatnya pun akan sama seperti di Sewugunung. Cadangan air akan semakin susut dan keruh, juga rusaknya ekosistem. Jika kau masih ada di sini, aku yakin kau akan berada paling depan dalam usaha perlawanan itu.

Tapi, kabar baiknya, Jat, perlawanan terus dilakukan. Bahkan perempuan-perempuanlah yang tampil ke depan. Kau sering mengibaratkan alam adalah perempuan, adalah ibu. Bukankah kau selalu takjub pada sifat-sifat feminin? Pada kekuatan perempuan? Perempuan-perempuan ini mempertahankan bumi, mempertahankan dirinya, demi kehidupan yang akan dilahirkannya. Aku pun takjub, Jati.

Sialnya, dalam kasus-kasus seperti itu, selalu saja ada Pontiman Sutalip-Pontiman Sutalip dalam berbagai wujud, yang selalu akan menjawab persoalan-persoalan itu dengan berbelit-belit. Padahal hanya tak mau mengambil risiko. Pun dalam kasus-kasus itu, militer tak pernah absen.

Parang Jati, matamu yang nyaris bidadari itu mungkin akan murung melihat orang-orang yang tersenyum tertawa-tawa di depan kamera dengan latar belakang batu-batu putih yang dibentuk oleh penambangan karst. Mungkin prosesorku yang lamban karena tak kunjung bisa mengerti mengapa ada orang-orang yang bisa menikmati tempat seperti itu.

Ya, daerah bekas penambangan itu memang mencoba memanfaatkan apa yang sudah telanjur rusak karena penambangan memang tak terelakkan, dengan cara memberikan sentuhan seni. Tapi ada dampak lain yang menyerang secara langsung, bahwa penambangan besar-besaran itu adalah suatu hal yang wajar (dan indah). Pikirku, harusnya dihijaukan kembali, bukan dijadikan objek wisata.

Atau mungkin kau tak akan murung. Kau akan maklum sebagaimana kau maklum mengapa orang-orang masih saja menonton program-program di televisi, benda persegi yang paling dibenci Sandi Yuda.

Jati, apakah kau masih menyimak ceritaku?

Maafkan aku, Jati, karena melulu mengabarkan kemuraman. Biar kuberi kabar yang menenangkan. Semoga bisa sedikit menghibur hatimu. Ada secercah senyum di wajah ibu bumi. Ada sesosok penyelamat lautan tempat abumu dilarung. Ia seperti muncul dari lampu ajaib Aladin. Ia perempuan juga, Jati. Begitu pemberani. Tanpa ampun pada setiap pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal asing di lautan kita. Tenggelamkan, katanya.

Jati, terima kasih engkau telah mewariskan ajaran yang begitu berharga. Sama seperti yang terjadi pada Yuda, kehadiranmu membawa perubahan cara pandang dan lakuku pada dunia, pada alam raya. Aku sedang belajar menjalani laku kritik. Semoga aku mampu.

Demikianlah ceritaku, Jati. Lain kali giliranmu bercerita, ya. Tentang apa saja. Aku akan senang hati menyimaknya.

Terima kasih, Parang Jati. Beristirahatlah, dalam kalbuku.

Monday, January 21, 2019

Batin yang Tenang

03.00 waktu indonesia bagian kamar saya di lantai tiga. Saya belum tidur. Masih seger banget ini mata. Padahal seingat saya, saya nggak minum kopi seharian ini. Tadi pagi cuma minum segelas teh anget campur daun mint. Trus jam sembilan malem tadi minum segelas teh lagi sambil ngemil roti bakar. Semalaman ini saya banyak ngelamun. Ngelihatin tetumbuhan hijau di depan kamar. Ngelihatin ikan-ikan di akuarium. Damai aja rasanya. Suasana sepi. Tenang. Beberapa saat saya memperhatikan langit-langit kamar. Lalu sambil rebahan saya memutuskan menangkap momen ini dalam tulisan. Dan sambil ngetik ini saya lagi ndengerin suaranya Bu Ella Fitzgerald dan Pak Louis Armstrong. Syahdu.

Sudah. Itu saja. Saya mau lanjut nulis di buku harian. Tentang hal-hal yang tak bisa saya tulis di sini.

Semoga hari-harimu menyenangkan, ya :’)

Wednesday, January 2, 2019

Buku yang Kubaca 2018

1. Konstruksi Tubuh Joko Pinurbo: Ruang Pascakolonial di Balik Celana dan di Bawah Kibaran Sarung (Dwi Rahariyoso)
2. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta (Luis Sepulveda)
3. Friedrich Silaban (Setiadi Sopandi)
4. Arsitektur Yang Lain, Edisi Revisi (Avianti Armand)
5. Istriku Seribu ( Emha Ainun Nadjib)
6. Orang Maiyah (Emha Ainun Nadjib)
7. Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem (Emha Ainun Nadjib)
8. Ubur-Ubur Lembur (Raditya Dika)
9. Gelombang (Dee Lestari)
10. Atlas Wali Songo (Agus Sunyoto)
11. Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib
12. Winnetou IV (Karl May)
13. Dalang Edan (Sujiwo Tedjo)
14. Cala Ibi (Nukila Amal)
15. Surabaya Punya Cerita
16. Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Dee Lestari) baca ulang
17. Akar (Dee Lestari) baca ulang
18. Tujuh Pelajaran Singkat Fisika (Carlo Rovelli)
19. Suta Naya Dhadap waru (Iman Budi Santoso)
20. Negeri Kabut (Seno Gumira Ajidarma)
21. Manifesto Flora (Cyntha Hariadi)
22. Drupadi (Seno Gumira Ajidarma)
23. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Benedict O’Anderson)
24. Hamba Sebut Paduka Ramadewa (Herman Pratikno)
25. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (Mikihiro Moriyama)
26. Centhini: Nafsu Terakhir (Elizabeth D. Inandiak)
27. Ken Sa Faak: Benih-Benih Perdamaian dari Pulau Kei (P.M. Laksono, Roem Topatimasang [ed.])
28. Tujuh Puluh Puisi (Goenawan Mohammad)
29. Sarapan Pagi Penuh Dusta (Puthut EA) baca ulang
30. Isyarat Cinta yang Keras Kepala (Putuhut EA) baca ulang
31. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3 (Ajahn Brahmn) baca ulang
32. Aku dan Film India Melawan Dunia I (Mahfud Ikhwan)
33. Pure Saturday, Based on True Story (Idhar Resmadi)
34. Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi
35. 24 Jam Bersama Gaspar (Sabda Armandio)
36. Muslihat Musang Emas (Yusi Avianto Pareanom)
37. Aku dan Film India Melawan Dunia II (Mahfud Ihwan)
38. Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi Pada Kemaluannya Seumur Hidup (Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017)
39. Rumah Kaca (Pramoedya Ananta Toer) baca ulang
40. Asal-Usul, Catatan-Catatan Pilihan (Mahbub DJunaidi)
41. Jemput Terbawa (Pinto Anugrah)
42. Mendengar di Bali (Gardika Gigih)
43. Monte Carlo dan Satu Babak Kisah Cinta (Fitriawan Nur Indrianto)
44. Searah Jalan Pulang (Asef Saeful Anwar)
45. Pengakuan Eks Parasit Lajang (Ayu Utami)
46. Melipat Agustus (Muhammad Qadhafi)
47. Kabar dari Timur (Fatris MF)
48. Kastagila (Muhammad Qadhafi)
49. Semesta Manusia (Nirwan Ahmad Arsuka)
50. Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal-Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (Wildan Sena Utama)
51. Sekolah itu Candu (Roem Topatimasang)
52. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota (Pratiwo)
53. Bilangan Fu (Ayu Utami) baca ulang
54. Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya (Gunawan Tri Atmodjo)

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...