Friday, July 3, 2020

Setelah Makan Malam dan Membaca Blog Teman


Saya baru saja makan malam dengan sambal terasi, lalapan kemangi, ikan tengiri goreng, kerupuk, dan sepiring nasi (tapi nambah lagi agak banyak). Sambil makan, saya nyambi membaca (oh kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan) blog teman lama. Saya senang membaca blog orang lain. Beberapa minggu lalu saya membaca hampir semua postingan di blog seorang pelukis hebat Indonesia. Lukisannya keren, tulisannya juga mengalir lancar. Bikin iri saja.

Saya tak sengaja mencari blog si teman lama. Awalnya dari caption instagramnya yang menautkan blognya. Iseng, saya mengklik. Jadilah saya membaca beberapa tulisan di sana. Sambil melalap sambal terasi kemangi. Nikmat di lidah bertambah-tambah ketika tulisan-tulisan yang saya baca cukup menghanyutkan. Dan karena tulisan-tulisannya itulah saya jadi ingin menulis di sini (setelah sekian lama tidak).

Blog itu ringan saja isinya: kisah hidup sehari-hari, sambatan, dan mimpi-mimpi yang berlalu. saya paling suka saat dia bercerita tentang pergulatannya sebagai single mom dengan tiga anak. Yang saya sukai, ia tidak menampilkan diri sebagai sosok yang harus selalu bersemangat dan bersyukur. Nein. Ia menulis apa adanya, ia sambat, ia merenung. Ia menceritakan kehidupannya sebagai ibu yang tidak sempurna, sebagai manusia yang selalu bertumbuh. Kadang bijak, kadang liar. Hehe.

Sebenarnya saya baru sekali bertemu dengannya. Kalau tidak salah, itu Sabtu sore di bonbin karena dulu saya punya rutinitas menghabiskan Sabtu di bonbin. Saya sudah agak lupa kami ngobrol apa saja. Yang masih saya ingat, waktu itu bercerita akan kembali ke Malang. Berat tapi harus. Apa sebabnya, saya tak tahu.

Setelah obrolan sore di bonbin itu, kami tak pernah bertemu lagi. Selanjutnya kami sesekali saling menyapa melalui media sosial. Saya tahu dia punya tiga anak pun dari akun media sosialnya.

Beberapa tulisannya sering membuat saya melongok relasi saya dengan ibu. Saya sering berbeda pendapat dengan ibu saya. Tapi sekuat tenaga saya tidak mendebat dengan sengak. Lebih sering saya mendebat dalam batin atau menjalankan aksi diam karena beliau penganut paham “membantah orang tua adalah durhaka dan durhaka jelas dosa besar”. Itu membuat saya berkukuh: kelak, jika punya anak, saya tidak ingin menjadi ibu seperti itu.

Dalam kebodohan dan pikiran gelap saya, saya sering menyalahkan ibu saya atas sifat-sifat yang berdiam dalam diri saya sampai saat ini. Sejak kecil saya pasti melihat, menyerap, dan mencontoh sikapnya dalam menghadapi berbagai hal. Apa yang terekam oleh indera saya itu pada akhirnya sedikit banyak membentuk karakter saya. Iya, setelah saya amat-amati, saya merasa beberapa karakter saya (yang saya benci) diturunkan oleh ibu saya. Atau, didikan beliaulah yang membuat luka masa kecil saya sulit hilang dan ketakutan-ketakutan masa lalu masih sering menghantui.
Membaca tulisan teman saya itu, saya jadi berpikir bolak-balik.

Saya paham bahwa menjadi ibu itu berat. Di luar percekcokan saya dengan ibu saya, saya bersyukur sekali punya ibu seperti ibu saya. Saya tahu, beliau sangat menyayangi saya. Beliau memperjuangkan dengan sungguh-sungguh pendidikan saya. Saya tidak menuntutnya menjadi ibu yang sempurna versi saya. Tidak. Apa-apa yang menjadi keputusannya pasti dilatarbelakangi juga oleh sejarah hidupnya. Beliau berhak mengambil sikap sesuai prinsip hidupnya.

Saya jarang sekali menceritakan keluarga dan relasi saya dengan mereka. Entah mengapa saya ingin menulis ini. Mungkin saya sekarang sedang merindukan ibu saya. Yang pasti, saya merindukan masakannya. Hehehe. Saya kerap membuat masakan yang beliau masak, tapi sial sekali rasanya tak pernah bisa sama. Mendekati pun tidak.






Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...