Saturday, December 26, 2015

catatan di tepi buku #2

Suatu hari, di kamar saya, saya memberi tebakan pada seorang teman, “di antara semua buku-buku saya, mana yang paling sering saya baca?”. Si teman mengamati buku-buku yang terpajang di rak. Agak bingung menentukan dan akhirnya menyerah karena banyak buku berpotensi untuk dibaca berkali-kali. Lalu saya memberi tahu, buku itu adalah Kisah Lainnya yang ditulis oleh Ariel, Uki, Lukman, Reza, dan David. Para personel band Noah. Tak terhitung berapa kali saya membacanya. Dalam buku ini, meskipun masing-masing personel diberikan ruang, porsi Ariel lebih banyak dibanding yang lain. Saya banyak sekali belajar dari dan berdialog dengan buku ini, terutama dari tulisan-tulisan Ariel. Dalam buku ini, apa yang dikatakan oleh Sherina tentang “lihatlah lebih dekat maka kau akan mengerti” terejawantah. Tidak hanya itu, apa yang dituturkan oleh guru-guru saya, entah mengapa, banyak saya temukan contohnya di buku ini. Saya mengidolakan Ariel sebagaimana saya mengidolakan Ahmad Dhani. Tak peduli apa yang disangkakan orang terhadap keduanya. Buku ini, membuat saya jauh lebih mengidolakan Ariel.

Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, Identitas dan Kenikmatan, dan Politik Kelas Menengah di Indonesia saya baca untuk keperluan penelitian. Aksara Amananunna menemani perjalanan saya dari Jogja-Malang-Jogja beberapa waktu lalu. Rio Johan tidak hanya unggul dalam cara bercerita, tapi tema ceritanya juga segar. Saya sependapat jika ada yang mengatakan bahwa Agustinus Wibowo begitu piawai meramu perjalanannya ke berbagai belahan dunia menjadi sebuah cerita menarik. Itu saya temukan di Titik Nol. Agustinus, seperti yang dikatakan oleh V.S Naipaul, sepenuhnya paham apa yang paling penting dari sebuah cerita perjalanan, yaitu cerita tentang manusia. Ia tidak terjebak pada pemujaan berlebihan atau sinisme yang tidak perlu pada tempat-tempat yang dikunjungi.

Dilan 1&2, adalah jenis buku untuk bersenang-senang. Membaca buku ini saya seolah terlepas dari beban teori. Ya, sejak kuliah di jurusan sastra, setiap kali membaca novel saya selalu dibayang-bayangi teori (sastra). Sangat menyebalkan. Buku ini, dalam ke-ringan-annya, ia kontemplatif. Yang lebih kontemplatif lagi, dan memang tujuannya agar pembaca bisa berkontemplasi, adalah buku Tiada Sufi Tanpa Humor. Buku ini menuturkan kebijaksanaan dalam kejenakaan.

***

Menurut saya, lebih menyenangkan menyelami pemikiran Seno Gumira Ajidarma dari tulisan-tulisannya daripada dari omongannya. Saya memang terlalu cepat mengambil kesimpulan karena hal ini saya dasarkan hanya pada salah satu pertemuan dengannya dalam sebuah diskusi di kampus. Tapi, entahlah saya lebih suka berdialog dengan tulisannya. Tiada Ojek di Paris adalah jenis tulisan non-fiksi Seno yang saya suka. Tulisan-tulisan semacam itu juga ada di buku Seno yang lain, Affair. Seperti bermain-main, tapi nyentil. Yang semacam itu juga saya temukan dalam Out of the Truck Box. Gaya tulisan Iqbal Aji Daryono jelas beda dengan Seno. Kekuatan buku ini ada dalam perspektif yang digunakan Iqbal dalam memandang suatu perkara. Perspektif seorang sopir truk yang cerdas.

Selama bertahun-tahun, saya mengenal Reda Gaudiamo hanya dari suaranya ketika ia melantunkan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Saya baru tahu kalau dia juga menulis fiksi di beberapa majalah. Na Willa adalah jenis cerita anak yang dapat dinikmati oleh anak-anak sekaligus orang dewasa. Saking asyiknya, saya sering membatin, “kok bisa gitu, ya”. Saya pribadi menganggap bahwa buku ini adalah buku fiksi terbaik yang saya baca tahun ini. Tentang Kita juga kumpulan cerpen yang menarik. Reda mencoba berbagai sudut pandang yang tak terduga dalam menuturkan cerita. Animal Farm yang saya baca versi terjemahan Prof. Soebakdi Soemanto. Tidak usah diragukan lagi bagaimana Prof. Bakdi menerjemahkan. Meskipun hasil terjemahan, rasanya seperti tidak membaca teks terjemahan. Mungkin inilah jenis terjemahan yang bagus: tidak terasa terjemahannya.

Kereta Tidur adalah cerita yang didominasi suasana mendung. Buku ini sudah lama saya cari karena penasaran bagaimana Avianti menulis cerita fiksi. Saya terlebih dahulu mengenal Avianti sebagai arsitek daripada sebagai seorang cerpenis dan penyair. Mendung sekaligus pahit saya rasakan ketika membaca Bukan Pasar Malam. Perasaan itu selalu berulang ketika saya membaca novel Pram yang satu itu. Novel itu saya baca lagi lantaran kangen pada Pram. Sementara Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo adalah buku tipis hasil tanggapan Bung Hatta atas tanggapan seseorang mengenai tulisannya. Kritik atas kritik. Bung Hatta begitu tajam dalam menulis kritik-kritiknya. Saya sampe mak wow!

***

Saya pertama kali mengenal James Redfield lewat bukunya The Celestine Prophecy. Saya membaca The Celestine Vision karena tak ingin ketinggalan dengan pemikiran dan “wawasan” yang disuguhkan Redfield. Bagi yang suka psikologi dan spiritual, buku-buku Redfield menarik. Tanah Tabu adalah buku yang direkomendasikan seorang teman waktu buku ini pertama kali terbit, kira-kira tahun 2009. Saya baru membacanya tahun ini karena dihadiahi teman. Meskipun kalimat-kalimat yang dibangun masih banyak yang kedodoran, saya menganggap persoalan yang disampaikan penulis amat penting. Iksaka Banu juga menyampaikan hal yang tak kalah penting dan menarik dalam Semua untuk Hindia. Kumpulan cerita ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi mahasiswa yang mencari teks-teks poskolonial. Jarang sekali ada kumpulan cerpen yang begitu suntuk mengulik persoalan kolonialisme Belanda di Indonesia seperti yang ada dalam buku itu.

Saat hendak membaca Mengantar dari Luar, saya dibayangi perasaan enggan. Enggan karena ketebalan bukunya. Apalagi ini kumpulan tulisan non-fiksi. Tapi untungnya keengganan itu dikalahkan oleh rasa penasaran saya pada tulisan-tulisan Puthut EA terdahulu. Seperti biasa, saya begitu menikmati tulisan-tulisan Puthut. Sayangnya, kenikmatan itu sedikit terganggu karena banyaknya salah ketik yang luput dari pengamatan penyunting, mengingat tidak adanya pemeriksa aksara.

Saya mengakhiri tahun ini dengan menyelesaikan membaca Muhammad karya Martin Lings, seorang cendekiawan-sejarawan Inggris. Buku ini sudah saya beli beberapa bulan lalu tapi baru bisa saya selesaikan belakangan. Membaca buku ini, saya hanyut dan tak jarang menangis. Narasi Lings begitu mengagumkan dan detail. Banyak hal yang awalnya bagi saya masih kabur, terjelaskan dalam buku ini. Ketika membacanya, ada semacam perasaan tak ingin buru-buru menyelesaikan.

Ehm, kenapa buku How the World Works belum selesai dibaca? Karena saya butuh waktu lebih untuk mencerna tulisan Chomsky. Hehe.

***

Mendaftar buku-buku yang saya baca, bagi saya sangat penting. Tentu ini untuk kepentingan pribadi. Apa yang penting bagi saya, belum tentu penting buat Anda. Begitu juga sebaliknya. Dengan mendaftar bacaan, setidaknya saya jadi tahu, tahun ini saya mengalami kemerosotan luar biasa dalam aktivitas membaca. Apalagi menulis. Buku-buku yang masih menumpuk, yang belum sempat dibaca, juga menegaskan bahwa uang bisa membeli buku-buku, tapi uang tak bisa membeli waktu untuk membaca dan merenungkannya. Semoga tahun-tahun berikutnya bisa lebih banyak membaca dan merenung. Amiin.

Friday, December 25, 2015

catatan di tepi buku #1

Tidak semua buku yang saya baca adalah buku bagus. Ada buku-buku yang ditulis dengan serampangan dan tidak dibangun dengan argumen yang meyakinkan. Namun, bagaimanapun, saya selalu mencoba untuk berdialog dengan buku yang saya baca. Dan, menurut saya, inilah yang penting dari sebuah aktivitas membaca: berdialog. Sebuah buku dapat diperlakukan sebagai teman bersenang-senang, teman berdiskusi, teman berpikir, bahkan juga dapat diperlakukan sebagai sabda yang tak dapat dibantah, dan lain-lain terserah pada si pembaca. Saya, tentu saja, lebih memilih tiga yang pertama. Dengan pilihan sikap seperti itu, harusnya saya sering-sering bikin review buku. Tapi itu tidak pernah saya lakukan. Karena apa? Yap! karena malas :p

Tulisan ini jelas bukan review. Ini hanya catatan di tepi buku, semacam coretan-coretan di pinggir pada buku-buku yang saya baca tahun ini, yang ada di postingan sebelumnya.

Saya memulai awal tahun 2015 dengan membaca A Simple Life karya Desi Anwar. Seperti judulnya, isinya membahas hal-hal sederhana yang seringkali luput dari perhatian orang, karena kesibukan, karena keriuhan pikiran. Hal-hal sederhana itu, bagi Desi Anwar sangat penting dan dapat menjadikan hidup lebih bermakna. Buku ini, menurut saya lebih pas dibaca oleh kaum urban yang sibuk dengan pekerjaan kantoran, sering lembur, banyak pikiran, kesepian, berkutat dengan rutinitas sehingga mudah stress. Anggaplah itu kondisi sebagian besar kaum kelas menengah perkotaan. Hal-hal yang ditawarkan oleh Desi itu tidak untuk, katakanlah, “kelas bawah”. Selain tidak mampu, juga tidak perlu.

99 Cahaya di Langit Eropa saya baca karena sebuah keharusan. Saya seperti dikutuk membaca buku ini. Bahasa jawanya: kualat. Jujur, saya tidak menyukai buku ini, tapi penelitian tesis mengharuskan saya membaca buku ini puluhan kali hingga saya hafal letak titik komanya. Persoalan-persoalan dalam novel inilah yang justru saya butuhkan untuk dikaji dalam penelitian. Sampai penelitian saya selesai, saya masih belum menyukai buku ini. Setidaknya buku ini mengingatkan saya bahwa hidup tak sekadar soal suka atau tidak suka.

Ulid Tak Ingin ke Malaysia adalah buku bagus, tapi bukan judul buku yang bagus. Menurut saya Ulid saja sudah cukup untuk dijadikan judul buku, tak perlu embel-embel “tak ingin ke Malaysia” yang justru menjadikannya terkesan murahan. Mungkin judul dan covernya itulah yang membuat buku sebagus ini tidak banyak dibicarakan. Dilahirkan oleh penulis yang sama, menurut saya, Ulid ini jauh lebih bagus dibanding Kambing dan Hujan yang riuh dipuji-puji itu. Saya tidak akan menceritakan isinya. Baca saja sendiri kalau ingin tahu. Ulid seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh Sean O’Connell dalam film The Secret Life of Walter Mitty, bahwa beautiful things don’t ask for attention.

Psikologi Kematian saya baca karena ingin mbaca aja. Penasaran apa isinya. Begitu juga dengan Islam di Mata Orang Jepang. Ini adalah buku kedua Hisanori Kato setelah buku Kangen Indonesia. Saya penasaran bagaimana Kato—sebagai orang Jepang, intelektual—memandang Islam. Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu dibaca karena bertugas sebagai moderator pada peluncuran dan diskusinya. Aruna dan Lidahnya dibaca karena penasaran dengan topik yang ditulis Laksmi Pamuntjak: makanan. Menarik dan asyik sih. Mbacanya sambil nelan ludah berkali-kali.

3 Cinta 1 Pria, Dua Ibu, dan Dewi Kawi adalah buku-buku yang dibaca karena rekomendasi seorang teman. Saya pun akan merekomendasikan dua buku yang pertama bagi yang mau membaca karya-karya Arswendo. Saya menyesal mengapa tidak membaca buku itu sejak dulu. Sesal saya juga untuk buku Negara Kelima. Saya jatuh cinta pada E.S Ito sejak membaca Rahasia Meede—yang merupakan karya keduanya. Saya pun mencari buku karangan Ito yang pertama ini. Tapi, apa boleh buat, saya baru berjodoh dengan buku ini tahun ini. Seperti buku pertamanya, E.S Ito selalu berhasil membuat saya jatuh cinta berkali-kali.

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Awal-awal buku ini terbit, saya berkomentar “ah menye-menye gitu judulnya”. Dan saya tak kunjung membacanya. Lalu ada teman saya membawa buku itu, saya buka-buka bentar, lalu memutuskan untuk membacanya. Saya senang bahwa anggapan awal saya tentang buku ini salah. Buku ini jauh dari predikat “menye-menye”. Saja juga menilai bahwa Eka Kurniawan, semakin kesini semakin menunjukkan kematangannya dalam membuat cerita. Salah sangka itu kemudian tidak ingin saya teruskan pada buku Eka selanjutnya, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Saya langsung membelinya saat buku ini muncul di toko buku. Ini kumpulan cerpen. Beberapa sudah banyak yang saya baca sebelumnya.

bersambung. capek ngetiknya

buku yang kubaca 2015

1.A Simple Life -Desi Anwar
2.99 Cahaya di Langit Eropa -Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra
3.Ulid Tak Ingin ke Malaysia -Mahfud Ikhwan
4.Psikologi Kematian -Komaruddin Hidayat
5.Islam di Mata Orang Jepang -Hisanori Kato
6.Aruna dan Lidahnya -Laksmi Pamuntjak
7.Angin Apa Ini Dinginnya Melebihi Rindu -Ramayda Akmal, dkk
8.Negara Kelima -E.S Ito
9.3 Cinta 1 Pria -Arswendo Atmowiloto
10.Dewi Kawi -Arswendo Atmowiloto
11.Seperi Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas -Eka Kurniawan
12.Dua Ibu -Arswendo Atmowiloto
13.Tiada Sufi Tanpa Humor -Imam Jamal Rahman
14.Kisah Lainnya -Ariel, Uki, Reza, Lukman (baca ulang)
15.Kelas Menengah Bukan Ratu Adil
16.Identitas dan Kenikmatan -Ariel Heryanto
17.Politik Kelas Menengah Indonesia -Ariel Heryanto [ed.]
18.Aksara Amananunna -Rio Johan
19.Titik Nol -Agustinus Wibowo
20.Dilan 1 -Pidi Baiq
21.Dilan 2 -Pidi Baiq
22.Kambing dan Hujan -Mahfud Ikhwan
23.Tiada Ojek di Paris -Seno Gumira Ajidarma
24.Animal Farm -George Orwell
25.Out of the Truck Box -Iqbal Aji Daryono
26.Na Willa -Reda Gaudiamo
27.Tentang Kita -Reda Gaudiamo
28.Ajaran Marx atau Kepintaran Sang Murid Membeo-Mohammad Hatta
29.Kereta Tidur -Avianti Armand
30.Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi -Eka Kurniawan
31.Bukan Pasar Malam -Pramoedya Ananta Toer (baca ulang)
32.The Celestine Vision –James Redfield (baca ulang)
33.Tanah Tabu –Anindita S Thayf
34.Mengantar dari Luar- Puthut EA
35.Semua untuk Hindia –Iksaka Banu
36.Muhammad –Martin Lings

Yang belum selesai dibaca
1.How the World Works –Noam Chomsky

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...