Tuesday, August 16, 2011

antara saya dan pascakolonialisme

sampai hari ini saya tidak tahu mengapa saya bisa cinta mati sama kajian pascakolonialisme yang sebenarnya sangat membingungkan itu. kalau mau dirunut, asal muasal saya mengambil kuliah itu pada semester enam adalah, jujur, karena dosennya yang amat sangat ganteng sekali. disamping kuliah sebelumnya (yaitu orientalisme yang juga diampu oleh dosen yang sungguh sangat keren dan membuat saya terpikat. hehe) yang juga memunculkan guncangan mental tersendiri buat saya.

nah, dua dosen yang super oke itulah yang kemudian membuat saya mau tidak mau harus BELAJAR, sebuah aktivitas yang amat jarang saya lakukan. itu semata-mata karena saya tidak ingin terlihat tolol saat di kelas. saya pun membaca apa saja yang disarankan oleh sang dosen. alhasil, saya sedikiiiit tau tentang pascakolonialisme. dan, ehem, saya sedikiiiiiit berhasil menarik perhatian si dosen saat diskusi-diskusi kecil di kelas. hahaha. mahasiswa snewen!

lambat laun, saya pun berusaha mencerna konsep-konsep pascakolonialisme satu per satu. dalam proses pencernaan itu sering kali saya merasa mual dan ingin muntah-muntah! tapi saya berusaha menikmati. ini masih dilatarbelakangi oleh kegantengan si dosen. tapi, fanatisme saya yang berlebihan terhadap si dosen itu akhirnya menimbulkan sikap yang ambivalen (dalam konsep pascakolonialisme, yang dimaksud dengan ambivalen adalah sikap mendua). di satu sisi saya sangat suka dengan si dosen, yang membuat saya ingin selalu “dekat” dengannya, tapi di sisi lain saya membencinya karena beliau berhasil membuat saya menyukainya (ini perasaan suka dalam konteks keilmuan lho). saya merasa terjajah. halah..

perasaan ambivalen itu sebenarnya dipicu oleh adanya sifat saya yang selalu merasa inferior. banyak hal dan persoalan yang sebenarnya ingin saya diskusikan dengan sang dosen, tapi saya takut kalau saya dibilang sok-sokan. perasaan inferior itu dibarengi dengan perilaku aneh saya yang selalu deg-degan saat berbicara dengan sang dosen. akhirnya saya hanya memendam kegelisahan-kegelisahan yang ada di kepala. 

semester tujuh saya mengambil skripsi. dan saya memustuskan untuk menggunakan pascakolonialisme sebagai alat teori. waktu itu saya belum tahu objek material yang akan saya gunakan dalam penelitian itu apa. akhirnya, pembimbing saya memberikan solusi. oh ya, pembimbing skripsi saya adalah si dosen orientalisme. alangkah bahagianya. apalagi saya diminta untuk menemani beliau mengajar kuliah orientalisme angkatan 2008. cihuyy.

masalahnya adalah, objek yang akan saya gunakan adalah buku-buku yang membahas teori pascakolonialisme. jadinya saya harus membahas dan mengkritisi buku itu. modaro kowe nis..

membayangkan bahwa begitu banyak yang harus saya baca dan saya tulis dalam skripsi saya itu, saya udah down duluan. tapi karena dari sononya saya itu suka sok-sokan, saya pun merasa tertantang. dan akhirnya menyetujui usul yang diberikan si dosen. tidak peduli apa yang akan terjadi nanti..

sampai detik ini saya masih berkutat dengan persoalan-persoalan pascakolonialisme yang semakin hari semakin membuat saya bingung. membuat rambut saya rontok. membuat mata saya berkantung. dan berat badan saya menurun. itu baru gangguan fisik. gangguan mental masih lebih banyak. hwehehehe.

terjadi hubungan yang kompleks antara saya dan pascakolonialisme. kadang saya merasa tidak mampu menyelaminya. dan ini sering membuat saya sedih. kadang saya merasa sangat ingin menaklukkannya. dan ini membuat saya bersemangat. saya banyak belajar. sekaligus banyak berkorban. tapi kadang saya merasa sikap saya ini terlalu berlebihan di antara teman-teman lain yang juga mengerjakan skripsi pascakolonialisme. perlu saya ceritakan juga kalau semester delapan, waktu angkatan 2008 mengambil mata kuliah pascakolonialisme, saya adalah mahasiswa yang tidak tahu malu menyusup di dalamnya (dan ngrecoki) selama satu semester penuh :p

hingga akhirnya, saya memutuskan untuk menjadi AHLI PASCAKOLONIALISME INDONESIA. saya mau lebur di dalamnya. hahahahahahahahahahahahahahahahahaha (mencibir. menertawakan diri sendiri. bagian dari ketidakpedean saya)

barangkali kalau ada kesempatan, saya akan menulis tentang konsep-konsep pascakolonialisme sajalah…dari pada curhat gak jelas kayak beginian. enjoy!

Monday, August 15, 2011

tumben-tumbenan, saya bicara soal cinta

kenapa tumben? karena kata salah seorang dosen saya, saya itu orangnya nggak bisa bersikap romantis. nggak pantes pacaran dan ngomongin cinta-cintaan. boro-boro ngomongin cinta, naksir cowok aja sukanya yang udah tua-tua dan sudah berkeluarga. hahaha.

sebenarnya saya juga tidak tahu mengapa tiba-tiba pengen nulis tentang cinta. entah karena beberapa orang di sekitar saya sedang jatuh cinta atau sayanya yang sedang galau soal cinta, saya juga nggak tahu. ini bukan cinta kepada tuhan. bukan juga pada binatang dan tumbuhan. bukan pada orang tua. bukan. ini cinta jenis yang “itu” lho. cinta yang katanya melibatkan emosi yang nggak biasa. cinta yang bisa bikin makhluk bernama manusia jadi senewen. katanya sih..

saya menyaksikan: ada orang yang menghabiskan waktunya untuk memandangi foto gadis pujaan sambil bekerja keras membuat seribu puisi. ada orang diam-diam mencintai dan memilih untuk memandang gadis pujaan dari jauh. ada orang yang mati-matian meyakinkan dirinya bahwa dia mencintai kekasihnya. ada pula yang sedang berniat meninggalkan sang kekasih tapi merasa berdosa lantaran sang kekasih terlalu baik. ada orang yang berjuang keras mempertahankan hubungan karena tidak disetujui orang tua. ada orang yang mencintai orang yang sudah berkeluarga dan rela dijadikan simpanan. ada orang yang telah lama menderita karena berpura-pura mencintai kekasihnya, dan ia tetap memilih untuk menderita dari pada meninggalkannya. dan lain-lain. dan lain-lain..

begitu banyak cerita. sangat banyak. dan semuanya punya alasan masing-masing. dan semuanya terjadi di sekitar saya. nah, saya termasuk yang mana?

saya juga tidak tahu. atau lebih tepatnya, saya tidak mau orang lain tahu. Hehe. tapi yang jelas saya percaya kok kalau orang melakukan sesuatu itu ada alasannya. kenapa ia berbuat ini atau itu. kenapa ia lebih memilih si A dari pada si B. kenapa si ini tiba-tiba bisa sama si itu. semua ada alasannya. apakah dengan demikian hubungan cinta harus ada alasan? eh, cinta itu apa sih?

lagi-lagi saya tidak tahu. dan terbuktilah bahwa saya tidak pandai bicara soal cinta. tapi, tunggu dulu, apakah karena nggak bisa bicara soal cinta lantas saya gak punya cinta? belum tentu. gini-gini saya pernah kok merasakan yang namanya jatuh cinta. di mana suasana tiba-tiba berubah jadi slow motion kayak di film-film. di mana jantung rasanya mau copot meskipun cuma ngliat sekelebatan mata. dan pada akhirnya saya benar-benar jatuh (cinta). halah...gak logis? berlebihan??

banyak yang bilang cinta itu nggak logis. tapi menurut saya, satu-satunya hal di dunia ini yang paling logis adalah cinta. Weeeeee..

tapi saya jadi bingung melanjutkan tulisan ini. jadinya kok nggak karu-karuan gini ya. Kemana-mana, nggak jelas. Sungguh saya memang tidak ditakdirkan untuk bicara soal cinta. Hahaha. Mbuh lah.

Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

 Halo! Apa kabar? Semoga kamu baik, ya.  Kamu sudah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film ? Aku sudah. Dua kali di bioskop.  Setelah nonto...